EPISTEMOLOGI ILMU PENDIDIKAN ISLAM
Oleh: Rahmadi
A. Pendahuluan
Ilmu pendidikan Islam merupakan ilmu keislaman baru yang mulai dirintis pada abad ke 20 oleh kalangan intelektual Islam. Walaupun praktik pendidikan Islam telah berlangsung sejak kemunculan Islam di Timur Tengah, namun kontruksi ilmu pendidikan Islam baru secara serius dibangun setelah 14 abad kehadiran Islam di dunia. Alquran, hadis, dan hasil pemikiran ulama sebenarnya memiliki elemen-elemen teoritik yang dapat digunakan untuk membangun dan mengembangkan ilmu pendidikan Islam namun sayangnya elemen-elemen itu baru betul-betul diperhatikan pada beberapa dekade terakhir ini. Sehingga tidak heran, pada saat ini pun kita masih meributkan masalah penggunaan istilah pendidikan Islam, mau memakai istilah tarbiyah, ta`dib, ta’lîm, atau tahdzîb.
Untuk membangun dan mengembangkan ilmu pendidikan Islam, kita masih direpotkan dengan kenyataan belum jelasnya landasan filosofis-epistemologis[1] pendidikan Islam. Kondisi ini menyebabkan para intelektual Islam “sibuk” mencari solusi atas “krisis epistemologi” ilmu pendidikan Islam ini dengan memberikan sejumlah alternatif terhadap bangunan epistemologi ilmu pendidikan Islam. krisis epistemologi ilmu pendidikan Islam sendiri sebenarnya tidak lepas dari krisis epistemologi yang melanda dunia intelektual umat Islam. Walaupun pada dekade terakhir ini perhatian terhadap epistemologi Islam sangat besar, dan berbagai tawaran tentang bangunan epistemologi Islam muncul di sana-sini, namun semuanya tidak bisa lepas dari pengaruh bangunan epistemologi yang telah lebih dahulu mapan yaitu epistemologi Barat. Karena itu tidak mengherankan bila epistemologi ilmu pendidikan Islam yang ditawarkan masih belum dapat melepaskan diri dari pengaruh epistemologi Barat paling tidak pada elemen-elemen terntentu dan istilah yang digunakan. Namun seiring dengan kemandirian epistemologi Islam pengaruh-pengaruh epistemologi Barat secara satu persatu akan terlucuti dengan sendirinya atau tetap bertahan namun telah terislamisasikan.
Tawaran epistemologi ilmu pendidikan Islam yang ditawarkan pada tulisan ini diakui masih di bawah bayang-bayang epistemologi Barat namun substansi dan esensinya diupayakan memiliki muatan-muatan Islam dan sesuai dengan world view Islam. Sebagai sebuah tawaran tentu saja ini masih bersifat spekulatif bisa diterima bisa tidak.
B. Epistemologi Ilmu Pendidikan Islam
1. Asumsi dasar, postulasi ontologi dan aksiologi Ilmu Pendidikan Islam
Postulasi ontologi dan aksiologi ilmu pendidikan Islam yang ditawarkan oleh Noeng Muhadjir didasarkan pada asumsi dasar pandangan realisme methafisik yang mengakui adanya keteraturan alam semesta. Keteraturan tersebut adalah ciptaan Allah. Dari asumsi dasar itu maka postulasi ontologiknya adalah bahwa keteraturan tersebut tampil dalam kebenaran multifaset atau multistrata, yaitu eksistensi sensual, logik, etik dan transenden yang paralel dengan âyah, isyârah, hudan dan hikmah (rahmah?). Filsafat yang secara eksplisit mengakui yang transenden adalah phenomenologi dan realisme metafisik. Filsafat yang secara implisit mengakomodasi yang etik dan transenden adalah rasionalisme. Sementara postulasi aksiologiknya dilandasi oleh pandangan bahwa ilmu pendidikan itu adalah ilmu yang normatif, sehingga perlu dan harus diorientasikan kepada nilai atau values baik yang insâniyyah (berkembang bersama budaya manusia) dan yang ilâhiyyah (diwahyukan).[2]
Dasar epistemologi yang ditawarkan oleh Noeng di atas pada dasarnya menawarkan bahwa landasan filosofis ilmu pendidikan Islam dapat menggunakan realisme metafisik yang intransenden plus kebenaran transenden dari Noeng Muhadjir di samping fenomenologi dan rasionalisme.[3] Atas dasar ini realitas empirik dan kebenaran dalam filsafat pendidikan Islam mengakui adanya realitas empirik sensual, empirik etik, empirik logik dan empirik transendental yang bersifat berstrata dan komplementer (saling melengkapi) serta bukan sebagai realitas yang kontradiktif (saling berlawanan) atau saling terpisah satu sama lain.
Selanjutnya landasan filosofik yang digunakan untuk membangun teori-teori pendidikan Islam harus diarahkan untuk mengkontruksi ilmu yang berorientasi pada nilai ilâhiyyah (ketuhanan) dan nilai insâniyyah (kemanusiaan) serta (sebagai tambahan) nilai ‘alamiyyah (kealaman). Konstruksi nilai seperti ini diharapkan akan menciptakan manusia yang memiliki kepribadian yang integral yang memiliki kesadaran ketuhanan, kesadaran kemanusiaan dan kesadaran kealaman.
2. Tesis epistemologis Ilmu Pendidikan Islam
Noeng Muhadjir menawarkan 1 tesis utama dan 6 tesis epistemologi pendukung bagi konstruksi epistemologi ilmu pendidikan Islam yaitu: a) tesis epistemologi utama: wahyu adalah kebenaran mutlak; b) tesis epistemologi I: karena dhaifnya akal budi manusia, maka kebenaran yang dapat dijangkau oleh manusia dengan ilmunya hanyalah kebenaran probabilistik; c) tesis epistemologi II: wujud kebenaran yang dapat dicapai berupa eksistensi sensual, logik, etik, atau transenden; atau dalam bahasa Qurani dalam wujud kebenaran âyah, isyârah, hudan atau rahmah. Kebenaran ini bukan empat kebenaran ganda, tetapi empat faset atau empat strata; d) tesis epistemologi III: karena kebenaran yang dapat dijangkau manusia adalah kebenaran probabilistik, maka model logika untuk pembuktian kebenaran yang tepat adalah model logika probabilistik, e) tesis epistemologi IV: untuk pemahaman hubungan antar manusia dan antara manusia dengan alam sejauh tidak terkait pada nilai (baik yang insaniyah maupun ilahiyah) model pembuktian induktif probabilistik dapat digunakan; f) tesis epistemologi V: untuk pemahaman beragam hubungan tersebut di atas, bila terkait dengan nilai, model pembuktian deduktif probabilistik dapat digunakan; g) tesis epistemologi VI: untuk menerima kebenaran mutlak nash, model logika reflektif probabilistik dengan terapan tematik atau maudhu’i lebih tepat digunakan.[4]
Bila sejumlah tesis epistemologis yang ditawarkan oleh Noeng Muhadjir ini diterima berarti asumsi dasar ilmu pendidikan Islam harus berbasis pada wahyu sebagai kebenaran mutlak. Karena itu semua kerangka teoritik yang dibangun haruslah berdasarkan dan tidak boleh bertentangan dengan wahyu atau secara konkret tidak bertentangan dengan Alquran. Berbeda dengan itu, hasil pemikiran dan interpretasi manusia baik ulama, filosof Islam dan intelektual Islam yang memiliki muatan-muatan elemen teoritik pendidikan Islam bersifat relatif atau merupakan kebenaran probabilistik yang setiap saat harus siap untuk direvisi. Karena kerangka teoritik pendidikan Islam yang dibangun dari logika probabilistik ini memiliki kemungkinan benar dan kemungkinan salah. Karenanya ia bersifat dinamis dan harus selalu diuji. Proses evaluasi dan revisi terhadap teori pendidikan Islam merupakan suatu keharusan dan menjadi hal yang wajar.
Tesis epistemologis ilmu pendidikan Islam yang ditawarkan oleh Noeng Muhadjir mengakui empirik sensual, empirik logik, empirik etik dan empirik transendental yang menurutnya sejajar dengan âyât, isyârah, hudan dan hikmah yang bila kita skemakan adalah sebagai berikut:[5]
Transendental hudan dan hikmah al-rûh + fithrah
Logik / etik isyarah al-‘aql+al-qalb
Sensual âyât al-jism
Tesis ini menunjukkan bahwa wilayah realitas yang diakui eksistensi dan kebenarannya sangat luas, membentang dari yang sensual sampai yang transendental; dari âyât sampai hudan dan hikmah (rahmah?). Karena itu epistemologi pendidikan Islam tidak boleh mengabaikan realitas empirik, atau sebaliknya mengabaikan realitas transendental. Demikian pula epistemologi pendidikan Islam tidak boleh mengabaikan potensi manusia yang membentang dari dimensi fisiknya (al-jism) yang mampu menjangkau wilayah empirik sensual sampai pada dimensi rûh dan fithrah-nya yang mampu menjangkau wilayah transendental.
Dengan demikian, menurut Muslim A. Kadir ilmu-ilmu Islam (termasuk Ilmu pendidikan Islam) memang mengakui pengalaman inderawi, rasio, dan makna dibalik fakta sebagai sumber pengetahuan manusia. Namun Muslim A. Kadir mengingatkan bahwa itu tidak berarti bahwa ilmu-ilmu Islam menerima sepenuhnya empirisme, positivisme, rasionalisme, atau filsafat phenomenologi yang melandasai filsafat ilmu di Barat secara bulat. Jika harus dirumuskan, maka dapat dikatakan bahwa Islam membenahi atau mendudukperankan sumber-sumber pengetahuan tersebut pada proporsi sebenarnya di dalam seluruh keberadaan alam semesta. Realitas inderawi bukanlah suatu yang terlepas dari realitas rasional dan transendental lainnya. Keseluruhannya merupakan kesatuan wujud.[6]
Karena itu, wujud ilmu pendidikan Islam yang didasari filsafaf ilmu seperti di atas akan melahirkan ilmu pendidikan yang normatif, teoritik dan empirik sebagai satu kesatuan dengan tetap berdiri pada pijakan dasarnya yaitu Islam.
Selanjutnya, tesis epistemologis pendidikan Islam yang ditawarkan oleh Noeng Muhadjir menggunakan logika pembuktian induktif, deduktif dan reflektif. Logika pembuktian induktif probabilistik digunakan untuk menjangkau phenomena yang tidak terkait dengan nilai; logika pembuktian deduktif probabilistik digunakan untuk phenomena yang terkait dengan nilai; sementara penggunaan logika reflektif probabilistik digunakan untuk menangkap kebenaran wahyu yang bersifat mutlak dengan mengaplikasikan metode tafsir tematik. Dari sini interpretasi terhadap wahyu akan dapat menangkap makna yang konprehensif sehingga dapat dijadikan sebagai landasan filosofis pendidikan Islam dan pada sisi lainnya dapat dijadikan sebagai grand theory pendidikan Islam.
3. Sumber Ilmu
Sumber ilmu utama dalam Islam adalah Allah melalui “ayat-ayat-Nya” (teks dan realitas). Ayat sebagai sumber ilmu ini terbagi dua, ada ayat verbal dan ada ayat non-verbal. Ayat verbal dalam Islam adalah Alquran yang wujud nyatanya berbentuk kitab suci berupa rangkaian teks-teks tertulis yang berisi firman Allah. Untuk membaca dan memahaminya manusia memerlukan kemampuan metodologi interpretasi untuk menggali ilmu darinya. Untuk membantu interpretasi itu Islam juga memiliki sabda Nabi berupa hadis sebagai interpreter pertama dan wujud operasional dari ayat-ayat itu. Hadis Nabi yang sekarang berupa teks-teks juga memerlukan kemampuan metodologi interpretasi untuk memahaminya (metode syarah hadis). Ayat non-verbal adalah ayat tidak tertulis yang terwujud pada realitas alam raya. Ayat ini terbentang luas di alam dan pada diri manusia sendiri sebagai pembaca dan interpretator ayat. Ayat non-verbal ini adalah “bacaan universal” yang terdiri dari beberapa bagian sebagaimana yang disebutkan oleh Muhammad Iqbal dan Fazlurrahman di bawah ini.
Menurut Muhammad Iqbal sumber ilmu dalam Islam ada tiga yaitu âfâq (world/nature) anfus (diri) dan sejarah.[7] Sama dengan Iqbal, Fazlur Rahman juga membagi sumber ilmu menjadi tiga yang dalam istilah Fazlur Rahman disebut the phisycal universe (alam), the constitution of the human mind (manusia) dan the historical study of societies (sejarah).[8] Ketiga sumber ilmu ini didasarkan sedikitnya pada 2 ayat Alquran yaitu:
سَنُرِيْهِمْ آيـَاتِنَا فِى اْلأَفَاقِ وَفِى اَنْفُسِهِمْ حَتىَّ يَـتَـَبيَّنَ لَهُمْ اَنَّـهُ الْحَقُّ اَوَلَمْ يَكْفِى بِرَبـِّكَ أَنـَّهُ عَلى كُلِّ شَيْئٍ شَهِيْدٌ.
Artinya:
Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segenap ufuk dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa Alquran itu adalah benar. Dan apakah Tuhanmu tidak cukup (bagi kamu) bahwa sesungguhnya Dia menyaksikan segala sesuatu.
وَلَقَدْ اَرْسَلْناَ مُوْسَي بِايـتِنَا اَنْ اَخْرِجْ قَوْمَكَ مِنَ الظُّلُماَتِ اِلىَ الـنُّوْرِ وَذَكِّرْهُمْ بِايـَّامِ اللهِ اِنَّ فِى ذَلِكَ لَأَياَتٍ لِكُلِّ صَـبَّارٍ شَكُوْرٍ.
Artinya:
Dan sesungguhnya Kami telah mengutus Musa dengan ayat-ayat Kami, (dan Kami perintahkan kepadanya): Keluarkanlah kaummu dari gelap gulita kepada cahaya yang terang benderang dan ingatkanlah mereka akan hari-hari Allah. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi setiap orang yang penyabar dan banyak bersyukur.
4. Alat atau saluran memperoleh pengetahuan
Dengan mengikuti dan menggabungkan posisi para filsosof dan teolog Muslim dan para sufi, seperti Ibnu Sînâ, al-Ghazâlî, al-Nasafî, al-Taftazânî, dan al-Rânirî, al-Attas membuktikan bahwa ilmu pengetahuan datang dari pelbagai saluran, yaitu melalui panca indra (al-hawwâs al-khamsah), akal sehat (al-‘aql al-sâlim), berita yang benar (al-khabar al-shâdiq), dan intuisi (ilham). Menurut al-Attas, Islam tidak pernah mengecilkan peran indra yang pada dasarnya merupakan saluran yang sangat penting dalam pencapaian ilmu pengetahuan mengenai realitas empiris. Menurutnya, Islam menganggap pengalaman inderawi sebagai saluran ilmu pengetahuan yang absah.[9]
Akal merupakan saluran penting ilmu pengetahuan. Akal bukan hanya rasio, ia adalah fakultas mental yang mernyistematisasikan dan menafsirkan fakta-fakta empiris menurut kerangka logika, yang memungkinkan pengalaman menjadi sesuatu yang bisa dipahami. Lebih dari itu, akal adalah salah satu aspek dari intelek dan bekerja bersama intelek. Intelek menurut al-Attas, adalah entitas spiritual yang inheren dalam hati (al-qalb), yaitu menjadi tempat intuisi. Dengan demikian, intelek adalah perantara yang—khususnya oleh para sufi—menghubungkan akal dengan intuisi. Oleh karena itu, orang yang membatasi fungsi akal sebagai aspek yang rasional dan bisa dicerap oleh indra, maka ia telah menyelewengkan akal dari kualitas yang sebenarnya, dan dengan demikian menjadikan akal menjadi tidak sehat.[10]
Berita yang benar adalah sumber lain ilmu pengetahuan yang terdiri dari dua jenis. Pertama, berita yang terbukti secara terus-menerus dan disampaikan oleh mereka yang integritas akhlaknya tidak mengizinkan akal kita untuk membayangkan bahwa mereka akan melakukan dan menyebarkan kesalahan. Hadis mutawâtir merupakan contoh yang tepat mengenai jenis berita ini. Demikian pula kesepakatan umum para ahli, ilmuwan dan sarjana dianggap sebagai bagian dari jenis ini walaupun kesepakatan tersebut masih bisa dipertanyakan menurut metode-metode rasional dan empirikal. Kedua, adalah berita absolut yang dibawa Nabi berdasarkan wahyu.
Baik al-Attas maupun Iqbâl mengakui intuisi sebagai salah satu elemen mendasar dalam pencarian ilmu pengetahuan. Menurut Iqbal, intuisi adalah pengalaman yang unik, lebih tinggi daripada persepsi dan pikiran, yang menghasilkan ilmu pengetahuan tertinggi. Sementara al-Attas menegaskan bahwa meskipun pengalaman intuitif itu tidak bisa dikomunikasikan, namun pemahaman mengenai kandungannya dan ilmu pengetahuan yang berasal darinya dapat ditransformasikan.[11]
Uraian di atas menunjukkan bahwa epistemologi pendidikan Islam menggunakan semua saluran memperoleh pengetahuan yang secara potensial dimiliki manusia. Karena itu semua pengetahuan yang diperoleh dari hasil pengalaman inderawi, hasil perenungan rasio dan hasil tranformasi intuisi menjadi sumber acuan dalam mengkontruksi atau merekonstruksi ilmu pendidikan Islam. Demikian juga, epistemologi pendidikan Islam menggunakan saluran al-khabar al-shâdiq (berita yang benar) yang berasal dari otoritas yang terpercaya seperti wahyu yang dibawa Nabi, berita mutawâtir, kesepakatan pemilik otoritas keilmuan. Ini berimplikasi pada upaya kontruksi ilmu pendidikan Islam harus menjadikan wahyu, hadis, dan “ijma” pemegang otoritas keilmuan Islam sebagai acuan dan dasar dalam membangun dan mengembangkan ilmu pendidikan Islam. Pada aspek ini, pendidikan Islam memiliki sumber yang sangat kaya, baik Alquran dengan ribuan kitab tafsirnya, hadis dengan ribuan syarah-nya dan hasil pemikiran ulama atau intelektual Islam dengan jumlah karyanya yang tak terhitung jumlahnya baik klasik maupun kontemporer.
5. Metode
Tawaran-tawaran tentang metode yang bisa diaplikasikan untuk memperoleh pengetahuan dan menemukan kebenaran sebenarnya cukup banyak. Noeng misalnya, sedikitnya ia menawarkan tiga metode yaitu metode induktif, deduktif dan reflektif untuk ilmu pendidikan Islam. Aplikasinya bisa berbentuk metode penelitian kualitatif (dengan berbagai pendekatan), kuantitatif (terutama pendekatan positivisme) dan metode mawdhu’î (untuk interpretasi teks Alquran).
M. Chobib Thoha mengoperasionalkan ketiga metode alur berpikir Noeng Muhadjir di atas sebagai berikut:
Untuk meneliti fenomena empirik yang tidak terkait dengan values, dan variabelnya dapat dikendalikan dapat digunakan metode eksperimen, pengembangan dari metode ini adalah action research. Sedangkan untuk meneliti fenomena empirik yang tidak terkait dengan values tetapi variabelnya tidak dapat dikendalikan dapat menggunakan metode deskriptif. Penggunaan ketiga metode penelitian ini sesuai dengan alur berpikir epistemologi induktif probabilistik.
Untuk meneliti suatu proses yang harus diikuti perubahan tahap-tahap demi tahap, baik menyangkut objek individual maupun kelompok dapat digunakan metode longitudinal. Sedangkan untuk mengetahui perkembangan baik pikiran, ilmu pengetahuan, perubahan kebijakan politik dan semisal dengan itu, yang terkait dengan konteks waktu, akan tepat jika menggunakan metode historis. Penggunaan dua metode dalam penelitian sesuai dengan pola pikir epistemologi deduktif probabilistik.
Penelitian terhadap fenomena empirik yang terkait dengan values variabelnya tidak dapat dikendalikan dan tidak dapat diprediksi sebelumnya, penelitian yang mengambil objek realitas transendental, disarankan menggunakan metode ekspos facto. Penggunaan metode ekspos facto dalam penelitian sesuai dengan epistemologi reflektif probabilistik.[12]
Fazlur Rahman menawarkan beberapa metode yang juga dapat diaplikasikan untuk ilmu pendidikan Islam yaitu metode kritik sejarah (the critical history method), metode hermeneutik: netode penafsiran sistematis (the systematic interpretation method) dan metode gerakan ganda (a double movement); Rahman juga menawarkan metode al-istintâj (observasi) dan istiqrâ (eksperimen)[13]
Selanjutnya, tawaran Mujamil Qomar mengenai metode epistemologi pendidikan Islam membentang dari metode rasional sampai metode kritik. Metode epistemologi pendidikan Islam di sini bermakna metode-metode yang dipakai untuk menggali, menyusun dan mengembangkan ilmu pendidikan Islam. Metode epistemologi Islam berkonotasi upaya mencapai pengetahuan pendidikan Islam.[14] Dalam hal ini Mujamil Qomar menawarkan
6. Kebenaran pengetahuan
Sebagai implikasi dari penerimaan epistemologi pendidikan Islam terhadap wilayah realitas yang membentang dari yang sensual sampai yang transendental sebagaimana yang ditawarkan Noeng, maka epistemologi pendidikan Islam berarti mengakui kebenaran empirik sensual, kebenaran empirik logik, kebenaran empirik etik dan kebenaran transendental. Kesemua rentang kebenaran ini sebenarnya merupakan konsekuensi dari rentang potensi manusia untuk memperoleh kebenaran. Tabel berikut akan memperjelas hubungan rentang kebenaran itu kaitannya dengan potensi manusia, pengetahuan yang dihasilkannya dan cara memperolehnya:
Tabel
Hubungan potensi manusia dengan kebenaran[16]
NO | Potensi | Pengetahuan | Cara Memperoleh | Sifat Kebenaran |
1 | Al-jism | Sains | Observasi dan eksperimen | Sensoris |
2 | Al-‘aql | Filsafat | Argumentasi logis | Rasional |
3 | Al-qalb | Etika, estetika dll | Latihan empiris | Etika estetika |
4 | Al-rûh | Mistik | Latihan spiritual | Spiritual |
5 | Al-fithrah | Agama | Iman | transendental |
Bahasan selanjutnya berkaitan dengan teori kebenaran dalam epistemologi pendidikan Islam. Nampaknya epistemologi pendidikan Islam dapat mengakomodir teori kebenaran korespondensi[17], kebenaran koherensi[18] dan kebenaran pragmatis[19] yang telah berkembang pada epistemologi Barat. Salah seorang intelektual Islam yaitu Fazlur Rahman, menurut Sutrisno, nampaknya menerima tiga teori kebenaran pengetahuan ini. Kerangka teoritik yang menjadi kontruksi ilmu pendidikan Islam dapat mengukur kebenaran keilmuannya dengan cara melihat apakah teori yang dihasilkan itu memiliki kaitan yang signifikan terhadap realitas, teorinya didukung oleh fakta atau tidak; teori pendidikan Islam yang dihasilkan memiliki pernyataan-pernyataan yang konsisten dengan pernyataan-pernyataan sebelumnya yang telah dipandang benar; serta apakah teori pendidikan Islam yang dihasilkan itu memiliki manfaat atau tidak.
C. Penutup
Apapun yang dikemukakan di atas terhadap kontruksi epistemologi ilmu penidikan Islam semuanya masih dalam bentuk tawaran spekulatif dan masih dalam proses pembentukan. Masih kuatnya pengaruh epistemologi Barat pada tawaran-tawaran di atas menunjukkan bahwa upaya serius untuk membangun epistemologi Islam termasuk di dalamnya epistemologi ilmu pendidikan Islam harus terus dilanjutkan agar kontruksi epistemologi Islam benar-benar mencerminkan world view (pandangan dunia) Islam yang berpijak pada Alquran dan sunnah, bukan bentuk plagiatisme atau “pencurian” dari epistemologi lain yang belum tentu landasannya sesuai dengan Islam.
Kemandirian epistemologi Islam termasuk di dalamnya epistemologi pendidikan Islam adalah sikapnya yang jelas dan tegas terhadap intuisi dan wilayah transendental, di mana epistemologi Islam menerima intuisi sebagai salah satu sumber dan metode dalam epistemologi Islam sementara Barat masih skeptis bahkan sinis untuk menerimanya; di mana epistemologi Islam sejak awal mengakui wilayah transendental sementara Barat masih mengabaikannya.
Daftar Pustaka
Baharuddin, Paradigma Psikologi Islam: Studi tentang Elemen Psikologi dari Alquran,
Danusiri, Epistemologi dalam Tasawuf Iqbal,
M. Chobib Thoha, “Epistemologi dalam Pendidikan Islam” , dalam M. Chabib Thoha, et. al (ed), Reformulasi Filsafat Pendidikan Islam,
Mujamil Qomar, Epistemologi Pendidikan Islam dari Metode Rasional hingga Metode Kritik,
Muslim A. Kadir, “Filsafat Ilmu dan Nilai dalam Islam”, dalam M. Chabib Thoha, et. al (ed), Reformulasi Filsafat Pendidikan Islam,
Noneg Muhadjir, “Epistemologi Pendidikan Islam Pendekatan Teoritik-Filosofik”, dalam M. Chabib Thoha, et. al (ed), Reformulasi Filsafat Pendidikan Islam,
Sutrisno, Fazlur Rahman Kajian terhadap Metode, Epistemologi dan Sistem Pendidikan,
Wan Mohd Nor Wan Daud, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed M. Naquib al-Attas, diterjemahkan oleh Hamid Fahmy et. al., dari The Educational Philosophy and Practice of Syed Muhammad Naquib al-Attas,
[1] Secara etimologis, kata epistemologi berasal dari kata Yunani episteme yang berarti knowledge (pengetahuan) dan logos yang berarti the study of atau theory of. Secara harfiyah epistemologi berarti “studi atau teori tentang pengetahuan” (the study or theory of knowledge). Namun, dalam diskursus filsafat, epistemologi merupakan cabang dari filsafat yang membahas asal-usul, struktur, metode-metode dan kebenaran pengetahuan. Sutrisno, Fazlur Rahman Kajian terhadap Metode, Epistemologi dan Sistem Pendidikan, (
[2] Noneg Muhadjir, “Epistemologi Pendidikan Islam Pendekatan Teoritik-Filosofik”, dalam M. Chabib Thoha, et. al (ed), Reformulasi Filsafat Pendidikan Islam, (yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996)h. 189.
[3] Noeng Muhadjir menawarkan realisme metafisik dengan mengadakan modifkasi atas realisme metefisik Karl R. Popper. Noeng Memandang adanya realisme metafisik yang objektif universal dan berlaku tanpa batas ruang dan waktu, sebagaimana halnya realitas fisik. Metafisika itu bukan hasil abstrak tertinggi dari pikiran manusia yang bersumber dari dunia fisik. Jika demikian, berarti yang metafisika itu, hanya ada dalam pikiran (idealisme), bukan realitas di luar pikiran (realisme). Realitas metafisika itu merupakan keteraturan alam semesta, yang mempunyai hukum-hukum dan prinsip-prinsip, sebagaimana dunia fisik. Keteraturan alam semesta tersebut, masih berada pada dunia ketiga, dalam realisme metafisik Karl R. Popper. Bagi Noeng, ada dunia keempat yang merupakan wilayah spiritual transendental sebagai wilayah kebenaran mutlak. Dunia keempat itu adalah Tuhan yang menciptakan keteraturan alam semesta. Baharuddin, Paradigma Psikologi Islam: Studi tentang Elemen Psikologi dari Alquran, (
[4] Noeng Muhadjir, op. cit., h. 189.
[5] Skema ini dikutip dari M. Chobib Thoha, “Episitemologi dalam Pendidikan Islam” dalam M. Chabib Thoha, et. al (ed), Reformulasi Filsafat Pendidikan Islam, (yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), h. 203. Kemudian skema ini ditambahkan dengan penjajaran antara empirik sensual dengan al-jism, empirik logik dengan al-‘aql, empirik etik dengan al-qalb serta empirik transendental dengan al-rûh dan fithrah oleh Baharuddin. Lihat Baharuddin, op. cit., h. 286.
[6] Muslim A. Kadir, “Filsafat Ilmu dan Nilai dalam Islam”, dalam M. Chabib Thoha, et. al (ed), Op. cit., h. 41.
[7] Lihat Danusiri, Epistemologi dalam Tasawuf Iqbal, (Yogyakarta: Psutaka Pelajar, 1996), h. 41.
[8] Sutrisno, op. cit., h. 106.
[9] Wan Mohd Nor Wan Daud, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed M. Naquib al-Attas, diterjemahkan oleh Hamid Fahmy et. al., dari The Educational Philosophy and Practice of Syed Muhammad Naquib al-Attas, (
[10] Al-Attas menambahkan kata sifat “sehat” setelah perkataan akal, bukan saja karena pikiran manusia sering tidak betul, berangkat dari premis yang salah atau dari kesimpulan yang salah meskipun dari premis yang betul melainkan juga karena pikiran manusia sering dipengaruhi oleh estimasi dan imajinasi yang bisa salah ketika akal menegasikan kemampuannya untuk memahami realitas spiritual melalui intuisi, yaitu daya lain dari intelektual manusia. Ibid., h. 159.
[11] Ibid., h. 160.
[12] M. Chobib Thoha, “Epistemologi dalam Pendidikan Islam” , dalam op. cit., h. 206-207.
[13] Lihat penjelasan secara luas berikut contohnya tentang metode ini pada: Sutrisno, op. cit., h. 120-155.
[14] Bedakan metode pendidikan Islam dan metode penelitian pendidikan Islam dengan metode epistemologi pendidikan Islam. Metode pendidikan Islam bermaksud membahas metode-metode yang dipakai untuk menyampaikan materi pendidikan Islam, sedang metode penelitian pendidikan Islam berada pada tataran teknis dan operasional serta merupakan alat pendidikan Islam untuk menemukan pengetahuan pendidikan Islam, sementara metode epistemologi pendidikan Islam berada pada tataran pemikiran filosofis yang berusaha membangun, merumuskan dan memproses pengetahuan pendidikan Islam. Lihat: Mujamil Qomar, Epistemologi Pendidikan Islam dari Metode Rasional hingga Metode Kritik, (
[15] Untuk mengetahui semua penjelasan tentang metode-metode yang ditawarkan oleh Mujamil Qamar ini dapat dibaca pada halaman 270-362 dari buku ini (lihat judul pada catatan kaki di atas). Di sini saya hanya menekankan catatan Mujamil Qomar tentang metode intuisi seperti yang ditulisnya berikut ini: Salah satu diantara metode epistemologi Islam adalah metode intuitif. Metode ini cukup mampu memberikan kostribusi dalam pengembangan ilmu pengetahuan, termasuk juga ilmu pendidikan Islam. Sebagai disiplin ilmu pengetahuan Islam, pendidikan Islam mestinya telah diproses melalui metode intuitif. Jika tidak menggunakan metode intuitif, maka hendaknya disadari bahwa teori-teori dan konsep-konsep pendidikan Islam dapat dikonstruksi melalui metode intuitif. Kita tidak boleh membiarkan penididikan Islam terus dipengaruhi oleh pemikiran-pemikiran filsafat positivisme yang anti metafisika, anti wahyu dan anti instuisi. Pemikir-pemikir pendidikan Barat mengabaikan intuisi sedangkan sedangkan pemikir-pemikir pendidikan Islam menempatkan metode intuitif pada posisi yang signifikan dalam menemukan pengetahuan-pengetahuan yang berkaitan dengan pendidikan Islam.
Meskipun kalangan Barat rata-rata memandang sinis terhadap intuisi ketika diangkat sebagai salah satu metode epistemologi, ternyata masih terdapat pengecualian di antara mereka. Bergson misalnya, dia menyadari bahwa baik dengan maupun dengan indra belaka kita tidak mampu menyelami realitas sepenuhnya, kita harus menggunakan intuisi. Demikian juga Bebi De Porter dan Mike Hernacki menyatakan bahwa mungkin kecerdasan tertinggi—dan bentuk terbaik dari pikiran yang kreatif—adalah intuisi. Intuisi adalah kemampuan untuk menerima dan menyadari informasi yang tidak dapat diterima melalui indera kita. Intuisi mampu mampu melengkapi kelemahan budi maupun indera sebagai pendekatan ilmiah. Intuisi memiliki kemampuan yang besar, terutama kemampuan yang tidak terjangkau oleh akal maupun indra. Dengan hanya menggunakan akal dan indra, kita membiarkan adanya hal-hal yang tidak bisa dijangkau. Sedangkan dengan menggunakan intuisi kita berusaha secara nyata, paling tidak untuk mempersempit hal-hal yang tidak terjangkau. Pada dasarnya intuisi justru menjadi “penyelamat metodologis”. Ibid., h. 296, 306 dan 307.
[16] Dikutip dari Baharuddin, op. cit., h. 283.
[17]Menurut teori korespondensi, kebenaran merupakan suatu kesesuaian di antara proposis atau tanggapan dan kenyataan yang ditanggapi. Menurut Sonny Keraf, kebenaran korespondensi adalah kebenran yang terletak pada kesesuaian antara subjek dan objek, yaitu apa yang diketahui subjek dan realitas sebagaimana adanya. Kebenaran ini disebut juga kebenaran empiris, karena sesuatu pernyataan, atau proposisi atau teori itu didukung oleh fakta atau tidak. Karena itu, yang lebih ditekankan oleh teori ini adalah harus ada kesesuaian dengan realitas. Sutrinso, op. cit., h. 116-117.
[18] Menurut teori koherensi, suatu pernyataan dapat dterima kebenarannya kalau dapat menunjukkan bahwa pernyataan itu sesuai dengan pernyataan-pernyataan lain yang sudah diterima kebenarannya. Yang dipentingkan teori ini bukan persesuaian antara pernyataan dan realitas, tapi kesesuaian antara pernyataan atau teori dan pernyataan atau teori yang sudah diterima kebenarannya. Ibid., h. 117-118.
[19] Kebenaran pragmatis adalah yang didasarkan atas fungsi pragmatis dari sesuatu. Sesuatu dianggap benar jika sesuatu itu mempunyai nilai kegunaan nilai pragmatis. Menurut pragmatisme sesuatu itu tidak harus ditanyakan apa itu? Melainkan cukup ditanyakan apa gunanya dan untuk apa? Ibid., h. 118.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar