Senin, 24 Agustus 2009

ULAMA BANJAR DAN KARYA-KARYANYA DI BIDANG TAUHID

Oleh: Rahmadi


Pendahuluan

Substansi ajaran Islam secara garis besar dapat dikelompokkan dalam tiga kelompok ajaran. Pertama, ajaran tentang akidah, yaitu ajaran-ajaran yang dibahas dalam ilmu ushûl al-dîn. Kedua, ajaran tentang hukum-hukum ‘amalî (praktis), yaitu ajaran-ajaran yang dibahas dalam ilmu fiqih. Ketiga, ajaran tentang akhlak, penyucian diri dan pendekatan diri kepada Allah, yaitu ajaran-ajaran yang dibahas dalam ilmu tasawuf.

Ketiga inti ajaran Islam ini dikaji oleh umat Islam di seluruh dunia dari dulu sampai kini termasuk juga di Kalimantan Selatan. Di kalangan masyarakat Banjar, ketiga bidang ilmu ini dipelajari diberbagai majelis taklim yang diadakan oleh sejumlah tuan guru yang memiliki otoritas di bidangnya. Selain itu, sejumlah lembaga pendidikan Islam baik pesantren maupun madrasah juga mengajarkan ketiga ajaran Islam ini.

Dari ketiga substansi ajaran Islam itu, di kalangan masyarakat Banjar kajian tentang ilmu tauhid atau akidah menempati posisi penting sebagai modal dasar pengetahuan agama yang harus ditanamkan sejak awal. Karena itulah sejumlah pengajian di kalangan masyarakat Banjar hampir tidak pernah melewatkan kajian di bidang tauhid untuk diajarkan baik untuk pemula (awam) maupun untuk tingkat lanjutan (terpelajar).

Bukti dari perhatian khusus dari para ulama maupun kalangan masyarakat sendiri adalah banyaknya kitab atau buku tauhid yang beredar di Kalimantan Selatan baik yang berbahasa Arab, Arab-Melayu maupun berbahasa Indonesia. Sedikitnya ada 29 buah kitab tauhid edisi bahasa Arab dan Arab Melayu yang dikaji oleh masyarakat dan menjadi referensi intelektual kalangan terpelajar (tuan guru, santri, akademisi dan kalangan terdidik lainnya). Ini belum termasuk buku-buku tauhid berbahasa Indonesia yang tidak terhitung jumlahnya baik yang ditulis oleh ulama lokal maupun ulama atau sarjana Islam dari luar.

Bukti mengenai posisi penting kajian tauhid dalam masyarakat Banjar dapat pula dilihat dari keseriusan para ulama Banjar untuk melahirkan sejumlah tulisan dalam bidang ilmu tauhid. Sejak kedatangan Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari (1710-1812 M) dari Mekkah ke Martapura pada tahun 1772 M setelah selama hampir 40 tahun menuntut ilmu tulisan di bidang tauhid mulai bermunculan. Pada abad ke-18 tepatnya tahun 1774 M Syekh Arsyad menulis dua buah risalah Arab-Melayu dalam ilmu tauhid yang berjudul Ushul-al-Dîn (tidak dicetak) dan Tuhfat al-Râghibîn. Kemudian pada abad ke-19 tepatnya tahun 1832 salah seorang keturunan Syekh Arsyad al-Banjari yang bernama Syekh Muhammad Thayyib bin Mas’ud al-Banjari, seorang ulama berdarah Banjar-Kedah, melahirkan karya tauhid yang berjudul Miftâh al-Jannah. Kemudian pada abad ke-20 kemunculan kitab-kitab tauhid karya ulama Banjar semakin banyak, di antaranya ‘Aqâ`id al-Îmân karya Syekh Abdurrahman Shiddiq al-Banjari yang ditulis pada tahun 1920 M, Risâlat al-tawhîd karya Syekh Muhammad Kasyful Anwar al-Banjari (tidak diketahui tahun penulisannya), Ibtidâ` al-Tawhîd karya Haji Abdul Qadir Noor bin Buwasin yang ditulis pada tahun 1937 M, Sirâj al-Mubtadi`în karya Haji Asy’ari Sulaiman yang ditulis tahun 1939 M. Kemudian bermunculan pula karya tauhid yang bercorak akademis seperti yang ditulis oleh Abdul Muthalib Muhyiddin yang berjudul Risalah Ushuluddin (tahun 1968) dan Risalah tauhid (diktat kuliah yang ditulis pada tahun 1971). Kemudian karya bercorak akademis di bidang akidah sebagaimana yang ditulis oleh Abdul Muthalib Muhyiddin juga ditulis oleh Gusti Abdul Muis yang berjudul Akidah dan Perkembangan Ilmu Kalam (diterbitkan pada tahun 1988 M).

Maraknya pengajian tauhid, banyaknya kitab tauhid yang beredar dan kontinuitas penulisan kitab tauhid yang dilakukan oleh ulama Banjar menarik perhatian para akademisi untuk diteliti. Penelitian tentang pengajian tauhid dan kitab tauhid yang beredar di Kalimantan Selatan telah berulang kali dilakukan. Paling tidak pada tahun 1982, 1985, 1995 dan 1998 telah dilakukan penelitian tentang topk itu. Ini belum termasuk penelitian tentang corak pemahaman tauhid masyarakat Banjar. Namun dari sejumlah penelitian yang ada, penelitian tentang biografi ulama penulis kitab tauhid dan kajian tentang seputar kitab tauhid yang mereka tulis belum mendapat perhatian, atau malah belum sama sekali menjadi fokus penelitian. Padahal, sebagaimana disebutkan di atas, banyak ulama Banjar yang menulis kitab tauhid dan kitab tauhid mereka menjadi bahan kajian baik di majelis taklim maupun di pesantren bahkan di perguruan tinggi. Karena itu, diperlukan sebuah penelitian yang berusaha untuk memotret dan mendeskripsikan latar belakang hidup ulama Banjar penulis kitab tauhid berikut kitab tauhid yang mereka tulis. Atas dasar inilah, penelitian tentang ulama Banjar dan karya-karyanya di bidang tauhid ini dilakukan.

Ulama Banjar dan Karya Tauhidnya

1. Muhammad Thayyib bin Mas’ud al-Banjari (hidup antara 1800-1900)

a. Sketsa Biografi Muhammad Thayyib bin Mas’ud al-Banjari

Nama lengkapnya adalah Syekh Muhammad Thayyib bin Mas’ud al-Banjari al-Khalidi al-Naqsyabandi. Ia adalah keturunan Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari yang menetap di Kedah Malaysia. Ayahnya bernama Mas’ud bin Qadhi Abu Su’ud sedang ibunya bernama Rahmah. Kakeknya yang bernama Qadhi Abu Su’ud adalah anak Syekh Muhammad Arsyad dari isterinya yang bernama Tuan Bidur.

Tidak diketahui secara persis kapan dan dimana Muhammad Thayyib dilahirkan dan kapan ia meninggal. Namun dapat dipastikan bahwa ia hidup di abad ke-19 (1800-an) karena sejumlah karyanya ditulis dan diselesaikan pada kurun waktu ini. Juga diduga kuat bahwa ia tumbuh besar dan menghabiskan masa hidupnya di Kedah.

Muhammad Thayyib memulai pendidikannya di bawah pengajaran kakeknya (Qadhi Abu Su’ud bin Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari) dan ayahnya (haji Mas’ud). Selain itu, ia juga belajar ke sejumlah ulama yang memiliki hubungan silsilah dengan Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari. Karena itu, ia banyak mengunjungi ulama yang memiliki hubungan keluarga dengannya baik di tanah Banjar, Jawa, Bangka Belitung dan Mekkah.

Muhammad Thayyib diyakini dekat dengan kalangan istana kesultanan Kedah karena kakeknya adalah guru yang berpengaruh di kalangan istana sedang ayahnya adalah panglima perang kesultanan Kedah. Sebagai ulama penerus Qadhi Abu Su’ud, Muhammad Thayyib termasuk ulama populer dan disegani di Kedah dan memiliki banyak murid. Di antara murid Muhammad Thayyib yang menjadi ulama Melayu populer di Asia Tenggara adalah Syekh Zainal Abidin bin Muhammad al-Fathani

Muhammad Thayyib memiliki sejumlah karya tulis, yaitu: (1) Miftâh al-Jannah fî Bayân al-‘Aqîdah, (2) Fath al-Hâdî, dan (3) Bidâyat al-Ghilmân fî Bayân Arkân al-Îmân. Masih ada lagi karyanya yang lain yang masih dalam bentuk manuskrif.

Muhammad Thayyib adalah salah seorang ulama Besar Melayu yang berjasa dalam mengembangkan Islam di Kedah dan sekitarnya. Ia meneruskan tradisi Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari memperjuangkan dan menyiarkan Islam. Keturunannya juga meneruskan perjuangannya menyiarkan Islam. Cucunya sekaligus muridnya, Tuan Haji Husin Kedah (w. 1354 H/1935 M) berhasil membangun lembaga pendidikan Islam yang mampu melahirkan sejumlah ulama terkenal baik di Malaysia, Fatani maupun Indonesia.

b. Identitas dan deskripsi singkat kitab Miftâh al-Jannah

Ada beberapa versi judul risalah ini yaitu Miftâh al-Jannah fî Bayân al-‘Aqîdah dan Miftâh al-Jannah fî Ushûl al-Dîn wa al-‘Aqâ`id, ada pula yang menyebutnya Miftâh al-Jannah Melayu. Kitab ini diselesaikan pada 16 Syawal 1247 H (19 Maret 1832 M) Kitab ini telah dicetak berkali-kali oleh berbagai penerbit di antaranya Mathba’ah al-Mishriyyah al-Kainah Mekkah pada 1321 H (1903 atau 1904 M) dan 1327 H (1909 atau 1910 M), al-Haramain Singapura tanpa tahun penerbitan, Syirkah Bungkul Indah di Surabaya tanpa menyebut tahun penerbitan dan Maktabah Ahmad Ibnu Sa’id bin Nabhan wa Awladih juga tanpa tahun penerbitan.

Secara garis besar substansi kitab Miftâh al-Jannah berisi tentang enam bahasan utama. Pertama, makna dan pembagian hukum. Di sini dikupas tentang tiga klasifikasi hukum yaitu hukum syara’, hukum adat dan hukum akal. Kedua, makna akal, makna mukallaf, hakikat ma’rifah dan arti taklid. Ketiga, rincian tentang sifat wajib, mustahil dan jaiz bagi Allah beserta lawannya serta klasifikasi sifat Allah ke dalam sifat nafsiyyah, salbiyyah, ma’ânî dan ma’nawiyah. Inilah bahasan utama kitab ini. Keempat, penjelasan tentang kandungan lâilâhaillallâh dan makna ketuhanan. Secara keseluruhan jumlah ‘aqâ`id yang terkandung dalam kalimat lailâhaillallâh ada 50 ‘aqâ`id. Sedang makna ketuhanan terdiri dari dua makna yaitu (1) istighnâ al-ilâh ‘an kull mâ siwâh dan (2) iftiqâr kull mâ siwâh ilayh. Kelima, Sifat wajib, mustahil dan harus bagi rasul. Di sini disebutkan empat sifat rasul yaitu shidiq, amanah dan tablîgh dan al-a‘râdh al-basyariyyah. Keenam, kandungan kalimat Muhammadurrasûlullâh. Di dalamnya terkandung 16 ‘aqâ`id. Dengan demikian kalimat lâilâhaillallâh Muhammadurrasûlullâh secara keseluruhan mengandung 66 ‘aqâ`id.

2. Abdurrahman Shiddiq al-Banjari (1857-1939 M)

a. Sketsa Biografi Abdurrahman Shiddiq al-Banjari

Nama lengkapnya adalah Syekh Abdurrahman Shiddiq bin Haji Muhammad Afif bin Haji Anang Mahmud bin Haji Jamaluddin bin Kyai Dipa Sinta Ahmad bin Fardi bin Jamaluddin bin Ahmad al-Banjari. Ia dilahirkan pada tahun 1284 H./1857 M. di Kampung Dalam Pagar sekitar 3,5 kilometer dari Martapura. Ibunya bernama Safura binti Syekh Mufti Haji Muhammad Arsyad bin Syekh Mufti Haji Muhammad As’ad.

Abdurrahman Shiddiq memulai studinya di sebuah pesantren di Dalam Pagar, Martapura. Selanjutnya ia belajar dengan pamannya yang mahir dalam bahasa Arab dan kepada Sayid Wali, seorang ulama terkemuka di Martapura selama empat tahun sampai ia mampu memahami kitab-kitab Arab klasik. Pada tahun 1883 M, ia berangkat ke Mekkah untuk meneruskan studinya. Guru-gurunya di Mekkah di antaranya adalah Syekh Sayyid Bakr al-Syaththa’, Syekh Sayyid Bâbasyil, Syekh Nawawi Banten, dan Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi. Pada tahun 1890 ia kembali ke Martapura.

Setelah delapan bulan bermukim di Martapura, Abdurrahman Shiddiq berangkat ke Bangka. Diperkirakan ia bermukim di Bangka sejak tahun 1892/1893 M. Dalam rentang waktu kurang lebih 15 tahun dia mengembangkan ajaran-ajaran Islam di kawasan ini. Kemudia ia pindah ke Indragiri pada tahun 1909 M Di sini ia memangku jabatan Mufti Indragiri selama 27 tahun (1909-1936). Di sini ia membangun madrasah di Kampung Hidayat. Madrasah ini mengalami kemajuan sehingga dikenal sampai ke Singapura dan Malaysia.

Kitab atau risalah yang ditulis Abdurrahman Shiddiq adalah (1) majmū’ al-āyāt wa al-Ahādīts fī Fadāil al-Ilm wa al-‘Ulamā’ wa al-Mutā allimīn wa al-Mustami’īn, (2) Risālat ‘Amal Ma’rifah, (3) Syair Ibarat dan Khabar Kiamat: jalan Untuk Keinsapan, (4) Tadzkirah li Nafsī wa-li Amtsā lî min al-Ikhwān, (5) Asrā r al-Shalāt min ‘Iddat al-Kutub al-Mu’tamadah, (6) Risālah fī ‘Aqā’id al-īmān, (7) Pelajaran Kanak-Kanak Pada Agama Islam, (8) Jadwal Sifat Dua Puluh, (9) Terjemah Sittī n Mas’alah dan Jurū mī yah, (10) Fath al-‘alīm fī Tartīb al-Ta’līm, (11) Risâ lah Takmilat Qawl al-Mukhtashar, (12) Kitāb al-farā’id, (13) Bay’ al-Haywān lil-Kāfirīn, (14) Maw’izah li Nafsī wa li Amtsā lī min al-Ikhwān, (15) Risālah al-Arsyadīyah wa mā ‘Ulhiqa bihā, (16) Sejarah Perkembangan Islam di Kerajaan Banjar, (17) Ma’a Madkhal fī ‘Ilm al-sharf, dan (18) Beberapa Khutbah Mutlaqiah.

Setelah lama memangku jabatan mufti, pada tahun 1936 M ia mengundurkan diri dari jabatan mufti karena umur yang sudah uzur. Pada tanggal 4 Sya’ban 1358 Hijriyah bertepatan dengan 10 Maret 1939 Masehi Abdurrahman Shiddiq wafat dalam usia 82 tahun. Dia dimakamkan tidak jauh dari mesjid yang dibinanya di Kampung Hidayat, Sapat Indragiri.

b. Identitas dan deskripsi singkat kitab ‘Aqâ`id al-Îmân

Kitab ‘Aqâ`id al-Îmân ditulis di Inderagiri dan diterbitkan pertama kali tanggal 18 Sya’ban 1355 H. (2 Nopember 1936 M.) oleh penerbit Ahmadiyah, Singapora. Kitab ini dicetak pada kertas Koran (stensil) berjumlah 40 halaman dengan menggunakan bahasa Arab Melayu.

Kitab ini secara garis besar memuat tujuh pokok bahasan. Pertama, kewajiban setiap mukallaf mengetahui sifat wajib, mustahil dan jaiz bagi Allah dan Rasul. Kedua, masalah ta’alluq sifat ma’ani. Ketiga, pembagian sifat Allah dalam empat klasifikasi nafsiyah, salbiyah, ma’ani, dan ma’nawiyah, Keempat, dalil-dalil (burhân) sifat Allah dan Rasul. Kelima, masalah makna ketuhanan (uluhiyah) ke dalam dua makna yaitu istighna dan iftiqar. Keenam, kandungan kalimat syahadatain dalam akidah. Ketujuh, pembahasan dasar-dasar agama (ushûl al-dîn).

3. Muhammad Kasyful Anwar (1887-1940 M)

a. Sketsa Biografi Muhammad Kasyful Anwar

Syekh Muhammad Kasyful Anwar dilahirkan di Kampung Melayu Martapura tanggal 4 Rajab 1304 H (29 Maret 1887 M). Ayahnya bernama Haji Ismail bin Muhammad Arsyad dan ibunya bernama Hj. Maryam binti Abdur Rahim. Ia belajar agama pada guru-guru di Kampungnya di antaranya kepada Syekh Ismail bin Ibrahim dan Syekh Abdullah Khathib (keduanya zuriat Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari).

Pada tahun 1313 H (1896 M) ia berangkat ke Mekkah. Di sini ia belajar kepada Syekh Muhammad Amin bin Qadhi, al-Sayyid Ahmad ibn Abû Bakar al-Syaththâ, al-Habîb Ahmad ibn Hasan al-‘Aththâs, Syekh Muhammad ‘Alî ibn Husayn al-Mâlikî, Syekh ‘Umar Hamdân, Syekh ‘Umar Bâjunayd Muftî al-Syâfi’iyyah, Syekh Sa’îd al-Yamanî, Syekh Muhammad Shâlih ibn Muhammad Bâfadhal, Syekh Muhammad Ahyâth, dan al-Sayyid Muhammad Amîn al-Kutbî.

Setelah selama 17 tahun menimba ilmu di Mekkah, Kasyful Anwar kembali ke Martapura pada tahun 1330 H (1912 M). Sejak saat kepulangannya itu ia mulai mengajar dan berdakwah serta memimpin lembaga pendidikan Islam (Madrasah Darussalam). Ia juga pernah mengajar di Masjid al-Haram selama dua tahun dari tahun 1932 M sampai 1934 M.

Pada tahun 1922, Syekh Kasyful Anwar diangkat sebagai pimpinan Madrasah Darussalam menggantikan Tuan Guru Haji Hasan Ahmad (w. 1922). Ketika memimpin Madrasah Darussalam dari tahun 1922 sampai 1940, ia banyak melakukan pembaruan pendidikan di Madrasah ini sehingga mengalami perbaikan sistem pengajaran dan peningkatan santri. Atas jasanya itu ia disebut sebagai mu`assis (pendiri) dan mujaddid (pembaru) Madrasah Darussalam (sekarang Pondok Pesantren Darussalam).

Karya-karya tulisnya itu adalah: Risâlat al-Tawhîd, Risâlat al-Fiqh, Risâlat fî Sîrat Sayyid al-Mursalîn, Risâlat al-Tajwîd (Targhîb al-Ikhwân fî Tajwîd al-Qur`ân), Kitâb Durûs al-Tashrîf (4 jilid), Tabyîn al-Rawiy bi Syarh al-Arba’în al-Nawawî, Durr al-Farîd fî Syarh Jawharat al-Tawhîd, dan Risâlat Hasbunâ.

Setelah berjuang tiada hentinya, baik melalui pendidikan formal, pengajian dan melahirkan tulisan, Syekh Kasyful Anwar wafat pada malam Senin pukul 21.45 tanggal 18 Syawal 1359 H atau bertepatan pada tanggal 19 Nopember 1940 M dalam usia 55 tahun. Ia dimakamkan di Qubah Kampung Melayu Martapura.

b. Identitas dan deskripsi singkat kitab Risâlat al-Tawhîd

Kitab tauhid yang ditulis oleh Muhammad Kasyful Anwar berjudul Hadzihi Risâlat al-Tawhîd. Risalah ini menggunakan bahasa Arab dan tebalnya 12 halaman. Risalah ini dicetak pada kertas kuning oleh Percetakan Darussalam di Jalan Perwira Komplek Darussalam Tanjung Rema Martapura tanpa meyebut tahun penerbitan.

Secara garis besar isi kitab ini memuat lima pokok bahasan. Pertama, bahasan tentang rukun iman. Di sini disebutkan enam makna rukun iman satu persatu secara singkat dan padat tanpa ada penjelasan lanjutan. Kedua, pasal tentang i’tiqâd kepada Nabi Muhammad. Ketiga, pasal tentang tentang sejumlah i’tiqâd yaitu (1) i’tiqâd bahwa sahabat adalah sebaik umat, (2) wajib taklid kepada salah satu dari empat imam mazhab, (3) i’tiqâd bahwa karamah para wali itu ada, ziarah kubur itu dianjurkan, doa dan bacaan bermanfaat bagi mayyit, dan bertawassul kepada nabi dan wali adalah boleh baik secara syara maupun akal. Kelima, pasal tentang al-kulliyat al-Sitt, dan Keenam, Faidah tentang rezeki

4. Asy’ari Sulaiman (1909-1981 M)

a. Sketsa Biografi Asy’ari Sulaiman

Tuan Guru Haji Asy’ari Sulaiman lahir pada tahun 1909 M di Desa Tangga Ulin Amuntai Hulu Sungai Utara. Ayahnya bernama Haji Sulaiman sedang ibunya bernama Hj Tijarah.

Asy’ari Sulaiman kecil memulai studinya di HIS, ia kemudian mengkonsentrasikan dirinya belajar berbagai cabang ilmu agama kepada ulama lokal. ulama atau tuan guru yang menjadi gurunya di antaranya adalah H. Muhammad Arsyad (Tangga Ulin), H. Jamal (Lokbangkai), H. Khalid (Tangga Ulin), H. Abdurrasyid (Pekapuran) pendiri Pondok Pesantren Rasyidiah Khalidiyah, H. Abdurrahman (Martapura), H. Ahmad (Sungai Banar) dan H. Juhri Sulaiman (kakaknya sendiri). Ia juga pernah belajar di Mekkah.

Aktivitas Haji Asy’ari Sulaiman sehari-hari adalah berdagang, mengajar dan berorganisasi. Ia adalah seorang pedagang emas dan permata di pasar Amuntai. Sebagai seorang ulama, ia mengajar di sejumlah tempat baik di majelis taklim yang diasuhnya maupun pada lembaga pendidikan formal seperti di Madrasah Rasyidiah di Pekapuran (sekarang PP Rakha) dan Madrasah Islam Patarikan. Ia sempat pula menjadi dosen mata kuliah ilmu Kalam di Fakultas Ushuluddin Amuntai ketika fakultas ini dibuka pada tahun 1961.

Asy’ari Sulaiman juga aktif berorganisasi. Ia adalah aktivis organisasi Musyawaratut Thalibin cabang Amuntai. Kemudian ia bergabung dengan Jam’iyah Nahdhatul Ulama (NU). Pada tahun 1953 ketika NU secara resmi menjadi salah satu partai politik di Indonesia, ia ikut dalam pertarungan politik. Pada Pemilu tahun 1955 ia berhasil menjadi anggota DPR tk II mewakili partai Nahdhatul Ulama.

Karya tulis Asy’ari Sulaiman ada dua, yaitu Siraj al-Mubtadi’in dan Mari Berpuasa-Berzakat Fitrah.

Pada tahun 1970-an kesehatan Asy’ari Sulaiman mulai menurun. Pada tahun 1981 Asy’ari Sulaiman meninggal dunia dalam usia 72 tahun. Ia di makamkan di dekat makam mertuanya, Tuan Guru Haji Khalid. Makam mereka dikenal masyarakat Amuntai sebagai Kubah Keramat.

b. Identitas dan deskripsi singkat kitab Sirâj al-Mubtadi`în

Judul lengkap kitab atau risalah ini adalah Sirâj al-Mubtadi`în fî ‘Aqâ`id al-Mu`minîn, diterjemahkan menjadi Pelita Segala Mereka yang Baru Belajar Menyatakan Segala Simpulan Iman Orang Mukmin. Kitab ini diselesaikan pada tanggal 21 Dzulqa’idah 1357 (12 Januari 1939). Kitab ini pertama kali dicetak di Surabaya. Tebal halaman risalah ini adalah 65 halaman (versi cetakan 1975). Format penulisan menggunakan format kitab Arab-Melayu (huruf Arab bahasa Melayu).

Ada enam tema utama yang dibahas dalam kitab ini. Pertama, Sepuluh mabâdi. Kedua, hukum akal. Ketiga, makna hakikat. Keempat, i’tiqâd kepada Allah secara jumlî (global) dan tafshîlî (detil). Kelima, i’tiqâd kepada rasul secara jumlî dan tafshîlî. Keenam, isi kandungan aqa`id dalam kalimat lâ ilâha illallâh muhammadurrasulullah dan makna uluhiyyah

5. Abdurrahman bin Muhammad Ali (1910-1965 M)

a. Sketsa Biografi Abdurrahman bin Muhammad Ali

Abdurrahman bin Muhammad Ali dilahirkan di Desa Padang Darat Kecamatan Amuntai Selatan Kabupaten Hulu Sungai Utara pada tanggal 25 Syawal 1328 H atau bertepatan tahun 1910 M. Ia adalah anak pertama dari enam bersaudara.

Abdurahhman bin Muhammad Ali tergolong orang yang suka menuntut ilmu. Ia banyak belajar kepada sejumlah ulama. Untuk mendapat pengetahuan agama dari ulama yang memiliki otoritas ia tidak segan-segan meninggalkan daerahnya untuk belajar. Ini terbukti selain menuntut ilmu di daerah sekitar tempat tinggalnya seperti di Sungai Banar Amuntai ia juga pernah menuntut ilmu di Negara (Hulu Sungai Selatan), di Kutai (Kalimantan Timur) dan Malaysia.

Aktivitas kesehariannya selain sebagai tuan guru (ulama) yang aktif memberikan pengajian agama di tengah masyarakat, ia juga berprofesi sebagai pedagang kitab di Pasar Amuntai. Ia juga aktif berorganisasi pada organisasi keagamaan. Ia adalah anggota organisasi Islam Nahdhatul Ulama (NU) cabang Amuntai.

Ada dua karya tulis Abdurrahman bin Muhammad Ali yaitu Rasam Parukunan dan Kifâyat al-Mubtadi`în. Kedua karyanya ini termasuk di antara karya-karya populer ulama Banjar yang banyak menjadi rujukan dan dibaca diberbagai pelosok di Kalimantan Selatan.

Abdurrahman bin Muhammad Ali wafat pada tanggal 10 Rabiul Akhir 1348 H atau 8 Agustus 1965 dalam usia 55 tahun.

b. Identitas dan deskripsi singkat kitab Kifâyat al-Mubtadi`în

Kitab Kifâyat al-Mubtadi`în diterbitkan pada tahun 1981 dengan tebal 52 halaman. Isi pokok kitab ini adalah sebagai berikut: (1) tiga syarat mengenal Allah dan rasul-Nya, (2) uraian tentang sifat dua puluh, (3) pembagian sifat dua puluh menjadi empat bagian: sifat nafsiyyah, salbiyyah, ma’ânî dan ma’nawiyah, (4) sifat wajib bagi rasul dan lawannya, (5) iman kepada nabi, malaikat, kitab samawi dan hari akhir, (6) makna lâilâhaillallâh (makna kata satu persatu), (7) pembagian mumkin ke dalam empat bagian dan sepulu perkara yang mungkin dikekalkan Allah, (8) peristiwa khâriq al-‘âdâh, (9) iman kepada 25 nabi dan rasul, (10) bahasan tentang iman kepada kitab suci, iman kepada malaikat, dan masalah antara i’tiqâd sesat dengan i’tiqâd Ahlussunnah wal Jama’ah, (11) beberapa aliran kalam, (12) amalan untuk memelihara iman, (13) kelebihan zikir., (14) tambahan-tambahan: riwayat hidup nabi, takut dan harap serta baik sangka kepada Allah, amalan, doa, shalawat, khasiat Surat al-Ikhlas, hadiah bacaan dan syair-syair.

6. Abdul Qadir Noor bin Buwasin (1911-1980 M)

a. Sketsa Biografi Abdul Qadir Noor bin Buwasin

Abdul Qadir Noor bin Buwasin dilahirkan pada tanggal 17 Nopember 1911 M di Desa Padang Kapuh atau Kapuh Padang Kecamatan Simpur, Kandangan. Ayahnya bernama Buwasin dan ibunya bernama Radiyah.

Latar belakang pendidikannya adalah (1) usia tujuh tahun, ia masuk ke Sekolah Rakyat (SR) di kota Kandangan selama enam tahun di Sekolah Rakyat, (2) belajar ke berbagai majelis taklim. Di antara guru-gurunya adalah Haji Abdullah Shiddik, Haji Athaillah, dan Haji Mufti Sulaiman Kandangan, (3) Menempuh studi selama lima tahun di sebuah lembaga pendidikan Islam di Perak Malaysia, (4) Studi di Madrasah Islam Amuntai selama tiga tahun di bawah bimbingan Tuan Guru Haji Abdur Rasyid, dan (5) studi di Madrasah Islam Pandai Kandangan yang juga di pimpin oleh Tuan Guru Haji Abdur Rasyid selesai pada tahun 1938.

Pada tahun 1938, Abdul Qadir Noor mengajar di Madrasah Islam Pandai Kandangan dan membuka pengajian di rumahnya. Pengajian yang dirintisnya kemudian berkembang menjadi sebuah pesantren yang diberi nama pesantren Nurul Falah yang diresmikan tahun 1977. Selain itu ia juga mengajar di sejumlah madrasah seperti Madrasah Islam Pandai Kandangan, Madrasah Takhashshush Diniyah, Madrasah Menengah Tinggi Desa Awang Kiri Kandangan, Madrasah Islam Darul Falah Dasar Hilir.

Abdul Qadir Noor bergabung dengan Partai Masyumi dan sekitar tahun 1965 ia menjadi anggota DPRD Tingkat II Kabupaten Hulu Sungai Selatan. Di bidang pemerintahan ia pernah menjabat Kepala Kantor Penerangan Agama Islam Kabupaten Hulu Sungai Selatan sekitar tahun 1952.

Karya tulis Abdul Qadir Noor ada tiga yaitu Ibtidâ` al-tawhîd fî ‘Aqâ`id Ahl al-Tawhîd (tauhid), Manasik Haji (fiqih), dan Ilmu Fara`idh (fiqih).

Setelah mengabdikan diri sebagai ulama selama hampir 41 tahun Abdul Qadir Noor wafat dalam usia 69 tahun pada tanggal 5 Jumadil Akhir1400 H atau bertepatan dengan tanggal 20 April 1980 di Desa Padang Kapuh.

b. Identitas dan deskripsi singkat kitab Ibtidâ` al-Tawhîd

Judul lengkap kitab tauhid ini adalah Ibtidâ` al-Tawhîd fî ‘Aqâ`id Ahl al-Tawhîd (Permulaan Belajar Meesakan Allah Ta’ala dalam Kalangan I’tiqad Ahlussunnah Waljamaah). Kitab ini selesai ditulis pada tanggal 21 Syawal 1355 H atau bertepatan tanggal 4 Januari 1937 M. Kitab ini diterbitkan oleh beberapa penerbit di antaranya Bumi Putera Banjarmasin, Percetakan Persatuan Bangil dan Toko Buku Murni Pasar Suka Ramai Banjarmasin. Kitab ini dicetak pada kertas buram berjumlah 32 halaman. Kitab ini ditulis dengan format kitab Arab-Melayu.

Secara garis besar isi kitab ini memuat sembilan bahasan. Pertama, hukum akal. Kedua, sifat yang wajib dan mustahil bagi Allah. Ketiga, sifat nafsiyyah, salbiyyah, ma’ânî dan ma’nawiyyah. Keempat, Al-Istighnâ` wa al-iftiqâr. Kelima, sifat wajib bagi sekalian rasul. Keenam, Al-A’râdh al-bayariyyah. Ketujuh, rasul, malaikat, dan kitab yang wajib diketahui dan diimani. Kedelapan, tentang Nabi: latar belakang, keluarga dan sahabatnya. Kesembilan, kumpulan hadis tentang ilmu dan mengajarkannya.

7. Abdul Muthalib Muhyiddin (1918-1974 M)

a. Sketsa Biografi Abdul Muthalib Muhyiddin

Abdul Muthalib Muhyiddin lahir tanggal 18 Agustus 1918. Ayahnya bernama Muhyiddin dan ibunya bernama Ja’ah.

Latar belakang pendidikan Abdul Muthalib Muhyiddin adalah (1) “Inlandse School” di Amuntai tahun 1927, (2) madrasah “Arabischc School” di Amuntai, (3) “Kweekschool Islam Pondok Modern” Gontor Ponorogo (1939-1942), (4) pendidikan non formal, yaitu pengajian agama di langgar/surau Lok Bangkai.

Aktivitasnya dibidang pendidikan adalah (1) mengasuh pengajian khusus wanita yang diberi nama “Madrasah al Fatah”, (2) mengajar di Perguruan Islam Rasyidiyah Khalidiyah (1942-1974), (3) tenaga pengajar di berbagai tempat antara lain: guru SMPN Amuntai (1948-1949), Guru Agama Nasional Indonesia di Amuntai (1949-1950), guru agama pada SMAN Amuntai (1961-1967), mengajar di Sekolah Menengah Atas Islam Rasyidiyah Khalidiyah (1964-1967), dan dosen Fakultas Ushuluddin IAIN Antasari di Amuntai (1961-1974).

Jabatan yang pernah didudukinya antara lain: (1) wakil direktur Rasyidiyah Khalidiyah tahun 1945-1951, (2) Direktur Rasyidiyah Khalidiyah tahun 1949, (3) wakil pengasuh pengurus Rasyidiyah Khalidiyah tahun 1951-1974, (4) ketua Direktur Sekolah Persiapan IAIN Antasari tahun 1966, dan (5) Wakil Dekan Fakultas Ushuluddin IAIN Antasari di Amuntai (1970-1972), dan Pejabat Sementara Dekan Fakultas Ushuluddin (1972-1974).

Organisasi yang pernah diikutinya adalah (1) Ikatan Madrasah Islam atau Ittihadul Ma’ahidil Islamiyah di Kalimantan Selatan, (2) PMII (Persatuan Madrasah Islam Indonesia). Sedang Aktivitasnya di bidang militer atau pertahanan adalah (1) menjadi staf dan penasehat B.N. 5/S. Kuripan jaya atau “Banten Nasional Amuntai Selatan. Ia juga aktif menentang penjajah melalui tulisan di surat kabar.

Pada tahun 1950 ia menjadi anggota DPRD Kabupaten Hulu Sungai. Tahun 1952-1956 menjadi anggota DPDS (Dewan Pemerintah Daerah Sementara). Di samping itu 1952 juga menjadi anggota DPRD Sementara Kabupaten Hulu Sungai Utara (Pejabat Bupati Sementara selama satu tahun). Tahun 1960 sebagai anggota BPH (Badan Pemerintahan Harian ) bagian sosial ekonomi. Tahun 1966 menjadi Wakil Ketua DPRD Hulu Sungai Utara.

Karya-karya tulisnya adalah: (1) Sendi Iman, (2) Sendi Islam, (3) Pengetahuan Agama Islam, (4) Risalah Ushuluddin, (5) Mendidik dan Mengajar, (6) Al-Tasawuf Islamy, (7) Ilmu Tauhid, (8) Pase kehidupan, (9) Majmul Adiyah, (10) 17 Tahun Kabupaten Hulu Sungai Utara di susun bersama-sama Yusni Antenas dan Amir Husaini Zam Zam, (11) 50 Tahun Perguruan Islam Rasyidiyah Khalidiyah (salah seorang anggota tim penyusun), dan (12) Mudzakarah Tasawuf.

Setelah mengabdi selama 32 Abdul Muthalib Muhyiddin meninggal pada tanggal 10 April 1974 di Amuntai.

b. Identitas dan deskripsi singkat kitab Sendi Iman, Risalah Ushuluddin, Ilmu Tauhid, dan Pengetahuan Agama Islam

1) Sendi Iman

Buku ini pertama kali diterbitkan tahun 1951 oleh Penerbit Islamiyah Medan. Cetakan keempat diterbitkan oleh penerbit Al-Ichsan Surabaya. Tahun 1963 dan cetakan ke-5 oleh TokoBuku Sumber Amuntai. Buku ini dicetak pada kertas stensil dengan jumlah halaman sebanyak 56 halaman. Bahasa yang digunakan adalah Bahasa Indonesia.

Secara garis besar buku ini memuat topik berikut: (1) ilmu Tauhid dan Rukun Iman, (2) makna mukmin, muslim, kafir, murtad, dan munafiq, (3) Hukum akal, hukum syara’, hukum adat, (4) Sifat yang wajib dan yang mustahil bagi Tuhan, (5) Sifat nafsiyyah, salabiyyah, ma’ânî,Ma’nawiyah, (6) Faidah beri’tiqad dengan sifat-sifat Tuhan, (7) Harus bagi Tuhan, (8) Percaya kepada Rasul dan sifat-sifatnya, (9) Mu’jizat dan perbedaannya dengan sihir, (10) Harus bagi rasul-Rasul dan Bilangan Rasul, (11) Percaya kepada malaikat, (12) Percaya kepada Kitab-Kitab Allah, (13) Percaya kepada hari kemudian, (14) Kandungan hari Kiamat, (15) Bertiti di shirath, (16) Sorga dan neraka, (17) Percaya kepada qadla dan qadlar, (18) GanjaranTuhan, dan (19) Sedikit tentang Ilmu Mengajar.

2) Risalah Ushuluddin

Buku ini diterbitkan pertama kali pada tahun 1968 oleh penerbit Warga Rakha Amuntai. Risalah Ushuluddin ini pada awal diperuntukkan bahan kuliah mahasiswa tingkat propaedeuse pada Fakultas Ushuluddin IAIN Antasari di Amuntai. Buku ini dicetak pada kertas stensil dengan tulisan bahasa Indonesia, dan jumlah halaman sebanyak 128.

Secara garis besar buku ini memuat topik berikut: (1) Lahirnya tauhid sejak Nabi Adam as., (2) Ketauhidan sesudah Nabi Adam as., (3) Pengutusan rasul-rasul Allah, (4) Riwayat umat yang mengingkari dakwah Rasul, (5) Rasul-rasul keturunan Nabi Ibrahim as., (6) Timbulnya kemusyrikan sesudah Nabi Ibrahim, (7) Penyebaran patung-patung berhala, (8) Kedudukan dakwah Muhammad saw., (9) Keseragaman umat bertauhid, (10) Sendi dakwah rasul, (11) Pokok pelajaran ilmu Tauhid, (12) Keadaan Akidah di masa Rasulullah, (13) Akidah iman di masa Khulafa al-Rasyidin, (14) Timbulnya golongan-golongan umat Islam, (15) Agama Yahudi, (16) Agama Nasrani, (17) Pendapat-pendapat tentang pertumbuhan kepercayaan dan perkembangan agama sedunia, (18) Ketauhidan agama Eropa Kuno, (19) Ketauhidan pada bangsa Mesir kuno, (20) Ketauhidan Hindu, (21) Ketauhidan Agama Parsi, (22) Aliran keagamaan terakhir, (23) Ahmadiyah, dan (24) Aliran Materialistis dan Mekanistis.

3) Ilmu Tauhid

Kitab Ilmu Tauhid ini berasal dari diktat perkuliahan yang diperuntukkan bagi mahasiswa Tingkat Kandidat pada Fakultas Ushuluddin IAIN Antasari di Amuntai. Karyanya ini diterbitkan oleh Senat Mahasiswa Fakultas Ushuluddin IAIN Jami’ah Antasari Amuntai pada tahun 1971. Buku ini dicetak pada kertas stensil dengan jumlah halaman sebanyak 62 halaman.

Secara garis besar buku ini memuat topik berikut: (1) Pengertian Ilmu Tauhid menurut bahasa dan istilah, (2) Sumber Akidah Islam, (3) Akidah Islamiyah meliputi empat macam, (4) Agama-agama Bangsa Arab Jahiliyah, (5) Lahirnya Ilmu Tauhid, (6) Keadaan akidah di masa Rasuluillah, (7) Keadaan akidah di masa Khulafa al-Rasyidin, (8) Keadaan akidah di masa Bani Umayah, (9) Keadaan akidah di masa Bani Abasiyah, (10) Sebab-sebab yang mempengaruhi timbulnya ilmu kalam, (11) Pokok Ilmu Tauhid adalah akidah Islam, (12) Hukum ma’rifah kepada Allah dan Rasul, (13) Pembahasan iman, (14) Aliran ulama Asy’ariyah dan Maturidiyah, (15) Hubungan syahadataini dengan iman, (16) Hubungan amal dengan iman, (17) Aliran Abu Hanifah, (18) Mazhab Khawarij, Mu’tazilah, Fukaha, Muhadisin, (19) Pembahasan tentang Islam, (20) Hubungan Islam dengan Iman, (21) Pembahasan bertambahnya dan berkurangnya iman, (22) Pembahasan perbuatan Allah dan manusia, (23) Qadla dan qadlar, (24) Sifat Allah dan sifat makhluk, dan (25) Ulama modern dan Salaf.

4) Pengetahuan Agama Islam

Buku ini terdiri dari dua jilid, jilid pertama berisi 135 halaman dan jilid kedua berisi 240 halaman. Buku ini dicetak oleh penerbit “Warga Rakha” Amuntai pada tahun 1970 M./1390 H. menggunakan kertas stensil. Buku ini diperuntukkan bagi pelajar Sekolah Menengah Tingkat Atas dan Pendidikan Guru Sekolah Lanjutan Pertama (PGSLP) di Amuntai.

Buku jilid pertama untuk siswa kelas satu berisi pembahasan mengenai keimanan (tauhid), fikih, akhlak, dan sejarah Islam. Materi yang berkenaan dengan keimanan memuat masalah: (1) Tujuan dan maksud mempelajari Ilmu Tauhid, (2) Istilah Ilmu Tauhid, Ilmu Kalam, Ilmu Ushuluddin, (3) Perkembangan dan dalil Ilmu Tauhid, (4) Mengenal sifat dua puluh dan sifat nafsiyah, salabiyah, ma’ani, dan ma’nawiyah, (5) Iman dan Islam, fsiq, mnafiq, mrtad, msyrik, kafir, hukum murtad, musyrik, munafik dan kafir, (6) Dasar-dasar Islam, iman, dan ihsan, (7) Agama ( dien ), (8) Hajat manusia kepada agama, (9) Iman kepada Allah menurut Ahli Barat, (10) Iman kepada Allah menurut Ahlussunnah, (11) Bertambah dan berkurangnya iman, dan (12) Macam-macam kufur, nifaq, syirik dan murtad.

