Minggu, 04 Januari 2009

Alquran diturunkan dengan tujuh huruf

QIRÂ`AT SAB’AH HUBUNGANNYA DENGAN TUJUH AHRUF

A. Pendahuluan

Alquran adalah firman Allah Swt yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw yang sampai sekarang selama 14 abad tetap eksis dengan otentisitasnya yang tak tergoyahkan dan dengan kokoh mempertahankan dirinya dari “uji ilmiah” dari orang-orang yang skeptis dan ingin meruntuhkan klaim otensitas dan kesakralannya. Tidak terhitung sudah berapa banyak upaya untuk menyamakan nasib Alquran dengan Bibel atau kitab suci agama lainnya namun upaya itu selalu gagal dan tidak membawa pengaruh apa-apa pada kesucian Alquran. Sudah berapa banyak para islamisis atau orientalis yang berusaha membuktikan adanya intervensi manusia dan unsur pengaruh luar pada Alquran atas nama “penelitian ilmiah” dan “sikap ilmiah” yang dikemas sedemikian rupa namun tidak dapat mengubah kitab suci ini menjadi buku biasa.

Pintu-pintu atau celah-celah yang dimasuki oleh para orientalis untuk menumbuhkan keraguan kaum muslimin tehadap Alquran di antaranya adalah melalui pribadi Nabi Muhammad sebagai penerima wahyu, melalui bahasa Alquran, melalui susunan Alquran yang tidak sesuai dengan kronologi masa turunnya, melalui proses penyusunan Alquran masa Abu Bakar, penulisan Alquran pada masa ‘Utsmân yang menghasilkan mushhaf ‘Utsmânî dan lainnya. Salah satu aspek sejarah Alquran yang gencar dipersoalkan orientalis adalah sistem penulisan (palaeoghrafi) Mushhaf ‘Utsmânî yang tidak menggunakan tanda titik (nuqat atau nuqat al-i’jâm) dan tanda diakritikal (tasykîl atau nuqat al-i’râb). Kondisi ini diinterpretasikan oleh para orientalis sebagai penyebab lahirnya varian bacaan yang didasarkan pada rekaan bukan varian bacaan yang diwariskan secara mutawâtir dari Nabi. Dari perspektif ini, varian bacaan yang terakomodasi dalam berbagai qirâ`at khususnya qirâ`at sab’ah yang telah dikodifikasi oleh Ibn Mujâhid bukanlah qirâ`at mutawâtir dan juga bukan berasal dari Nabi. Hadis Nabi tentang sab’at ahruf yang dalam keyakinan umat Islam merupakan hadis mutawâtir dan menjadi landasan lahirnya qirâ`at tidak lebih dari cerita palsu dan rekayasa untuk menutup rapat suatu kepentingan terselubung dalam mushhaf ‘Utsmânî.

Masalah di atas adalah salah satu persoalan yang dibahas dalam makalah ini, yakni sambil berbicara tentang qirâ`at sab’ah dan sab’at ahruf serta hubungan keduanya, tuduhan-tuduhan orientalis sekitar qirâ`ât sab’ah dan sab’at ahruf seperti tersebut di atas dan tuduhan lainnya akan dicoba dikaji dan dikritisi dalam tulisan ini.

B. Qirâ’ât Sab’ah

1. Pengertian Qirâ’ât Sab’ah

Secara etimologis kata qirâ’ah merupakan bentuk mashdar dari kata qara`a yang berarti bacaan. Secara terminologis, terdapat beberapa redaksi yang diajukan ulama tentang pengertian qirâ`ah di sini. Di antaranya adalah Mannâ’ al-Qaththân dan Muhammad ‘Alî al-Shâbûnî yang menyatakan bahwa qirâ`ah adalah mazhab tertentu dalam pengucapan Alquran yang dianut oleh para imam al-qurrâ` yang berbeda dengan madzhab lainnya dalam mengucapkan Alquran, dan bacaan itu ditetapkan dengan sanad-sanad yang bersambung kepada Rasulullah saw.[1] Kalau definisi terminologis ini lebih menekankan pada aliran bacaan, definisi berikut yang dikemukakan oleh al-Dimyâthî dan Syihâb al-Dîn al-Qashthalânî lebih menekankan qirâ`ah sebagai ilmu tentang aspek-aspek qirâ’ah, yaitu: qirâ`ah adalah ilmu tentang kesepakatan dan perbedaan ahli qirâ`ah (pengucapan lafazh-lafazh Alquran) pada aspek al-lughah (bahasa) dan al-i’râb, al-hadzf (membuang huruf) dan al-itsbât (menetapkan huruf), al-tahrîk (memberi harakat) dan al-taskîn (memberi tanda sukun), al-fashl (memisah huruf) dan al-washl (menyambung huruf), dan ibdâl (menganti huruf atau lafazh) yang berasal dari naql atau simâ`.[2]

Dari definisi terminologis di atas, dapat diambil intisarinya bahwa :

a. Qirâ`ah adalah suatu disiplin ilmu dan sekaligus juga berarti aliran bacaan dalam membaca Alquran.

b. Qirâ`ah adalah cara mengucapkan Alquran baik cara yang disepakati maupun yang tidak disepakati dalam beberapa aspek.

c. Qirâ’ah adalah cara pengucapan Alquran yang diambil dengan cara naql (diperoleh melalui riwayat dari Nabi) dan al-simâ’ (mendengar langsung bacaan itu dari Nabi)

Kata Sab’ah secara etimologis berarti tujuh atau bilangan tujuh.[3] Kata tujuh di sini mengacu pada tujuh orang imam yang diakui otoritasnya dalam qirâ`ah Alquran. Karena itu yang dimaksud dengan qirâ`ât sab’ah, menurut Hasanuddin AF, adalah tujuh versi qirâ`ah yang dinisbatkan pada para Imam qirâ`ah yang berjumlah tujuh orang (a`immat al-qurrâ` al-sab’ah) yaitu: Nâfi’ (lengkapnya Abû Ruwaym Nâfi’ ibn ‘Abd al-Rahmân ibn Abû Na’îm al-Madanî, w. 169 H), Ibnu Katsîr (‘Abd Allâh ibn Katsîr al-Dârî, w. 120 H), Abû Amrû (Abû ‘Amrû Zabbân al-‘alâ ‘Ammâr al-Bashrî, w. 154 H), Ibnu ‘Âmir (‘Abd Allâh ibn ‘Âmir al-Yahshubî, w. 118 H), ‘Âshim (Abû Bakar ‘Âshim ibn Abû al-Najûd al-Asadî, w. 128), Hamzah (Abû ‘Ammârah Hamzah ibn Hubayb ibn Ziyyât al-Kûfî, w. 156 H), dan al-Kisâ`î (Abû al-Hasan ‘Alî ibn Hamzah al-Kisâ`î al-Nahwî, w. 189 H).[4] Selain istilah qirâ’ât sab’ah adapula al-qirâ’ât al-‘asyrah (qirâ`ah sepuluh) dan al-qirâ’ât al-arba’ asyrah (qirâ`ah empat belas). Al-qirâ’ât al-‘asyrah terdiri dari imam tujuh di atas ditambah dengan Ya’qûb (w.205 H), Abû Ja’far (w. 130 H) dan Khalaf (w. 229 H), sedang qirâ’ât al-arba’ asyrah terdiri dari sepuluh imam qirâ`ah yang telah disebutkan ditambah dengan al-Hasan al-Bashrî (w. 110 H), Ibnu Muhayshin (w. 123 H), Yahyâ al-Yazîdî (w. 202 H), dan al-Syanbûdzî (w. 388 H).[5] Namun karena pembahasan makalah ini hanya tentang qirâ`ât sab’ah, qirâ`ah yang lain tidak dibahas.

