Selasa, 06 Januari 2009

Pendidikan dan Perubahan Sosial

Oleh: Rahmadi

A. Pendahuluan

Pada dasarnya tidak ada masyarakat yang tidak mengalami perubahan. Baik masyarakat yang masih terbelakang maupun masyarakat modern selalu mengalami perubahan-perubahan. Hanya saja transformasi sosial yang dialami masing-masing masyarakat memiliki dinamikanya sendiri, ada yang cepat dan ada yang lambat.

Masyarakat dalam proses pembangunan atau modernisasi, akan banyak mengalami perubahan, pembaruan, bahkan mengalami pergeseran-pergeseran. Perubahan tersebut ada yang menyangkut struktur organisasi dan lembaganya (transformasi struktural) dan ada pula yang berkaitan dengan norma, nilai, pandangan dan perilaku sosial (transformasi kultural).

Setiap perubahan tentu saja memiliki dampak. Dampak yang ditimbulkan oleh perubahan sosial ada yang positif dan ada pula yang negatif, bahkan dalam proses perubahan itu terkadang terjadi ketegangan dan konflik serta situasi yang tidak terkendali. Di tengah arus perubahan sosial itu, pendidikan sebagai salah satu di antara lembaga sosial yang menjadi saluran perubahan tentu memiliki peran penting dalam proses perubahan. Posisinya yang strategis sebagai instrumen perubahan sosial tentu memiliki posisi yang sangat penting dalam mengarahkan perubahan itu. Bagaimanakah posisi pendidikan di tengah arus perubahan sosial itu? Pertanyaan inilah yang akan dibahas dalam uraian berikutnya dari makalah ini dengan terlebih dahulu menguraikan secara ringkas tentang beberapa aspek yang berkaitan dengan perubahan sosial.

B. Beberapa Aspek tentang Perubahan Sosial

1. Pengertian Perubahan Sosial

Menurut Wahyu, perubahan sosial adalah perubahan yang terjadi pada struktur dan fungsi dalam sistem sosial, termasuk di dalamnya aspek kebudayaan seperti nilai-nilai, norma-norma, kebiasaan, kepercayaan, tradisi, sikap dan pola tingkah laku dalam masyarakat.[1] Sementara Soerjono Soekanto mengartikan perubahan sosial sebagai segala perubahan pada lembaga-lembaga kemasyarakatan di dalam suatu masyarakat yang mempengaruhi sistem sosialnya, termasuk di dalamnya nilai-nilai, sikap-sikap dan pola-pola perilaku di antara kelompok dalam masyarakat.[2]

Sanafiah Faisal, membedakan tiga tipe perubahan yaitu (1) perubahan peradaban, (2) perubahan budaya, dan (3) perubahan sosial. Perubahan peradaban biasanya dikaitkan dengan perubahan elemen atau aspek yang lebih bersifat fisik seperti alat transfortasi, persenjataan dan sebagainya. Perubahan budaya berhubungan dengan perubahan yang lebih bersifat rohaniah seperti keyakinan, nilai-nilai, pengetahuan, ritual, apresiasi seni dan sebagainya. Sedangkan perubahan sosial, terbatas pada aspek hubungan-hubungan sosial dan keseimbangannya (equalibriumnya).[3] Walaupun ketiga bentuk perubahan ini secara teoritis dapat dibedakan, namun pada realitasnya ketiganya (perubahan peradaban, budaya dan sosial) saling bersenyawa membentuk perubahan dan memiliki interrelasi serta persinggungan satu sama lain. Karena itu, perubahan sosial lebih tepat disebut perubahan yang diakibatkan oleh sejumlah faktor secara bersama-sama.

2. Beberapa teori tentang perubahan sosial

a. Teori Evolusioner

Teori evolusioner menilai bahwa perubahan sosial memiliki arah yang tetap yang dilalui setiap masyarakat. Semua masyarakat melalui urutan tahapan yang sama yang bermula dari tahap perkembangan awal menuju keperkembangan terakhir. Jika tahap terakhir ini telah tercapai, pada saat itu pula perubahan evolusioner ini berakhir.[4] Para teoritikus evolusioner menganggap perubahan sosial sebagai perkembangan dari bentuk sederhana menjadi bentuk yang lebih kompleks.[5]

b. Teori Siklus

Para penganut teori siklus melihat masyarakat berkembang seperti putaran roda; kadang naik ke atas, dan kadang turun ke bawah. Artinya, proses perubahan sosial tidak memiliki akhir yang sempurna, melainkan berputar kembali kepada tahap awal yang kemudian menuju tahap peralihan berikutnya.[6]

c. Teori Fungsional

Inti dari teori fungsional adalah adanya integrasi di antara unsur-unsur sistem. Jika terjadi perubahan pada satu sistem akan mempengaruhi sistem lainnya. Akan tetapi perubahan satu sistem itu bukan berarti mengacaukan unsur-unsur sistem lainnya. Perubahan yang ternyata bermanfaat (fungsional) akan diterima sedang perubahan lain yang terbukti tidak bermanfaat (disfungsional) akan ditolak.[7]

Pada perspektif fungsional, studi perubahan sosial harus diawali dengan analisis struktural. Untuk memahami perubahan sosial melalui analisis struktural berarti harus memahami struktur sosial yaitu memahami perubahan nilai-nilai sosial-budaya atau unsur-unsur sistem dalam masyarakat yang telah dipersatukan dan bergerak sesuai dengan fungsinya masing-masing.[8]

d. Teori Konflik

Menurut J. Cohen, para sosiolog yang menganut teori konflik memandang masyarakat sebagai mass of group yang selalu berselisih satu sama lain. Karena kelompok-kelompok ini bersaing untuk memperoleh barang-barang dan sumber-sumber daya yang ada maka terjadilah perubahan-perubahan sosial. Dan berhubung kelompok-kelompok yang beroposisi selalu berusaha untuk merubah keadaan, maka terjadilah disorganisasi dan ketidakstabilan dalam masyarakat.[9] Postulat Marx menyebutkan bahwa pertentangan kelompok merupakan kekuatan perubahan sosial karena pertentangan sosial akan melahirkan perubahan-perubahan pada pola-pola organisasi dan pola-pola perilaku.[10]

Teori konflik menekankan bahwa konflik dapat menimbulkan perubahan; tetapi sebaliknya perubahan dapat pula menimbulkan konflik baru yang dapat mengakibatkan perubahan selanjutnya. Di sini konflik berfungsi sebagai pendorong penting perubahan. Perubahan hanyalah akibat dari adanya konflik. Karena konflik berlangsung secara terus, menerus, maka perubahan pun demikian adanya.[11]

3. Bentuk-bentuk perubahan Sosial

a. Perubahan lambat dan perubahan cepat

Perubahan lambat adalah perubahan yang memakan waktu lama dengan rentetan perubahan kecil yang saling mengikuti dengan lambat. Perubahan ini disebut perubahan evolusi yaitu perubahan yang terjadi dengan sendirinya (alami) tanpa kehendak tertentu. Perubahan tersebut terjadi karena usaha-usaha masyarakat untuk menyesuaikan diri dengan keperluan-keperluan, keadaan-keadaan dan kondisi-kondisi baru, yang timbul sejalan dengan pertumbuhan masyarakat. Sementara perubahan sosial yang cepat dinamakan perubahan revolusi. Unsur-unsur revolusi adalah adanya perubahan yang cepat dan perubahan tersebut mengenai dasar-dasar atau sendi-sendi pokok kehidupan masyarakat.[12]

b. Perubahan kecil dan perubahan besar

Perubahan kecil adalah perubahan-perubahan yang terjadi pada unsur-unsur struktur sosial yang tidak membawa pengaruh langsung atau berarti bagi masyarakat. Perubahan mode pakaian, misalnya, tidak akan membawa pengaruh apa-apa bagi masyarakat dalam keseluruhannya, karena tidak mengakibatkan perubahan-perubahan pada lembaga kemasyarakatan. Sebaliknya, suatu proses industrialisasi yang berlangsung pada masyarakat agraris, misalnya, merupakan perubahan yang akan membawa pengaruh besar pada masyarakat. Pelbagai lembaga-lembaga kemasyarakatan terpengaruh, misalnya, hubungan kerja, sistem milik tanah, hubungan kekeluargaan, stratifikasi masyarakat dan seterusnya.[13]

c. Perubahan yang terencana (planned change) dan perubahan yang tidak terencana (unplanned change)