Buku Pengetahuan Agama Islam jilid kedua disajikan untuk siswa kelas dua, yang berisikan masalah keimanan, fikih, dan sejarah Islam. Pembicaraan keimanan dipaparkan di bab I dan bab II yang memuat pokok-pokok bahasan: (1) Pembagian hukum, (2) Hukum mempelajari ilmu tauhid, (3) Dasar Ilmu Tauhid (4) Iman kepada rasul, (5) Mu’jizat, (6) Irhash, (7) Keramat dan Istidraj, (8) Sihir, (9) Percaya kepada hari akhir, (10) Sorga dan neraka, (11) Golongan Ahlu al-Sunnah, (12) Percaya kepada malaikat, (13), Perbedaan Malaikat dan Jin, (14) Percaya kepada kitab-kitab-Nya, (15) Nabi Muhammad saw., (16) Wahyu, ilham dan hadist Qudsi, (17) Tinjauan singkat isi Alquran, (18) Iman kepada qadla dan qadlar, (19) Kedudukan doa di sisi qadla dan qadlar, dan (20) Tawakal.

8. Gusti Abdul Muis (1919-1992 M)

a. Sketsa Biografi Gusti Abdul Muis

Gusti Abdul Muis lahir pada tanggal 12 April 1919 di Samarinda (Kalimantan Timur). Ada pula yang menyebutkan bahwa ia dilahirkan di Karang Intan Kabupaten Banjar. Nama ayahnya adalah Haji Gusti Abdusy Syukur sedang ibunya bernama Hajjah Mastora.

Latar belakang pendidikannya adalah (1) Sekolah Rakyat (Volks School) selesai tahun 1931, (2) Madrasah Tsanawiyah Asy Syafi’iyyah di Samarinda selesai tahun 1933, (3) Madrasah Darussalam Martapura tingkat Aliyah selesai tahun 1936, (4) Kulliyatul Muallimin Gontor Ponorogo tahun 1938, (5) Pesantren Jamsaren Solo, (6) Akademi Ilmu Politik Gajah Mada Yogyakarta tahun 1947 sampai 1948 (tidak selesai).

Kiprahnya di bidang pendidikan adalah (1) guru dan dosen diberbagai lembaga pendidikan, (2) perintis berdirinya Sekolah Wustho Zu’ama Muhammadiyah di Karang Intan Martapura (1940-1942), (3) Dekan Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) Muhammadiyah di Banjarmasin (1964/1965), (4) dosen luar biasa Fakultas Syariah IAIN Antasari (1978-1980), (5) pengasuh Akademi Kulliyatul al-Muballighin, dan (6) Ketua Yayasan dan Rektor pertama UNISKA Muhammad Arsyad al-Banjari (periode 1981-1988).

Ki[rahnya di bidang organisasi sosial dan organisasi keagamaan di antaranya (1) aktif sebagai anggota Muhammadiyah sejak 1932, (2) wakil ketua Badan Pengurus Besar Gerakan Pemuda Indonesia di Jakarta tahun 1950-1953, (3) Pengurus Besar Serikat Buruh Indonesia di Jakarta (1953-1955), (4). Ketua Badan Pengawas Rumah Sakit Islam di Banjarmasin, (5) Pengelola Mesjid Arrahman, (6) Pimpinan Muhammadiyah dari tahun 1975 sampai 1992, dan (7) Ketua Majelis Ulama Indonesia Tingkat I Propinsi Kalimantan Selatan.

Kiprahnya di bidang militer adalah (1) pimpinan Laskar Pusat Pertahanan Kalimantan, (2) pimpinan Ikatan Perjuangan Kalimantan (IPK) di Jakarta (1950), dan (3) anggota komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) tahun 1945. Sementara Kiprahnya di bidang politik adalah (1) anggota Partai Masyumi, (2) anggota pimpinan partai Masyumi di Jakarta (1953-1955), (3) Sekretaris Jenderal Masyumi (1955), (4) anggota parlemen (anggota DPRS) di Yogyakarta (1950) dan (5) anggota DPR RI tahun 1950-1960.

Karya-karya tulisnya dalam bentuk buku adalah (1) Iman dan Bahagia (2) Iman dan Ma’rifah, (3) Mengenal Jalan Ke Tasawuf, (4) Insan, (5) Tawasul dan Wasilah, (6) Meninjau Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Kalimantan, (7) Pengantar Ulumul Quran, (8) Isra-Mi’raj dan Jihad-Dakwah, (9) Bukratan Wa Ashila: Doa Pagi dan Petang, (10) Akidah dan Perkembangan Ilmu Kalam dan (11) Risalah Qijamu Ramadlan.

Setelah banyak beraktivitas dalam berbagai bidang, Gusti Abdul Muis akhirnya meninggal pada tanggal 27 September 1992 dalam usia 73 tahun, Ia dimakamkan di Alkah Muhammadiyyah Pekuburan Muslimin Banjarmasin.

b. Identitas dan deskripsi singkat buku Iman dan Bahagia dan Akidah dan Perkembanagan Ilmu Kalam

1) Iman dan Bahagia

Judul lengkap dari buku ini adalah Iman dan Bahagia yang diinspirasi dari judul salah satu bab karya ulama internasional, Yûsuf al-Qardhawî, yang berjudul al-Îmân wa al-Hayah dimana salah satu babnya diberi judul al-îmân wa al-sa’âdah (iman dan bahagia). Buku ini merupakan ikhtisar dari kumpulan ceramah Gusti Abdul Muis yang disampaikannya pada kuliah subuh tiap hari Ahad di Mesjid Ar-Rahman di awal tahun 1975. Buku ini diterbitkan pertama kali pada tahun 1979 M (1399 H) oleh CV Rapi Banjarmasin dengan ketebalan halaman sebanyak 82 halaman. Bahasa yang digunakan adalah bahasa Indonesia sedang hurufnya adalah huruf latin.

Secara garis besar buku ini memuat delapan bahasan utama yaitu (1) iman melahirkan bahagia, (2) iman menimbulkan perasaan ridha, (3) iman melahirkan rasa aman dan terhindar dari rasa takut dan cemas, (4) Iman membuahkan sikap optimisme dan cita-cita yang kuat, (5) Iman menumbuhkan rasa cinta: cinta pada Allah, cinta pada alam, cinta hidup dan cinta pada sesama manusia, (6) Iman dapat melahirkan “mukjizat”, kekuatan ajaib yang mampu mengubah kepribadian manusia, (7) Iman mendorong orang untuk beramal dan berkarya (bekerja).

2) Akidah dan Perkembangan Ilmu Kalam

Judul buku ini adalah Akidah dan Perkembangan Ilmu Kalam diterbitkan oleh penerbit Lambung Mangkurat Press pada tahun 1988. Jumlah halaman buku ini adalah 38 halaman.

Buku ini secara spesifik menyoroti sejarah perkembangan akidah dan ilmu Kalam berikut dengan tokoh dan aliran yang berperan di dalamnya serta penjelasan sejumlah istilah dan dasar-dasar ilmu tauhid. Aspek akidah dan Kalam yang dibahas dalam buku ini adalah: (1) makna akidah, (2) kemunculan akidah Islam, (3) pergeseran akidah dari konsepnya yang murni, (4) faktor internal penyebab pergeseran konsep akidah, (5) faktor eksternal penyebab pergeseran konsep akidah, (6) sejarah lahirnya Mu’tazilah, (7) dampak penggunaan filsafat dalam merumuskan ajaran akidah, (8) sejarah lahirnya Asy’ariyyah, (9) perkembangan akidah pasca Imam Asy’ari, (10) tokoh-tokoh Ahlussunnah wal-Jama’ah, (11) Aliran Maturidiyah: persamaan dan perbedaannya dengan Asy’ariyyah, (12) Akidah bercorak Sanusiyyah, (13) Sembilan dasar yang harus diketahui dalam mempelajari ilmu tauhid, (14) hukum mempelajari ilmu tauhid, (15) Makna dan paham salaf dan khalaf, dan (16) dua jalan ma’rifah: ma’rifah lewat penggunaan akal dan ma’rifah dengan mengenal asma dan sifat Allah

Penutup

1. Kesimpulan

Ulama Banjar yang memiliki karya di bidang tauhid pada penelitian dilihat dari masa hidupnya adalah para ulama yang hidup mulai dari awal abad ke-19 sampai akhir abad ke-20. Rata-rata mereka adalah alumni pesantren dan orang yang aktif belajar di berbagai pengajian. Di antaranya ada yang berasal dari zuriat ulama seperti Muhammad Thayyib bin Mas’ud al-Banjari, Abdurrahman Shiddiq al-Banjari, dan Abdurrahman bin Muhammad Ali dan adapula yang berasal dari kalangan biasa seperti Abdul Qadir Noor bin Buwasin. Selain berperan sebagai ulama, mereka ada yang bekerja sebagai pedagang atau menjalankan usaha tertentu seperti Asy’ari Sulaiman, Muhammad Kasyful Anwar dan Abdurrahman bin Muhammad Ali. Rata-rata mereka pernah memimpin atau paling tidak menduduki posisi tertentu dalam sebuah lembaga pendidikan seperti Muhammad Kasyful Anwar, Gusti Abdul Muis, Abdul Qadir Noor bin Buwasin dan Abdul Muthalib Muhyiddin. Sebagian mereka juga aktif berorganisasi bahkan ikut dalam partai politik seperti Asy’ari Sulaiman, Abdul Qadir Noor bin Buwasin, dan Gusti Abdul Muis. Di antara mereka adapula yang terlibat dalam dunia akademis atau paling tidak pernah menjadi dosen seperti seperti Gusti Abdul Muis dan Abdul Muthalib Muhyiddin serta Asy’ari Sulaiman.

Kitab tauhid yang ditulis oleh ulama Banjar rata-rata membahas seputar sifat dua puluh dan sifat wajib rasul dan kandungan kalimat syahadatain sebagai bahasan utama. Kitab tauhid dengan format Arab-Melayu semuanya tanpa kecuali masuk dalam kategori ini. Sementara karya tauhid yang bahasannya tidak membicarakan sifat dua puluh secara global dan detil adalah karya tauhid yang bercorak akademis seperti yang ditulis oleh Gusti Abdul Muis (Iman dan Bahagia dan Akidah dan Perkembangan Ilmu Kalam) dan salah satu dari karya Abdul Muthalib Muhyiddin yaitu Risalah Ushuluddin. Buku Akidah dan Perkembangan Ilmu Kalam karya Gusti Abdul Muis dan Risalah Ushuluddin bahasannya lebih bersifat historis yaitu membahas tentang perkembangan historis konsep dan pemikiran yang muncul tentang akidah dari awal sampai bentuknya yang paling akhir.

Beberapa kitab tauhid yang diteliti memberikan tambahan informasi yang tidak berkaitan dengan masalah tauhid. Umumnya tambahan itu terdapat pada bagian akhir kitab tauhid. Tambahan-tambahan itu seperti amalan, doa, dan shalawat seperti pada kitab Kifâyat al-Mubtadi`în, kumpulan hadis tentang belajar dan mengajarkan ilmu seperti pada kitab Ibtidâ` al-Tawhîd, pasal tentang kulliyat al-sitt dan faidah tentang rezeki seperti pada kitab Risâlat al-Tawhîd dan tentang ilmu mengajar seperti pada buku Sendi Iman dan sebagainya.

2. Rekomendasi

Masih banyak kitab tauhid karya ulama Banjar yang belum masuk dalam penelitian ini seperti Risâlat Khulâshah (Haji Sabran), Risalah Pelajaran Ilmu Tauhid (Haji Jafri bin Utuh), Durr al-Farîd fî Syarh Jawharat al-Tawhîd (Muhammad Kasyful Anwar), dan Sirâj al-Mu`minîn (Haji Maseran Fadhli). Karena itu, perlu penelitian lanjutan untuk mengkaji kitab-kitab tauhid lainnya yang belum diteliti sama sekali untuk mengungkap khazanah intelektual yang berkembang pada masyarakat Banjar.

Selain itu, penelitian ini bersifat deskriptif. Karena itu, perlu telaah yang lebih tajam dan mendalam terhadap kitab-kitab tauhid karya ulama Banjar dengan menggunakan pisau analisis yang lebih ketat dan kritis. Para peneliti selanjutnya yang ingin meneliti biografi ulama Banjar dan karya tauhidnya dapat melanjutkan penelitian ini dengan menggunakan kajian yang lebih analitis dan kritis atau komparatif.

Daftar Pustaka

Abdul Muthalib Muhyiddin, Sendi Iman, al-Ichsan, Surabaya, 1963.

--------, Risalah Ushuluddin, Amuntai, Warga Rakha Amuntai, 1968.

--------, Ilmu Tauhid, Amuntai, Senat Fakultas Ushuluddin IAIN Jami’ah Antasari, 1971.

--------, Pengetahuan Agama Islam Jilid 1 dan 2, Amuntai, Warga Rakha Amuntai, 1970.

Abdurrahman bin H. Muhammad Ali, Kifâyat al-Mubtadi`în, Banjarmasin, Toko Buku Murni, t.th.

Abdurrahman Shiddiq al-Banjari, ‘Aqâ`id al-Îmân, Ahmadiyah Singapora, t.th.

Abdul Qadir Noor bin Buwasin, Ibtidâ` al-Tawhîd fî ‘Aqâ`id Ahl al-Tawhîd, Banjarmasin, Toko Buku Murni, t.th.

Abu Daudi, Maulana Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari (Tuan Haji Besar), Martapura, Sekretariat Madrasah Sullamul Ulum Dalam Pagar, 1996.

Asy’ari bin Haji Sulaiman, Sirâj al-Mubtadi`în fî ‘Aqâ`id al-Mu`minîn, t.p., t.t.p., 1975.

Gusti Abdul Muis, Iman dan Bahagia, Banjarmasin, CV Rapi, 1979.

--------, Akidah dan Perkembangan Ilmu Kalam, Banjarmasin, Lambung Mangkurat University Press, 1988.

Jurkani Jahja, Unsur-unsur Filsafat dalam Kitab Siraj al-Mubtadiin Karya H. Asy’ari Sulaiman (Penelitian Individual), Banjarmasin, IAIN Antasari, 1995.

Muhammad Kasyful Anwar, Risâlat al-Tawhîd, Martapura, Percetakan Darussalam Tanjung Rema, t.th.

Muhammad Thayyib bin Mas’ud al-Banjari, Miftâh al-Jannah Melayu, Surabaya, Bungkul Indah, t.th.

Munawwar bin Ahmad Ghazali, Nûr al-Abshâr fî Dzikr Nubdzat min Manâqib al-Syaykh Muhammad Kasyful Anwar, Martapura, Majelis Taklim Mushalla Raudhtul Anwar, t.th.

Normawati AS., Kitab Ibtidaut Tauhid Fi ‘Aqaidi Ahlit Tauhid: Studi tentang Isi Kitab Tauhid dan Kedudukannya dalam Masyarakat Islam Kabupaten Hulu Sungai Selatan (Skripsi), Banjarmasin, Fakultas Uhusluddin IAIN Antasari, 1988.

Rabiatul Aslamiah, Pemikiran Tasawuf Haji Gusti Abdul Muis (Tesis), Banjarmasin, Program Pascasarjana IAIN Antasari, 2003.

Syahriansyah, Corak Pemikiran Tauhid K.H. Gusti Abdul Muis (Laporan Penelitian), Banjarmasin, Pusat Penelitian IAIN Antasari, 2000.

Wan Mohd Shaghir Abdullah, Ulama Nusantara: Muhammad Thaiyib Penerus Tradisi Ulama Banjar”, www.ulama-nusantara-baru.blogspot.com.

Kamis, 15 Januari 2009

Tak apa-apa

Tak mengapa
Bukan apa
Bukan siapa
Tak punya harta untuk kaya
tak ada jabatan untuk berbangga
tak punya nama untuk jadi idola
Tak banyak ilmu untuk sok sarjana
Yang ada hanyalah kerja dan doa
serta hidup apa adanya

Selasa, 13 Januari 2009

Tradisi orientalisme

OBJEKTIVITAS DAN VALIDITAS PENELITIAN

DALAM TRADISI ORIENTALIS

Oleh Rahmadi

A. Pendahuluan

Objektivitas merupakan bagian penting dari tradisi akademik dan kesarjanaan. Ini didasari bahwa objektivitas tidak saja merupakan salah satu kriteria ilmiah atau tidaknya sebuah penelitian tetapi juga merupakan salah satu etika keilmuan. Hal ini terkait dengan sikap ilmiah seorang peneliti dalam menggali dan menyajikan data atau informasi ilmiah secara valid dari objek yang menjadi sasaran penelitiannya. Orang-orang yang melakukan kajian ilmiah dituntut untuk merepresentasikan informasi ilmiahnya dengan jujur, bebas dari prasangka, tidak memiliki tendensi atau kepentingan tertentu, tanpa rekayasa dan manipulasi data. Penyajian fakta harus secara jelas dapat dibedakan dengan opini. Ketidakjelasan penyajian fakta dan opini dianggap memutarbalikkan fakta yang menimbulkan pemahaman yang salah dan tidak bertanggung jawab. Dalam hal ini objektivitas turut menentukan dan memiliki keterkaitan erat dengan validitas penelitian.

Sebagai bagian dari nilai-nilai ilmiah, objektivitas mutlak harus menjadi bagian dari moral seorang peneliti atau akademisi. Bila tidak, ini akan menimbulkan berbagai persoalan. Hasil kajian yang mengabaikan objektivitas akan memicu reaksi dan gugatan dari publik ilmiah dan berakibat munculnya ketidakpercayaan terhadap validitas hasil penelitian dan kredibilitas ilmiah penelitinya.

Kalau persoalan objektivitas dan validitas dikaitkan dengan hasil penelitian orientalis maka keadaannya menjadi problematis dan kontroversial. Sebab, gugatan terhadap objektivitas dan validitas hasil penelitian sangat kentara bila dikaitkan dengan tradisi orientalisme baik gugatan itu datang dari kalangan orientalis sendiri maupun dari orang-orang yang terkait dengan objek penelitiannya. Ini terlihat jelas pada kajian orientalisme atas Islam, dimana orientalisme dianggap bertanggung jawab terhadap pencitraan dan penyajian informasi negatif terhadap Islam dan pemeluknya kepada publik Barat dan dunia. Padahal orientalisme mengklaim bahwa penelitian mereka dilakukan secara objektif, menggunakan metodologi ilmiah, dan atas nama otonomi ilmu. Namun, baik kalangan Islam maupun kalangan Barat melihat adanya faktor-faktor eksternal dan motif-motif tertentu yang sangat kuat mempengaruhi tradisi orientalisme. Hal inilah yang membuat objektivitas dan validitas orientalisme mendapat kritik yang terus menerus terutama dari kalangan Islam.

B. Objektivitas dan Validitas Penelitian Orientalisme

Kajian orientalisme[1] atas Islam memiliki akar tradisi yang cukup panjang di dunia akademik Barat. Orientalisme berkembang seiring dengan berbagai kepentingan yang mengitarinya dari masa klasiknya sampai dengan bentuk kontemporernya. Sebagai disiplin keilmuan orientalisme sulit membebaskan diri dari unsur-unsur kepentingan di luar kepentingan ilmiah dalam melihat Islam. Hal ini menimbulkan stigma di kalangan umat Islam bahwa apapun hasil kajian Barat tentang Islam akan selalu dicurigai objektivitas dan validitasnya.

Orientalisme[2] dipahami sebagai kajian Islam menurut versi Barat dengan berbagai stereotip dan etnosentrisnya. Dalam pandangan orientalis, Islam adalah makhluk oriental yang eksotis, mistis dan filosofis bahkan “musuh”, karenanya Islam harus dikaji dan ditelaah, yang tentu saja dalam frame kacamata Barat. Pada sisi lain, Barat yang memandang dirinya sebagai “self” dan Timur Islam sebagai “others” secara historis memiliki rivalitas ideologis Barat (Kristen )-Islam yang dipicu oleh perang salib (crusade) pada abad pertengahan. Pada abad inilah, kata Karel A. Steenbrink, merupakan periode dimana gambaran yang salah, palsu, penuh prasangka, dan fitnah mengenai Islam dalam versi Barat mendapatkan bentuk yang hampir definitif.[3] Persepsi keliru ini terus bertahan dan bahkan sengaja diwariskan dengan segala cara dari waktu ke waktu selama berabad-abad hingga menjadi bagian batiniyah orang Barat. Persepsi polemis ini seringkali mempengaruhi dan menghinggapi benak orientalis ketika berhadapan dengan kajian materi-materi keislaman. Kondisi ini tentu saja sangat rentan memunculkan hasil kajian yang penuh dengan unsur-unsur subjektivitas, pejoratif dan distorsif yang mengabaikan objektivitas. Ini kemudian terbukti dengan banyaknya hasil kajian orientalis yang bertendensi kearah itu.

Sikap “ilmiah” orientalisme ini mengundang reaksi dan kritik dari umat Islam. Daud Rasyid, misalnya, menegaskan bahwa sikap objektif dan netral (tidak memihak) yang merupakan karakterisitik ilmiah, sulit sekali ditemukan dalam tradisi orientalisme. Mereka hanya mampu bebas (tidak memihak) waktu berhadapan dengan dengan materi yang tidak ada hubungannya dengan kajian keislaman. Sedang terhadap kajian-kajian Islam, peneliti Barat tak mampu melepaskan subjektivitasnya sebagai non-muslim.[4] Penilaian ini diperkuat oleh Ahmad Syafii Maarif, menurutnya, kajian orientalis akan berlangsung secara fair saja ketika mereka berhadapan dengan Budhisme dan Hinduisme. Sebab kedua warisan spiritual ini tidak pernah menggugat ego supremasi Barat. Islam bukan saja pernah menggugat, tapi juga memberi alternatif peradaban yang lebih ramah dan manusiawi.[5]

Gugatan terhadap klaim objektivitas dan validitas penelitian orientalisme sebenarnya sudah lama muncul jauh sebelum Edward W. Said meruntuhkan klaim objektivitas dan validitas kajian orientalisme lewat karya besarnya Orientalism. Namun lewat Said dan Oreintalism-nyalah fondasi orientalisme betul-betul terguncang dan menempatkan orientalis pada posisi yang sulit.

Said melihat ketidakmungkinan pendekatan objektivitas dalam kajian orientalisme. Sebab, menurutnya, klaim objektivitas dan ilmiah hanyalah kedok semata. Orientalisme seringkali difasilitasi dan didorong oleh kekuatan-kekuatan tertentu yang mengarahkannya. Ini terlihat ketika dalam memilih data, pendekatan, teori, metodologi sampai pada cara merepresentasikannya, orientalis tidak dimulai dari nol, tetapi sudah terlebih dahulu dibebani oleh situasi sejarah dan pilihan nilai. Sengaja atau tidak, orientalis telah berada dalam satu wacana yang mengarahkan tindakannya terhadap objek yang dikajinya. Objek tidak lagi terwakili secara keseluruhan tetapi telah dipilih dan diseleksi sisi-sisinya sesuai dengan asumsi yang dipegang orientalis. Ini kemudian diperparah, ketika orientalis tidak bisa melepaskan diri dari pembaca yang menjadi sasaran tulisannya. Apa yang dikatakan sebagai objek sudah mengalami berbagai perubahan sebelum dan sesudah sampai kepada publik pembacanya.[6] Said juga melihat bahwa pendekatan yang digunakan orientalis tidak bisa dilepaskan begitu saja dari faktor-faktor eksternal. Motivasi dan intensi yang termuat dalam kajian keilmuan dengan sendirinya memicu ketidaknetralan seseorang dalam memandang sesuatu. Atas dasar itu, Said menolak klaim orientalis bahwa kajian mereka berdasarkan ilmu yang bersifat objektif dan netral. Karena itu pula ia menggugat otonomi ilmu para orientalis. Sebab, otonomi ilmu tidak terkait dengan kepentingan eksternal yang bersifat subjektif, primordial maupun temporer sedang kajian orientalis tidak akan muncul jika tidak ada kepentingan Barat terhadap Timur baik kultural, ekonomi maupun politik.[7]

Said juga menggugat istilah “Timur” dalam konsep orientalisme. Menurutnya, apa yang dikatakan “timur” bukanlah suatu yang alami atau ada dengan sendirinya. Istilah Timur sebenarnya hanyalah geografi imajinatif yang diciptakan secara sepihak oleh Barat. Kriteria Timur dan batasan-batasan antara Timur dan Barat sendiri tidak pernah jelas dan tidak bisa dipegang secara kuat. Perbedaan Timur dan Barat tidak lebih hanyalah konstruksi sepihak masyarakat Barat. Menurut Said istilah yang paling tepat untuk orang Timur adalah the silent others, orang lain (Timur) yang bisu. Istilah ini didasari oleh kenyataan bahwa representasi orang Timur sepenuhnya direkayasa sesuai dengan imajinasi Barat melalui karya orientalis. Orang Timur sendiri tidak hadir dan tidak mendapat cukup ruang untuk menyatakan eksistensinya. Suara dan gambaran tentang Timur sepenuhnya dimonopoli dan dipenuhi imajinasi Barat sehingga lebih tepat disebut monolog yang berisi suara tunggal Barat.[8]

Said juga menggugat persoalan bahasa atau lebih tepatnya kesulitan analogi para orientalis dalam merepresentasikan objek penelitiannya. Kesulitan bahasa atau analogi ini sangat rentan menimbulkan mispersepsi. Kesulitan analogi itu terkait dengan kesulitan perbendaharaan bahasa dan perbandingan ketika melakukan domestikasi unsur-unsur luar khususnya Islam agar dapat dipahami oleh publik Barat yang Kristen. Said mencontohkan, Kristus adalah basis bagi agama Kristen, kemudian secara salah dianalogikan bahwa Muhammad bagi Islam sama dengan Kristus bagi Kristen (yang berarti Muhammad adalah Tuhan umat Islam sekaligus pendiri agama Islam). Kemudian diberilah nama “Mohammedanisme” kepada Islam dengan disertai gelar otomatis kepada Muhammad sebagai “pemalsu” atau “penyeleweng” agama Kristen.[9] Contoh lain adalah persoalan analogi atau perbandingan tentang wahyu dan kitab suci. Dalam Kristen kitab suci dianggap wahyu walaupun sekaligus suatu karya yang disusun oleh Paulus, pengarang Injil atau orang lain. Ide ini kemudian dianalogikan dengan kitab suci Alquran, yakni Alquran adalah wahyu sekaligus karangan Nabi Muhammad sendiri.[10] Tentu saja analogi ini tidak valid dan jauh sekali dari konsep Islam tentang wahyu.

Berbeda dengan Said, klaim objektivitas dan validitas kajian orientalis dikritik oleh Mahmoud Sakhr berdasarkan pada posisi orientalis sebagai outsider (orang luar). Sakhr dalam hal ini menggunakan perspektif nativisme.[11] Ia membedakan antara metodologi dan pre-metodologi. Pre-metodologi muncul dalam bentuk bahasa dan budaya orang yang dilahirkan. Konsekuensinya, untuk memahami Islam, seseorang harus menjadi muslim terlebih dahulu. Karena Islam sebagai agama juga terekspresi dalam bentuk budaya dan bahasa. Baginya, orientalis yang berlatar belakang budaya Barat dan beragama non-islam tidak mungkin dapat mengerti tentang Islam. Kalaupun mereka belajar bahasa Arab dan Islam, pengetahuan mereka tidak mungkin dapat merepresentasikan Islam dengan tepat. Jarak bahasa dan budaya antara orientalisme dan Islam menutup kemungkinan kemungkinan pemahaman yang benar. Kalau ini yang dijadikan dasar, maka seluruh karya orientalisme tidak mempunyai makna apapun karena orientalis tidak memiliki prasyarat keterlibatan objektif dalam menggapai makna Islam. Kalaupun terjadi kesamaan pemahaman itu hanya dianggap sebagai kebetulan saja.[12] Perspektif Sakhr ini secara tegas menegasikan adanya validitas pemahaman orientalis atas Islam.

