Kamis, 15 Januari 2009

Tak apa-apa

Tak mengapa
Bukan apa
Bukan siapa
Tak punya harta untuk kaya
tak ada jabatan untuk berbangga
tak punya nama untuk jadi idola
Tak banyak ilmu untuk sok sarjana
Yang ada hanyalah kerja dan doa
serta hidup apa adanya

Selasa, 13 Januari 2009

Tradisi orientalisme

OBJEKTIVITAS DAN VALIDITAS PENELITIAN

DALAM TRADISI ORIENTALIS

Oleh Rahmadi

A. Pendahuluan

Objektivitas merupakan bagian penting dari tradisi akademik dan kesarjanaan. Ini didasari bahwa objektivitas tidak saja merupakan salah satu kriteria ilmiah atau tidaknya sebuah penelitian tetapi juga merupakan salah satu etika keilmuan. Hal ini terkait dengan sikap ilmiah seorang peneliti dalam menggali dan menyajikan data atau informasi ilmiah secara valid dari objek yang menjadi sasaran penelitiannya. Orang-orang yang melakukan kajian ilmiah dituntut untuk merepresentasikan informasi ilmiahnya dengan jujur, bebas dari prasangka, tidak memiliki tendensi atau kepentingan tertentu, tanpa rekayasa dan manipulasi data. Penyajian fakta harus secara jelas dapat dibedakan dengan opini. Ketidakjelasan penyajian fakta dan opini dianggap memutarbalikkan fakta yang menimbulkan pemahaman yang salah dan tidak bertanggung jawab. Dalam hal ini objektivitas turut menentukan dan memiliki keterkaitan erat dengan validitas penelitian.

Sebagai bagian dari nilai-nilai ilmiah, objektivitas mutlak harus menjadi bagian dari moral seorang peneliti atau akademisi. Bila tidak, ini akan menimbulkan berbagai persoalan. Hasil kajian yang mengabaikan objektivitas akan memicu reaksi dan gugatan dari publik ilmiah dan berakibat munculnya ketidakpercayaan terhadap validitas hasil penelitian dan kredibilitas ilmiah penelitinya.

Kalau persoalan objektivitas dan validitas dikaitkan dengan hasil penelitian orientalis maka keadaannya menjadi problematis dan kontroversial. Sebab, gugatan terhadap objektivitas dan validitas hasil penelitian sangat kentara bila dikaitkan dengan tradisi orientalisme baik gugatan itu datang dari kalangan orientalis sendiri maupun dari orang-orang yang terkait dengan objek penelitiannya. Ini terlihat jelas pada kajian orientalisme atas Islam, dimana orientalisme dianggap bertanggung jawab terhadap pencitraan dan penyajian informasi negatif terhadap Islam dan pemeluknya kepada publik Barat dan dunia. Padahal orientalisme mengklaim bahwa penelitian mereka dilakukan secara objektif, menggunakan metodologi ilmiah, dan atas nama otonomi ilmu. Namun, baik kalangan Islam maupun kalangan Barat melihat adanya faktor-faktor eksternal dan motif-motif tertentu yang sangat kuat mempengaruhi tradisi orientalisme. Hal inilah yang membuat objektivitas dan validitas orientalisme mendapat kritik yang terus menerus terutama dari kalangan Islam.

B. Objektivitas dan Validitas Penelitian Orientalisme

Kajian orientalisme[1] atas Islam memiliki akar tradisi yang cukup panjang di dunia akademik Barat. Orientalisme berkembang seiring dengan berbagai kepentingan yang mengitarinya dari masa klasiknya sampai dengan bentuk kontemporernya. Sebagai disiplin keilmuan orientalisme sulit membebaskan diri dari unsur-unsur kepentingan di luar kepentingan ilmiah dalam melihat Islam. Hal ini menimbulkan stigma di kalangan umat Islam bahwa apapun hasil kajian Barat tentang Islam akan selalu dicurigai objektivitas dan validitasnya.

Orientalisme[2] dipahami sebagai kajian Islam menurut versi Barat dengan berbagai stereotip dan etnosentrisnya. Dalam pandangan orientalis, Islam adalah makhluk oriental yang eksotis, mistis dan filosofis bahkan “musuh”, karenanya Islam harus dikaji dan ditelaah, yang tentu saja dalam frame kacamata Barat. Pada sisi lain, Barat yang memandang dirinya sebagai “self” dan Timur Islam sebagai “others” secara historis memiliki rivalitas ideologis Barat (Kristen )-Islam yang dipicu oleh perang salib (crusade) pada abad pertengahan. Pada abad inilah, kata Karel A. Steenbrink, merupakan periode dimana gambaran yang salah, palsu, penuh prasangka, dan fitnah mengenai Islam dalam versi Barat mendapatkan bentuk yang hampir definitif.[3] Persepsi keliru ini terus bertahan dan bahkan sengaja diwariskan dengan segala cara dari waktu ke waktu selama berabad-abad hingga menjadi bagian batiniyah orang Barat. Persepsi polemis ini seringkali mempengaruhi dan menghinggapi benak orientalis ketika berhadapan dengan kajian materi-materi keislaman. Kondisi ini tentu saja sangat rentan memunculkan hasil kajian yang penuh dengan unsur-unsur subjektivitas, pejoratif dan distorsif yang mengabaikan objektivitas. Ini kemudian terbukti dengan banyaknya hasil kajian orientalis yang bertendensi kearah itu.

Sikap “ilmiah” orientalisme ini mengundang reaksi dan kritik dari umat Islam. Daud Rasyid, misalnya, menegaskan bahwa sikap objektif dan netral (tidak memihak) yang merupakan karakterisitik ilmiah, sulit sekali ditemukan dalam tradisi orientalisme. Mereka hanya mampu bebas (tidak memihak) waktu berhadapan dengan dengan materi yang tidak ada hubungannya dengan kajian keislaman. Sedang terhadap kajian-kajian Islam, peneliti Barat tak mampu melepaskan subjektivitasnya sebagai non-muslim.[4] Penilaian ini diperkuat oleh Ahmad Syafii Maarif, menurutnya, kajian orientalis akan berlangsung secara fair saja ketika mereka berhadapan dengan Budhisme dan Hinduisme. Sebab kedua warisan spiritual ini tidak pernah menggugat ego supremasi Barat. Islam bukan saja pernah menggugat, tapi juga memberi alternatif peradaban yang lebih ramah dan manusiawi.[5]

Gugatan terhadap klaim objektivitas dan validitas penelitian orientalisme sebenarnya sudah lama muncul jauh sebelum Edward W. Said meruntuhkan klaim objektivitas dan validitas kajian orientalisme lewat karya besarnya Orientalism. Namun lewat Said dan Oreintalism-nyalah fondasi orientalisme betul-betul terguncang dan menempatkan orientalis pada posisi yang sulit.