2. Beberapa Contoh Varian Bacaan Qirâ`Ât Sab’ah

Contoh varian bacaan pada qirâ`ât sab’ah misalnya pada QS. al-Baqarah ayat 83: وقــولــوا للنــاس حـسـنـاkata bergaris dibwah pada ayat itu dibaca oleh Ibn Katsîr, Abû ‘Amr, Nâfi’, ‘Âshim dan Ibn ‘Âmir dengan husna(n), sementara Hamzah dan al-Kisâ`î membaca hasana(n). Contoh lain pada QS. Al-An’âm ayat 125:

وَمـَنْ يُـرِدْ اَنْ يُـضِلَّهُ يَجْـعَلْ صَـدْرَهُ ضَـيِّقًا حَرَجـًا كَأَنمَّـَا يَـصَّعَّدُ فِى السَّـمَاءِ.

Pada ayat di atas terdapat tiga kata bergaris bawah yang dibaca berbeda. Ibn Katsîr membaca kata pertama dhayqa(n) sementara yang lain membaca dhayyiqa(n). Ibn Katsîr, Abû ‘Amr, Ibn ‘Âmir, Hamzah, al-Kisâ`î dan ‘Âshim (riwayat Hafsh) membaca kata kedua haraja(n), sementara Nâfi’ dan ‘Âshim (riwayat Syu’bah) membaca harija(n). Ibn Katsîr membaca kata ketiga yas’ad(u)tanpa tasydîd sementara yang lain membaca yassa’ad(u) dengan tasydîd.[6]

3. Status Qirâ`ât Sab’ah dan Sebab Varian Bacaan

Menurut ‘Abduh Zulfidar Akaha, ulama telah sepakat bahwa qirâ’ât sab’ah adalah mutawâtir dengan sempurna. Artinya, qirâ`ah itu dinukil dari Nabi oleh orang banyak yang tidak mungkin terjadi konsensus di antara mereka untuk berdusta. Walaupun terdapat perbedaan bacaan pada qirâ`ât sab’ah tidak berarti perbedaan itu mempengaruhi qirâât sab’ah sebagai bacaan mutawâtir.[7] Menurut Hasanuddin AF, ada dua faktor yang menyebabkan qirâât sab’ah sebagai qirâ`ah mutawâtir dan populer di dunia Islam yaitu:

1) Karena qira`at sab’at dapat diketahui sanad-nya baik secara lafzhi maupun sima’I, lengkap dari awal al-Quran hingga akhirnya. Sementara itu, para imam qira`at tersebut dikenal tentang kelebihan serta keluasan ilmu mereka mengenai al-Quran.

2) Karena para imâm qira`at sab’at tersebut telah mengkhususkan diri mereka dalam menekuni dan mendalami qira`at al-Quran dengan keluasan ilmu mereka tentang hal ini. Sementara para ulama ahli qira`at sebelum mereka, atau yang sezaman dengan mereka belum ada yang mengkhususkan diri untuk menekuni qira`at al-Quran seperti yang dilakukan para imâm qira`at sab’at. Mereka lebih menekuni bidang fiqh, hadis, dan ilmu-ilmu lainnya yang berkembang saat itu.[8]

Namun pandangan di atas bahwa qirâ`ah (varian bacaan) merupakan sunnah yang berasal dari Nabi yang diriwayatkan secara mutawâtir diragukan oleh Taufik Adnan Amal. Menurutnya, informasi biografis ketujuh imam qirâ’ah terpopuler berikut data para perawi dan thuruq-nya memperlihatkan bahwa mata rantai transmisi yang bersifat mutawâtir hanya berawal dari para imam kepada para perawi di bawahnya. Sementara kemutawâtiran transmisinya dari Nabi kepada imam tersebut, terlihat sangat meragukan dan jelas bisa dikategorikan sebagai akhbâr al-ahâd mata rantai perawinya tidak mencapai jumlah yang dibutuhkan untuk dipandang sebagai tawâtur.[9]

Namun menurut A’zhamî, sistem isnâd sebagaimana yang diaplikasikan terhadap sunnah tidak dapat diaplikasikan secara ketat kepada juru baca (qurrâ`) Alquran profesional. Transmisi Alquran tidak mengikuti sistem isnâd yang ketat, karena sangat sulit untuk menentukan jumlah isnâd-nya secara pasti, keperluan untuk menjaring mata rantai dan ijazah bacaan setiap orang yang mempelajari Alquran tentu akan lebih dari jumlah yang bisa ditemukan, sebab isnâd yang dipakai adalah juru baca profesional yang memegang ijazah yang bersambung kepada Nabi Muhammad saw. Sebagai contoh, melalui informasi yang diperoleh para ulama dari kitab Intishâr fî Ma’rifat Qurrâ karya Abû A’lâ al-Hamadhânî (488-569 H.) menunjukkan satu jalur transmisi bacaan Alquran yang sampai kepada Rasulullah memerlukan 155 halaman (dari halaman 7 sampai 162) untuk menulisnya yang semuanya adalah juru baca yang terlatih (profesional). Jika skema itu ingin diperpanjang dengan memasukkan yang nonprofesional akan menjadikan pekerjaan itu menjadi sia-sia karena tidak mungkin terlacak karena begitu banyaknya. Bahkan kecepatan penyebaran Alquran itu sendiri sangat susah untuk diukur. Misalnya saja orang yang hadir pada halaqah Abû Dardâ` (w. sekitar 32 H.) di Damaskus melebihi 1600 orang. Oleh karena itu, dalam kasus Alquran, melukis diagram tentang transmisi dengan data bibliografi semata tidak dapat memberi gambaran sepenuhnya mengenai besarnya ukuran jumlah subjek yang dikaji. Sebab untuk membuat outline pengembangan Alquran mengharuskan pencatatan bagi setiap muslim yang pernah menginjakkan kaki di atas bumi sejak permulaan Islam hingga sekarang.[10]

Menurut al-Qashtalânî, terbatasnya sanad yang disebutkan oleh para imam qirâ`ât al-sab’ah tidak menegasikan adanya sanad tersebut dari jalur râwî lainnya. Dinisbatkannya qirâ`ât sab’ah kepada para imam qirâ`ah dengan menyebutkan sanad tertentu sebagai sandaran periwayatan qirâ`ah mereka, dimaksudkan untuk memelihara serta untuk mengingat guru-guru mereka. Sementara mereka dari generasi manapun, menerima qirâ`ah tersebut dengan sanad yang mencapai derajat yang mutawâtir.Hal ini dikarenakan Alquran di negeri manapun diterima oleh sekelompok orang banyak dari orang banyak melalui para imam qirâ`ah mereka.[11] Sementara al-Shakhâwî menilai bahwa periwayatan qirâ`ât sab’ah melalui jalur transmisi individual (khabar âhâd) tidaklah mengurangi status kemutawâtirannya. Hal ini, menurut al-Shakhâwî, dapat dianalogikan dengan orang yang menginformasikan dari fulan kepada fulan bahwa ia melihat kota Samarkand, ini tidak mengurangi status kemutawâtiran berita yang diterima (walaupun dari satu orang) karena kota Samarkand telah diketahui banyak orang secara mutawâtir.[12]

Selanjutnya, karena meragukan status mutawâtir qirâ`ât sab’ah, Taufik Adnan Amal selanjutnya mencurigai bahwa varian bacaan sebenarnya bukan berasal dari tradisi bacaan Nabi sejak awal, tetapi muncul belakangan sebagai konsekuensi dari rasm ‘Utsmânî yang minus tanda titik dan minus tanda diakritikal. Ia menyatakan bahwa dari berbagai ilustrasi tentang karakterisitik ortografi ‘Utsmânî sangat mungkin diajukan satu asumsi bahwa terjadinya varian bacaan itu disebabkan oleh tulisan yang digunakan pada saat itu untuk menyalin mushhaf resmi (scriptio detectiva) adalah aksara primitif yang belum memiliki tanda-tanda vokal dan titik diakritis pembeda konsonal bersimbol sama.[13] Walaupun kemudian, Taufik Adnan Amal mengemukakan argumen-argumen ortodoksi yang meyakinkan tentang varian bacaan sebagai warisan Nabi, namun ia tetap menyatakan bahwa kemungkinan terjadinya salah baca (tashhîf) terhadap teks Alquran yang disalin dengan scriptio detectiva merupakan satu kenyataan sejarah yang tidak bisa dipungkiri dan sebagai salah satu penyebab terjadinya varian bacaan.[14]

Apa yang dikemukakan oleh Taufik Adnan Amal nampaknya merupakan kelanjutan dan kepanjangan lidah dari tuduhan kaum orientalis seperti Goldziher dan Jeffery. Jeffery menuduh bahwa kekurangan tanda titik dalam mushhaf ‘Utsmânî merupakan peluang bebas bagi pembaca memberi tanda sendiri sesuai dengan konteks makna ayat yang ia pahami. Sementara Goldziher menuduh dan berusaha meyakinkan bahwa menggunakan skrip yang tidak ada tanda titiknya telah mengakibatkan munculnya perbedaan. Perbedaan itu, menurut Goldziher, disebabkan oleh dua hal yaitu tidak adanya kerangka tanda titik dan tidak adanya tanda diakritikal.[15] Ini menurut mereka merupakan faktor utama munculnya varian bacaan. Penyebab lainnya menurut Jeffery adalah bahwa perbedaan juga muncul akibat beberapa pembaca menggunakan teks yang bertanggalkan sebelum mushhaf ‘Utsmânî, yang kebetulan berbeda dengan kerangka ‘Utsmânî dan tidak dimusnahkan walaupun diperintah oleh khalifah.[16] Selanjutnya, Goldziher, Blachére dan orientalis lainnya menambahkan faktor ketiga yaitu bahwa di zaman masyarakat muslim terdahulu, mengubah sebuah kata dalam ayat Alquran untuk mencari kesamaannya adalah sangat dibolehkan.[17]

A’zhamî membantah semua tuduhan ini, menurutnya, Alquran tidak diturunkan tanpa melibatkan seorang penuntun bagaimana membacanya secara tepat yang kemudian melahirkan ilmu qirâ`ah. Ilmu qirâ`ah yang benar (ilmu seni baca Alquran secara tepat), menurut A’zhamî, bukanlah muncul belakangan tetapi diperkenalkan oleh Nabi Muhammad saw sendiri, dan ini menjadi praktik (sunnah) yang menunjukkan tata cara bacaan setiap ayat. Artinya, Alquran diturunkan dalam bentuk bacaan lisan yang teks dan cara pengucapannya telah disediakan oleh Nabi. Keduanya tidak bisa dipisahkan.[18] Karena itu, munculnya multiple reading (banyak bacaan)[19] atau varian (ragam) bacaan yang biasa disebut qirâ`ât sab’ah di kalangan muslimin merupakan sunnah yang harus diikuti (al-qirâ`at sunnat muttaba’ah).[20] Selanjutnya A’zhamî menulis:

Tampaknya Jeffery dan Goldziher benar-benar melupakan tradisi pengajaran secara lisan, satu mandat atau perintah yang hanya melalui seorang instruktur kelas kakap, ilmu Islam dapat diperoleh. Banyak sekali ungkapan al-Qur`ān yang dapat secara kontekstual memasukkan lebih dari satu titik dan tanda diakritikal, tetapi dalam banyak hal, seorang ilmuwan hanya membaca dengan satu cara. Ketika perbedaan muncul (dan ini sangat jarang terjadi) kedua kerangka bacaan tetap mengacu pada mushaf ‘Uthmānī, dan tiap kelompok dapat menjustifikasi bacaannya atas dasar otoritas mata rantai atau silsilah yang berakhir pada Nabi Muhammad saw. Atas adasar ini kita dapat menyingkirkan tiap pembaca yang memberi pendapat yang nyeleneh ingin memasukkan titik dan tanda titik diakritikal menurut selera keinginan dirinya. Walaupun telah banyak fakta dalam teori mereka, hendaknya mau mempertimbangkan jumlah pembaca dan ribuan kerangka (naskah) yang dapat dibaca melalui empat atau lima cara; jumlah perbedaan tidak mencapai angka ratusan ribu atau mungkin jutaan. Ibn Mujāhid (w. 324 H) menghitung, seluruh mushaf semuanya hanya ada kira-kira satu ribu multiple bacaan saja.[21]

Argumentasi A’zhamî ini pada dasarnya telah dapat mematahkan semua tuduhan para Orientalis di atas termasuk keraguan Taufik Adnan Amal. A’zhamî kemudian meneruskan pada tuduhan kedua, bahwa perbedaan juga muncul akibat beberapa pembaca menggunakan teks yang bertanggalkan sebelum mushhaf ‘Utsmânî, yang kebetulan berbeda dengan kerangka ‘Utsmânî dan tidak dimusnahkan. Menurutnya, anggapan ini dibesar-dibesarkan tanpa ada bukti yang kokoh. Contohnya, koleksi Jeffery tentang varian dari Mushhaf Ibn Mas’ûd tidak sah karena sejak awal tidak ada satupun dalam daftar bacaannya yang menyebut Mushhaf Ibn Mas’ûd. Kebanyakan bukti yang ada hanya menyatakan bahwa Ibn Mas’ûd menyebut ayat ini dengan cara begitu tanpa bukti mata rantai riwayat.[22] Sedang tuduhan ketiga dari Goldziher, Blachére dan orientalis lainnya, A’zhamî menjawab bahwa beberapa ilmuwan (sahabat dan lainnya) mengajukan catatan penjelasan pada pendengarnya sewaktu ia membacakan Alquran, ini tidak dapat dikatakan sebagain varian bacaan yang sah dan tidak pula dianggap sebagai bagian dari Alquran serta tidak pula dapat dikatakan bahwa ini merupakan upaya pengembangan yang sengaja dimasukkan ke dalam teks Alquran oleh para pembacanya.[23] Ini menujukkan bahwa mengubah kata Alquran dengan mencari sinonimnya (persamaannya) bukanlah perbuatan yang bebas dilakukan sesuka hati tanpa ada bimbingan dari para qurrâ` yang memiliki otoritas yang didasarkan pada bacaan yang diajarkan oleh Nabi sendiri. Adanya tambahan-tambahan teks atau bacaan lain yang dilakukan oleh para sahabat tidak lain hanyalah qirâ`ah yang dibumbui ulasan tafsir (qirâ`at tafsîriyyah).

Selain A’zhamî, Syekh Muhammad Thâhir al-Kurdî dan ‘Abd al-Halîm al-Najjâr juga menolak tuduhan orientalis tentang bentuk rasm ‘Utsmânî sebagai penyebab munculnya varian bacaan di kalangan kaum muslimin. Menurut mereka, Sebagaimana A’zhamî, varian bacaan bukan merupakan konsekuensi atau efek dari bentuk rasm ‘Utsmânî, sebab Alquran telah ditransmisikan dari Rasulullah kepada sahabat kata-kata perkata, ayat perayat dan surat persurat baik secara oral (musyâfahat) maupun penyimakan (simâ’). Transmisi itu kemudian berlangsung secara mutawâtir generasi ke generasi mulai dari Nabi, sahabat sampai generasi berikutnya termasuk di dalamnya adalah varian-varian bacaan (qirâ`ah-qirâ`ah) yang berasal dari sab’at ahruf yang diajarkan Nabi untuk memberikan kemudahan membaca Alquran. Karena itu, varian bacaan bukan disebabkan oleh rasm ‘Utsmânî tetapi berasal dari Rasulullah sendiri.[24]

Menurut al-Zarqânî, sebab terjadinya varian bacaan di kalangan kaum muslimin adalah karena para sahabat berbeda-beda dalam mengambil bacaan dari Rasulullah di antara mereka ada yang mengambil satu versi bacaan saja (harf wâhid), ada yang mengambil dua varian bacaan, dan ada pula yang lebih. Kemudian para sahabat itu menyebar ke berbagai negeri dengan kondisi versi dan jumlah bacaan masing-masing. Kondisi bacaan mereka kemudian diwarisi oleh tâbi’în, kemudian tâbi’ al-tâbi’în mewarisinya seperti itu pula demikian seterusnya sehingga kondisi ini berlangsung sampai kepada para imam qirâ`ah (al-a’immat al-qurrâ`).[25]

Ini menunjukkan bahwa varian bacaan termasuk varian bacaan dalam qirâ`ât sab’ah adalah bagian dari tradisi bacaan Alquran yang ditransmisikan oleh Nabi kepara para sahabat. Karena itu qirâ`ah (varian bacaan) itu adalah bersifat tawqifiyyah bukan bersifat ikhtiyâriyyah. Artinya, qirâ`ah Alquran bukanlah hasil ijtihad para sahabat dan bukan pula hasil ijtihad para imam qirâ`ah.

Hasanuddin AF, mengemukakan 6 teori yang berusaha mengungkap penyebab terjadinya varian bacaan dalam Alquran khususnya dalam kasus qirâ`at sab’ah yaitu:[26]

a. Varian bacaan disebabkan perbedaan qirâ`ah Nabi ketika membacakan Alquran kepada sahabat dengan berbagai versi qirâ`ah. Misalnya pada Surah al-Rahmân: 76 kata “rafraf” juga dibaca “rafârif” dan kata “‘abqariyy” dibaca juga oleh Nabi dengan “‘abâqariyy”. Contoh lain dalam al-Sajadah: 17 kata qurrah dibaca juga oleh Nabi dengan qurrât.

b. Perbedaan Alquran disebabkan adanya taqrîr atau pengakuan Nabi saaw terhadap berbagai qirâ`ah yang berlaku di kalangan kaum muslimin waktu itu yang terkait dengan perbedaan lahjah (dialek) dalam mengucapkan lafazh-lafazh tertentu seperti kata حـتى حـين (Yûsuf:35) dibaca حـتى عـين, kata تـعلم(al-Baqarah :106) dibaca تـعلم, dan kata الـم اعـهد(Yâsîn:60) dibaca الـم اعـهد.

c. Berbedanya qirâ`ah yang yang diturunkan Allah swt kepada Nabi saw melalui perantaraan Jibril as.

d. Riwayat para sahabat Nabi saw menyangkut berbagai versi qirâ`ah yang ada.

e. Perbedaan lahjah (dialek) kalangan bangsa Arab pada masanya turunnya Alquran.

f. Qirâ`ah merupakan hasil ijtihad atau rekayasa imam qiraat dan bukan berasal dari Nabi saw yang disebabkan oleh mushhaf ‘Utsmân yang tidak memiliki tanda huruf (nuqat) dan tanda baca (syakl).

Teori satu sampai kelima berasal dari para ulama dan qurrâ` sedang yang keenam berasal dari kalangan orientalis. Pendapat satu sampai kelima pada prinsipnya sepakat bahwa varian bacaan bermuara dari Nabi, sedang teori keenam menyatakan sebaliknya, bukan berasal dari Nabi tetapi hasil rekayasa para imam qirâ`ah sebagai akibat dari mushhaf ‘Utsmânî yang minus tanda titik dan tanda diakritikal. Teori keenam ini telah ditolak pada uraian sebelumnya.

C. Sab’at ahruf

1. Dalil-dalil

Alquran diturunkan dengan tujuh huruf telah disampaikan dalam sejumlah hadis Nabi yang jumlahnya mencapai tingkat mutawâtir.[27] Menurut Abduh Zulfidar Akaha, para sahabat yang meriwayatkan tentang hal ini mencapai 21 oarang sahabat. Ada beberapa nash hadis yang menyebutkan tentang diturunkannya Alquran dengan tujuh huruf di antaranya:[28]

a. Hadis yang dikeluarkan oleh Bukhârî, Muslim dan yang lainnya dari Ibnu ‘Abbâs ra bahwa Nabi bersabda:

أقرأنى جبريل على حرف فراجعته، فلم ازل أستزيده ويزيدنى حتى انتهى إلى سبعة أحرف.

b. Hadis yang diriwayatkan oleh Bukhârî, Muslim Abû Dâwud, al-Nasâ`î, al-Tirmidzî, Ahmad dan Ibnu Jarîr dari ‘Umar ibn al-Khaththâb ra bahwa Nabi bersabda:

... إن هذ القران أنزل على سبعة أحرف، فقرأوا ما تيسر منها.

Semua dalil atau hadis yang berkaitan dengan sab’at al-ahruf, menurut al-Zarqânî mengindikasikan atau mendeskripsikan beberapa hal yaitu:[29] pertama, bahwa hikmah diturunkannya Alquran dengan tujuh huruf adalah adalah untuk mempermudah (al-taysîr) seluruh umat Islam khususnya umat dari bangsa Arab yang menjadi pembaca Alquran yang terdiri dari banyak qabilah dengan dialek dan aksen yang berbeda-beda. Kalau diharuskan membaca dengan satu huruf akan membawa kesulitan bagi mereka. Kedua, jumlah Nabi Muhammad meminta tambahan dispensasi (al-taysîr) untuk umatnya adalah enam kali (enam huruf) selain dari huruf yang dibaca Jibril pertama kali, jadi jumlahnya sempurna menjadi tujuh huruf. Ketiga, Orang yang membaca dengan salah satu huruf dari tujuh huruf maka bentuk bacaannya itu adalah benar. Keempat, seluruh varian bacaan yang muncul dari sab’at ahruf adalah kalâm Allâh, tidak ada satupun intervensi manusia di dalamnya. Kelima, tidak boleh melarang seseorang membaca Alquran dengan menggunakan salah satu huruf dari sab’at ahruf. Keenam, para sahabat ra sangat bersemangat membela Alquran dan gigih memeliharanya serta segera merespon bila ada berita atau peristiwa tentang Alquran walaupun hanya tentang persoalan perbedaan dialek. Ketujuh, tidak boleh menjadikan varian bacaan (ikhtilâf al-qirâ`ât) sebagai bahan perdebatan, perselisihan dan perpecahan. Kedelapan, yang dikehendaki dengan al-ahruf pada hadis Nabi hanyalah tentang salah satu aspek lafazh dari beberapa aspek lafazh Alquran bukan persoalan penjelasan makna Alquran.

2. Makna Tujuh Huruf

Tidak adanya nash yang shârih yang menjelaskan tentang makna sab’at ahruf ini telah menimbulkan berbagai macam interpretasi dari kalangan ulama. Bahkan menurut Ibnu Hayyân, yang dikutip oleh Mannâ’ al-Qaththân, bahwa ahl al-ilm telah berbeda penafsiran tentang makna sab’at ahruf sampai mencapai 53 qawl.[30] Sementara A’zhamî menyebutkan terdapat 40 pendapat ilmuwan tentang makna ahruf. Beberapa kalangan dari mereka, menurut A’zhamî, mengartikannya begitu jauh, tetapi kebanyakan sepakat bahwa tujuan utama adalah memberi kemudahan membaca Alquran bagi mereka yang tidak terbiasa dengan dialek Quraysy.[31] Senada dengan A’zhamî, Adnin Armas menyatakan bahwa walaupun terdapat 40 pendapat tentang sab’at ahruf, namun mayoritas menyetujui bahwa tujuan utamanya adalah untuk memfasilitasi qirâ`ah Alquran bagi mereka yang tidak terbiasa dialek Quraysy. Konsesi ini diberikan atas rahmat Allah swt.[32] Namun beberapa kalangan bersikap terlalu jauh terhadap perbedaan interpretasi sab’at ahruf, mereka justru menolak keabsahan semua hadis tentang sab’at ahruf yang memiliki status mutawâtir. Sejumlah otoritas Syiah menolak hadis ini karena tidak ada satupun interpretasi yang meyakinkan akan makna sab’at ahruf bahkan interpretasi yang ada justru bertabrakan dengan hadis-hadis sab’at ahruf.[33] Dengan adanya kritik Syiah ini, Taufik Adnan Amal turut mempertanyakan keabsahanan hadis ini, walaupun ia mengakui bahwa argumen Syiah sangat sektarian dan sarat dengan kepentingan dogmatisnya.[34] Sementara kalangan orientalis mengabaikan semua periwayatan ini karena alasan metodologis.[35] Penolakan terhadap hadis-hadis sab’at ahruf seperti ini tidak valid. Argumentasi sektarian dan dogmatis dari Syiah yang ingin mengakomodasi kepentingan ahl al-bayt dalam Alquran jelas tidak bisa diterima, sebab hanya akan menjadikan Alquran sebagai kitab suci bernuansa sektarian. Apalagi masalah yang muncul di kalangan jumhur ulama hanya tentang perbedaan interpretasi makna sab’at ahruf bukan kontroversi tentang ada tidaknya, sahih tidaknya, atau mutawâtir tidaknya hadis tentang sab’at ahruf. Sementara penolakan orientalis dengan alasan metodologis, juga tidak bisa diterima karena jelas akan menghasilkan kesimpulan yang salah. Sebab, mengabaikan hadis sab’at ahruf sama artinya tidak mengakui bahwa varian bacaan berasal dari Nabi. Demikian juga tidak memperhatikan mana bacaan sah berdasar riwayat yang benar dan mana bacaan yang bohong yang dibuat-buat akan mengacaukan bacaan Alquran.

Para ulama sendiri telah berusaha menjelaskan makna sab’at ahruf itu. Kalangan ulama mengelompokkan pendapat-pendapat tentang makna sab’at ahruf ini dalam beberapa kelompok, ada yang membaginya menjadi 5 kelompok, 6 kelompok dan ada pula yang 8 kelompok. Contohnya, Mannâ’ al-Qaththân membaginya menjadi 6 kelompok sebagai berikut:[36]

a. Kebanyakan ulama berpendapat bahwa yang dimaksud dengan huruf yang tujuh adalah tujuh bahasa dari bahasa-bahasa Arab yang mengandung satu makna. Tujuh bahasa di sini adalah bahasa Quraysy,Hudzayl, Tsaqîf, Hawâzin, Kinânah, Tamîm dan al-Yaman.

b. Kelompok yang menyatakan bahwa tujuh huruf itu bermakna tujuh bahasa Arab yang Alquran diturunkan atasnya. Artinya, bahasa Alquran mengandung tujuh bahasa Arab yang paling fasih yaitu bahasa Quraysy,Hudzayl, Tsaqîf, Hawâzin, Kinânah, Tamîm dan al-Yaman, namun yang paling dominan adalah bahasa Quraysy.

c. Kelompok yang mengatakan bahwa yang dimaksud al-ahruf al-sab’ah adalah tujuh aspek berikut: al-amr, al-nahy, al-wa’ad, al-wa’îd, al-jadal, qashash, dan al-mitsal. Versi lainnya adalah al-amr, al-nahy, al-halâl, al-harâm, al-muhkam, al-mutasyâbih, dan al-amtsâl.

d. Kelompok yang menyatakan bahwa makna al-ahruf al-sab’ah adalah tujuh aspek perubahan yang mengakibatkan perbedaan: 1) perbedaan isim dari segi mufrad, muzakkar, jama’, tatsniyah dan ta`nîts, 2) Perbedaan dari segi i’rab, 3) Perbedaan tashrîf, 4) Perbedaan dari segi taqdîm (mendahulukan) dan ta’khîr (mengakhirkan), 5) Perbedaan dari segi ibdâl (penggantian) baik huruf dengan huruf atau lafazh dengan lafazh, 6) Perbedaan dari segi ziyâdah (menambah) dan naqsh (mengurangi), 7) Perbedaan dialek dari segi tafkhîm (menebalkan) dan tarqîq (menipiskan).

e. Kelompok yang berpandangan bahwa hitungan tujuh itu tidak dapat dipahami. Jumlah tujuh hanyalah simbol yang bermakna kesempurnaan jumlah. Yang dikehendaki dari kata sab’ah adalah jumlah yang banyak dan sempurna bukan diartikan sebagai bilangan tertentu (tujuh).

f. Kelompok yang mengatakan bahwa yang dimaksud al-ahruf al-sab’ah adalah qirâ`ât al-sab’at (qirâ`ah yang tujuh).

Pendapat terakhir ini sangat lemah bahkan dianggap sebagai persepsi yang bodoh dalam memaknai tujuh ahruf. Mannâ al-Qaththân mengutip pernyataan Abû Syâmah bahwa sekelompok orang mengira bahwa qirâ`ât sab’ah yang ada sekarang adalah yang dimaksud dengan hadis Nabi (sebagai sab’at al-ahruf), padahal itu menyalahi konsensus para pakar, persepsi ini hanyalah dugaan sebagian orang yang bodoh. Selanjutnya Mannâ al-Qaththân menyatakan bahwa persepsi yang salah ini kemungkinan besar disebabkan oleh bertepatannya bilangan tujuh pada qirâ`ah dengan tujuh pada ahruf, sehingga kemiripan ini menimbulkan kesalahpahaman pada mereka.[37] Sementara Muhammad ‘Alî al-Shâbûnî menolaknya dengan argumentasi: pertama, jika sab’at ahruf adalah qirâ`ât sab’ah, maka sabda Nabi bahwa Alquran diturunkan dengan tujuh huruf baru akan berfungsi dan bermakna bila imam qirâ`ah yang tujuh telah lahir, sementara Nabi, sahabat dan tâbi`în telah membaca Alquran dengan sab’at ahruf sebelum kelahiran para qurrâ`. Kedua, sab’at ahruf secara mutlak lebih umum (luas) dari qirâ`ât sab’ah. Ketiga, tidak masuk akal bila Rasul mewajibkan sahabatnya membaca Alquran dengan bacaan para imam yang belum eksis pada saat itu.[38]

3. Pendapat yang Râjih

Dari berbagai pendapat yang ada ulama pun masih berbeda pendapat tentang mana pendapat yang paling kuat dari sekian interpretasi tentang makna tujuh huruf itu. Hal ini disebabkan setiap pendpat memiliki argumentasinya sendiri-sendiri dan memiliki kemungkinan kebenaran. Bukti-bukti masing-masing pendapat dapat ditelusuri buktinya dalam Alquran. Oleh sebab itu, Ibnu Hibbân menyatakan bahwa pendapat-pendapat itu saling menyerupai satu sama lain, semuanya memiliki unsur kemungkinan benar dan saling melengkapi.[39] Menurut Abduh Zulfidar Akaha pendapat yang terkuat adalah pendapat yang mengatakan bahwa sab’at ahruf adalah termasuk persoalan mutasyâbih (samar) sebagaimana pendapat al-Suyûthî. Yakni ia memiliki lebih dari satu makna yang saling melengkapi.[40] Menurut Hasanaudin AF, pendapat ulama yang mendekati kebenaran adalah pendapat al-Râzî yang menyatakan bahwa yang dimaksud dengan tujuh huruf adalah tujuh huruf yang menyangkut aspek keragaman lafazh atau kalimat dalam Alquran. Pendapat ini menurut Hasanuddin AF, menyangkut keragamaan bacaan Alquran sesuai dengan lahjah atau dialek bahasa Arab yang berkaitan dengan dua hal yaitu keragamaan bacaan yang berkenaan substansi lafazh atau kalimat dalam Alquran dan keragamaan bacaan yang berkenaan dengan lahjah (dialek) dalam cara-cara mengucapkan lafazh-lafazh atau kalimat-kalimat tertentu dalam Alquran.[41] Sama dengan Hasanuddin AF, al-Zarqânî juga memilih pendapat ini (pendapat al-Râzî) sebagai pendapat yang terkuat.[42] Sementara Mannâ al-Qaththân memilih pendapat bahwa yang dimaksud dengan tujuh ahruf adalah tujuh bahasa Arab namun memiliki makna satu.[43]

4. Hikmah Alquaran diturunkan dalam Tujuh Huruf

Menurut Muhammad ‘Alî al-Shâbûnî dalam al-Tibyân[44], diantara hikmah diturunkannya Alquran dengan tujuh huruf adalah:

a. Untuk memberikan kemudahan kepada umat Islam khususnya bangsa Arab yang memiliki keanekaragaman dialek dimana Alquran diturunkan kepada mereka.

b. Menyatukan umat Islam pada lisan (bahasa) yang satu yaitu lisan Quraysy yang banyak menyerap dialek unggulan qabilah-qabilah Arab. Sebab, unifikasi bahasa merupakan faktor penting dalam pengintegrasian umat khususnya pada abad pertama Islam.

C. Hubungan Qirâ`ah Sab’ah dengan Tujuh Ahruf

Dari uraian tentang qirâ`ât sab’ah dan sab’at ahruf di atas dapat dinyatakan bahwa lahirnya qirâ`ât sab’ah adalah implikasi dan konsekuensi logis dari diturunkannya Alquran dalam tujuh ahruf yang merupakan dispensasi terhadap umat dalam pembacaan dan pengucapan Alquran dengan berbagai dialek. Artinya, kumpulan qirâ`ah dari qirâ`ât sab’ah berasal dari tradisi bacaan sab’at ahruf Nabi yang diriwayatkan secara mutawâtir. Walaupun begitu tidak semua varian bacaan yang muncul dari sab’at ahruf terakomodasi dalam qirâ`ât sab’ah, karena sab’at ahruf lebih luas dari qirâ`ât sab’ah. Karena itu, qirâ`ât sab’ah bukanlah makna sebenarnya dari sab’at ahruf sebagaimana yang dimaksud oleh hadis Nabi. Sebab, sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, persepsi bahwa qirâ`ât sab’ah adalah sab’at ahruf adalah persepsi yang lemah dan keliru karena lahir dari kesalahpahaman akibat kesamaan kata tujuh (sab’ah) diantara keduanya. Karena selain qirâ`ât sab’ah, terdapat pula qirâ`ah lain (qirâ`ah 10 dan qirâ`ah 14) yang juga eksis di kalangan umat Islam walaupun tidak sepopuler qirâ`ât sab’ah. Namun yang jelas, qirâ`ât sab’ah adalah bagian dari sab’at ahruf.

Eksistensi qirâ`ât sab’ah sebagai qirâ`ah yang disepakai oleh sebagai bacaan mutawâtir yang dihimpun oleh Ibn Mujâhid telah menjadi qirâ`ah populer di kalangan umat Islam. Kehadiran qirâ`ah ini telah berhasil menghalangi dan menghilangkan varian-varian bacaan “liar” (tidak sesuai kaidah) yang tidak bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah sebagai bacaan Nabi. Karena itu, sab’at ahruf yang merupakan dispensasi temporal dan lokal akibat keragaman dialek pada masa Nabi tidak berkembang menjadi bola liar yang bisa memicu perdebatan akut tentang bacaan Alquran. Sebab, qirâ`ah yang berkembang di kalangan umat telah dibatasi dan disatukan dengan munculnya qirâ`ât sab’ah. Umat Islam dapat memilih salah satu qirâ`ah tersebut sebagai bentuk dispensasi dari sab’at ahruf tanpa harus takut dicap memiliki bacaan yang salah.

Varian bacaan itu sendiri, termasuk varian bacaan dalam qirâ`ât sab’ah, sama sekali tidak mengakibatkan perubahan Alquran bahkan tidak membawa perubahan makna yang saling bertentangan, malah sebaliknya saling mendukung dan menguatkan. Para orientalis sendiri mengakui realitas ini, sebagaimana yang dinyatakan oleh Goldziher dan Margoliouth bahwa dalam banyak masalah ketidakjelasan skrip yang mengakibatkan ragam bacaan sangat sedikit sekali konsekuensinya.[45] Bukti-bukti tentang hal ini dapat ditelusuri pada qirâ`ât sab’ah dan qirâ`ah lainnya. Para orientalis juga tidak memiliki argumentasi dan data yang valid yang dapat membuktikan bahwa varian bacaan diakibatkan oleh rasm ‘Utsmânî yang minus tanda titik dan tanda diakritikal bukan berasal dari dispensasi dan konsesi sab’at ahruf.

Di atas juga telah disebutkan bahwa kasus sab’at ahruf adalah dispensasi temporal dan lokal. Artinya bahwa dispensasi ini tidak berlaku selamanya dan tidak harus keluar dari lintas wilayah Arab yang ragam dialek mereka pada saat itu menjadi sebab diturunkannya Alquran dalam tujuh huruf. Artinya ketika, bangsa Arab sendiri sudah mampu membaca Alquran dengan menggunakan dialek dasar Alquran (Quraysy) maka dispensasi itu tidak diperlukan. Demikian juga dispensasi itu kurang relevan dengan umat Islam non-Arab, sebab mereka dapat diajarkan membaca Alquran hanya dengan satu huruf saja. Barangkali inilah yang diinginkan oleh ‘Utsmân, yakni melakukan unifikasi bacaan umat Islam yang pada saat itu mulai menjadi polemik dengan cara menjadikan mushhaf ‘Utsmânî sebagai standar utama bagi umat Islam dalam membaca Alquran.

Walaupun kehadiran mushhaf ‘Ustmânî telah meredam polemik varian bacaan pada saat itu, namun mushhaf itu belum mampu menghapus perbedaan bacaan yang muncul, bahkan semakin lama semakin banyak qirâ`ah yang muncul sehingga sulit dibedakan mana bacaan yang benar dan mana yang batil. Untuk menghentikan gejala ini, para ulama yang ahli dalam bidang qirâ`ah segera bertindak melakukan penyeleksian qirâ`ah yang berkembang saat itu.[46]

Gerakan ini, pada abad ke-2 dan ke-3, melahirkan banyak sekali ahli qirâ`ah. Sehingga muncul lagi inisiatif untuk membatasi qirâ`ah, yakni qirâ`ah yang diakui adalah yang sesuai dengan rasm mushhaf ‘Utsmânî. Pada abad ke-4, kemudian muncul Ibn Mujâhid (w.324 H) yang menghimpun dan membatasi qirâ`ah dan imam qirâ`ah menjadi tujuh. Semenjak Ibn Mujâhid mengenalkan qirâ`ah imam yang tujuh itu, maka ketujuh qirâ`ah itu menjadi populer di dunia Islam sementara qirâ`ah - qirâ`ah yang lainnya tenggelam. Posisi qirâ`ah tujuh ini semakin menguat setelah tidak ada lagi qirâ`ah lain yang mampu menyaingi dan menandingi kemutawâtiran dan popularitas qirâ`ah tujuh ini.[47]

Walaupun tidak lepas dari kritik,[48] qirâ`ât sab’ah adalah qirâ`ah yang paling valid dan paling sah dijadikan pedoman dalam membaca Alquran. Eksistensi qirâ`ah sebagai qirâ`ât sab’ah sebagai qirâ`ah mutawâtir dan terkodifikasi, telah menghindarkan umat Islam dari bacaan-bacaan yang tidak berasal dari Nabi saw.

Tendensi yang kuat untuk standarisasi dan unifikasi semakin mengkristal walaupun qirâ`ât sab’ah telah mapan, terutama dengan adanya penemuan mesin cetak oleh Jones Guetenberg di Mainz, Jerman, pada abad ke 15. Penggunaannya dalam pencetakan Alquran telah mempercepat penyebaran naskah yang dicetak menurut satu sistem bacaan. Walaupun secara teoritis qirâ`ât sab’ah diakui sebagai bacaan otentik Alquran, realitasnya menunjukkan, bahwa sekarang ini hanya dua versi dari tujuh versi qirâ`ah yang dicetak dan digunakan di dunia Islam. Versi pertama, warsy ‘an Nafi’ digunakan sejumlah kecil kaum muslimin di daerah barat laut Afrika dan Yaman khususnya Sekte Zaydiyah. Sementara versi kedua, Hafsh ‘an ‘Âshim, digunakan mayoritas kaum muslimin di hampir seluruh dunia, termasuk Indonesia.[49] Pencetakan Alquran standar di Mesir pada tahun 1923 dengan bacaan Hafsh ‘an ‘Âshim telah menjadi bacaan yang memiliki supremasi, dominasi dan mengeliminasi versi bacaan qirâ`ât sab’ah lainnya walaupun tidak menghilangkan eksistensinya karena qirâ`ât sab’ah lainnya tetap dipelihara oleh para qurrâ`dan terdokumentasi dalam kitab qirâ`ah.

Dengan demikian, kita bisa melihat sebuah dinamika dan proses unifikasi bacaan Alquran yang sangat panjang yang memakan waktu 14 abad sampai sekarang. Dimulai dari turunnya Alquran dengan tujuh huruf sebagai dispensasi atau konsesi temporal untuk bangsa Arab pada masa Nabi, kemudian upaya unifikasi bacaan dengan standarisasi teks melalui mushhaf Utsmani, selanjutnya kodifikasi qirâ`ât sab’ah sebagai qirâ`ah mutawâtir oleh Ibnu Mujâhid yang kemudian proses unifikasi berujung pada dicetaknya Alquran dengan menggunakan satu sistem bacaan versi Hafsh ‘an ‘Âshim yang digunakan hampir di seluruh dunia sekarang ini.

D. Penutup

Varian bacaan khususnya yang terkodifikasi dalam qirâ`ât sab’ah adalah berasal dari Nabi Muhammad saw. yang berawal dari adanya konsesi dan dispensasi temporal akibat keragaman dialek bangsa Arab yang baru memeluk Islam yang disahkan dengan hadis tentang sab’at ahruf yang berstatus mutawâtir. Spekulasi bahwa varian bacaan termasuk di dalamnya qirâ`ât sab’ah adalah akibat dari skrip Mushhaf ‘Utsmani yang minus tanda titik (nuqat) dan tanda diakritikal (tasykîl) tidak memiliki landasan ilmiah yang kuat karena tradisi oral bacaan Alquran tidak memberi peluang bebas untuk berkreasi dan berijtihad untuk menebak sendiri bacaan Alquran. Sebab semuanya harus melalui otoritas qurrâ` yang pakar tentang bacaan Alquran yang berasal dari Nabi.

Walaupun memiliki hubungan erat, qirâ`ât sab’ah bukanlah makna dari sab’at ahruf, karena qirâ`ât sab’ah muncul dan terkompilasi belakangan sementara sab’at ahruf telah eksis pada zaman Nabi. Pendapat yang menyatakan bahwa makna sab’at ahruf adalah qirâ`ât sab’ah adalah pendapat yang tidak memiliki landasan yang kuat, bahkan disindir oleh para pakar Alquran sebagai pendapat yang bodoh. Namun tidak disangkal bahwa varian bacaan qirâ`ât sab’ah adalah bagian dari sab’at ahruf.

Proses unifikasi bacaan ternyata memakan waktu yang lama (14 abad) sampai bentuk terakhirnya sekarang. Dimulai diturunkannya Alquran dengan sab’at ahruf pada masa Nabi, kemudian standarisasi teks pada masa ‘Utsman, dianjutkan dengan munculnya kodifikasi qirâ`ât sab’ah oleh Ibn Mujâhid pada abad ke-3 H yang menjadi bacaan mutawâtir dan populer, kemudian pencetakan Alquran di era modern yang berujung pada penggunaan satu sistem bacaan yaitu versi Hafsh ‘an ‘Âshim (salah satu versi bacaan qirâ`ât sab’ah) yang digunakan hampir di seluruh dunia. Masih adakah proses lanjutan dari unifikasi bacaan setelah ini? wallâhu a’lam.

Daftar Pustaka

Akaha, Abduh Zulfidar, Alqur`an dan Qiroat, Jakarta, Pustaka al-Kautsar, 1996.

Amal, Taufik Adnan, Rekonstruksi Sejarah al-Quran, Yogyakarta, FkBA, 2001.

Athaillah, A., Sejarah Alquran Verisikasi otensitas Alquran, Banjarmasin, Antasari Press, 2006.

A’zhamî, Muhammad Mushthafâ, The History of The Qur`ânic Teks From Revelation to Compilation A Comparative Study with the Old and New Testaments, diterjemahkan oleh Sohirin Sholihin dkk dengan judul Sejarah Teks Al-Qur`ân dari Wahyu Sampai Kompilasi Kajian Perbandingan dengan Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru, Jakarta, Gema Insani Press, 2005.

Hasanuddin AF, Anatomi Al-Qur`an: Perbedaan Qira`at dan Pengaruhnya terhadap Istinbath Hukum dalam Al-Qur`an, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 1995.

Munawwir, Ahmad W., Kamus al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap, Surabaya, Pustaka Progressif, 1997.

Qaththân, Mannâ’ al-, Mabâhits Fî ‘Ulûm al-Qur`ân, ttp : tpn, tth.

Shâbûnî, Muhammad ‘Alî al-, al-Tibyân fî ‘Ulûm al-Qur`ân, Beirut, ‘Âlam al-Kutub, 1985.

Suyûthî, Jalâl al-Dîn al-, al-Itqân fî ‘Ulûm al-Qur`ân Juz awwal (mujallad awal), Cairo: Maktabah Dâr al-Turâts, tt.

Zarqânî, Muhammad ‘Abd al-‘Azhîm al-, Manâhil al-‘Irfân fî ‘Ulûm al-Qur`ân Juz awwal, Beirut, Dâr al-Kutub al-‘ilmiyah, 2003.



[1] Lihat Mannâ’ al-Qaththân, Mabâhits Fî ‘Ulûm al-Qur`ân, (ttp : tpn, tth), h. 170 dan Muhammad ‘Alî al-Shâbûnî, al-Tibyân fî ‘Ulûm al-Qur`ân, (Beirut: ‘Âlam al-Kutub, 1985,h. 229.

[2] Disarikan dari dua definisi yang disampaikan oleh Hasanuddin AF, Anatomi Al-Qur`an: Perbedaan Qira`at dan Pengaruhnya terhadap Istinbath Hukum dalam Al-Qur`an, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1995), h. 112-113. Penjelasan beberapa istilah dan contohnya seperti al-lughah, al-i’râb, al-hadzf, al-itsbât, al-tahrîk, al-taskîn, al-fashl, al-washl dan ibdâl dapat dilihat pada buku ini.

[3] Ahmad W. Munawwir, Kamus al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap, (Surabaya: Pustaka Progressif, 1997), h. 606. derivasi kata ini juga memiliki arti lain selain makna bilangan tujuh seperti bermakna buas dan lainnya.

[4] Hasanuddin AF, Op. cit., h. 146.

[5] Lihat Muhammad ‘Abd al-‘Azhîm al-Zarqânî (selanjutnya disebut al-Zarqânî), Manâhil al-‘Irfân fî ‘Ulûm al-Qur`ân Juz awwal, (Beirut: Dâr al-Kutub al-‘ilmiyah, 2003), h. 230.

[6] Hasanuddin AF, Op. cit., h. 150 151.

[7] Abduh Zulfidar Akaha, Alqur`an dan Qiroat, (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 1996), h.135.

[8] Hasanuddin, Op. cit., h. 165-166.

[9] Taufik Adnan Amal, Rekonstruksi Sejarah al-Quran, (Yogyakarta: FkBA, 2001), h. 315.

[10] Lihat Muhammad Mushthafâ A’zhamî (selanjutnya disebut A’zhamî), The History of The Qur`ânic Teks From Revelation to Compilation A Comparative Study with the Old and New Testaments, diterjemahkan oleh Sohirin Sholihin dkk dengan judul Sejarah Teks Al-Qur`ân dari Wahyu Sampai Kompilasi Kajian Perbandingan dengan Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru, (Jakarta: Gema Insani Press, 2005), h. 212-213. Dalam transmisi sunnah menurut A’zhamî pereduksian jumlah isnâd juga terjadi, ia mencontohkan diagram Ishâq Khan mengenai transmisi Ibnu Majah melalui jalur Ibnu Qudâmah dimana skema itu menunjukkan kurang satu lusin murid yang meriwayatkan Sunan Ibnu Mâjah melalui jalur Ibnu Qudâmah. Cara ini menurut A’zhamî adalah cara transmisi yang kikir, dengan cara lain, A’zhamî justru menemukan bahwa jumlahnya bisa mencapai 115 murid dan yang belajar dari muridnya sampai 450 orang. Lihat: h. 208-211.

[11] Lihat Hasanuddin AF., Op. cit., h. 155.

[12] Ibid., h. 156.

[13] Taufik Adnan Amal, Op. cit., h. 276.

[14] Ibid. h. 280.

[15] ‘A’zhamî, Op, cit., h. 172. Lihat beberapa kata yang dicontohkan oleh Goldziher untuk membuktikan tuduhannya pada halaman ini.

[16] Ibid, h. 177.

[17] Ibid., h. 179.

[18] Ibid, h. 168.

[19] A’zhamî nampaknya tidak suka memakai istilah varian bacaan, ia lebih suka memakai istilah multiple reading (banyak bacaan). Menurutnya istilah variasi atau varian secara definitif dapat memberi nuansa ketidakpastian. Jika pengarang asli menulis salah satu kalimat kemudian rusak akibat kesalahan menulis akan membuat penyunting yang tak dapat membedakan mana yang betul dan mana yang salah, akan meletakkan apa yang ia sangka sesuka hatinya ke dalam teks. Akan tetapi dalam masalah Alquran jelas berlainan karena Nabi sendiri yang mengajarkan Alquran dalam banyak cara. Di sini kata varian tampak gagal dalam memberi arti yang masuk akal. Kata multiple reading (banyak bacaan) jauh dapat memberi penjelasan yang lebih akurat A’zhamî, ibid., h. 171.

[20] Ucapan ini dilontarkan oleh Zayd ibn Tsabît yang merupakan orang yang begitu penting dalam proses pengumpulan Alquran baik pada masa Abu Bakar maupun pada masa ‘Utsmân ibn Affân. Lihat ungkapan ini pada A’zhami, Ibid., h. 171.

[21] Ibid., h. 173. Walaupun di atas disebutkan ada sekitar seribu varian bacaan dari keseluruhan isi mushhaf, namun A’zhamî menjelaskan bahwa ilmuwan yang meneliti naskah resmi Mushhaf ‘Utsmânî, mencatat perbedaan hanya empat puluh karakter saja; ini beradasarkan pada perbedaan dalam kerangka itu sendiri. Satu ribu macam bacaan menurut Ibn Mujâhid itu dikarenakan perbedaan dalam meletakkan tanda titik dan tanda pada kata-kata tertentu, selain dari perbedaan kerangka huruf. Lihat catatan kaki nomor 20 pada halaman yang sama.

[22] Ibid, h. 177-178.

[23] Ibid. h. 181.

[24] Lihat H. A. Athaillah, Sejarah Alquran Verisikasi otensitas Alquran, (Banjarmasin, Antasari Press, 2006), h. 191-192.

[25] Al-Zarqânî, Op.cit., h. 228.

[26] Hasanuddin AF, Op. cit., h. 130-132.

[27] Menurut penelitian ‘Abd al-Shabûr Syâhîn, terdapat 46 hadis dalam berbagai sanad mengenai hal ini, 38 sanad di antaranya berkualitas sahih, sementara 8 sanad yang lainnya berkualitas dha’îf. Jumlah sahabat Nabi yang terlibat dalam periwayatan hadis-hadis tersebut sejumlah 15 orang, sedangkan Jalâl al-Dîn al-Suyuthî sebanyak 21 orang. Lihat catatatn kaki nomor 117 pada Hasanuddin AF, Op. cit, h. 97. Untuk mengetahui nama-nama dan jumlah sahabat yang ikut meriwayatkan hadis ini lihat Jalâl al-Dîn al-Suyûthî, al-Itqân fî ‘Ulûm al-Qur`ân Juz awwal (mujallad awal), (Cairo: Maktabah Dâr al-Turâts, tt), h. 131

[28] Hadis dikutip dari Mannâ’ al-Qaththân, Op. cit., h. 106-108. Karena keterbatasan tempat, hadis-hadis tentang sab’at ahruf tidak semua dimuat di sini, untuk mengetahui teks-teks hadis lainnya dapat dilihat pada pada al-Zarqânî, Manâhil al-‘Irfân, h. 82-84.

[29] Al-Zarqânî, Op. cit.,h. 85-89.

[30] Mannâ’ al-Qaththân, Op. cit., h. 158.

[31] A’zhamî, Op. cit., h. 170.

[32] Adnin Armas, “Kritik Arthur Jeffrey terhadap Al-Qur`ân”, dalam Islamia, Thn I No. 2, Juni-Agustus, 2004, h. 11.

[33] Lihat argumen-argumen kalangan Syiah pada Taufik Adnan Amal, Op. cit., h. 300-301.

[34] Lihat Taufik, Ibid., h. 303 dan 333..

[35] Lihat A’zhami, Op. cit., h. 177.

[36] Mannâ al-Qaththân, Op. cit., h. 158-162.

[37] Ibid., h. 167-168.

[38] Muhammad ‘Alî al-Shâbûnî, Op. cit., h. 227-228.

[39] Abduh Zulfidar Akaha, Op. cit., h. 103.

[40] Ibid., 104.

[41] Hasanuddin, AF., Op. cit., h. 104-105.,

[42] Al-Zarqânî, Op. cit., h. 91.

[43] Mannâ’ al-Qaththân, Op. cit., h. 162.

[44] Muhammad ‘Alî al-Shâbûnî, Op. cit., h. 218-219.

[45] A’zhamî, Op. cit.,h. 181.

[46] A. Athaillah, Op. cit., h. 194.

[47] Ibid, h. 195-196.

[48] Lihat kritik Zamakhsyarî pada: A. Athaillah, Ibid., h. 198 dan 199. Lihat juga kritik terhadap qirâ`ât sab’ah pada Taufik Adnan Amal, Op. cit., h. 316-317.

[49] Taufik Adnan Amal, Op. cit., h. 323-324.

2 komentar:

  1. Akhi, Izin copas ya... terimakasih banyak, artikelnya sangat membatu saya. syukron

    BalasHapus
  2. Syukron kang... Izin co-paste Jg ya...

    BalasHapus