Perubahan sosial yang terjadi disuatu tempat ada yang direncanakan dan ada pula yang tidak direncanakan. Perubahan sosial yang direncanakan merupakan perubahan sosial yang diperhitungkan dan dipersiapkan perencanaannya terlebih dahulu, dengan menyiapkan suatu konsep dan pola perubahan, serta cara untuk mempengaruhi masyarakat, dengan suatu sistem yang teratur dan terarah. Rencana perubahan sosial yang demikian itu dikenal dengan “social engineering” atau rekayasa sosial. Pihak-pihak atau tenaga-tenaga yang terlibat langsung dalam gerakan tersebut disebut “agent of change” (agen perubahan). Jalur yang digunakan untuk langkah perubahan sosial itu, pada umumnya adalah lembaga-lembaga strategis seperti lembaga pendidikan, lembaga pemerintahan, lembaga keagamaan, mass media, dan lain-lain yang diperkirakan memiliki impact luas terhadap kehidupan masyarakat.[14]

4. Faktor-faktor perubahan

Dari berbagai macam sebab perubahan sosial, menurut Sanafiah Faisal, kesemuanya dapat dikembalikan kepada tiga faktor utama, yaitu (1) faktor fisik dan biologis, (2) faktor teknologi, dan (3) faktor budaya. Termasuk dalam faktor pertama tadi, seperti kondisi geografis, jumlah penduduk, komposisi penduduk (laki-wanita, anak-muda-dewasa-tua), dan sebagainya. Mengenai faktor kedua, kita tahu bahwa peradaban modern beserta tatanan masyarakatnya yang ada sedikit banyak karena pengaruh perkembangan teknologi. Faktor ketiga yaitu budaya juga nyata memainkan peran, sebagaimana kita tahu, pada masyarakat-masyarakat yang sedang berkembang misalnya, adaptasi teknologinya berbeda-beda yang antara lain karena faktor kompartabilitasnya dengan budaya setempat.[15]

5. Dampak perubahan sosial

Dampak perubahan sosial ada yang menguntungkan dan berpengaruh positif yang berarti membawa kemajuan dan perkembangan (progress), tetapi ada juga perubahan sosial merugikan dan membawa pengaruh negatif, yang berarti membawa kemunduran (regress), seperti perubahan sosial yang menjadikan masyarakat tenggelam dalam persoalan-persoalan yang dihadapinya dan tidak dapat mengambil sikap yang tepat terhadap keadaan yang baru itu.[16] Astrid S. Susanto mengungkapkan bahwa dimana-mana perubahan sosial menimbulkan gejala-gejala depersonalisasi, adanya frustasi dan apati (kelumpuhan mental), pertentangan dan perbedaan pendapat mengenai norma-norma susila yang semula dianggap mutlak, adanya generation gap (pertentangan antargenerasi) dan lain-lain.[17]

Senada pernyataan di atas, menurut Wahyu, hampir semua perubahan mengandung resiko besar. Perubahan tidak hanya membawa efek positif tetapi juga tidak sedikit menggoyahkan budaya yang berlaku dan merusak nilai-nilai dan kebiasaan yang dihormati. Segi positif perubahan paling tidak dapat meningkatkan kualitas manusia sedang sisi negatifnya, selain dapat menimbulkan ketegangan sosial juga bisa menjadi masalah sosial.[18]