Said melihat ketidakmungkinan pendekatan objektivitas dalam kajian orientalisme. Sebab, menurutnya, klaim objektivitas dan ilmiah hanyalah kedok semata. Orientalisme seringkali difasilitasi dan didorong oleh kekuatan-kekuatan tertentu yang mengarahkannya. Ini terlihat ketika dalam memilih data, pendekatan, teori, metodologi sampai pada cara merepresentasikannya, orientalis tidak dimulai dari nol, tetapi sudah terlebih dahulu dibebani oleh situasi sejarah dan pilihan nilai. Sengaja atau tidak, orientalis telah berada dalam satu wacana yang mengarahkan tindakannya terhadap objek yang dikajinya. Objek tidak lagi terwakili secara keseluruhan tetapi telah dipilih dan diseleksi sisi-sisinya sesuai dengan asumsi yang dipegang orientalis. Ini kemudian diperparah, ketika orientalis tidak bisa melepaskan diri dari pembaca yang menjadi sasaran tulisannya. Apa yang dikatakan sebagai objek sudah mengalami berbagai perubahan sebelum dan sesudah sampai kepada publik pembacanya.[6] Said juga melihat bahwa pendekatan yang digunakan orientalis tidak bisa dilepaskan begitu saja dari faktor-faktor eksternal. Motivasi dan intensi yang termuat dalam kajian keilmuan dengan sendirinya memicu ketidaknetralan seseorang dalam memandang sesuatu. Atas dasar itu, Said menolak klaim orientalis bahwa kajian mereka berdasarkan ilmu yang bersifat objektif dan netral. Karena itu pula ia menggugat otonomi ilmu para orientalis. Sebab, otonomi ilmu tidak terkait dengan kepentingan eksternal yang bersifat subjektif, primordial maupun temporer sedang kajian orientalis tidak akan muncul jika tidak ada kepentingan Barat terhadap Timur baik kultural, ekonomi maupun politik.[7]

Said juga menggugat istilah “Timur” dalam konsep orientalisme. Menurutnya, apa yang dikatakan “timur” bukanlah suatu yang alami atau ada dengan sendirinya. Istilah Timur sebenarnya hanyalah geografi imajinatif yang diciptakan secara sepihak oleh Barat. Kriteria Timur dan batasan-batasan antara Timur dan Barat sendiri tidak pernah jelas dan tidak bisa dipegang secara kuat. Perbedaan Timur dan Barat tidak lebih hanyalah konstruksi sepihak masyarakat Barat. Menurut Said istilah yang paling tepat untuk orang Timur adalah the silent others, orang lain (Timur) yang bisu. Istilah ini didasari oleh kenyataan bahwa representasi orang Timur sepenuhnya direkayasa sesuai dengan imajinasi Barat melalui karya orientalis. Orang Timur sendiri tidak hadir dan tidak mendapat cukup ruang untuk menyatakan eksistensinya. Suara dan gambaran tentang Timur sepenuhnya dimonopoli dan dipenuhi imajinasi Barat sehingga lebih tepat disebut monolog yang berisi suara tunggal Barat.[8]

Said juga menggugat persoalan bahasa atau lebih tepatnya kesulitan analogi para orientalis dalam merepresentasikan objek penelitiannya. Kesulitan bahasa atau analogi ini sangat rentan menimbulkan mispersepsi. Kesulitan analogi itu terkait dengan kesulitan perbendaharaan bahasa dan perbandingan ketika melakukan domestikasi unsur-unsur luar khususnya Islam agar dapat dipahami oleh publik Barat yang Kristen. Said mencontohkan, Kristus adalah basis bagi agama Kristen, kemudian secara salah dianalogikan bahwa Muhammad bagi Islam sama dengan Kristus bagi Kristen (yang berarti Muhammad adalah Tuhan umat Islam sekaligus pendiri agama Islam). Kemudian diberilah nama “Mohammedanisme” kepada Islam dengan disertai gelar otomatis kepada Muhammad sebagai “pemalsu” atau “penyeleweng” agama Kristen.[9] Contoh lain adalah persoalan analogi atau perbandingan tentang wahyu dan kitab suci. Dalam Kristen kitab suci dianggap wahyu walaupun sekaligus suatu karya yang disusun oleh Paulus, pengarang Injil atau orang lain. Ide ini kemudian dianalogikan dengan kitab suci Alquran, yakni Alquran adalah wahyu sekaligus karangan Nabi Muhammad sendiri.[10] Tentu saja analogi ini tidak valid dan jauh sekali dari konsep Islam tentang wahyu.

Berbeda dengan Said, klaim objektivitas dan validitas kajian orientalis dikritik oleh Mahmoud Sakhr berdasarkan pada posisi orientalis sebagai outsider (orang luar). Sakhr dalam hal ini menggunakan perspektif nativisme.[11] Ia membedakan antara metodologi dan pre-metodologi. Pre-metodologi muncul dalam bentuk bahasa dan budaya orang yang dilahirkan. Konsekuensinya, untuk memahami Islam, seseorang harus menjadi muslim terlebih dahulu. Karena Islam sebagai agama juga terekspresi dalam bentuk budaya dan bahasa. Baginya, orientalis yang berlatar belakang budaya Barat dan beragama non-islam tidak mungkin dapat mengerti tentang Islam. Kalaupun mereka belajar bahasa Arab dan Islam, pengetahuan mereka tidak mungkin dapat merepresentasikan Islam dengan tepat. Jarak bahasa dan budaya antara orientalisme dan Islam menutup kemungkinan kemungkinan pemahaman yang benar. Kalau ini yang dijadikan dasar, maka seluruh karya orientalisme tidak mempunyai makna apapun karena orientalis tidak memiliki prasyarat keterlibatan objektif dalam menggapai makna Islam. Kalaupun terjadi kesamaan pemahaman itu hanya dianggap sebagai kebetulan saja.[12] Perspektif Sakhr ini secara tegas menegasikan adanya validitas pemahaman orientalis atas Islam.

Maryam Jamilah setelah membongkar kajian orientalis sangat skeptis tentang adanya objektivitas dan validitas kajian dalam tradisi orientalisme bahkan justru ia melihat adanya motif tertentu dibaliknya. Baginya, orientalisme memang bukan kajian objektif dan bukan pula kajian yang memihak Islam maupun kebudayaannya. Upaya mendalam orientalis, menurutnya, bukanlah untuk mendapatkan hasil penelitian yang valid dan orisinal melainkan hanyalah sebuah rencana jahat yang terorganisir untuk merusak pemuda Islam yang belum matang dengan cara menciptakan interpretasi yang salah dan menumbuhkan sinisme dan skeptisisme terhadap Islam.[13] Selain itu, dalam epilog bukunya Islam and Orientalism, Maryam menilai bahwa klaim objektivitas dan validitas kajian orientalisme sulit mendapat justifikasi. Ini didasarkan pada argumentasi bahwa setiap masyarakat memiliki filsafat dan nilainya sendiri. Setiap penganut agama atau ideologi tertentu akan memberikan penilaian berdasarkan nilainya sendiri. Jika terjadi kontak dengan masyarakat yang sama sekali berbeda, maka ia akan menilainya berdasarkan nilai yang dianutnya bukan nilai masyarakat lain. Disinilah, menurut Maryam, letak ketidakbenaran objektivitas dan validitas itu. Dalam agama dan filsafat hal itu tidak mungkin terjadi.[14]

Abdul Rauf tidak kalah “kerasnya” dari Maryam Jamilah dalam menyikapi orientalisme. Dalam perspektif Rauf, orientalis sebenarnya bukan mempelajari Islam tetapi memang memiliki motif menyerang Islam dan menghancurkan tradisi Islam. Menurutnya, penelitian orientalis atas Islam lebih bersifat historis dan rekaan. Metode-metode yang digunakanpun jauh dari bidang yang dapat menjelaskan Islam dimana kehidupan Nabi, sunnahnya, dan teks Alquran ditundukkan kepada analitis kritis yang salah arah, menyesatkan dan kurang sensitif. Situasi ini dipersulit oleh warisan trauma politik masa lalu dan prasangka kultural yang terus hidup. Di sisi lain, upaya tendensius terus dilakukan untuk membuktikan tuduhan yang didasarkan pada asumsi yang salah bahwa sebagian teks Alquran telah ditambah dan diubah akibat dari proses suntingan. Program penelitian semacam ini tidak hanya melukai hati nurani jutaan muslim, tetapi juga menyesatkan dan tidak pantas dipandang sebagai ilmu,[15]

Kritik Fazlur Rahman, Assaf Husein dan Muhsin Mahdi atas objektivitas dan validitas kajian orientalisme diarahkan pada motif tertentu dibalik metodologi yang digunakan para orientalis. Motif inilah yang mengarahkan bagaimana seharusnya sebuah metodologi beroperasi. Atas dasar itu Rahman mengajukan keberatannya terhadap adanya beberapa orientalis yang mempunyai motif tertentu dengan mengatasnamakan metodologi keilmuan. Sedikit lebih keras dari Rahman, Assaf Hussein menegaskan bahwa dibalik metodologi yang digunakan orientalis ada motif untuk mendiskreditkan Islam bahkan menghancurkan Islam. Motif ini, menurutnya, telah membuat orientalis sudah keluar dari etika akademik [16] Sedang Muhsin Mahdi menegaskan bahwa kajian orientalisme adalah kajian politis dan irasional karena dibaliknya tersimpan motif dan kepentingan agama, budaya, ideologi, etnik (bahkan rasis) yang bercampur dengan motif ilmiah.[17]

Klaim di atas diperkuat oleh Maxim Rodinson. Melalui eksplorasinya terhadap tradisi orientalisme sepanjang sejarahnya ia mendeteksi adanya motif terselubung dan faktor eksternal dibalik metodologi baik pada orientalisme klasik maupun orientalisme modern. Menurut Rodinson, pemilihan pendekatan, metode, kesimpulan dan pembentukan persepsi dalam kajian orientalisme tidak dilandasi oleh motif rasional dan emosi yang murni, tetapi sangat dipengaruhi oleh “dunia mereka”. Dunia mereka ini mempengaruhi orientalis dari segala segi. Ini dikritik oleh Rodinson, seharusnya, walaupun sulit para sarjana sepenuhnya netral, bukan berarti harus menghindar dari segala upaya untuk mencapai objektivitas.[18]

Rodinson melalui kajiannya terhadap perkembangan orientalisme dari abad pertengahan sampai periode kontemporer mendeteksi adanya kaitan erat tendensi-tendensi orientalis dalam pencitraan Islam dengan kondisi eksternal dan motif-motif tertentu terutama kaitannya dengan kondisi psikologis Barat yang sangat rentan ketika berhadapan dengan Islam. Kondisi eksternal ini sangat mempengaruhi objektivitas dan validitas penelitian orientalis dalam mengkaji Islam. Namun, ia mendeteksi pula bahwa usaha untuk bersikap objektif dalam mengkaji Islam sebenarnya telah dilakukan oleh sejumlah orientalis baik pada abad pertengahan, masa renaissans dan pencerahan, masa imperialisme Barat atas Islam dan sampai pada masa kontemporer. Namun kalangan ini seringkali termarginalkan dan kemudian suara mereka mati dilibas oleh rivalitas Islam-Barat, persepsi abad pertengahan, citra nebatif Islam dan mitos Islam adalah “ancaman” yang selalu terwariskan dari masa ke masa pada masyarakat Barat.[19]

Karel A. Steenbrink mengakui bahwa kajian orientalisme sulit untuk mencapai objektivitas seperti yang diharapkan oleh kalangan Islam. Ia menyatakan :

Penelitian yang betul-betul “objektif” atas suatu gejala keagamaan sukar bisa diwujudkan. Dan khususnya terhadap fenomena keagamaan, penelitian “objektif” sama sekali tidak bisa diadakan. Emosi dan keyakinan peneliti memang selalu ikut memainkan peranan dalam penelitian itu. Andaikata seorang yang berdiri “di luar” agama (atau orang yang “ateis”) meneliti agama, maka tentu gambaran yang diberikannya akan berbeda dengan gambaran yang diberikan oleh “orang dalam”.[20]

Dalam kasus penelitian orientalisme, menurut Steenbrink, letidakmampuan bersikap objektif semakin diperparah oleh adanya prasangka Kristen, historisme, superioritas ras (eourosentrisme) dan kolonialisme.[21]Ini tentu saja berimbas pada validitas penelitian orientalis yang posisinya berada “diluar” objek kajiannya.

Sebagaimana Steenbrink, posisi orientalis sebagai “orang luar” membuat Amin Rais menegasikan adanya validitas pemahaman dan interpretasi orientalis terhadap Islam walaupun mereka berusaha bersikap objektif. Menurut Amin bagaimanapun kerasnya upaya orientalis untuk bersikap objektif dalam memahami Islam mereka tidak akan sampai pada pemahaman seperti apa yang dipahami seorang muslim. Seorang orientalis memahami Islam hanya dengan indra dan pikirannya, sedangkan seorang muslim menangkap makna Islam menggunakan segenap pikiran, perasaan dan hatinya. Mengutip pernyataan Hamid Alghar, Amin menulis bahwa masalah utama yang harus disadari dalam studi-studi orientalis mengenai Islam adalah bahwa seluruh klaim mereka atas objektivitas, metode akademis, sikap tidak berat sebelah dan sebagainya pada dasarnya adalah palsu.[22] Ketidakmungkinan objektivitas dan validitas pemahaman orientalis dalam pandangan Amin juga didasari oleh adanya beberapa dogma yang dipegang teguh dan mempengaruhi perspektif orientalis dalam memandang Islam. Inilah yang akhirnya menimbulkan ketidakjujuran dan skandal intelektual di kalangan orientalis.[23]

Lantas apakah semua orientalis itu tidak ada yang objektif atau paling tidak berusaha untuk mencapai objektivitas? Adakah kemungkinan bahwa orientalis sebagai outsider dapat memberikan pemahaman yang valid seperti apa yang dipahami oleh insider (muslim)? Atau apakah orientalis harus melakukan konversi menjadi muslim agar mereka dapat memberikan kajian yang objektif dan valid terhadap Islam?

Keinginan dari sejumlah orientalis untuk berusaha bersikap objektif sebenarnya ada dan cukup kuat. Misalnya, Norman Daniel menyatakan, “barangkali kami tidak dapat objektif, tapi kami memperoleh sesuatu. Tidak mungkin seseorang mengukur objektivitasnya sendiri, tetapi kita menggapai tingkat objektivitas sebagaimana yang kita upayakan” .[24] Demikian juga Jacques Waardenburg menyatakan, “sebagai pengkaji data-data agama seharusnya kita berusaha keras secara netral ilmiah dan bahkan objektif yakni mencoba mengetahui, menerangkan dan memahami data-data—fakta-fakta dan makna-makna—sebagaimana mestinya”.[25] Barangkali, karena posisi mereka sebagai outsiderlah yang membuat pemahaman mereka atas Islam menjadi terbatas.

Hanya saja mengharuskan orientalis melakukan konversi ke Islam dalam rangka menjadi insider untuk mencapai objektivitas dan validitas pemahaman adalah permintaan yang berlebihan. Tentu saja permintaan semacam ini menimbulkan keberatan khususnya dari kalangan orientalis sendiri. Frederick M. Denny mengajukan pertanyaan keberatan : Apakah ini berimplikasi bahwa orang luar yang mengkaji Islam harus tunduk pada wahyu karena alasan metodologis? Dapatkah kita sebagai sarjana mengklaim objektivitas dan penelitian bebas, sementara pada saat yang sama mempertahankan keyakinan dan partisipasi dalam objek keagamaan yang kita teliti? Apakah kita harus menjadi muslim dalam rangka menangkap esensi ritual Islam?[26] Persoalan di atas memang terkait dengan kritik Sakhr dengan perspektif Nativismenya dan banyaknya kritik terhadap kelemahan orientalis yang hanya mampu meneliti aspek eksternal dari agama dan tidak dapat memasuki wilayah internal agama yang ditelitinya.[27]

Frederic M. Denny menolak keharusan konversi untuk mencapai objektivitas dan validitas dalam memasuki wilayah internal dan esensi sebuah agama yang diteliti. Menurut perspektifnya, menangkap esensi tidak berarti drastis menghendaki konversi. Tetapi untuk mencapai hal itu adalah dengan melakukan penelitian atas dasar simpati dan respek sekaligus keterbukaan pada sumber-sumber, manusia dan teks yang bermakna bagi penganutnya. Menurutnya, untuk mengejar otentitas ilmiah tidak perlu harus melakukan konversi ke Islam. Peneliti muslimpun kalau dihadapkan pada persoalan seperti itu akan menghadapi problem yang sama (dan menolak melakukan konversi) bila meneliti agama lain.[28] Mengutip Fazlur Rahman, Frederick menambahkan bahwa dengan menjadi muslim tidak dengan sendirinya menjamin eplikasi dan interpretasi seseorang tentang Islam akan menjadi jelas dan seimbang. Melihat diri sendiri, tradisi sendiri dari dalam setidaknya sama sulitnya dengan memahaminya dari luar.[29]

Perspektif di atas diperkuat oleh Richard C. Martin bahwa menjadi muslim atau berempati kepada Islam bukan jaminan bahwa interpretasi tentang Islam dapat mengklaim validitas dalam ilmu-ilmu kemanusiaan. Namun ia mengakui bahwa hanya muslimlah yang dapat melakukan interpretasi terhadap Islam dengan lebih memadai sedang bagi non-muslim prasyarat terjadinya pemahaman yang objektif dan valid adalah melakukan penelitian dengan sikap keterbukaan, empati dan bersimpati dengan keimanan orang lain.[30]

Fazlur Rahman sebagaimana dua perspektif di atas memperkuat kemungkinan adanya pemahaman yang lebih objektif dan akurat dari outsider bila memenuhi beberapa prasyarat. Menurutnya, jika ada ketulusan, kejujuran dan keterbukaan pada ousider (orientalis) perbedaan antara outsider (non-muslim) dan insider (muslim) dapat diabaikan. Muslim dan non-muslim, menurut Rahman, secara pasti dapat bekerja sama pada tingkat pemahaman dan apresiasi intelektual yang memungkinkan muslim dan nonmuslim bersepakat untuk saling belajar satu sama lain.[31] Syaratnya, menurut Rahman, subjek yang meneliti Islam tidak memiliki sikap permusuhan atau prasangka terhadap Islam sebagai objek kajiannya, tetapi harus bersikap terbuka dan jika mungkin simpati. Prasangka itu sendiri, menurut Rahman, tidak terbatas pada kondisi keagamaan dan emosi orang lain tetapi prasangka intelektual bisa datang dalam bentuk paham-paham dan kategori-kategori prakonsepsi. Prasangka intelektual semacam ini harus diobati dengan kejujuran.[32]

Walaupun begitu kejujuran, keterbukaan dan empati bukan jaminan bahwa serang outsider bisa terhindar dari pemahaman dan interpretasi yang salah. Namun, ini, dalam pandangan Rahman, adalah biasa dalam pengalaman manusia. Dalam ilmu-alam seorang ilmuwanpun bisa salah dalam menginterpretasikan hasil eksperimennya. Menurutnya, untuk membuktikan hasil-hasil penelitian yang salah relatif mudah karena hal itu dapat diverifikasi.[33] Dalam studi Islam, keabsahan dan validitas penelitian seorang outsider dapat dinilai berdasarkan prinsip yang dikemukakan oleh W.C. Smith yang juga dikutip oleh Rahman yaitu : Validitas kajian suatu agama hanya bisa diterima keabsahannya apabila kajian itu diterima dan diakui oleh pemeluk agama tersebut (muslim).[34] Kesimpulannya, Rahman menegaskan bahwa seorang orientalis (outsider) dapat memahami Islam dengan lebih baik sebagaimana muslim (insider) memahaminya dengan syarat harus ada pemahaman intelektual dan apresiasi terhadap Islam dari seorang peneliti (outsider) yang sensitif, berpengetahuan banyak dan tidak berprasangka.[35]

Namun, apakah dengan sikap keterbukaan dan kejujuran serta simpati seperti yang dikemukakan Rahman lantas menghilangkan semua kecurigaan umat Islam terhadap tradisi orientalisme? Ternyata tidak. Abdur Rauf masih “mencurigai” orientalis seperti ini. Menurutnya, para orientalis yang jujur dan terbuka memang dapat menjadi instrumen dalam menjelaskan beberapa hasil peradaban Islam kepada masyarakat Barat, tetapi mereka juga tetap berbahaya ketika atas nama ilmu asal-usul Islam dijelaskan sebagai muncul dari fenomena ekonomi atau budaya lain[36] Amin Rais memperingatkan agar berhati-hati dalam menghadapi orientalisme. Mereka yang paling simpatikpun masih menyelipkan pendapat yang menyesatkan. Apalagi bagi orang-orang yang kurang paham tentang Islam, orientalis bisa menimbulkan skeptisisme.[37]

Bagi kalangan muslim yang sangat anti dengan orientalisme sikap simpatik berupa pujian dan sanjungan terhadap Islam tidak lebih dari sebuah trik dan tipu daya untuk mengelabui umat Islam. Hal ini tercermin dari pernyataan Daud Rasyid bahwa pujian dan sanjungan orientalis terhadap Islam dipermulaan bertujuan untuk menggiring pembaca untuk membenarkan seluruh isi buku orientalis dan tidak merasa kan hal-hal yang ganjil, sehingga berkesimpulan bahwa orientalis tersebut jujur dan objektif. Ini menurut Daud Rasyid merupakan trik yang halus, orientalis sengaja menyajikan Islam secara benar dan kejayaannya di masa silam. Tetapi ada satu atau dua poin konsep yang sangat membahayakan mereka selipkan dalam tulisan itu.[38]

Persoalan validitas pemahaman yang terkait dengan kesalahan perspektif dan kesalahan interpretasi pada orientalis yang tidak memiliki prasangka (jujur) seperti yang dicurigai tokoh Islam di atas nampaknya memperoleh pembenaran dari Karel A. Steenbrink. Ia mengakui bahwa di kalangan non-muslim banyak sekali prasangka anti Islam yang terdapat dalam tulisan Barat mengenai Islam. Bahkan para sarjana yang berusaha bebas dari prasangka semacam itu—yang sebenarnya dengan cara mereka sendiri mencintai kebudayaan dan pemikiran Islam— masih menulis tentang Islam dengan perspektif yang berbeda dengan perspektif muslim.[39]

Dalam pengamatannya ketika berada di “sarang” orientalisme, Haidar Bagir melihat indikasi bahwa upaya objektvitas studi Barat sepertinya tidak pernah tercapai walaupun mereka sudah berusaha bersikap empati. Empati, menurut Bagir, yang diusahakan oleh orientalis justru secara sengaja diciptakan menurut watak objek penelitiannya. Namun kenyataannya jauh dari empati , para peneliti malah seringali terperangkap dengan bias-bias asing yang bertentangan dengan objeknya. Pemahaman tentang Islam tidak jarang dipengaruhi oleh atmosfir budaya dan peradaban Barat. Baik peneliti Barat maupun peneliti muslim yang terbaratkan memiliki pemahaman dan penafsiran bersifat Barat.[40]

Untuk menghindari penafsiran semacam itu, para peneliti yang sadar berusaha menggunakan pendekatan fenomenologi agama dalam penelitiannya. Pendekatan ini pada umumnya menuntut penyisihan sikap menilai (judgement) oleh peneliti terhadap objek penelitiannya. Pendekatan ini juga menuntut partisipasi—empati bahkan simpati—sang peneliti terhadap objek penelitiannya.[41] Namun validitas pendekatan ini bukannya tanpa masalah. Pertama, fenomenologi agama hampir selalu diidentikkan dengan pengalaman keagamaan mayoritas penganutnya, yakni dengan manifestasi populernya dimana isu-isu standarnya adalah mitos-mitos dan simbolisme-simbolisme sakral. Pendekatan ini, menurut Bagir, amat diragukan validitasnya bagi pemahaman Islam yang dipahami sebagai agama intelektual. Kedua, fenomena agama dibatasi pada apa yang sepenuhnya bersifat individual dan personal yang dipahami sebagai apa yang menampakkan diri dalam jiwa orang-orang beriman. Ini mengakibatkan agama (Islam) cenderung direduksi dan diidentikkan dengan mistisisme.[42]

Menurut Bagir, seharusnya yang perlu disadari peneliti Islam Barat yang menggunakan penndekatan ini adalah bahwa esensi keislaman harus dicari dalam sumber-sumber nilai utamanya, Alquran dan hadis dan manifestasi keberagamaan kaum muslim selalu bisa dicari akarnya dalam kedua sumber nilai itu.[43] Karena itu, Fazlur Rahman mensyaratkan kepada pengguna pendekatan fenomenologi agar mengakui Alquran hadis sebagai kriteria rujukan normatif bagi semua ekspresi dan pemahaman Islam.[44] Namun, problem berikutnya adalah, jarang sekali bisa ditemukan di kalangan peneliti Islam profesional di Barat yang memiliki keakraban dengan kandungan Alquran dan hadis. Karena bagi mereka manifestasi keberagamaan kaum muslim selalu bisa direduksi kedalam pengaruh-pengaruh temporal kekuatan sosial-budaya atau kesejarahan.[45]

Kondisi ini memberikan justifikasi atas kecurigaan kalangan Islam bahwa masih ada persoalan validitas hasil penelitian orientalis walaupun mereka sudah berusaha untuk objektif, terbuka, jujur, empati dan simpati. Namun orientalis seperti ini jauh lebih baik ketimbang orientalis yang nyata-nyata tidak simpatik dan memusuhi Islam dimana karya-karyanya banyak berisi fantasi liar yang dibungkus dengan data-data “pilihan” dan dikemas dengan bahasa ilmiah dengan motif mendiskreditkan Islam. Sayangnya, justru orientalis seperti ini yang banyak di Barat sehingga imej dan citra populer Islam di kalangan publik Barat masih identik dengan label-label yang “menyeramkan”. Kalangan orientalis yang berusaha objektif dan jujur bahkan simpati dalam menyajikan Islam termarginalkan dalam publik Barat dan terbatas hanya pada kalangan akademisi independen, mereka ini belum bisa merubah imej dan citra negatif Islam yang populer di tengah masyarakat Barat.

Terlepas dari semua itu, sebenarnya kondisi kajian Islam Kontemporer di dunia akademik Barat sekarang ini cenderung menampilkan sikap simpatik dan positif dalam menyajikan Islam, sikap polemis abad pertengahan dan pandangan orientalistik-kolonialistik telah ditinggalkan oleh sebagian peneliti Islam Barat yang independen. Inilah mainstream kajian Islam di Barat sekarang walaupun kajian-kajian yang menyimpang dari mainstream itu tetap ada, tapi itu hanyalah noktah ditengah arus besar studi Islam. Tanpaknya, seperti yang dikatakan oleh Wahyuddin Darmalaksana, sikap objektivitas mulai semakin transparan dalam studi Islam dam ketimuran di Barat diakibatkan oleh lengkapnya informasi yang tersedia dan semakin kuatnya kepercayaan dunia Timur dalam menilai dirinya sendiri, kondisi ini menyebabkan kehati-hatian Barat dalam melakukan kajian dan studi ketimuran.[46] Selain itu maraknya kritik kepada para sarjana yang tidak objektif dan tidak simpatik baik dari kalangan Islam maupun kalangan akademisi Barat membuat kajian yang memiliki motif tidak ilmiah tidak mendapat ruang yang bebas dari kritik. Faktor lain yang juga mendukung adalah mulai banyaknya para sarjana Islam yang ikut terlibat dalam kajian Islam di Barat keterlibatan mereka dapat memberikan informasi ilmiah yang lebih akurat tentang Islam. Faktor pendukung lainnya adalah mengendurnya sikap eksklusivitas Kristen di kalangan Gereja terhadap adanya “keselamatan” dalam agama lain dan tawaran dialogi khususnya dari kalangan konvergensi agama membuka ruang untuk saling memahami dan saling belajar antara outsider dan insider dalam kajian Islam.

Hanya saja situasi akademik seperti itu, masih sangat rentan dan dibayangi oleh kondisi hubungan antara Barat dan Islam. Sebab sikap Barat selama ini sangat tergantung sejauhmana Barat merasa dominan atau merasa terancam oleh Islam. Bila dominasi Islam dan Ancaman Islam begitu nyata dalam pandangan Barat, maka kajian-kajian objektif terhadap Islam yang sekarang menjadi mainstream di Barat ada kemungkinan akan kembali termarginalkan atau kembali mati dilibas oleh rivalitas Islam-Barat. Akumulasi peristiwa tentang isu kebangkitan Islam, konflik Arab-Israel, embargo Minyak oleh AOPEC, Revolusi Iran, peristiwa Salman Rushdie dengan Satanic Versesnya, Runtuhnya komunis yang menyisakan Islam sebagai rival Barat yang memicu isu benturan peradaban, Islamophobia yang hampir menyebar rata di Barat, isu HAM dan demokrasi di dunia Islam, kepentingan hegemoni Barat atas dunia Islam, terorisme dan Peristiwa 11 September 2001 yang mewarnai hubungan Islam-Barat bisa mengakibatkan benih-benih simpati dalam kajian Islam akan mengendur dan kajian tidak objektif dan tidak valid atas Islam kembali marak.[47] Ini diperparah dengan landasan persepsi Barat yang amat rapuh terhadap citra Islam. Bukti ini dapat dilihat pada pada hasil survei buku-buku ajar di sekolah-sekolah menengah di Amerika Serikat, Kanada, Jerman dan Inggris serta media massa yang menampilkan Islam yang dengan keliru, bias, distorsif dan berisi informasi menyesatkan.[48]

Pandangan dan sikap umat Islam sendiri terhadap orientalis tidak tunggal dan cenderumg ambivalen. Pada satu sisi kalangan intelektual muslim sangat kritis terhadap tradisi dan karya orientalisme tetapi pada sisi lain, umumnya kalangan intelektual muslim mengakui bahwa tidak semua tradisi orientalisme itu buruk dan negatif bagi Islam; tidak semua orientalis itu tidak berusaha untuk objektif; dan tidak berarti bahwa karya-karya mereka harus diabaikan begitu saja. Bagi sejumlah kalangan, tradisi dan karya orientalis memiliki signifikansi dan hikmah tersendiri bagi keilmuan Islam. Di tangan orientalis banyak manuskrif langka dan kitab klasik yang terselamatkan; banyak informasi yang detil, luas dan berharga diperoleh dari tulisan mereka; ketekunan mereka dalam melakukan penelitian dan menghasilkan karya besar patut ditiru. Misalnya, ada orientalis yang menghabiskan umurnya selama 40 tahun untuk menyusun Mu’jam al-Lughat al-‘Arabiyat al-Qadimah dan ada pula yang menghabiskan waktunya selama 27 tahun untuk menyusun al-Mu’jam al-Mufahras li Alfazh al-Hadits al-Syarif yang terdiri dari tujuh jilid besar dimana isinya memuat Kutub al-Sittah, Musnad al-Darimi, al-Muwaththa’, dan Musnad Ahmad.

C. Penutup

Kritik atas tradisi orientalisme yang terkait dengan objektivitas dan validitas penelitian berhubungan erat dengan adanya faktor non-ilmiah yang menyertai dan menjadi bagian dari penelitian mereka. Faktor-faktor eksternal dan berbagai motif terselubung yang menggerakkan orientalis telah menggugurkan klaim objektivitas penelitian mereka dan membuat mereka dianggap telah keluar dari etika akademik dan keilmuan yang berimbas pada hasil penelitian mereka karena dianggap tidak ilmiah.

Posisi orientalis sebagai outsider juga mendapat sorotan. Posisi ini membuat validitas pemahaman dan interpretasi mereka atas Islam diragukan bahkan dinafikan. Sebagai outsider, orientalis sebenarnya dapat memahami Islam secara lebih akurat dan objektif apabila mereka memenuhi beberapa prasyarat. Yakni tidak memiliki sikap permusuhan dan prasngka terhadap Islam, jujur, terbuka, sensitif, empati dan simpati serta mau menerima verifikasi dari kalangan Islam. Validitas penelitiannya akan dianggap absah bila mendapat pengakuan dari kalangan Islam.

Walaupun pada satu sisi tradisi orientalisme memiliki signifikansi bagi perkembangan kajian keislaman dan khazanah kepustakaan Islam, namun pada sisi yang lain diperlukan sikap ekstra kritis dan selektif ketika berhadapan dengan karya orientalisme. Sebab, bagaimanapun usaha mereka untuk objektif dan menjaga validitas penelitiannya, posisi mereka sebagai outsider membuat pemahaman mereka menjadi terbatas. Hanya saja, sikap curiga tidak seharusnya selalu menjadi sikap muslim ketika menyikapi tradisi orientalisme, tetapi yang harus diusahakan adalah bangaimana membangun tradisi akademik dan penelitian yang mampu mengimbangi orientalisme baik dalam ketekunan, kemampuan metodologi, maupun dalam menghasilkan karya-karya besar. Sikap yang hanya mencurigai, kata Ahmad Syafii Maarif, adalah bentuk lain dari ketidakberdayaan intelektual.[49]

Daftar Pustaka

Abdullah, M. Amin, “Kita juga Memerlukan Oksidentalisme”, dalam Jurnal Ulumul Qur’an, Vol. III, No. 3, 1992

Abdullah, Taufik (ed), Ensiklopedia Tematis Dunia Islam Jilid 6 : Dinamika Islam Masa Kini, Jakarta : PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 2002.

Bagir, Haidar, “Belajari Islam di Sarang Orientalisme”, dalam Jurnal Ulumul Qur’an, Vol. III No. 2, 1992.

Darmalaksana, Wahyudin, Hadis di Mata orientalis : Telaah atas Pandangan Ignaz Goldziher dan Joseph Schact, Bandung : Benang Merah, 2004

Fauzi, Ihsan Ali, “Orientalisme di Mata Orientalis (Maxim Rodinson tentang Citra dan Studi Barat atas Islam”, dalam Jurnal Ulumul Quran, Vol. III, No. 2, 1992.

Jamilah, Maryam, Islam and Orientalism diterjemahkan oleh dengan judul Islam dan Orientalisme : Sebuah Kajian Analitik, Jakarta : PT Raja Grapindo persada, 1997.

Hisyam, Abduh, “Islam dan Dialog Kemanusiaan (Menyimak Studi Agama Wilfred Cantwell Smith”, dalam Jurnal Ulumul Qur’an Vol. III No. 2, Tahun 1992

Maarif, Ahmad Syafii, “Orientalisme Mengapa Dicurigai”, dalam Jurnal Ulumul Qur’an, Vol. III, No. 2, 1992

Martin, Richard C. (ed), Pendekatan kajian Islam dalam Studi Agama, diterjemahkan oleh Zakiyuddin Baidhawy dari Approaches to Islam in Religious Studies, Surakarta : Muhammadiyah Press, 2001.

Muslih, Mohammad, Religious Studies Problem Hubungan Islam dan Barat (Kajian Atas Pemikiran Karel A. Steenbrink),(Yogyakarta : Belukar Budaya, 2003

Nanji, Azim (ed), Peta Studi Islam : Orientalisme dan Arah Baru Kajian Islam di Barat , diterjemahkan oleh Muamirotun dari Mapping Islamic Studies: Geneology, Contnuity and Change, Yogyakarta : Fajar Pustaka Baru, 2003.

Prasetyo Hendro, Pembenaran Orientalisme : Kemungkinan dan Batas-batasnya”, dalam JurnaI Islamika No. 3 Januari – Maret 2004.

Rasyid, Daud, Pembaruan Islam dan Orientalisme dalam Sorotan, Jakarta : Akbar Media Sarana, 2002.

Said, Edward W., Orientalism, diterjemahkan oleh Asep Hikmat dengan judul Orientalisme, Bandung : Pustaka Salman, 1984.

Steenbrink, Karel A., “Berdialog dengan Karya-karya Kaum Orientalis”, dalam Jurnal Ulumul Qur’an, Vol. III, No, 2, 1992.

Zuhdi DH, Ahmad., Pandangan Orientalisme Barat tentang Islam, (Surabaya : Karya Pembina Swajaya, 2004), h. 38-45.

Rais, Amin, Cakrawala Islam antara Cita dan Fakta, (Bandung: Mizan, 1994.

Spencer, Robert , Islam Unveiled, diterjemahkan oleh Mun’im A. Sirry dengan judul: Islam Ditelanjangi, (Jakarta : Paramadina, 2003.



[1] Menurut Mohammad Muslih bentuk Islamic Studies yang berkembang di Barat sekarang sebenarnya adalah kelanjutan dari kajian orientalisme. Sebab, secara historis antara Islamic Studies dengan keilmuan orientalisme memiliki keterkaitan. Termasuk juga dengan masuknya Islamic Studies dalam wilayah Religious Studies juga tidak luput dari anggapan bahwa Islamic Studies sebagai kepanjangan tangan dari tradisi keilmuan Barat dan terlibat dalam misi dan muatan tertentu untuk menyudutkan Islam. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa Islamic Studies adalah orientalisme in the new fashion. Atau sebaliknya, orientalisme adalah Islamic Studies in the old fashion. Mohammad Muslih, Religious Studies Problem Hubungan Islam dan Barat (Kajian Atas Pemikiran Karel A. Steenbrink), (Yogyakarta : Belukar Budaya, 2003), h. 74-75.

[2] Orientalisme berasal dari dua kata, orient dan isme. Orient berarti direction of rising sun (arah terbitnya matahari dari belahan bumi bagian timur). Secara geografis orient berarti bumi bagian timur dan secara etnologis berarti bangsa-bangsa Timur. Lawan kata dari orient adalah occident yang berarti direction of setting sun (arah tenggelamnya matahari atau bumi bagian barat. Sedangkan istilah isme atau ism dalam bahasa Inggris berarti a doctrine, theory of system (pendirian, paham, keyakinan dan sistem). Jadi menurut bahasa orientalisme dapat diartikan sebagai ilmu tentang ketimuran atau studi tentang dunia Timur. Secara terminologis, istilah orientalisme mengandung banyak pengertian. Bila direduksi secara analitik pengertian orientalisme dapat dibagi menjadi tiga bagian : (1) Keahlian mengenai wilayah Timur; (2) metodologi dalam mempelajari masalah ketimuran; (3) sikap ideologis terhadap masalah ketimuran khususnya terhadap dunia Islam. Sedangkan istilah orientalis menurut Hanafi berarti segolongan sarjana-sarjana Barat yang mendalami bahasa-bahasa dunia Timur, kesusasteraannya, dan mereka menaruh perhatian besar terhadap agama-agama dunia Timur; sejarahnya, adat istiadatnya dan ilmu-ilmunya. Wahyudin Darmalaksana, Hadis di Mata orientalis : Telaah atas Pandangan Ignaz Goldziher dan Joseph Schact, (Bandung : Benang Merah, 2004), h. 51-54.

[3] Dikutip dari Mohammad Muslih, op. cit., h. 68.

[4] Daud Rasyid, Pembaruan Islam dan Orientalisme dalam Sorotan, (Jakarta : Akbar Media Sarana, 2002), h. 120.

[5] Ahmad Syafii Maarif, “Orientalisme Mengapa Dicurigai”, dalam Jurnal Ulumul Qur’an, Vol. III, No. 2, 1992, h. 3.

[6] Dikutip dari ulasan Hendro Prastyo, Pembenaran Orientalisme : Kemungkinan dan Batas-batasnya”, dalam JurnaI Islamika No. 3 Januari – Maret 2004 , h. 103.

[7] Ibid., h. 100 -101.

[8] Ibid., h. 101. Timur yang dimaksud Said disini adalah Timur Islam.

[9] Edward W. Said, Orientalism, diterjemahkan oleh Asep Hikmat dengan judul Orientalisme, (Bandung : Pustaka Salman, 1984), h. 78. Gerakan-gerakan yang ada dalam sejarah umat manusia, baik itu teologi, sekte, aliran maupun agama kesemuanya mendapat nama justru dari orang-orang yang yang bukan dari anggota gerakan tersebut bahkan ada yang diberi nama dari penentangnya. Misalnya Shinto (mendapat nama dari Cina), Kristen (nama yang diberikan oleh kaisar romawi), Wahhabi, Muwahhidun dan Muktazilah adalah nama-nama yang diberikan lawannya. Berbeda dengan itu, nama “Islam” adalah nama yang unik, karena ia adalah nama yang diberikan oleh Alquran, nama itu tidak “ditemukan” oleh orang lain tetapi diperkenalkan kepada orang lain. Karena itu, kata W.C. Smith, wajar kalau umat Islam sangat gigih menolak istilah Mohammedanisme untuk menyebut agama mereka. Dikutip dari Abduh Hisyam, “Islam dan Dialog Kemanusiaan (Menyimak Studi Agama Wilfred Cantwell Smith”, dalam Jurnal Ulumul Qur’an Vol. III No. 2, Tahun 1992, h. 104.

[10] Lihat Karel A. Steenbrink, “Berdialog dengan Karya-karya Kaum Orientalis”, dalam Jurnal Ulumul Qur’an, Vol. III, No, 2, 1992, h. 29.

[11] Istilah Nativisme menunjukkan pada suatu pandangan yang mengatakan bahwa natives atau pelaku adalah satu-satunya yang mengetahui tentang dirinya. Hendro Prasetyo, op.cit., h. 101. lihat catatan kaki.

[12] Ibid., h. 102. Kata Sakhr, jika orientalis belajar selama 20 atau 30 tahun tentang Arab dan Islam, pengetahuan mereka hanya menyamai anak Arab yang berumur 14 tahun.

[13] Maryam Jamilah, Islam and Orientalism diterjemahkan oleh dengan judul Islam dan Orientalisme : Sebuah Kajian Analitik, (Jakarta : PT Raja Grapindo persada, 1997), h. 173-174.

[14] Ibid., h. 194-195.

[15] Muhammad Abdul-Rauf, “ Interpretasi Orang Luar tentang Islam : Sudut pandang Muslim”, dalam Richard C. Martin (ed), Pendekatan kajian Islam dalam Studi Agama, diterjemahkan oleh Zakiyuddin Baidhawy dari Approaches to Islam in Religious Studies, (Surakarta : Muhammadiyah Press, 2001), h. 244 – 247.

[16] Lihat Hendro Prasetyo, op. cit., h. 105. Assaf Husein mencontohkan orientalis dengan motif seperti itu adalah Duncan MacDonald yang menawarkan cara menghancurkan Islam. Menurut orientalis ini cara terbaik menghancurkan Islam bukanlah dengan menyerang Muhammad tetapi dengan membiarkan ide-ide baru menelan fondasi Islam. Orientalis lainnya adalah Guilbert de Nogent, Orientalis ini secara terang-terangan merasa tidak perlu menggunakan data untuk berbicara tentang Islam Baginya, berbicara apapun tentang Islam tetap sah adanya, sebab, siapapun bebas berbicara tentang keburukan seseorang yang kejahatannya sudah melampaui apapun di dunia.

[17] Muhsin Mahdi, “Studi Islam, Orientalish dan Amerika”, dalam Azim Nanji (ed), Peta Studi Islam : Orientalisme dan Arah Baru Kajian Islam di Barat , diterjemahkan oleh Muamirotun dari Mapping Islamic Studies: Geneology, Contnuity and Change, (Yogyakarta : Fajar Pustaka Baru, 2003), h. 254. Ahmad Zuhdi DH. membagi motif-motif orientalis dalam empat bagian, yaitu motif keagamaan (missionari), motif ekonomi, motif politik dan penjajahan (imperialisme dan kolonialisme), motif ilmiah dan kultural. Ahmad Zuhdi DH., Pandangan Orientalisme Barat tentang Islam, (Surabaya : Karya Pembina Swajaya, 2004), h. 38-45.

[18] Ihsan Ali Fauzi, “Orientalisme di Mata Orientalis (Maxim Rodinson tentang Citra dan Studi Barat atas Islam”, dalam Jurnal Ulumul Quran, Vol. III, No. 2, 1992, h. 5.

[19] Lihat uraian lengkap dan panjang Rodinson tentang hal di atas pada : Ibid, h. 04-22.

[20] Karel A. Steenbrink, op. cit, h. 31.

[21] Ibid.

[22] Amin Rais, Cakrawala Islam antara Cita dan Fakta, (Bandung: Mizan, 1994), h. 243-244.

[23] Dogma-dogma tersebut adalah, pertama, Barat adalah maju, rasional, manusiawi, dan superior sedang Timur itu sesat, irasional, terbelakang dan inferior; Eropa dan Amareka adalah human sedang Asia dan Afrika adalah subhuman (setengah manusia). Kedua, abstraksi dan teorisasi tentang Timur lebih banyak didasarkan kepada teks-teks klasik, dan lebih diutamakan daripada bukti-bukti nyata dari masyarakat Timur yang konkret dan riil. Ketiga, Timur dianggap begitu lestari (tidak berubah), seragam dan tidak sanggup mendefinisikan dirinya. Karena itu, menjadi tugas Barat untuk mendefiniskan apa sesungguhnya Timur itu dengan cara sangat digeneralisasi dan dianggap cukup “objektif”. Keempat, Timur adalah ancaman yang perlu ditakuti atau sesuatu yang perlu ditaklukkan dengan pasifikasi, riset, atau dijajah kalau memungkinkan. Kelima, Alquran bukan wahyu ilahi, melainkan hanya buku karangan Muhammad yang merupakan gabungan unsur tradisi agama Yahudi, Kristen dan tradisi Arab pra-Islam. Keenam, Kesahihan atau otentitas semua hadis harus diragukan dan syarat-syarat hadis sahih harus dikritik.Ibid., h. 238-239.

[24] Norman Daniel, “Imej Islam Abad Pertengahan dan Awal Periode Modern”, dalam Azim Nanji (ed), op. cit., h. 208.

[25] Jacques Waardenburg, “Studi Islam dan Sejarah Agama-agama : Sebuah Evaluasi”, dalam Azim Nanji (ed), Ibid., h. 260.

[26] Frederick M. Denny, “Ritual Islam : Perspektif dan Teori”, dalam Richar C. Martin (ed), op. cit., h. 88-89.

[27] M. Amin Abdullah, “Kita juga Memerlukan Oksidentalisme”, dalam Jurnal Ulumul Qur’an, Vol. III, No. 3, 1992, h. 30.

[28] Frederick M. Denny, dalam Richard C. Martin (ed), op.cit., h. 90.

[29] Ibid.

[30] Richard C. Martin, Ibid., h. 05 dan 19.

[31] Fazlur Rahman, “Pendekatan terhadap Islam dalam Studi Agama” dalam Richard C. Martin, Ibid., h. 253-257.

[32] Ibid. h. 253. Rahman dalam hal ini mencontohkan ketidakjujuran John Wansbrough dalam penelitian Alquran dengan menggunakan metode kritik sastra yang menurutnya tidak fair karena bertujuan untuk membuktikan asumsi bahwa Alquran bersumber dari doktrin Yahudi dan menganggap Alquran sebagai kitab ahistoris dan membuat sendiri beberapa fondasi ajaran Islam yang terdapat dalam Alquran untuk membuktikan prasangkanya itu. Padahal fondasi ajaran yang dikemukakannya itu sangat asing dan tidak mungkin diakui oleh mulim manapun.

[33] Ibid. h. 250.

[34] Abduh Hisyam., op. cit., h. 103 dan Rahman, op. cit., h 251.

[35] Fazlur Rahman, op.cit. h. 259-260.

[36] Muhammad Abdul-Rauf,op. cit., h, 245.

[37] Amin Rais, op.cit., h. 242.

[38] Daud. Rasyid, op. cit., h. 122-123.

[39] Karel A. Steenbrink, op. cit. h. 32.

[40] Haidar Bagir, “Belajari Islam di Sarang Orientalisme”, dalam Jurnal Ulumul Qur’an, Vol. III No. 2, 1992, h. 114.

[41] Ibid. Fenomenologi agama disebut sebagai jalan tengah antara teologi (yang berangkat dari wahyu dan doktrin agama) dan antropologi (yang menjelaskan agama sebagai gejala sosial dan psikologis belaka). Karenanya, meski masih terdapat adanya sikap apologetik, namun bisa diterima oleh ilmuwan maupun kaum agama sendiri. Mohammad Muslih, op. cit., h. 142. Lihat catatan kaki.

[42] Ibid. h. 115.

[43] Ibid. .

[44] Fazlur Rahman, op.cit., h. 260.

[45] Haidar Bagir, op.cit h. 115.

[46] Wahyuddin Darmalaksana, op. cit., h. 65-66.

[47] Ini terbutkti dengan beredarnya buku Islam Unveiled yang ditulis oleh Robert Spencer. Buku ini ditulis sebagai respon terhadap peristiwa 11 September 2001. Seluruh isi bukunya memuat kritik keras terhadap Islam dan umatnya dari berbagai segi. Namun bila ditelaah lebih jauh, buku itu sebenarnya berisi motif untuk merendahkan Islam untuk meninggikan Kristen dan juga menyiratkan kecemasan seorang Kristen atas Islam yang merupakan agama tercepat pertumbuhannya di dunia yang kemungkinan besar akan menyalip Kristen. Lihat Pengantar Redaksi dan “Setelah Islam Lama Tidak Dikritik” catatan penerjemah dalam Robert Spencer, Islam Unveiled, diterjemahkan oleh Mun’im A. Sirry dengan judul: Islam Ditelanjangi, (Jakarta : Paramadina, 2003), h. vii-xix.

[48] Lihat uraian lengkapnya pada Ihsan Ali-Fauzi,”Pandangan Barat” dalam Taufik Abdullah (ed) Ensiklopedia Tematis Dunia Islam Jilid 6 : Dinamika Islam Masa Kini, (Jakarta : PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 2002), h. 263-266.

[49] Ahmad Syafii Maarif, op.cit., h. 3.