Maryam Jamilah setelah membongkar kajian orientalis sangat skeptis tentang adanya objektivitas dan validitas kajian dalam tradisi orientalisme bahkan justru ia melihat adanya motif tertentu dibaliknya. Baginya, orientalisme memang bukan kajian objektif dan bukan pula kajian yang memihak Islam maupun kebudayaannya. Upaya mendalam orientalis, menurutnya, bukanlah untuk mendapatkan hasil penelitian yang valid dan orisinal melainkan hanyalah sebuah rencana jahat yang terorganisir untuk merusak pemuda Islam yang belum matang dengan cara menciptakan interpretasi yang salah dan menumbuhkan sinisme dan skeptisisme terhadap Islam.[13] Selain itu, dalam epilog bukunya Islam and Orientalism, Maryam menilai bahwa klaim objektivitas dan validitas kajian orientalisme sulit mendapat justifikasi. Ini didasarkan pada argumentasi bahwa setiap masyarakat memiliki filsafat dan nilainya sendiri. Setiap penganut agama atau ideologi tertentu akan memberikan penilaian berdasarkan nilainya sendiri. Jika terjadi kontak dengan masyarakat yang sama sekali berbeda, maka ia akan menilainya berdasarkan nilai yang dianutnya bukan nilai masyarakat lain. Disinilah, menurut Maryam, letak ketidakbenaran objektivitas dan validitas itu. Dalam agama dan filsafat hal itu tidak mungkin terjadi.[14]

Abdul Rauf tidak kalah “kerasnya” dari Maryam Jamilah dalam menyikapi orientalisme. Dalam perspektif Rauf, orientalis sebenarnya bukan mempelajari Islam tetapi memang memiliki motif menyerang Islam dan menghancurkan tradisi Islam. Menurutnya, penelitian orientalis atas Islam lebih bersifat historis dan rekaan. Metode-metode yang digunakanpun jauh dari bidang yang dapat menjelaskan Islam dimana kehidupan Nabi, sunnahnya, dan teks Alquran ditundukkan kepada analitis kritis yang salah arah, menyesatkan dan kurang sensitif. Situasi ini dipersulit oleh warisan trauma politik masa lalu dan prasangka kultural yang terus hidup. Di sisi lain, upaya tendensius terus dilakukan untuk membuktikan tuduhan yang didasarkan pada asumsi yang salah bahwa sebagian teks Alquran telah ditambah dan diubah akibat dari proses suntingan. Program penelitian semacam ini tidak hanya melukai hati nurani jutaan muslim, tetapi juga menyesatkan dan tidak pantas dipandang sebagai ilmu,[15]

Kritik Fazlur Rahman, Assaf Husein dan Muhsin Mahdi atas objektivitas dan validitas kajian orientalisme diarahkan pada motif tertentu dibalik metodologi yang digunakan para orientalis. Motif inilah yang mengarahkan bagaimana seharusnya sebuah metodologi beroperasi. Atas dasar itu Rahman mengajukan keberatannya terhadap adanya beberapa orientalis yang mempunyai motif tertentu dengan mengatasnamakan metodologi keilmuan. Sedikit lebih keras dari Rahman, Assaf Hussein menegaskan bahwa dibalik metodologi yang digunakan orientalis ada motif untuk mendiskreditkan Islam bahkan menghancurkan Islam. Motif ini, menurutnya, telah membuat orientalis sudah keluar dari etika akademik [16] Sedang Muhsin Mahdi menegaskan bahwa kajian orientalisme adalah kajian politis dan irasional karena dibaliknya tersimpan motif dan kepentingan agama, budaya, ideologi, etnik (bahkan rasis) yang bercampur dengan motif ilmiah.[17]

Klaim di atas diperkuat oleh Maxim Rodinson. Melalui eksplorasinya terhadap tradisi orientalisme sepanjang sejarahnya ia mendeteksi adanya motif terselubung dan faktor eksternal dibalik metodologi baik pada orientalisme klasik maupun orientalisme modern. Menurut Rodinson, pemilihan pendekatan, metode, kesimpulan dan pembentukan persepsi dalam kajian orientalisme tidak dilandasi oleh motif rasional dan emosi yang murni, tetapi sangat dipengaruhi oleh “dunia mereka”. Dunia mereka ini mempengaruhi orientalis dari segala segi. Ini dikritik oleh Rodinson, seharusnya, walaupun sulit para sarjana sepenuhnya netral, bukan berarti harus menghindar dari segala upaya untuk mencapai objektivitas.[18]

Rodinson melalui kajiannya terhadap perkembangan orientalisme dari abad pertengahan sampai periode kontemporer mendeteksi adanya kaitan erat tendensi-tendensi orientalis dalam pencitraan Islam dengan kondisi eksternal dan motif-motif tertentu terutama kaitannya dengan kondisi psikologis Barat yang sangat rentan ketika berhadapan dengan Islam. Kondisi eksternal ini sangat mempengaruhi objektivitas dan validitas penelitian orientalis dalam mengkaji Islam. Namun, ia mendeteksi pula bahwa usaha untuk bersikap objektif dalam mengkaji Islam sebenarnya telah dilakukan oleh sejumlah orientalis baik pada abad pertengahan, masa renaissans dan pencerahan, masa imperialisme Barat atas Islam dan sampai pada masa kontemporer. Namun kalangan ini seringkali termarginalkan dan kemudian suara mereka mati dilibas oleh rivalitas Islam-Barat, persepsi abad pertengahan, citra nebatif Islam dan mitos Islam adalah “ancaman” yang selalu terwariskan dari masa ke masa pada masyarakat Barat.[19]

Karel A. Steenbrink mengakui bahwa kajian orientalisme sulit untuk mencapai objektivitas seperti yang diharapkan oleh kalangan Islam. Ia menyatakan :

Penelitian yang betul-betul “objektif” atas suatu gejala keagamaan sukar bisa diwujudkan. Dan khususnya terhadap fenomena keagamaan, penelitian “objektif” sama sekali tidak bisa diadakan. Emosi dan keyakinan peneliti memang selalu ikut memainkan peranan dalam penelitian itu. Andaikata seorang yang berdiri “di luar” agama (atau orang yang “ateis”) meneliti agama, maka tentu gambaran yang diberikannya akan berbeda dengan gambaran yang diberikan oleh “orang dalam”.[20]

Dalam kasus penelitian orientalisme, menurut Steenbrink, letidakmampuan bersikap objektif semakin diperparah oleh adanya prasangka Kristen, historisme, superioritas ras (eourosentrisme) dan kolonialisme.[21]Ini tentu saja berimbas pada validitas penelitian orientalis yang posisinya berada “diluar” objek kajiannya.

Sebagaimana Steenbrink, posisi orientalis sebagai “orang luar” membuat Amin Rais menegasikan adanya validitas pemahaman dan interpretasi orientalis terhadap Islam walaupun mereka berusaha bersikap objektif. Menurut Amin bagaimanapun kerasnya upaya orientalis untuk bersikap objektif dalam memahami Islam mereka tidak akan sampai pada pemahaman seperti apa yang dipahami seorang muslim. Seorang orientalis memahami Islam hanya dengan indra dan pikirannya, sedangkan seorang muslim menangkap makna Islam menggunakan segenap pikiran, perasaan dan hatinya. Mengutip pernyataan Hamid Alghar, Amin menulis bahwa masalah utama yang harus disadari dalam studi-studi orientalis mengenai Islam adalah bahwa seluruh klaim mereka atas objektivitas, metode akademis, sikap tidak berat sebelah dan sebagainya pada dasarnya adalah palsu.[22] Ketidakmungkinan objektivitas dan validitas pemahaman orientalis dalam pandangan Amin juga didasari oleh adanya beberapa dogma yang dipegang teguh dan mempengaruhi perspektif orientalis dalam memandang Islam. Inilah yang akhirnya menimbulkan ketidakjujuran dan skandal intelektual di kalangan orientalis.[23]

Lantas apakah semua orientalis itu tidak ada yang objektif atau paling tidak berusaha untuk mencapai objektivitas? Adakah kemungkinan bahwa orientalis sebagai outsider dapat memberikan pemahaman yang valid seperti apa yang dipahami oleh insider (muslim)? Atau apakah orientalis harus melakukan konversi menjadi muslim agar mereka dapat memberikan kajian yang objektif dan valid terhadap Islam?

Keinginan dari sejumlah orientalis untuk berusaha bersikap objektif sebenarnya ada dan cukup kuat. Misalnya, Norman Daniel menyatakan, “barangkali kami tidak dapat objektif, tapi kami memperoleh sesuatu. Tidak mungkin seseorang mengukur objektivitasnya sendiri, tetapi kita menggapai tingkat objektivitas sebagaimana yang kita upayakan” .[24] Demikian juga Jacques Waardenburg menyatakan, “sebagai pengkaji data-data agama seharusnya kita berusaha keras secara netral ilmiah dan bahkan objektif yakni mencoba mengetahui, menerangkan dan memahami data-data—fakta-fakta dan makna-makna—sebagaimana mestinya”.[25] Barangkali, karena posisi mereka sebagai outsiderlah yang membuat pemahaman mereka atas Islam menjadi terbatas.

Hanya saja mengharuskan orientalis melakukan konversi ke Islam dalam rangka menjadi insider untuk mencapai objektivitas dan validitas pemahaman adalah permintaan yang berlebihan. Tentu saja permintaan semacam ini menimbulkan keberatan khususnya dari kalangan orientalis sendiri. Frederick M. Denny mengajukan pertanyaan keberatan : Apakah ini berimplikasi bahwa orang luar yang mengkaji Islam harus tunduk pada wahyu karena alasan metodologis? Dapatkah kita sebagai sarjana mengklaim objektivitas dan penelitian bebas, sementara pada saat yang sama mempertahankan keyakinan dan partisipasi dalam objek keagamaan yang kita teliti? Apakah kita harus menjadi muslim dalam rangka menangkap esensi ritual Islam?[26] Persoalan di atas memang terkait dengan kritik Sakhr dengan perspektif Nativismenya dan banyaknya kritik terhadap kelemahan orientalis yang hanya mampu meneliti aspek eksternal dari agama dan tidak dapat memasuki wilayah internal agama yang ditelitinya.[27]

Frederic M. Denny menolak keharusan konversi untuk mencapai objektivitas dan validitas dalam memasuki wilayah internal dan esensi sebuah agama yang diteliti. Menurut perspektifnya, menangkap esensi tidak berarti drastis menghendaki konversi. Tetapi untuk mencapai hal itu adalah dengan melakukan penelitian atas dasar simpati dan respek sekaligus keterbukaan pada sumber-sumber, manusia dan teks yang bermakna bagi penganutnya. Menurutnya, untuk mengejar otentitas ilmiah tidak perlu harus melakukan konversi ke Islam. Peneliti muslimpun kalau dihadapkan pada persoalan seperti itu akan menghadapi problem yang sama (dan menolak melakukan konversi) bila meneliti agama lain.[28] Mengutip Fazlur Rahman, Frederick menambahkan bahwa dengan menjadi muslim tidak dengan sendirinya menjamin eplikasi dan interpretasi seseorang tentang Islam akan menjadi jelas dan seimbang. Melihat diri sendiri, tradisi sendiri dari dalam setidaknya sama sulitnya dengan memahaminya dari luar.[29]

Perspektif di atas diperkuat oleh Richard C. Martin bahwa menjadi muslim atau berempati kepada Islam bukan jaminan bahwa interpretasi tentang Islam dapat mengklaim validitas dalam ilmu-ilmu kemanusiaan. Namun ia mengakui bahwa hanya muslimlah yang dapat melakukan interpretasi terhadap Islam dengan lebih memadai sedang bagi non-muslim prasyarat terjadinya pemahaman yang objektif dan valid adalah melakukan penelitian dengan sikap keterbukaan, empati dan bersimpati dengan keimanan orang lain.[30]

Fazlur Rahman sebagaimana dua perspektif di atas memperkuat kemungkinan adanya pemahaman yang lebih objektif dan akurat dari outsider bila memenuhi beberapa prasyarat. Menurutnya, jika ada ketulusan, kejujuran dan keterbukaan pada ousider (orientalis) perbedaan antara outsider (non-muslim) dan insider (muslim) dapat diabaikan. Muslim dan non-muslim, menurut Rahman, secara pasti dapat bekerja sama pada tingkat pemahaman dan apresiasi intelektual yang memungkinkan muslim dan nonmuslim bersepakat untuk saling belajar satu sama lain.[31] Syaratnya, menurut Rahman, subjek yang meneliti Islam tidak memiliki sikap permusuhan atau prasangka terhadap Islam sebagai objek kajiannya, tetapi harus bersikap terbuka dan jika mungkin simpati. Prasangka itu sendiri, menurut Rahman, tidak terbatas pada kondisi keagamaan dan emosi orang lain tetapi prasangka intelektual bisa datang dalam bentuk paham-paham dan kategori-kategori prakonsepsi. Prasangka intelektual semacam ini harus diobati dengan kejujuran.[32]

Walaupun begitu kejujuran, keterbukaan dan empati bukan jaminan bahwa serang outsider bisa terhindar dari pemahaman dan interpretasi yang salah. Namun, ini, dalam pandangan Rahman, adalah biasa dalam pengalaman manusia. Dalam ilmu-alam seorang ilmuwanpun bisa salah dalam menginterpretasikan hasil eksperimennya. Menurutnya, untuk membuktikan hasil-hasil penelitian yang salah relatif mudah karena hal itu dapat diverifikasi.[33] Dalam studi Islam, keabsahan dan validitas penelitian seorang outsider dapat dinilai berdasarkan prinsip yang dikemukakan oleh W.C. Smith yang juga dikutip oleh Rahman yaitu : Validitas kajian suatu agama hanya bisa diterima keabsahannya apabila kajian itu diterima dan diakui oleh pemeluk agama tersebut (muslim).[34] Kesimpulannya, Rahman menegaskan bahwa seorang orientalis (outsider) dapat memahami Islam dengan lebih baik sebagaimana muslim (insider) memahaminya dengan syarat harus ada pemahaman intelektual dan apresiasi terhadap Islam dari seorang peneliti (outsider) yang sensitif, berpengetahuan banyak dan tidak berprasangka.[35]

Namun, apakah dengan sikap keterbukaan dan kejujuran serta simpati seperti yang dikemukakan Rahman lantas menghilangkan semua kecurigaan umat Islam terhadap tradisi orientalisme? Ternyata tidak. Abdur Rauf masih “mencurigai” orientalis seperti ini. Menurutnya, para orientalis yang jujur dan terbuka memang dapat menjadi instrumen dalam menjelaskan beberapa hasil peradaban Islam kepada masyarakat Barat, tetapi mereka juga tetap berbahaya ketika atas nama ilmu asal-usul Islam dijelaskan sebagai muncul dari fenomena ekonomi atau budaya lain[36] Amin Rais memperingatkan agar berhati-hati dalam menghadapi orientalisme. Mereka yang paling simpatikpun masih menyelipkan pendapat yang menyesatkan. Apalagi bagi orang-orang yang kurang paham tentang Islam, orientalis bisa menimbulkan skeptisisme.[37]

Bagi kalangan muslim yang sangat anti dengan orientalisme sikap simpatik berupa pujian dan sanjungan terhadap Islam tidak lebih dari sebuah trik dan tipu daya untuk mengelabui umat Islam. Hal ini tercermin dari pernyataan Daud Rasyid bahwa pujian dan sanjungan orientalis terhadap Islam dipermulaan bertujuan untuk menggiring pembaca untuk membenarkan seluruh isi buku orientalis dan tidak merasa kan hal-hal yang ganjil, sehingga berkesimpulan bahwa orientalis tersebut jujur dan objektif. Ini menurut Daud Rasyid merupakan trik yang halus, orientalis sengaja menyajikan Islam secara benar dan kejayaannya di masa silam. Tetapi ada satu atau dua poin konsep yang sangat membahayakan mereka selipkan dalam tulisan itu.[38]

Persoalan validitas pemahaman yang terkait dengan kesalahan perspektif dan kesalahan interpretasi pada orientalis yang tidak memiliki prasangka (jujur) seperti yang dicurigai tokoh Islam di atas nampaknya memperoleh pembenaran dari Karel A. Steenbrink. Ia mengakui bahwa di kalangan non-muslim banyak sekali prasangka anti Islam yang terdapat dalam tulisan Barat mengenai Islam. Bahkan para sarjana yang berusaha bebas dari prasangka semacam itu—yang sebenarnya dengan cara mereka sendiri mencintai kebudayaan dan pemikiran Islam— masih menulis tentang Islam dengan perspektif yang berbeda dengan perspektif muslim.[39]

Dalam pengamatannya ketika berada di “sarang” orientalisme, Haidar Bagir melihat indikasi bahwa upaya objektvitas studi Barat sepertinya tidak pernah tercapai walaupun mereka sudah berusaha bersikap empati. Empati, menurut Bagir, yang diusahakan oleh orientalis justru secara sengaja diciptakan menurut watak objek penelitiannya. Namun kenyataannya jauh dari empati , para peneliti malah seringali terperangkap dengan bias-bias asing yang bertentangan dengan objeknya. Pemahaman tentang Islam tidak jarang dipengaruhi oleh atmosfir budaya dan peradaban Barat. Baik peneliti Barat maupun peneliti muslim yang terbaratkan memiliki pemahaman dan penafsiran bersifat Barat.[40]

Untuk menghindari penafsiran semacam itu, para peneliti yang sadar berusaha menggunakan pendekatan fenomenologi agama dalam penelitiannya. Pendekatan ini pada umumnya menuntut penyisihan sikap menilai (judgement) oleh peneliti terhadap objek penelitiannya. Pendekatan ini juga menuntut partisipasi—empati bahkan simpati—sang peneliti terhadap objek penelitiannya.[41] Namun validitas pendekatan ini bukannya tanpa masalah. Pertama, fenomenologi agama hampir selalu diidentikkan dengan pengalaman keagamaan mayoritas penganutnya, yakni dengan manifestasi populernya dimana isu-isu standarnya adalah mitos-mitos dan simbolisme-simbolisme sakral. Pendekatan ini, menurut Bagir, amat diragukan validitasnya bagi pemahaman Islam yang dipahami sebagai agama intelektual. Kedua, fenomena agama dibatasi pada apa yang sepenuhnya bersifat individual dan personal yang dipahami sebagai apa yang menampakkan diri dalam jiwa orang-orang beriman. Ini mengakibatkan agama (Islam) cenderung direduksi dan diidentikkan dengan mistisisme.[42]

Menurut Bagir, seharusnya yang perlu disadari peneliti Islam Barat yang menggunakan penndekatan ini adalah bahwa esensi keislaman harus dicari dalam sumber-sumber nilai utamanya, Alquran dan hadis dan manifestasi keberagamaan kaum muslim selalu bisa dicari akarnya dalam kedua sumber nilai itu.[43] Karena itu, Fazlur Rahman mensyaratkan kepada pengguna pendekatan fenomenologi agar mengakui Alquran hadis sebagai kriteria rujukan normatif bagi semua ekspresi dan pemahaman Islam.[44] Namun, problem berikutnya adalah, jarang sekali bisa ditemukan di kalangan peneliti Islam profesional di Barat yang memiliki keakraban dengan kandungan Alquran dan hadis. Karena bagi mereka manifestasi keberagamaan kaum muslim selalu bisa direduksi kedalam pengaruh-pengaruh temporal kekuatan sosial-budaya atau kesejarahan.[45]

Kondisi ini memberikan justifikasi atas kecurigaan kalangan Islam bahwa masih ada persoalan validitas hasil penelitian orientalis walaupun mereka sudah berusaha untuk objektif, terbuka, jujur, empati dan simpati. Namun orientalis seperti ini jauh lebih baik ketimbang orientalis yang nyata-nyata tidak simpatik dan memusuhi Islam dimana karya-karyanya banyak berisi fantasi liar yang dibungkus dengan data-data “pilihan” dan dikemas dengan bahasa ilmiah dengan motif mendiskreditkan Islam. Sayangnya, justru orientalis seperti ini yang banyak di Barat sehingga imej dan citra populer Islam di kalangan publik Barat masih identik dengan label-label yang “menyeramkan”. Kalangan orientalis yang berusaha objektif dan jujur bahkan simpati dalam menyajikan Islam termarginalkan dalam publik Barat dan terbatas hanya pada kalangan akademisi independen, mereka ini belum bisa merubah imej dan citra negatif Islam yang populer di tengah masyarakat Barat.

Terlepas dari semua itu, sebenarnya kondisi kajian Islam Kontemporer di dunia akademik Barat sekarang ini cenderung menampilkan sikap simpatik dan positif dalam menyajikan Islam, sikap polemis abad pertengahan dan pandangan orientalistik-kolonialistik telah ditinggalkan oleh sebagian peneliti Islam Barat yang independen. Inilah mainstream kajian Islam di Barat sekarang walaupun kajian-kajian yang menyimpang dari mainstream itu tetap ada, tapi itu hanyalah noktah ditengah arus besar studi Islam. Tanpaknya, seperti yang dikatakan oleh Wahyuddin Darmalaksana, sikap objektivitas mulai semakin transparan dalam studi Islam dam ketimuran di Barat diakibatkan oleh lengkapnya informasi yang tersedia dan semakin kuatnya kepercayaan dunia Timur dalam menilai dirinya sendiri, kondisi ini menyebabkan kehati-hatian Barat dalam melakukan kajian dan studi ketimuran.[46] Selain itu maraknya kritik kepada para sarjana yang tidak objektif dan tidak simpatik baik dari kalangan Islam maupun kalangan akademisi Barat membuat kajian yang memiliki motif tidak ilmiah tidak mendapat ruang yang bebas dari kritik. Faktor lain yang juga mendukung adalah mulai banyaknya para sarjana Islam yang ikut terlibat dalam kajian Islam di Barat keterlibatan mereka dapat memberikan informasi ilmiah yang lebih akurat tentang Islam. Faktor pendukung lainnya adalah mengendurnya sikap eksklusivitas Kristen di kalangan Gereja terhadap adanya “keselamatan” dalam agama lain dan tawaran dialogi khususnya dari kalangan konvergensi agama membuka ruang untuk saling memahami dan saling belajar antara outsider dan insider dalam kajian Islam.

Hanya saja situasi akademik seperti itu, masih sangat rentan dan dibayangi oleh kondisi hubungan antara Barat dan Islam. Sebab sikap Barat selama ini sangat tergantung sejauhmana Barat merasa dominan atau merasa terancam oleh Islam. Bila dominasi Islam dan Ancaman Islam begitu nyata dalam pandangan Barat, maka kajian-kajian objektif terhadap Islam yang sekarang menjadi mainstream di Barat ada kemungkinan akan kembali termarginalkan atau kembali mati dilibas oleh rivalitas Islam-Barat. Akumulasi peristiwa tentang isu kebangkitan Islam, konflik Arab-Israel, embargo Minyak oleh AOPEC, Revolusi Iran, peristiwa Salman Rushdie dengan Satanic Versesnya, Runtuhnya komunis yang menyisakan Islam sebagai rival Barat yang memicu isu benturan peradaban, Islamophobia yang hampir menyebar rata di Barat, isu HAM dan demokrasi di dunia Islam, kepentingan hegemoni Barat atas dunia Islam, terorisme dan Peristiwa 11 September 2001 yang mewarnai hubungan Islam-Barat bisa mengakibatkan benih-benih simpati dalam kajian Islam akan mengendur dan kajian tidak objektif dan tidak valid atas Islam kembali marak.[47] Ini diperparah dengan landasan persepsi Barat yang amat rapuh terhadap citra Islam. Bukti ini dapat dilihat pada pada hasil survei buku-buku ajar di sekolah-sekolah menengah di Amerika Serikat, Kanada, Jerman dan Inggris serta media massa yang menampilkan Islam yang dengan keliru, bias, distorsif dan berisi informasi menyesatkan.[48]

Pandangan dan sikap umat Islam sendiri terhadap orientalis tidak tunggal dan cenderumg ambivalen. Pada satu sisi kalangan intelektual muslim sangat kritis terhadap tradisi dan karya orientalisme tetapi pada sisi lain, umumnya kalangan intelektual muslim mengakui bahwa tidak semua tradisi orientalisme itu buruk dan negatif bagi Islam; tidak semua orientalis itu tidak berusaha untuk objektif; dan tidak berarti bahwa karya-karya mereka harus diabaikan begitu saja. Bagi sejumlah kalangan, tradisi dan karya orientalis memiliki signifikansi dan hikmah tersendiri bagi keilmuan Islam. Di tangan orientalis banyak manuskrif langka dan kitab klasik yang terselamatkan; banyak informasi yang detil, luas dan berharga diperoleh dari tulisan mereka; ketekunan mereka dalam melakukan penelitian dan menghasilkan karya besar patut ditiru. Misalnya, ada orientalis yang menghabiskan umurnya selama 40 tahun untuk menyusun Mu’jam al-Lughat al-‘Arabiyat al-Qadimah dan ada pula yang menghabiskan waktunya selama 27 tahun untuk menyusun al-Mu’jam al-Mufahras li Alfazh al-Hadits al-Syarif yang terdiri dari tujuh jilid besar dimana isinya memuat Kutub al-Sittah, Musnad al-Darimi, al-Muwaththa’, dan Musnad Ahmad.

C. Penutup

Kritik atas tradisi orientalisme yang terkait dengan objektivitas dan validitas penelitian berhubungan erat dengan adanya faktor non-ilmiah yang menyertai dan menjadi bagian dari penelitian mereka. Faktor-faktor eksternal dan berbagai motif terselubung yang menggerakkan orientalis telah menggugurkan klaim objektivitas penelitian mereka dan membuat mereka dianggap telah keluar dari etika akademik dan keilmuan yang berimbas pada hasil penelitian mereka karena dianggap tidak ilmiah.

Posisi orientalis sebagai outsider juga mendapat sorotan. Posisi ini membuat validitas pemahaman dan interpretasi mereka atas Islam diragukan bahkan dinafikan. Sebagai outsider, orientalis sebenarnya dapat memahami Islam secara lebih akurat dan objektif apabila mereka memenuhi beberapa prasyarat. Yakni tidak memiliki sikap permusuhan dan prasngka terhadap Islam, jujur, terbuka, sensitif, empati dan simpati serta mau menerima verifikasi dari kalangan Islam. Validitas penelitiannya akan dianggap absah bila mendapat pengakuan dari kalangan Islam.

Walaupun pada satu sisi tradisi orientalisme memiliki signifikansi bagi perkembangan kajian keislaman dan khazanah kepustakaan Islam, namun pada sisi yang lain diperlukan sikap ekstra kritis dan selektif ketika berhadapan dengan karya orientalisme. Sebab, bagaimanapun usaha mereka untuk objektif dan menjaga validitas penelitiannya, posisi mereka sebagai outsider membuat pemahaman mereka menjadi terbatas. Hanya saja, sikap curiga tidak seharusnya selalu menjadi sikap muslim ketika menyikapi tradisi orientalisme, tetapi yang harus diusahakan adalah bangaimana membangun tradisi akademik dan penelitian yang mampu mengimbangi orientalisme baik dalam ketekunan, kemampuan metodologi, maupun dalam menghasilkan karya-karya besar. Sikap yang hanya mencurigai, kata Ahmad Syafii Maarif, adalah bentuk lain dari ketidakberdayaan intelektual.[49]

Daftar Pustaka

Abdullah, M. Amin, “Kita juga Memerlukan Oksidentalisme”, dalam Jurnal Ulumul Qur’an, Vol. III, No. 3, 1992

Abdullah, Taufik (ed), Ensiklopedia Tematis Dunia Islam Jilid 6 : Dinamika Islam Masa Kini, Jakarta : PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 2002.

Bagir, Haidar, “Belajari Islam di Sarang Orientalisme”, dalam Jurnal Ulumul Qur’an, Vol. III No. 2, 1992.

Darmalaksana, Wahyudin, Hadis di Mata orientalis : Telaah atas Pandangan Ignaz Goldziher dan Joseph Schact, Bandung : Benang Merah, 2004

Fauzi, Ihsan Ali, “Orientalisme di Mata Orientalis (Maxim Rodinson tentang Citra dan Studi Barat atas Islam”, dalam Jurnal Ulumul Quran, Vol. III, No. 2, 1992.

Jamilah, Maryam, Islam and Orientalism diterjemahkan oleh dengan judul Islam dan Orientalisme : Sebuah Kajian Analitik, Jakarta : PT Raja Grapindo persada, 1997.

Hisyam, Abduh, “Islam dan Dialog Kemanusiaan (Menyimak Studi Agama Wilfred Cantwell Smith”, dalam Jurnal Ulumul Qur’an Vol. III No. 2, Tahun 1992

Maarif, Ahmad Syafii, “Orientalisme Mengapa Dicurigai”, dalam Jurnal Ulumul Qur’an, Vol. III, No. 2, 1992

Martin, Richard C. (ed), Pendekatan kajian Islam dalam Studi Agama, diterjemahkan oleh Zakiyuddin Baidhawy dari Approaches to Islam in Religious Studies, Surakarta : Muhammadiyah Press, 2001.

Muslih, Mohammad, Religious Studies Problem Hubungan Islam dan Barat (Kajian Atas Pemikiran Karel A. Steenbrink),(Yogyakarta : Belukar Budaya, 2003

Nanji, Azim (ed), Peta Studi Islam : Orientalisme dan Arah Baru Kajian Islam di Barat , diterjemahkan oleh Muamirotun dari Mapping Islamic Studies: Geneology, Contnuity and Change, Yogyakarta : Fajar Pustaka Baru, 2003.

Prasetyo Hendro, Pembenaran Orientalisme : Kemungkinan dan Batas-batasnya”, dalam JurnaI Islamika No. 3 Januari – Maret 2004.

Rasyid, Daud, Pembaruan Islam dan Orientalisme dalam Sorotan, Jakarta : Akbar Media Sarana, 2002.

Said, Edward W., Orientalism, diterjemahkan oleh Asep Hikmat dengan judul Orientalisme, Bandung : Pustaka Salman, 1984.

Steenbrink, Karel A., “Berdialog dengan Karya-karya Kaum Orientalis”, dalam Jurnal Ulumul Qur’an, Vol. III, No, 2, 1992.

Zuhdi DH, Ahmad., Pandangan Orientalisme Barat tentang Islam, (Surabaya : Karya Pembina Swajaya, 2004), h. 38-45.

Rais, Amin, Cakrawala Islam antara Cita dan Fakta, (Bandung: Mizan, 1994.

Spencer, Robert , Islam Unveiled, diterjemahkan oleh Mun’im A. Sirry dengan judul: Islam Ditelanjangi, (Jakarta : Paramadina, 2003.



[1] Menurut Mohammad Muslih bentuk Islamic Studies yang berkembang di Barat sekarang sebenarnya adalah kelanjutan dari kajian orientalisme. Sebab, secara historis antara Islamic Studies dengan keilmuan orientalisme memiliki keterkaitan. Termasuk juga dengan masuknya Islamic Studies dalam wilayah Religious Studies juga tidak luput dari anggapan bahwa Islamic Studies sebagai kepanjangan tangan dari tradisi keilmuan Barat dan terlibat dalam misi dan muatan tertentu untuk menyudutkan Islam. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa Islamic Studies adalah orientalisme in the new fashion. Atau sebaliknya, orientalisme adalah Islamic Studies in the old fashion. Mohammad Muslih, Religious Studies Problem Hubungan Islam dan Barat (Kajian Atas Pemikiran Karel A. Steenbrink), (Yogyakarta : Belukar Budaya, 2003), h. 74-75.

[2] Orientalisme berasal dari dua kata, orient dan isme. Orient berarti direction of rising sun (arah terbitnya matahari dari belahan bumi bagian timur). Secara geografis orient berarti bumi bagian timur dan secara etnologis berarti bangsa-bangsa Timur. Lawan kata dari orient adalah occident yang berarti direction of setting sun (arah tenggelamnya matahari atau bumi bagian barat. Sedangkan istilah isme atau ism dalam bahasa Inggris berarti a doctrine, theory of system (pendirian, paham, keyakinan dan sistem). Jadi menurut bahasa orientalisme dapat diartikan sebagai ilmu tentang ketimuran atau studi tentang dunia Timur. Secara terminologis, istilah orientalisme mengandung banyak pengertian. Bila direduksi secara analitik pengertian orientalisme dapat dibagi menjadi tiga bagian : (1) Keahlian mengenai wilayah Timur; (2) metodologi dalam mempelajari masalah ketimuran; (3) sikap ideologis terhadap masalah ketimuran khususnya terhadap dunia Islam. Sedangkan istilah orientalis menurut Hanafi berarti segolongan sarjana-sarjana Barat yang mendalami bahasa-bahasa dunia Timur, kesusasteraannya, dan mereka menaruh perhatian besar terhadap agama-agama dunia Timur; sejarahnya, adat istiadatnya dan ilmu-ilmunya. Wahyudin Darmalaksana, Hadis di Mata orientalis : Telaah atas Pandangan Ignaz Goldziher dan Joseph Schact, (Bandung : Benang Merah, 2004), h. 51-54.

[3] Dikutip dari Mohammad Muslih, op. cit., h. 68.

[4] Daud Rasyid, Pembaruan Islam dan Orientalisme dalam Sorotan, (Jakarta : Akbar Media Sarana, 2002), h. 120.

[5] Ahmad Syafii Maarif, “Orientalisme Mengapa Dicurigai”, dalam Jurnal Ulumul Qur’an, Vol. III, No. 2, 1992, h. 3.

[6] Dikutip dari ulasan Hendro Prastyo, Pembenaran Orientalisme : Kemungkinan dan Batas-batasnya”, dalam JurnaI Islamika No. 3 Januari – Maret 2004 , h. 103.

[7] Ibid., h. 100 -101.

[8] Ibid., h. 101. Timur yang dimaksud Said disini adalah Timur Islam.

[9] Edward W. Said, Orientalism, diterjemahkan oleh Asep Hikmat dengan judul Orientalisme, (Bandung : Pustaka Salman, 1984), h. 78. Gerakan-gerakan yang ada dalam sejarah umat manusia, baik itu teologi, sekte, aliran maupun agama kesemuanya mendapat nama justru dari orang-orang yang yang bukan dari anggota gerakan tersebut bahkan ada yang diberi nama dari penentangnya. Misalnya Shinto (mendapat nama dari Cina), Kristen (nama yang diberikan oleh kaisar romawi), Wahhabi, Muwahhidun dan Muktazilah adalah nama-nama yang diberikan lawannya. Berbeda dengan itu, nama “Islam” adalah nama yang unik, karena ia adalah nama yang diberikan oleh Alquran, nama itu tidak “ditemukan” oleh orang lain tetapi diperkenalkan kepada orang lain. Karena itu, kata W.C. Smith, wajar kalau umat Islam sangat gigih menolak istilah Mohammedanisme untuk menyebut agama mereka. Dikutip dari Abduh Hisyam, “Islam dan Dialog Kemanusiaan (Menyimak Studi Agama Wilfred Cantwell Smith”, dalam Jurnal Ulumul Qur’an Vol. III No. 2, Tahun 1992, h. 104.

[10] Lihat Karel A. Steenbrink, “Berdialog dengan Karya-karya Kaum Orientalis”, dalam Jurnal Ulumul Qur’an, Vol. III, No, 2, 1992, h. 29.

[11] Istilah Nativisme menunjukkan pada suatu pandangan yang mengatakan bahwa natives atau pelaku adalah satu-satunya yang mengetahui tentang dirinya. Hendro Prasetyo, op.cit., h. 101. lihat catatan kaki.

[12] Ibid., h. 102. Kata Sakhr, jika orientalis belajar selama 20 atau 30 tahun tentang Arab dan Islam, pengetahuan mereka hanya menyamai anak Arab yang berumur 14 tahun.

[13] Maryam Jamilah, Islam and Orientalism diterjemahkan oleh dengan judul Islam dan Orientalisme : Sebuah Kajian Analitik, (Jakarta : PT Raja Grapindo persada, 1997), h. 173-174.

[14] Ibid., h. 194-195.

[15] Muhammad Abdul-Rauf, “ Interpretasi Orang Luar tentang Islam : Sudut pandang Muslim”, dalam Richard C. Martin (ed), Pendekatan kajian Islam dalam Studi Agama, diterjemahkan oleh Zakiyuddin Baidhawy dari Approaches to Islam in Religious Studies, (Surakarta : Muhammadiyah Press, 2001), h. 244 – 247.

[16] Lihat Hendro Prasetyo, op. cit., h. 105. Assaf Husein mencontohkan orientalis dengan motif seperti itu adalah Duncan MacDonald yang menawarkan cara menghancurkan Islam. Menurut orientalis ini cara terbaik menghancurkan Islam bukanlah dengan menyerang Muhammad tetapi dengan membiarkan ide-ide baru menelan fondasi Islam. Orientalis lainnya adalah Guilbert de Nogent, Orientalis ini secara terang-terangan merasa tidak perlu menggunakan data untuk berbicara tentang Islam Baginya, berbicara apapun tentang Islam tetap sah adanya, sebab, siapapun bebas berbicara tentang keburukan seseorang yang kejahatannya sudah melampaui apapun di dunia.

[17] Muhsin Mahdi, “Studi Islam, Orientalish dan Amerika”, dalam Azim Nanji (ed), Peta Studi Islam : Orientalisme dan Arah Baru Kajian Islam di Barat , diterjemahkan oleh Muamirotun dari Mapping Islamic Studies: Geneology, Contnuity and Change, (Yogyakarta : Fajar Pustaka Baru, 2003), h. 254. Ahmad Zuhdi DH. membagi motif-motif orientalis dalam empat bagian, yaitu motif keagamaan (missionari), motif ekonomi, motif politik dan penjajahan (imperialisme dan kolonialisme), motif ilmiah dan kultural. Ahmad Zuhdi DH., Pandangan Orientalisme Barat tentang Islam, (Surabaya : Karya Pembina Swajaya, 2004), h. 38-45.

[18] Ihsan Ali Fauzi, “Orientalisme di Mata Orientalis (Maxim Rodinson tentang Citra dan Studi Barat atas Islam”, dalam Jurnal Ulumul Quran, Vol. III, No. 2, 1992, h. 5.

[19] Lihat uraian lengkap dan panjang Rodinson tentang hal di atas pada : Ibid, h. 04-22.

[20] Karel A. Steenbrink, op. cit, h. 31.

[21] Ibid.

[22] Amin Rais, Cakrawala Islam antara Cita dan Fakta, (Bandung: Mizan, 1994), h. 243-244.

[23] Dogma-dogma tersebut adalah, pertama, Barat adalah maju, rasional, manusiawi, dan superior sedang Timur itu sesat, irasional, terbelakang dan inferior; Eropa dan Amareka adalah human sedang Asia dan Afrika adalah subhuman (setengah manusia). Kedua, abstraksi dan teorisasi tentang Timur lebih banyak didasarkan kepada teks-teks klasik, dan lebih diutamakan daripada bukti-bukti nyata dari masyarakat Timur yang konkret dan riil. Ketiga, Timur dianggap begitu lestari (tidak berubah), seragam dan tidak sanggup mendefinisikan dirinya. Karena itu, menjadi tugas Barat untuk mendefiniskan apa sesungguhnya Timur itu dengan cara sangat digeneralisasi dan dianggap cukup “objektif”. Keempat, Timur adalah ancaman yang perlu ditakuti atau sesuatu yang perlu ditaklukkan dengan pasifikasi, riset, atau dijajah kalau memungkinkan. Kelima, Alquran bukan wahyu ilahi, melainkan hanya buku karangan Muhammad yang merupakan gabungan unsur tradisi agama Yahudi, Kristen dan tradisi Arab pra-Islam. Keenam, Kesahihan atau otentitas semua hadis harus diragukan dan syarat-syarat hadis sahih harus dikritik.Ibid., h. 238-239.

[24] Norman Daniel, “Imej Islam Abad Pertengahan dan Awal Periode Modern”, dalam Azim Nanji (ed), op. cit., h. 208.

[25] Jacques Waardenburg, “Studi Islam dan Sejarah Agama-agama : Sebuah Evaluasi”, dalam Azim Nanji (ed), Ibid., h. 260.

[26] Frederick M. Denny, “Ritual Islam : Perspektif dan Teori”, dalam Richar C. Martin (ed), op. cit., h. 88-89.

[27] M. Amin Abdullah, “Kita juga Memerlukan Oksidentalisme”, dalam Jurnal Ulumul Qur’an, Vol. III, No. 3, 1992, h. 30.

[28] Frederick M. Denny, dalam Richard C. Martin (ed), op.cit., h. 90.

[29] Ibid.

[30] Richard C. Martin, Ibid., h. 05 dan 19.

[31] Fazlur Rahman, “Pendekatan terhadap Islam dalam Studi Agama” dalam Richard C. Martin, Ibid., h. 253-257.

[32] Ibid. h. 253. Rahman dalam hal ini mencontohkan ketidakjujuran John Wansbrough dalam penelitian Alquran dengan menggunakan metode kritik sastra yang menurutnya tidak fair karena bertujuan untuk membuktikan asumsi bahwa Alquran bersumber dari doktrin Yahudi dan menganggap Alquran sebagai kitab ahistoris dan membuat sendiri beberapa fondasi ajaran Islam yang terdapat dalam Alquran untuk membuktikan prasangkanya itu. Padahal fondasi ajaran yang dikemukakannya itu sangat asing dan tidak mungkin diakui oleh mulim manapun.

[33] Ibid. h. 250.

[34] Abduh Hisyam., op. cit., h. 103 dan Rahman, op. cit., h 251.

[35] Fazlur Rahman, op.cit. h. 259-260.

[36] Muhammad Abdul-Rauf,op. cit., h, 245.

[37] Amin Rais, op.cit., h. 242.

[38] Daud. Rasyid, op. cit., h. 122-123.

[39] Karel A. Steenbrink, op. cit. h. 32.

[40] Haidar Bagir, “Belajari Islam di Sarang Orientalisme”, dalam Jurnal Ulumul Qur’an, Vol. III No. 2, 1992, h. 114.

[41] Ibid. Fenomenologi agama disebut sebagai jalan tengah antara teologi (yang berangkat dari wahyu dan doktrin agama) dan antropologi (yang menjelaskan agama sebagai gejala sosial dan psikologis belaka). Karenanya, meski masih terdapat adanya sikap apologetik, namun bisa diterima oleh ilmuwan maupun kaum agama sendiri. Mohammad Muslih, op. cit., h. 142. Lihat catatan kaki.

[42] Ibid. h. 115.

[43] Ibid. .

[44] Fazlur Rahman, op.cit., h. 260.

[45] Haidar Bagir, op.cit h. 115.

[46] Wahyuddin Darmalaksana, op. cit., h. 65-66.

[47] Ini terbutkti dengan beredarnya buku Islam Unveiled yang ditulis oleh Robert Spencer. Buku ini ditulis sebagai respon terhadap peristiwa 11 September 2001. Seluruh isi bukunya memuat kritik keras terhadap Islam dan umatnya dari berbagai segi. Namun bila ditelaah lebih jauh, buku itu sebenarnya berisi motif untuk merendahkan Islam untuk meninggikan Kristen dan juga menyiratkan kecemasan seorang Kristen atas Islam yang merupakan agama tercepat pertumbuhannya di dunia yang kemungkinan besar akan menyalip Kristen. Lihat Pengantar Redaksi dan “Setelah Islam Lama Tidak Dikritik” catatan penerjemah dalam Robert Spencer, Islam Unveiled, diterjemahkan oleh Mun’im A. Sirry dengan judul: Islam Ditelanjangi, (Jakarta : Paramadina, 2003), h. vii-xix.

[48] Lihat uraian lengkapnya pada Ihsan Ali-Fauzi,”Pandangan Barat” dalam Taufik Abdullah (ed) Ensiklopedia Tematis Dunia Islam Jilid 6 : Dinamika Islam Masa Kini, (Jakarta : PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 2002), h. 263-266.

[49] Ahmad Syafii Maarif, op.cit., h. 3.