Apabila perubahan sosial terjadi dengan sangat cepat maka efek-efek negatifnya juga akan sangat besar. Individu lantas bisa menjadi merasa asing, kesepian dan frustasi. Apalagi jika perubahan itu terjadi secara mendadak, bisa mengacaukan dan menggoyahkan perasaaan individu. Jika terjadi kesenjangan kultural, mungkin sekali akan terjadi disorganisasi umum di dalam masyarakat secara keseluruhan. Selain itu, perubahan sosial biasanya selalu disertai problema-problema sosial.[19]

Namun perubahan juga akan membawa kemajuan masyarakat jika masyarakat mampu beradaptasi dengan perubahan itu dan yang terlebih penting lagi adalah menguasai perubahan itu untuk menghindari kekacauan dalam masyarakat. Langkah-langkah yang harus dilakukan di antaranya adalah menyadari bahwa perubahan dalam berbagai aspek kehidupan bukan kejadian yang berdiri sendiri tetapi saling berkaitan (mutual independent) dan selanjutnya menginventarisasi pengalaman-pengalaman (baik pengalaman sendiri maupun pengalaman negara lain sebagai perbandingan) yang selanjutnya diarahkan untuk kemajuan. Dengan demikian, perubahan sosial tidak hanya dibiarkan melanda masyarakat begitu saja, tetapi perubahan sosial itu dikuasai untuk meningkatkan martabat manusia, sehingga perubahan sosial justru menjadi motivator penggerak masyarakat ke arah kemajuan.

C. Posisi Pendidikan dan Perubahan Sosial

Menurut Adolphe E Meyer, antara pendidikan dan masyarakat itu saling merefleksi. Hubungan keduanya tidak bersifat linier, melainkan hubungan timbal balik (mutual simbiosis). Sementara Figerlind menyebut hubungan antara keduanya bersifat dialektis. Bila itu yang terjadi perubahan sosial akan membawa perubahan pendidikan, sebaliknya, perubahan pendidikan akan membawa perubahan sosial.[20]

Laju perubahan sosial tidak selalu dapat diimbangi oleh laju pendidikan. Menurut M. Rusli Karim, dalam konteks makro hampir semua sistem pendidikan yang ada di dunia ini, selalu kalah berpacu dengan perubahan sosial. Konservatisme pendidikan makin dirasakan sebagai hambatan, karena “komoditi” yang dihasilkan dunia pendidikan selalu kalah berpacu dengan tuntutan perkembangan sosial yang begitu dahsyat. Para pakar pendidikan makin kewalahan dalam mengantisipasi arah perkembangan masyarakat. Perkembangan teknologi, misalnya, sangat mendorong pertumbuhan industri komunikasi dan informasi yang sangat besar pengaruhnya terhadap hubungan sosial.[21]

Walaupun M. Rusli Karim menyatakan secara makro pendidikan hampir selalu kalah dengan laju perubahan sosial, bagaimanapun pendidikan memiliki posisi yang strategis dalam arus perubahan sosial itu. Paling tidak kita dapat melihat posisi pendidikan di tengah perubahan sosial dalam beberapa posisi penting yaitu:

1. Pendidikan memiliki fungsi konservatif

Menurut Mudjia Rahardjo, Pendidikan merupakan salah satu bentuk instrumen masyarakat untuk memenuhi harapan-harapannya. Sebagai instrumen masyarakat, pendidikan memiliki tugas konservasi (conservative function) terhadap warisan sosial/budaya masyarakat. Pada posisi ini pendidikan berfungsi sebagai alat transfer nilai-nilai yang dianut dalam masyarakat.[22] Menurut Sanafiah Faisal, dalam arus perubahan sosial, pendidikan menjadi institusi pengkonservasian yang berupaya menjembatani dan memelihara warisan-warisan budaya suatu masyarakat.[23] Sanafiah menyebutkan peran pendidikan pada aspek ini sebagai pelayan pasif masyarakat, yang berarti bahwa pendidikan befungsi sebagai pemelihara dan pengaman warisan budaya masyarakat, termasuk cita-cita, aspirasi maupun ideologi nasionalnya. Dalam posisi ini sistem pendidikan menjadi penyiap sumber daya manusia yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat baik kulitas maupun kuantitasnya.[24]

Berdasarkan pandangan di atas, pengembangan pendidikan harus tetap berpijak pada realitas masyarakat pada konteks waktu dan lokalnya, yaitu pada konteks di mana pendidikan itu berlangsung. Cita-cita pendidikan juga harus berangkat dari kondisi konprehensif masyarakat termasuk juga lingkungan sosial. Sebab, bagaimana pun pendidikan juga ditentukan oleh tuntutan masyarakat.

Dengan demikian pendidikan tidak membawa output-nya menjadi “orang asing” di sekitar masyarakatnya sendiri; tidak membawa output-nya menjadi teralienasi dan tercerabut dari akar budaya dan tata nilai yang selama ini dianut oleh masyarakatnya. Walaupun pendidikan membawa misi perubahan, tetapi pendidikan juga harus memberikan pemahaman, minat dan wawasan terhadap lingkungan sosial dan budaya yang mengitarinya serta menempatkan peserta didik dalam konteks lingkungannya itu. Pada posisi ini juga pendidikan berfungsi untuk mempertahankan tradisi dan kemudian mewariskannya pada generasi berikutnya sehingga pendidikan dapat meminimalisir kesenjangan tradisi dan tata nilai antar generasi di tengah arus perubahan sosial itu.

Posisi konservatisme pendidikan dalam mempertahankan nilai-nilai budaya, norma, ideologi dan sebagainya memang sangat penting dan strategis, namun dalam konteks yang lain, posisi ini juga menjadi problem. Sebab, menurut M. Rusli Karim, pendidikan yang dikungkung oleh berbagai aturan dan kebijakan sering melahirkan pendidikan yang tidak fleksibel dan tidak mampu menghadapi perubahan di sekelilingnya. Karena itu, menurut M. Rusli Karim, bentuk pendidikan formal dalam bentuk sistem persekolahan yang terdapat di mana-mana sangat tidak adaptif, bahkan konservatif dan berada pada pihak status quo.[25]

2. Pendidikan memiliki fungsi transformatif (agent of change)

Selain berfungsi konservasi, pendidikan juga berfungsi transformatif, yakni menjadi agen perubahan sosial. Pada posisi ini pendidikan berfungsi sebagai institusi sosial yang aktif melakukan perubahan sosial lewat perencanaan dan serangkaian program yang telah ditentukan untuk mencapai tujuan-tujuan perubahan yang diinginkan. Dengan kata lain, dalam posisi ini pendidikan menjadi instrumen kreatif perkembangan masyarakat, di mana pendidikan berusaha meciptakan perubahan yang positif yang dapat mengangkat martabat masyarkat ke tingkat yang lebih tinggi dan lebih maju dari sebelumnya.

Patokan Durkheim dalam hal ini adalah bahwa pendidikan di samping selaku pelayan pasif masyarakat, juga perlu tampil sebagai pelayan kreatif bagi perkembangan atau kemajuan masyarakat; pendidikan di samping perlu berperan sebagai pembentuk homogenitas, juga harus berperan sebagai pembentuk diversifikasi. Pendidikan, menurut Durkheim, walaupun di satu pihak ditentukan oleh haluan nasional dan tuntutan sosial, tetapi dilain pihak, pendidikan juga ikut mewarnai dan memodifikasi struktur sosial.[26]

Sebagai agen of change pendidikan terutama lewat institusi pendidikannya dituntut untuk memiliki kreativitas, inovasi, ide-ide baru atau program pendidikan yang dapat mempengaruhi masyarakat dengan konsepsi dan sistem yang teratur dan terarah. Selain membimbing masyarakat untuk beradaptasi dengan laju perubahan, pendidikan sebagai agen perubahan juga berusaha melakukan pembaruan dan perubahan sosial lewat serangkaian program pendidikan yang telah direncanakan dan memiliki arah yang jelas dari perubahan yang diinginkan.

Kemampuan pendidikan untuk melakukan perubahan sangat besar. Hasil penelitian Inkeles dan Smith, sebagaimana dikutip oleh Wahyu, menunjukkan bahwa pendidikan sangat efektif mengubah manusia. Dampak pendidikan tiga kali lebih kuat dibanding usaha-usaha lainnya, seperti pengalaman kerja dan pengenalan terhadap media massa.[27]

Untuk berperan sebagai agen perubahan pendidikan harus memiliki power dan wibawa untuk melakukan perubahan. Karena itu, pendidikan harus didukung oleh komitmen politik yang kuat, dukungan sosial yang merata, SDM yang berkualitas, kurikulum yang solusif dan prospektif, fasilitas yang mencukupi dan dukungan dana yang besar. Pendidikan yang berada dalam posisi lemah tentu tidak siap dan tidak berdaya melakukan perubahan secara maksimal. Bahkan pendidikan yang lemah justru akan tertinggal dan selalu kalah berpacu dengan laju perubahan sosial.

Karena itulah, Menurut S. Nasution, fungsi transformatif pendidikan melalui sekolah untuk melakukan perubahan asasi tidak akan terwujud tanpa dukungan politik dan sosial. Menurutnya, tidak dapat diharapkan bahwa hanya para guru yang akan mengambil inisiatif untuk mengadakan reformasi, karena para guru diangkat oleh penguasa dan telah menerima norma-norma yang dipersyaratkan kepadanya. Sekolah tidak dapat lepas dari kontrol masyarakat dan pihak yang berkuasa. Sekolah hanya dapat mengikuti perkembangan dan perubahan sosial dan tak mungkin memeloporinya dan mendahuluinya.[28]

3. Pendidikan menjadi penyeimbang ketimpangan budaya dan meredakan ketegangan kultural akibat dari perubahan sosial

Selain itu, pendidikan juga harus mampu meredakan ketegangan kultural atau ketimpangan kultural (cultural lag) akibat dari perubahan yang terjadi. Hal ini berarti harus ada upaya dunia pendidikan untuk menyesuaikan budaya lama dengan kondisi-kondisi baru dalam masyarakat. Hal ini menjadi semakin penting dalam kondisi kotemporer belakangan ini di mana arus perubahan sosial berlangsung demikian cepat. Ogburn dan Nimkeff, sebagaimana yang dikutip oleh Sanafiah Faisal, menyatakan bahwa dalam proses perubahan sosial, modifikasi yang terjadi seringkali tidak teratur dan tidak menyeluruh, walaupun sendi-sendi yang berubah itu saling berkaitan secara erat, sehingga melahirkan ketimpangan kebudayaan. Sementara kecepatan perubahan teknologi, jelas membawa dampak yang luas padahal institusi-institusi sosial kerapkali belum siap menghadapinya. Dan banyak di antara masalah-masalah besar seperti kemiskinan, pengangguran, dan lainnya, tidak terlepas dari akibat perubahan sosial yang tidak teratur dengan ekses bawaannya berupa ketimpangan kebudayaan. Oleh karena itu harus ada upaya untuk meminimalkan ketimpangan itu.[29] Di sinilah posisi penting pendidikan, yakni pendidikan harus mengupayakan proses integrasi sehingga aspek-aspek budaya yang tertinggal dapat disatukan secara harmonis dengan perkembangan baru.

4. Pendidikan harus dapat mengawal arah perubahan sosial ke arah yang positif dan terarah (tidak liar dan tanpa tujuan)

Posisi penting pendidikan lainnya di tengah arus perubahan sosial adalah mengawal dan menuntun arah perubahan. Sir Ronald Gould menyatakan bahwa pendidikan sebagai instrumen teleologis, tidak hanya perlu mengikuti perkembangan masyarakat, tetapi juga perlu mengevaluasi dan menuntun arah perkembangan masyarakat. Laporan Newsom dan Plowden menyebutkan adanya dampak perubahan berupa rasa keterasingan diri di tengah hiruk pikuk perubahan sosial yang semakin cepat dan kompleks. Atas dasar itu, direkomendasikan supaya institusi pendidikan berupaya membetulkannya melalui proses pendidikan.[30] Termasuk juga dalam hal ini adalah pendidikan harus mampu berfungsi sebagai institusi yang dapat menyeimbangkan ketimpangan budaya yang lazim terjadi pada perubahan sosial dan menjadi obat penenang dari cultural shock (keterkejutan budaya) akibat gempuran dan benturan budaya yang datang demikian cepat melanda masyarakat.

5. Pendidikan harus memiliki kemampuan memprediksi perubahan sosial di masa depan sehingga memiliki fungsi antisipatif terhadap perubahan.

Pendidikan bukan sekedar perlu memainkan peranan, tetapi yang terlebih penting adakah memerankan peran penting yang terarah sejalan dengan karakteristiknya sebagai institusi teleologis. Terlebih lagi masyarakat sering tidak menyadari proses transformasi yang berlangsung. Untuk itu pendidikan harus direncanakan dan dikembangkan secara cerdas dengan mempertimbangkan kondisi riil masyarakat serta perspektif perubahan yang akan terjadi di masa depan. Konsekuensinya, pendidikan harus menampilkan perangkat nilai, pengetahuan dan teknologi yang diprediksi menjadi kebutuhan masyarakat baik kini maupun yang akan datang.

Dengan demikian, menurut Sanafiah Faisal, pendidikan sesungguhnya di tantang untuk tidak menjadi “mesin sosial” yang ketinggalan zaman dalam mengikuti dinamika perubahan sosial; pendidikan juga ditantang untuk tidak menjadi “panggung tersendiri” yang terasing dengan konteks masyarakat di mana ia hidup; dan selaku institusi teleologis kemajuan masyarakat, sistem pendidikan ditantang untuk menunjukkan kebolehannya selaku agen pemabaruan dan juru selamat perubahan sosial.[31] Selain itu, pendidikan juga ditantang untuk dapat memprediksi masa depan sehingga memiliki kemampuan antisipatif terhadap perubahan yang akan terjadi.

D. Kesimpulan

Pendidikan memiliki posisi yang sangat strategis di tengah arus perubahan sosial. Pendidikan di satu sisi berfungsi konservasi untuk mempertahankan warisan sosial-budaya masyarakat dan di satu pihak pendidikan juga berfungsi sebagai agen perubahan yang menjadi instrumen kreatif masyarakat untuk mencapai kemajuan dan meningkatkan kualitas hidupnya.

Tugas berat pendidikan lainnya dalam perubahan sosial adalah perannya dalam meredakan ketegangan kultural dan mengawal perubahan ke arah yang positif serta perannya dalam memprediksi perubahan di masa depan sehingga pendidikan memiliki program antisipatif yang mampu memproyeksi masa depan.

Karena posisi strategis pendidikan dalam perubahan sosial ini, maka pendidikan harus memiliki power dan wibawa yang kuat agar ia memiliki ketangguhan dalam menghadapi arus perubahan sosial bagaimana pun bentuknya. Institusi pendidikan yang lemah akan selalu kalah berpacu dengan laju perubahan dan tidak mampu memerankan posisi strategisnya dalam perubahan sosial. Sehingga kita dapat mengatakan bahwa bangsa yang rendah komitmennya terhadap pendidikan adalah bangsa yang akan tergilas roda perubahan.

DAFTAR PUSTAKA

Cohen, Bruce J., 1983.Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta: Rineka Cipta.

Faisal, Sanafiah, dan Nur Yazik, tt., Sosiologi Pendidikan, Surabaya: Usaha Nasional,

Hasan, Muhammad Tholhah, 2005. Prospek Islam dalam Menghadapi Tantangan Zaman, Jakarta: Lantabora Press.

Karim, M. Rusli, 1991. “Pendidikan Islam di Indonesia dalam Transformasi Sosial Budaya”, dalam Muslih Usa (ed), Pendidikan Islam di Indonesia Antara Cita dan Fakta, Yogyakarta: PT Tiara Wacana Yogya.

Nasution, S. 1999. Sosiologi Pendidikan, Jakarta: Bumi Aksara.

Rahardjo, Mudjia, 2006. “Agama dan Moralitas: Reaktualisasi Pendidikan Agama di Masa Transisi”, dalam Mudjia Rahardjo (ed), Quo Vadis Pendidikan Islam: Pembacaan Realitas Pendidikan Islam, Sosial dan Keagamaan, Malang: UIN Malang Press.

Rohman, Abdul, 2001. “Pendidikan Islam dalam Perubahan Sosial (Telaah tentang Peran Akal dalam Pendidikan Islam)”, dalam Ismail et. al., (ed), Paradigma Pendidikan Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Soekanto, Soerjono, 1998. Sosiologi Suatu Pengantar (edisi revisi), Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Susanto, Astrid S., 1983. Pengantar Perubahan Sosiologi dan Perubahan Sosial, Bina Cipta.

Wahyu, 2005. Perubahan Sosial dan Pembangunan, Jakarta: PT Hecca Mitra Utama.



[1] Wahyu, Perubahan Sosial dan Pembangunan, (Jakarta: PT Hecca Mitra Utama, 2005), h. 3.

[2] Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar (edisi revisi), (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1998), h. 388-389.

[3] Sanafiah Faisal dan Nur Yazik, Sosiologi Pendidikan, (Surabaya: Usaha Nasional, tt.), h. 85.

[4] Wahyu, Op. Cit., h. 4.

[5] Bruce J. Cohen, Sosiologi Suatu Pengantar, (Jakarta: Rineka Cipta, tt), h. 453-454.

[6] Wahyu, Op. Cit., h. 9.

[7] Wahyu, Ibid., h. 14-15.

[8] Wahyu, Ibid., h. 15.

[9] Bruce J. Cohen, Op. Cit., h. 454.

[10]Wahyu, Op. Cit., h. 19.

[11] Ibid., h. 21.

[12] Soerjono Soekanto, Op. Cit., h. 346-347.

[13] Ibid., h. 348-349.

[14] Muhammad Tholhah Hasan, Prospek Islam dalam Menghadapi Tantangan Zaman, (Jakarta: Lantabora Press, 2005), h. 20.

[15] Sanafiah Faisal, Op. Cit., h. 90-91.

[16] M. Tolkhah Hasan, Op. Cit., h. 19.

[17] Astrid S. Susanto, Pengantar Perubahan Sosiologi dan Perubahan Sosial, (Bina Ilmu, 1983), h. 157.

[18] Wahyu, Op. Cit., h. 24-25.

[19] Bruce J. Cohen, Op. Cit., h. 457.

[20] Dikutip dari Abdul Rohman, “Pendidikan Islam dalam Perubahan Sosial (Telaah tentang Peran Akal dalam Pendidikan Islam)”, dalam Ismail et. al., (ed), Paradigma Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), h. 309

[21] M. Rusli Karim, “Pendidikan Islam di Indonesia dalam Transformasi Sosial Budaya”, dalam Muslih Usa (ed), Pendidikan Islam di Indonesia Antara Cita dan Fakta, (Yogyakarta: PT Tiara Wacana Yogya, 1991), h. 127-128.

[22] Mudjia Rahardjo, “Agama dan Moralitas: Reaktualisasi Pendidikan Agama di Masa Transisi”, dalam Mudjia Rahardjo (ed), Quo Vadis Pendidikan Islam: Pembacaan Realitas Pendidikan Islam, Sosial dan Keagamaan, (Malang: UIN Malang Press, 2006), h. 51.

[23] Sanafiah Faisal dan Nur Yazik, Op. cit., h. 92-93.

[24] Ibid., h. 96.

[25] M. Rusli Karim, Op. Cit., h. 128.

[26] Sanafiah Faisal, Op. Cit., h. 95.

[27]Wahyu, Op. Cit., h. 134.

[28] S. Nasution, Sosiologi Pendidikan, (Jakarta: Bumi Aksara, 1999), h. 23.

[29] Sanafiah Faisal, Op. Cit., h. 93.

[30] Ibid., h. 96.

[31] Ibid., h. 97.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar