I. Pendahuluan
Dinasti ‘Abbâsiyyah adalah dinasti yang berasal dari salah satu cabang Bani Hâsyim keturunan al-‘Abbâs paman Nabi Muhammad Saw. Cabang lainnya adalah keturunan ‘Alî ibn Abî Thâlib (w. 661 M). Pandangan umum menunjukkan bahwa yang paling berhak menjadi khalifah adalah keturunan Banî Hâsyim dari kalangan ‘Alawiyyûn (keturunan ‘Ali), namun keturunan al-‘Abbâs juga mengklaim berhak menjabat khalifah bahkan lebih berhak dari keturunan ‘Alî. Klaim mereka adalah, kalau jabatan khalifah adalah warisan Rasulullah maka dalam sistem waris, warisan tidak diperoleh sepupu kalau ada paman. Sedang keturunan dari anak perempuan tidak mewrisi pusaka datuk dengan adanya pihak ashabah.[1] Terlepas dari klaim ini, realitas sejarah menunjukkan bahwa keturunan al-‘Abbâslah yang memperoleh jabatan khalifah pasca Dinasti Ummayyah.
Berbicara tentang Dinasti ‘Abbâsiyyah berarti berbicara tentang masa puncak kejayaan dan keemasan Islam. Sebab pada masa inilah tingkat kemakmuran, kekuatan politik dan ledakan gerakan intelektual dan keagamaan demikian luar biasa yang kemudian menjadikan peradaban Islam sebagai peradaban yang tak tertandingi pada saat itu. Bahkan peradaban yang dihasilkan umat Islam pada saat itu merupakan perintis dan pemberi jalan bagi kebangkitan Eropa untuk mengembangkan peradabannya lewat filsafat, sains dan teknologi di kemudian hari.
Namun berbicara tentang Dinasti ‘Abbâsiyyah juga berarti berbicara tentang realitas sejarah yang pahit di akhir cerita. Karena pada masa akhir dinasti ini peristiwa memilukan atas umat Islam dan hancurnya peradaban Islam serta pusat-pusat peradaban Islam lainnya terjadi pada tahun 1258 ketika bangsa bengis dan kejam, Mongol dan Tartar menghancurluluhkan kota Baghdâd dan membantai lebih dari satu juta jiwa penduduknya termasuk khalifah, keluarga, pembesar istana dan para ulama. Ini adalah pukulan mematikan terhadap dinasti ini dan sekaligus peradaban Islam.
Pembicaraan tentang Dinasti ‘Abbâsiyyah dalam tulisan ini, akan dimulai dari awal kebangkitannya, periodesasi kekuasaannya, perdabannya, sampai masa keruntuhannya. Aspek peradaban Islam masa ini hanya difokuskan pada tiga aspek yaitu aspek politik, aspek pendidikan dan ilmu pengetahuan dan aspek ekonomi.
II. Kebangkitan Dinasti ‘Abbâsiyyah
M. Atho Mudzhar mengemukakan beberapa teori sejarawan tentang kebangkitan Dinasti ‘Abbâsiyyah. Teori-teori yang ada nampaknya lebih menekankan pada satu aspek sebagai sebab utama kebangkitan ‘Abbâsiyyah. Paling tidak ada empat teori, menurut Atho Mudzhar, dalam hal ini yaitu: pertama, teori faksionalisme rasial atau teori pengelompokan kebangsaan. Kedua, teori faksionalisme sektarian atau teori pengelompokan golongan atas dasar paham keagamaan. Ketiga, teori faksionalisme kesukuan. Keempat, teori yang menekankan kepada ketidakadilan ekonomi dan disparitas regional.[2]
Setelah mengupas teori itu berdasarkan fakta-fakta sejarah, M. Atho Mudzhar menilai bahwa kebangkitan ‘Abbâsiyyah tidak dapat dilihat secara sederhana dengan hanya mengaplikasikan salah satu teori saja, tetapi teori-teori di atas harus dikombinasikan di mana satu teori saling mendukung yang lainnya karena proses sosial yang terjadi sangat kompleks sehingga penerapan satu teori hanya dapat berarti jika dilengkapi dengan teori lainnya.[3]
A. Hasjmi menyebutkan beberapa faktor dari runtuhnya Bani Umayyah dan bangkitnya dinasti ‘Abbâsiyyah yaitu: pertama, terjadinya kekacauan dalam kehidupan negara yang diperparah dengan berbagai kesalahan yang dilakukan oleh khalifah dan para pejabat negara seperti perekrutan pegawai yang menggunakan sistem nepotis dan ras, penindasan yang terus menerus pada kelompok ‘Alî dan Banî Hâsyim, menganaktirikan kelompok muslim non-Arab dalam pemerintahan dan pelanggaran terhadap ajaran Islam dan HAM secara terang-terangan. Kedua, munculnya gerakan rahasia dari turunan Banî Hâsyim dan Banî ‘Abbâs yang mendapat banyak pengikut terutama mereka yang selama ini tertindas. Ketiga, Munculnya perlawanan dari kelompok-kelompok Syî’ah, Khawârij dan Mu’tazilah.[4] Sementara Ajid Thohir, menyebutkan enam faktor pendukung berdirinya Dinasti ‘Abbâsiyyah yang pada dasarnya dapat disederhanakan jadi tiga yaitu faktor kelompok ‘Alî (Syî’ah) yang bertentangan dengan Mu’awiyyah yang semakin kuat setelah terbunuhnya Husayn di
III. Periode Kekuasaan ‘Abbâsiyyah
Dinasti ‘Abbâsiyyah berkuasa kurang lebih selama 5 abad (750-1258) atau 7,5 abad (750-1517 M) dalam versi al-Suyûthî. Namun versi al-Suyûthî ini tidak banyak digunakan oleh ahli sejarah dalam kasus periodesasi dinasti ‘Abbâsiyyah.
Untuk memudahkan rincian, dalam tulisan ini diambil pembagian periode atas dasar asumsi kelompok yang berpengaruh dalam kekuasaan ‘Abbâsiyyah yang terbagi dalam 5 periode sebagaimana periodesasi yang dibuat oleh Badri Yatim:
1. Periode pertama, kekuasaan penuh ‘Abbâsiyyah dan Pengaruh Orang Persi (132-232 H/750-847 M.)
Masa ini diawali sejak Abû al-‘Abbâs al-Saffâh menjadi khalifah (750 M) dan berlangsung selama satu abad hingga meninggalnya khalifah al-Watsîq (847 M). Masa ini dianggap sebagai zaman keemasan (golden age atau ‘ashr al-dzahabi) Dinasti ‘Abbâsiyyah. Wilayah kekuasaan ‘Abbâsiyyah pada periode ini membentang dari Lautan Atlantik sampai Sungai Indus, dari Laut Kaspia sampai hingga ke Sungai Nil. Pada masa ini, ada wilayah Islam yang tidak dibawah kontrol ‘Abbâsiyyah yaitu Andalusia yang didirikan oleh ‘Abdurrahmân tahun 756 M, salah seorang keluarga Umayyah yang berhasil melarikan diri ke Cordoba (Spanyol) dan mendirikan kerajaan di sana. Selama satu abad ini terdapat 9 orang khalifah yang bergantian memimpin Dinasti ‘Abbâsiyyah yaitu mulai al-Saffâh (750-754) sampai al-Watsîq (842-847)[10] (lihat lampiran I).
Periode ini disebut juga sebagai periode pengaruh
2. Periode kedua, Pengaruh Orang Turki (847-945)
Periode ini ditandai dengan meninggalnya khalifah al-Watsîq dan berakhir ketika keluarga Buwayhî bangkit memerintah (847-861 M). Sepeninggal al-Watsîq, al-Mutawakkil naik menjadi khalifah. Masa ini ditandai dengan bangkitnya pengaruh Turki (disebut juga pengaruh Turki pertama) karena pada masa ini orang-orang Turki memegang jabatan penting pada kekhalifahan ‘Abbâsiyyah. Mereka semula di bawa oleh al-Mu’tashim dan bermukim di
Pada masa al-Mu’tashim dan al-Watsîq, pengaruh orang Turki ini dapat dikendalikan. Namun pada masa al-Mutawakkil, mereka mulai bernafsu untuk memiliki kekuasaan penuh. Setelah al-Mutawakkil meninggal dunia para jenderal dari suku Turki (amir) berhasil mengontrol pemerintahan. Empat khalifah berikutnya, yaitu al-Mustanshir (861-862 M), al-Musta’în (862-866 M), al-Mu’tazz (866-896 M), dan al-Muhtadî (896-870 M) hanya menjadi simbol semata daripada menjadi kepala pemerintahan yang efektif.[17]
Secara umum apa yang terjadi di daerah terkait sangat erat dengan apa yang terjadi dipusat. Lemahnya pemerintah pusat Dinasti ‘Abbâsiyyah menyebabkan otonomi yang lebih besar di daerah. Kekacauan yang banyak timbul di pemerintahan pusat, pergantian para khalfiah dan para menteri, penyalahgunaan kekuasaan oleh para pejabat dan banyaknya polemik di antara berbagai madzhab fikih dan sekte akidah juga mendorong munculnya perubahan politik di wilayah timur Dinasti ‘Abbâsiyyah. Masa ini juga ditandai dengan munculnya beberapa orang yang mengklaim sebagai khalifah. Klaim tersebut kebanyakan atas nama keturunan ‘Alî. Akibatnya banyak pemberontakan yang harus diselesaikan oleh ‘Abbâsiyyah. Disintegrasi ini mulai menjalar ke wilayah yang lebih luas. Mulai banyak daerah yang memisahkan diri dari kekhalifahan dan menjadi dinasti yang merdeka misalnya Spanyol, Afrika Utara dan
Masa kedua ini dilewati oleh 13 khalifah Dinasti ‘Abbâsiyyah dari al-Mutawakkil (847-861) sampai al-Muktakfi (944-946) (lihat lampiran I).
3. Periode Ketiga, Di bawah Kekuatan Dinasti Buwayhî (945-1055 M)
Masa ini dimulai dengan bangkitnya Bani Buwayhî[19] hingga dengan munculnya kaum Saljûq. Kekuasaan Buwayhî menyebar sampai ke Irak dan Persia Barat. Sementara itu, Persia Timur, Transoksania dan
Pada tahun 945 pasukan Buwayhî memasuki
4. Periode Keempat, Dalam Kekuasaan Dinasti Saljûq (1055-1199 M)
Periode ini ditandai kekuasaan Bani Saljûq atas dawlah ‘Abbâsiyyah. Kehadiran bani saljuq adalah atas undangan khalifah untuk melumpuhkan kekuatan Dinasti Buwayhî di Baghdad. Pada masa ini kondisi dan wibawa khalifah membaik, terutama kewibawaanya dalam bidang agama setelah sekian lama dikuasai orang Syiah.[22] Pada masa ini, terdapat tiga orang sultan Dinasti Saljûq yang sangat berpengaruh yaituTughrul Bek (w. 1038 M), Alp Arslan (w. 1074 M) dan Maliksyah (w. 1092 M). Salah seorang wazîrnya yang paling populer adalah Nizhâm al-Mulk yang berhasil mendirikan madrasah Nizhâmiyyah (1067) dan Madrasah Hanafiyyah di Baghdad. Cabang madrasah Nizhâmiyyah didirikan hampir di setiap
Pusat kekuasaan saljûq tidak hanya di
5. Periode Kelima, Independensi Kekuasaan Khalifah di Sekitar
Pada periode ini khalifah tidak berada di bawah kekuasaan suatu dinasti tertentu. Mereka merdeka dan berkuasa, tetapi hanya di
IV. Peradaban Islam masa Bani Abbasiyyah
1. Bidang Politik
Sistem pemerintahan Dinasti ‘Abbâsiyyah tidak banyak mengalami perubahan. Menurut M. Lapidus, ‘Abbâsiyyah melanjutkan upaya Umayyah untuk memusatkan kekuasaan di tangan khalifah dan elite penguasa. Sebagaimana Umayyah telah telah mewarisi preseden birokrasi bangsa Romawi dan Sasania dan bahkan sisa-sisa organisasi kuno, maka ‘Abbâsiyyah mewarisi berbagai tradisi, praktik, keahlian dan bahkan personil administrasi Umayyah.[24]
Pada masa ‘Abbâsiyyah terutama dari khalifah Abû ‘Abbâs al-saffâh sampai al-mustakfî (antara 750-945 M) ada beberapa kebijakan politik yang diambil untuk memperkokoh kekuasaan dinasti ‘Abbâsiyyah yaitu:[25] Pertama, memindahkan ibu
Pada masa ‘Abbâsiyyah, negara dipimpin oleh kepala negara yang bernama khalifah dan jabatannya disebut khilâfah. Khalifah dalam menjalankan pemerintahannya dibantu oleh lembaga wizârah (kementerian) yang dijabat oleh seorang wazîr (perdana menteri). Wizârah ini ada dua macam, pertama, wizârat al-Tanfîzh (kabinet presidensil) di sini wazir berperan sebagai pembantu khalifah dan bekerja atas nama khalifah, dan kedua, wizârat al-tafwîdh (kabinet parlementer), di sini wazir diberi kuasa penuh untuk memimpin pemerintahan, sedang khalifah hanya simbol saja. Dalam menjalankan tugasnya wazir dibantu oleh beberapa orang râ`is al-dîwân (menteri departemen atau biro) yaitu dîwân al-kharraj (departemen keuangan), dîwân al-al-diyah (departemen kehakiman), dîwân al-zimmam (departemen pengawasan urusan negara), dîwân al-jund (departemen ketentaraan), dîwân al-mawâlî wa al-ghilman (departemen perburuhan), dîwân al-barid (departemen perhubungan), dîwân zimam ‘an nafaqât (dewan pengawas keuangan), dîwân al-rasâ`il (departemen kearsipan), dîwân al-nazhar fî al-mazhâlim (departemen pembelaan rakyat tertindas), dîwân al-akhdas wa al-syurthah (departemen keamanan dan kepolisian), dîwân al-‘athâ` wa al-hawâ`ij (departemen sosial), dîwân al-akhasyam (departemen urusan keluarga dan wanita) dan dîwân al-akarah (departemen pekerjaan umum dan pekerja).[27]
Kemudian dalam bidang tatausaha negara khalifah dibantu sebuah dewan yang disebut dîwân al-kitâbah (sekretariat negara), lembaga ini dipimpin oleh seorang sekretaris negara yang disebut râ`is al-kuttâb. Dalam menjalankan tugasnya, Râ`is al-kuttâb ini dibantu oleh beberapa sekretaris yaitu: kâtib al-rasâ`il (sekretaris urusan korespondensi), kâtib al-kharraj (sekretaris urusan keuangan), kâtib al-jumd (sekretaris urusan ketentaraan), kâtib al-syurthat (sekretaris urusan kepolisian) dan kâtib al-qadhâ (sekretaris urusan kehakiman).[28]
Pada masa ‘Abbâsiyyah, kekuasaan wilayah diatur berdasarkan sistem sentralisasi yang disebut dengan nizhâm idârî al-markazî. Wilayah negara dibagi dalam beberapa provinsi (imârât) yang dipimpin seorang gubernur yang disebut âmir atau hâkim. Pada saat itu, provinsi ini terbagi menjadi tiga yaitu:
1. Imaarat al-istikfa, yaitu provinsi yang kepada gubernurnya diberi hak kekuasaan yang besar dalam segala bidang urusan negara, termasuk urusan kepolisian, ketentaraan, keuangan dan kehakiman.
2. al-imaarah al-khassah, provinsi yang kepada gubernurnya hanya diberi wewenag yang terbatas.
3. Imaarat al-istilau, yaitu provinsi de facto yang didirikan oleh seorang panglima dengan kekerasan, yang kemudian terpaksa diakuinya dan panglima yang bersangkutan menjadi gubernurnya.
Kepada wilayah (provinsi) hanya diberikan hak-hak otonomi terbatas; yang mendapat hak otonomi penuh adalah “desa” yang disebut al-qura dengan kepala desa yang bergelar syaikh al-qaryah.[29]
Angkatan perang ‘Abbâsiyyah terdiri dari angkatan darat dan angkatan laut. Kedua angkatan perang ini dibawah pengelolaan dîwân al-jund. Masing-masing angkatan ini ada dua macam, al-jund al-murtaziqah, yaitu tentara tetap yang bergaji dan tinggal di asrama dan al-jund al-muthawwi’ah (milisi). Sementara untuk kesatuan tentara, di zaman ‘Abbâsiyyah terbagi menjadi empat yaitu ‘ârif (komandan regu) memimpin 10 prajurit, nâqib (komandan kompi) memimpin 10 ârif (seratus prajurit), qâ`id (komandan batalion) memimpin 10 nâqib (1000 prajurit) dan âmir (panglima divisi) memimpin 10 qâ`id (10.000) prajurit. Dalam keadaan darurat, seringkali khalifah menyerahkan pimpinan negara kepada panglima besar angkatan perang Islam yang disebut dengan âmir al-umarâ`. Pada kondisi seperti ini wazîr hanya menjadi penasehat.[30]
Urusan keuangan negara pada zaman ‘Abbâsiyyah diurus oleh sebuah lembaga keuangan yaitu bayt al-mâl. Bayt al-mâl pada zaman ini terdiri dari tiga dîwân yaitu dîwân al-khazânah yang bertugas mengurus perbendaharaan negara, dîwân al-azrâ` yang bertugas mengurus kekayaan negara pada sektor hasil bumi, dan dîwân khazâ`in al-silâh yang bertugas mengurus perlengkapan angkatan perang.
Urusan hukum pada masa ‘Abbâsiyyah diurus oleh dua lembaga yaitu lembaga kehakiman dan badan pengadilan. Lembaga kehakiman terdiri dari empat tingkatan yaitu 1) dîwân al-qâdhî al-qudhâh (mahkamah agung) yang dipimpin oleh al-qâdhî al-qudhâh (ketua mahkamah agung), 2) Qudhâh al-aqâlî (hakim provinsi yang mengetuai pengadilan tinggi), 3) Qudhâh al-amshâr (hakim kota yang mengetuai pengadilan negeri: al-qadhâ` atau al-hisbah), dan 4) al-sulthah al-qadhâ`iyyah (jabatan kejaksaan), di ibukota negara dipimpin oleh al-mudda’ al-‘umûmî (jaksa agung) dan tiap kota dipimpin oleh nâ`ib ‘umûmî (jaksa). Sementara untuk badan pengadilan ada tiga macam, 1) al-qadhâ` (gelar hakimnya adalah al-qâdhî), tugasnya mengurus perkara-perkara agama, 2) al-hisbah (gelarnya hakimnya al-muhtasib), tugasnya menyelesaikan perkara-perkara umum dan tindak pidana yang mendesak, 3) al-nazhar fî al-mazhâlim (gelar hakimnya shâhib atau qâdhî al-mazhâlim), tugasnya mengurus perkara banding dari pengadilan al-qadhâ dan al-hisbah. Selain itu, al-nazhar fî al-mazhâlim juga mengurus pengaduan rakyat atas pejabat negara yang menyeleweng, pengaduan pegawai yang terlambat atau dikurangi gajinya, menjalankan keputusan hakim yang tidak mampu dilaksanakan oleh al-qâdhî dan al-muhtasib. Di ibu
2. Bidang Ilmu Pengetahuan
Terdapat banyak faktor yang menyebabkan terjadinya gerakan keilmuan dan kehidupan intelektual yang luar biasa pada masa ‘Abbâsiyyah, faktor-faktor itu di antaranya adalah: pertama, Dinasti ‘Abbâsiyyah lebih mengutamakan pengembangan peradaban daripada melakukan ekspansi wilayah kekuasaannya. Kedua, terjadinya asimilasi budaya antar bangsa yang mengakibatkan upaya adaptasi, adopsi dan kesadaran untuk saling belajar antarbudaya serta upaya mengenal warisan ilmu pengetahuan dari peradaban lain. Pada saat itu, kebudayaan Arab, Persia, India, Yunani dan Romawi, serta tradisi agama Yahudi dan Nasrani bertemu dalam satu wilayah kekuasaan Islam. Ketiga, Kesiapan umat Islam untuk menyerap budaya dan khazanah peradaban besar dan mengembangkannya secara kreatif. Keempat, sikap terbuka umat Islam yang mendorong orang-orang non-Arab (mawâlî) untuk masuk Islam dan ikut mengembangkan sumbangan pengetahuan dan intelektual dalam bingkai peradaban Islam. Bahkan jumlah ilmuwan kalangan ‘ajam (non-Arab) ini melebihi ilmuwan bangsa Arab sendiri. Kelima, Munculnya gerakan penerjemahan yang memungkinkan berbagai ilmu pengetahuan, filsafat dan lainnya untuk dipelajari dan dikembangkan oleh umat Islam. Keenam, berdirinya lembaga-lembaga pendidikan, perpustakaan dan pusat-pusat sentra keagamaan dan intelektual di hampir seluruh wilayah Islam terutama di kota-kota utama. Ketujuh, penghargaan yang tinggi terhadap para ilmuwan dan karya-karya mereka serta pemberian posisi penting, kehidupan yang layak dan perlindungan dari penguasa. Kedelapan, adanya beberapa penguasa ‘Abbâsiyyah yang cinta dengan ilmu pengetahuan seperti Harûn al-Rasyîd dan al-Ma`mûn.
Kejayaan Dinasti ‘Abbâsiyyah salah satunya ditandai dengan adanya “booming” (ledakan) aktivitas keilmuan yang belum pernah disaksikan oleh bangsa Timur (juga bangsa Barat) baik dalam wilayah ilmu keagamaan (al-‘ulûm al-naqliyyah atau syar’iyyah) maupun wilayah filsafat (‘al-‘ulûm al-‘aqliyyah atau hikmiyyah) atau disebut juga dengan ilmu-ilmu asing (al-‘ulûm al-‘ajamiyyah) atau ilmu-ilmu klasik (al-’ulûm al-qâdimah).[32] Perkembangan luar biasa ini dapat dilihat dari banyaknya lembaga-lembaga pendidikan dan sentra-sentra studi agama, filsafat, sains dan sastra yang didirikan pada saat itu disetiap wilayah Islam.
Pada abad pertama pemerintahan Dinasti ‘Abbâsiyyah telah berkembang beberapa lembaga pendidikan atau tempat belajar yang disebut ma’had (jamak: ma’âhid), sebagaimana yang disebut oleh Ahmad Amîn yaitu:[33]
a. Al-kuttâb, tempat pendidikan anak-anak.
b. mesjid, adalah ma’had atau lembaga pendidikan terbesar yang pada saat itu menempati posisi madrasah dan perguruan tinggi pada masa ini. Contohnya adalah mesjid ‘Amrû di Mesir, mesjid Bashrah, mesjid Kûfah, Masjid al-Harâm di Makkah, Mesjid Nabawî di Madinah, mesjid al-Manshûr di
c. Majâlis al-Munâzharah, adalah forum-forum debat dalam berbagai disiplin ilmu yang diadakan diberbagai negeri, istana, mesjid dan antar ulama pada masa ‘Abbâsiyyah.
d. Al-Maktabât, perpustakaan pada saat itu lebih menyerupai universitas selain tempat menyimpan khazanah pustaka yang kaya, perpustakaan juga menjadi tempat belajar, menulis, berdiskusi dan pusat penerjemahan. Yang paling terkenal adalah Bayt al-Hikmah (disebut juga khazânat al-hikmah) yang di dalamnya banyak tersimpan buku-buku ilmu pengetahuan yang diambil dari berbagai bangsa, yang terbanyak adalah buku-buku filsafat dan hikmah.
e. Madrasah, Pada masa ‘Abbâsiyyah awal, belum ditemukan adanya madrasah khusus belajar, sebab madrasah baru muncul pada masa Nizhâm al-mulk, perdana menteri Saljûq dari tahun 456-485 H. (zaman ‘Abbâsiyyah di bawah kekuasaan Turki Saljûq) adalah orang pertama yang membangun madrasah, ia membangun madarasah di beberapa wilayah yaitu di
Tradisi keilmuan yang juga sangat penting pada saat itu adalah tradisi rihlat al-ulamâ`, yaitu perjalanan para ulama ke berbagai negeri dan daerah yang menjadi pusat ilmu pengetahuan untuk menuntut ilmu sekaligus juga mengajarkan pengetahuan mereka. Para ahli hadis, sastra, bahasa, filsafat dan lainnya rata-rata melakukan perjalanan ke berbagai
Pada masa ‘Abbâsiyyah terdapat sejumlah wilayah yang menjadi sentra gerakan keagamaan, ilmu pengetahuan dan intelektual dunia Islam. Sebagian besar wilayah itu dalam kekuasaan ‘Abbâsiyyah, dan sisanya berada pada kekuasaan dinasti lain walaupun juga pernah dikuasai ‘Abbâsiyyah. Sentra-sentra kehidupan intelektual pada masa ‘Abbâsiyyah adalah: 1) Hijâz (Makkah dan Madinah) yang menjadi sentra hadis dan pemahaman terhadap penjelasan Alquran dan hadis, 2) Baghdad, adalah sentra ilmu pengetahuan dan intelektual terpenting dalam berbagai disiplin ilmu dan seni, seperti tafsir, hadis, fiqh, lughah (nahw-sharf), filsafat (terutama penerjemahan buku-buku filsafat), kalâm, ilmu-ilmu alam dan matematika, nyanyian, musik, ukiran, dan lukisan.
Pada masa ‘Abbâsiyyah berbagai disiplin ilmu keislaman berkembang demikian pesatnya, demikian juga dengan filsafat, sains, bahasa dan sastra. Hampir semua tokoh-tokoh intelektual Islam yang populer sampai masa kini adalah kaum intelektual yang hidup pada masa ‘Abbâsiyyah. Di sini akan dikemukakan beberapa disiplin ilmu keislaman, filsafat dan sains berikut dengan beberapa orang tokoh populernya.
a. Ilmu-ilmu keislaman, filsafat, sejarah dan bahasa:[37]
1) Tafsir, tokohnya adalah Ibnu Jarîr al-Thabarî (225-310 H) dan Zamakhsyarî (467-538 H).
2) Hadis, di antara tokohnya adalah al-Bukhârî (194-256 H), Muslim (204-261 H), Abû Dâwûd (202-275 H), al-Tirmidzî (209-279 H), al-Nasâ`î (215-303 H), Ibnu Mâjah (209-273 H), Ibnu Hibbân (w. 354 H), Hâkim al-Naysâbûrî (321-405 H), al-Dârimî (200-280 H), dan al-Bayhaqî (w. 458 H).
3) Fiqih, diantara tokohnya adalah Mâlik ibn Anas (w. 179 H), Abû Hanifah (w. 150 H), Sufyan al-Tsawrî (w. 161 H), al-Syâfi’î (w. 204 H), Ahmad ibn Hanbal (w. 241 H), Dâwûd al-Zhâhirî (w. 270 H).
4) Kalâm, di antara tokohnya adalah Abû Huzayl al-Allâf (w. 840 M), al-Asy’arî (w. 935 M), al-Baqillânî (w. 1031 M), al-Juwaynî (w. 1085 M), dan al-Ghazâlî (w. 1111 M).
5) Tasawuf, di antara tokohnya adalah Junayd al-Baghdadî (w. 910 M), al-Qusyayrî (1073 M), Abû Yazîd al-Busthamî (w. 875 M), al-Hallâj (w. 922 M), Dzûnnûn al-Mishrî (w. 860 M), al-Ghazâlî (w. 1111 M), dan ‘Abd al-Qâdir al-Jaylânî (w. 1166 M).
6) Filsafat Islam, di antara tokohnya adalah al-Kindî (w. 873 M), al-Fârâbî (w. 950 M), al-Râzî (w. 925 M), Ibnu Sînâ (w. 1037 M) dan Ibnu Miskawayh (w. 1030 M).
7) Sejarah (penulisan sejarah), di antara tokohnya adalah Ibnu Ishâq (w. 767 M), Ibnu Hisyâm (w. 834 M), al-Waqidî ( w. 874 M), Ibnu Sa’ad (w. 845 M) dan al-Thabarî (w. 923 M).
8) Bahasa, di antara tokohnya adalah Sibawayh (w. 183 H) dan al-Farrâ` (w. 208 H).
b. Sains
Dalam bidang ini ada sejumlah ilmuwan Islam yang populer pelopor sains yaitu:[38]
1) Jâbir Ibn Hayyân (w. 815 M), nama Latinnya adalah Geber, ia ahli fisika, kedokteran dan kimia.
2) Al-Khawarizmî (w. 840 M), di Barat dikenal dengan nama Algorism, ia ahli aritmatika, geografi dan tabel astronomi.
3) Al-Battânî (w. 929 M), nama latinnya adalah Albategnius, ahli astronomi yang berhasil mengukur panjang tahun dengan teliti dan memperkenalkan sinus dan tangens sebagai fungsi goniometri dalam matematika.
4) Al-Râzî (w. 925 M), nama latinnya Razhes, ia ahli kedokteran klinis, bidang kimia (penerus Ibn Hayyân), bukunya menjadi buku manual laboratorium pertama yang pernah dikenal orang.
5) Al-Fârâbî (w. 925 M), dikenal sebagai Alpharabius, ahli dalam bidang musik sains sosial, matematika dan pengobatan.
6) Abû al-Qâsim al-Zahrawî (w. 1013 M), nama latinnya Albucasis, ia adalah ahli bedah tersohor. Karya ensiklopedisnya, al-tasif, breisi tentang teknik pengambilan batu ginjal, bedah mata, bedah telinga, bedah tenggorokan, teknik pengambilan janin yang mati, teknik amputasi dan lainnya.
7) Ibn al-Haytsam (w. 1039 M), nama latinnya Alhazen, ia ahli fisika dan matematika geometri analitik, ia juga ahli anatomi mata dalam bidang kedokteran.
8) Al-Bîrûnî (w. 1048 M), ia ahli geografi, matematika, fisika, mineralogi, dan astronomi. Ia orang pertama yang mempersoalkan perputaran bumi mengelilingi sumbunya dan tentang kesamaan gravitas bumi dengan gravitasi di langit.
9) Ibnu Sînâ (w. 1037 M), nama latinnya Avicenna, ia terkenal ahli dalam bidang kedokteran, walaupun ia juga menguasai matematika, astronomi, fisika, minerologi, ekonomi dan politik.
10) Al-Khayyâm (w. 1148 M), ahli astronomi dan kedokteran, ia juga memiliki karya besar dalam bidang matematika (geometri dan aljabar).
11) Al-Idrîsî (w. 1166 M), ia ahli flora dan fauna (termasuk khasiat tumbuhan) dan menulis tentang geografi
3. Bidang Ekonomi
a. Kas negara
Kemajuan ekonomi di masa ‘Abbâsiyyah menjadikan wilayah Islam menjadi wilayah yang makmur. Devisa negara demikian berlimpah. Al-Manshûr telah meletakan dasar yang kuat perekonomian Dinasti ‘Abbâsiyyah,
b. Pertanian
Upaya-upaya untuk memajukan pertanian pada masa itu adalah: pertama, Memperlakukan ahl al-dzimmah dan mawâlî dengan perlakuan baik dan adil, serta menjamin hak milik dan jiwa mereka, sehingga kembalilah mereka bertani di seluruh penjuru negeri. Kedua, mengambil tindakan keras terhadap para pejabat yang berlaku kejam kepada para petani. Ketiga, memperluas daerah-daerah pertanian di segenap wilayah negara. Keempat, membangun dan menyempurnakan perhubungan ke daerah-daerah pertanian, baik darat maupun air. Kelima, membangun bendungan-bendungan dan menggali kanal-kanal baik besar maupun kecil, sehingga tidak ada daerah pertanian yang tidak ada irigasinya. Tindakan ini membuat tanah Irak menjadi “tanah hitam” (subur).[41]
c. Perindustrian
Selain sektor pertanian, para khalifah Dinasti ‘Abbâsiyyah juga memperhatikan sektor perindustrian dan memberikan motivasi yang besar kepada rakyat untuk mengembangkan sektor industri ini. Karena itu, bermunculan berbagai macam industri di beberapa wilayah Islam. pada masa ‘Abbâsiyyah ada beberapa wilayah yang terkenal dengan industrinya masing-masing. Bashrah terkenal dengan industri sabun dan gelas, Kufah, Khazastan dan Damaskus terkenal dengan industri sutra, Khurasan terkenal dengan selendang, wol, dan tambang (perak, tembaga, seng, dan besi), Mesir terkenal dengan industri tekstil, Syam terkenal dengan industri keramik dan gelas, Andalusia terkenal dengan industri kapal, kulit dan senjata, dan Baghdad sendiri memiliki berbagai macam industri. Di Baghdad terdapat industri barang mewah (luks) baik gelas, tekstil, keramik dan sebagainya.
d. Perdagangan
Perhatian besar para khalifah ‘Abbâsiyyah terhadap sektor perdagangan terlihat dari upayanya memperlancar transportasi pada setiap jalur perdagangan misalnya dibangun sumur dan tempat istirahat pada setiap rute yang dilewati pedagang; membangun armada-armada dagang dan armaada laut untuk melindungi pantai dari serangan bajak laut, membentuk satu badan khusus untuk mengawasi pasar, timbangan dan harga. Usaha ini menjadikan
V. Keruntuhan Bani Abbasiyyah
Tentara Mongol sangat membenci Islam, terutama panglimanya Hulagu Khan, karena mereka banyak dipengaruhi oleh orang-orang Kristen Nestorian. Gereja-gereja Kristen berasosiasi dengan orang-orang Mongol yang anti Islam dan diperkeras di kantong-kantong ahl al-kitâb. Bukti konspirasi ini adalah setelah tentara Mongol menghancurleburkan pusat-pusat Islam, mereka justru ikut memberbaiki Yerusalem.[46] Bukti lainnya adalah istri Hulaghu Khan adalah seorang Kristen Nestorian yang mungkin mempengaruhinya membenci Islam.[47] Selain itu, terdapat persekutuan yang kuat antara kerajaan
Di pihak lain, al-Suyûthî menceritakan, di kalangan istana kekhalifahan sendiri terdapat seorang pengkhianat yang ikut mempermudah penyerangan tentara Mongol terhadap
VI. Penutup
Kebangkitan Dinasti ‘Abbâsiyyah disebabkan oleh beberapa faktor yang saling berkaitan dan mendukung, terutama faktor berbagai kesalahan Dinasti Umayyah yang terkait dengan masalah rasial, sektarian, penindasan ekonomi, penindasan kelompok, praktik nepotisme dan lainnya yang menyulut ketidakpuasan umat Islam yang kemudian dimanfaatkan oleh Abbasiyyah melalui gerakan-gerakan rahasianya yang akhirnya memunculkan kekuatan baru yang tak dapat dilawan oleh Dinasti Umayyah.
Dinasti ‘Abbâsiyyah didirikan oleh Abû al-‘Abbâs al-Saffâh yang dasar-dasarnya nya kemudian diperkuat oleh al-Manshûr. Kemudian pada masa khalifah al-Mahdî sampai al-Watsîq merupakan masa kejayaan dinasti ini, puncaknya pada masa Harûn al-Rasyîd dan al-Ma`mûn. Namun mulai masa al-Mutawakkil dan seterusnya sampai al-Musta’shim, kekuasaan dinasti ini mulai melemah, orang-orang Turki dan Dinasti Buwayhî, menjadikan mereka sebagai penguasa simbolik dan memperlakukan mereka dengan kasar. Kehormatan mereka mulai pulih ketika Dinasti Saljûq berkuasa, namun pada saat kekuasaan mereka independen dari dinasti manapun, tentara Mongol datang mengakhiri masa dinasti ini.
Peradaban Islam yang dibangun pada masa ini sangat luar biasa. Dinasti ini telah mengorganisir negara dengan baik. Urusan negara masing-masing telah dibagi dan diurus masing-masing departemen yang telah dibentuk yang terdiri dari khalifah, wizârât, dîwân al-kitâbah, dîwân- dîwân (departemen-departemen), bayt al-mâl, dîwân al-jund (angkatan perang), dîwân qâdhî al-qudhâh (kehakiman), dan manajemen negara yang menganut sistem nizhâm al-idârî al-markazî (sentralisasi). Dalam bidang pendidikan dan ilmu pengetahuan terjadi “booming” kegiatan keilmuan dan intelektual yang luar biasa dalam segala disiplin ilmu baik agama, sains, filsafat, sastra, bahasa dan lainnya. Gerakan intelektual ini diperkukuh dengan didirikannya sejumlah lembaga pendidikan dan perpustakaan seperti Bayt al-Hikmah dan Madrasah Nizhâmiyyah. Selain itu, gerakan intelektual juga sangat didukung dengan banyaknya sentra-sentra kehidupan intelektual yang muncul di berbagai wilayah Islam saat itu. Gerakan ini telah menghasilkan ulama, filosof dan saintis yang memiliki pengaruh besar tidak hanya di dunia Islam tetapi juga sampai ke Eropa yang membuka jalan bagi kebangkitan sains di Eropa. Sementara di bidang ekonomi, dinasti ini mampu menciptakan kemakmuran yang luar biasa dan menggalakkan berbagai sektor perekonomian baik pajak, pertanian, perdagangan, dan perindustrian (termasuk pertambangan).
Keruntuhan dinasti ini disebabkan oleh faktor internal dan eksternal. Faktor internalnya adalah konlik keluarga khalifah, perebutan pengaruh antar bangsa (
Daftar Pustaka
Abdullah, Taufik, et. al., (ed), Ensiklopedi Tematis Dunia Islam Edisi Pemikiran dan Peradaban, (
Amîn, Ahmad, Dhuhâ Islâm Juz 1, Beyrut, Dâr al-Kâtib al-‘Arabî, tt.
--------, Zhuhr al-Islâm Juz 1-2, Beyrut, Dâr al-Kâtib al-‘Arabî, tt .
Baiquni, Ahmad, Al-Qur`ân dan Ilmu Pengetahuan Kealaman, (
Hassan, Hassan Ibrahim, Sejarah dan Kebudayaan Islam, diterjemahkan oleh Djahdan Humam dari Islamic History and Culture, Yogyakarta, Kota Kembang, 1989.Hasjmy, A., Sejarah Kebudayaan Islam, Jakarta, Bulan Bintang, 1993.
Hasjmy, A., Sejarah Kebudayaan Islam,
Lapidus, Ira M., Sejarah Sosial Umat Islam bagian kesatu dan dua,
Lubis, Nur Ahmad Fadhil,”Dinasti Abbasiyyah” dalam Taufik Abdullah, et. Al (ed), Ensiklopedi Tematis Dunia Islam Edisi Khilafah,
Mudzhar, M. Atho, “Teori-teori tentang Jatuhnya Daulat Bani Umayah dan Bangkitnya Daulah Bani Abbasiyah”, dalam: Pendekatan Studi Islam dalam Teori dan Praktek, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 1998
Syalabi, Ahmad, Sejarah Kebudayaan Islam 3,
Suyûthî, al-Hâfizh Jalâl al-Dîn al-, Târîkh al-Khulafâ`, Dâr al-Kutub al-Islâmiyyah, tt.
Thohir, Ajid, Perkembangan Peradaban Di Kawasan Dunia Islam,
Yatim, Badri, Sejarah Peradaban Islam (Dirasah Islamiyah II),
------- ,”Abbasiyyah, Dinasti”, dalam Ensiklopedi Islam Jilid 1, (
[1] Ajid Thohir, Perkembangan Peradaban Di Kawasan Dunia Islam, (
[2] M. Atho Mudzhar, “Teori-teori tentang Jatuhnya Daulat Bani Umayah dan Bangkitnya Daulah Bani Abbasiyah”, dalam Pendekatan Studi Islam dalam Teori dan Praktek, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998), h. 86-88.
[3] Lihat, Ibid., h. 123.
[4] A. Hasjmy, Sejarah Kebudayaan Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1993), h. 210-211.
[5] Ajid Thohir, Perkembangan Peradaban Di Kawasan Dunia Islam, (
[6] Lihat: Nur Ahmad Fadhil Lubis,”Dinasti Abbasiyyah” dalam Taufik Abdullah, et. Al (ed), Ensiklopedi Tematis Dunia Islam Edisi Khilafah, (
[7] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam (Dirasah Islamiyah II), (
[8] Ajid Thohir, ibid, h. 53.
[9] Lihat al-Hâfizh Jalâl al-Dîn Al-Suyûthî, Târîkh al-Khulafâ`, (Dâr al-Kutub al-Islâmiyyah: tt), h. 238-473. Ringkasnya dapat dilihat pada daftar isi pada bagian akhir buku ini.
[10] Nur Ahmad Fadhil Lubis, Op. Cit., h. 83.
[11] Badri Yatim,”Abbasiyyah, Dinasti”, dalam Azyumardi Azra, et. al. (ed), Ensiklopedi Islam Jilid 1, (
[12] Ahmad Amîn, Dhuhâ Islâm Juz 1, (Beyrut: Dâr al-Kâtib al-‘Arabî, tt), h. 40.
[13] Lihat: Ibid, h. 40-43 Lihat pula kisah perebutan kekuasaan antara al-Ma’mûn dengan al-Amîn pada Ahmad Syalabî, Sejarah dan Kebudayaan Islam 3, (Jakarta: PT Alhusna Zikra, 1997), h. 125-129. Lihat pula tentang tokoh intelektual arsitek perpecahan antara al-Ma’mûn dengan al-Amîn yaitu al-Fadhl ibn al-Rabî’ dan kisah detil nya pada h. 263-279.
[14] Nur Ahmad Fadhil Lubis, Op. cit., h. 83.
[15] Badri Yatim, ”Abbasiyyah, Dinasti”, Op. Cit., h. 9. Persaingan antara berbagai kelompok masyarakat, terutama Arab dan
[16] A. Syalabi, Op. Cit., h. 307.
[17] Orang-orang Turki telah membunuh khalifah al-Mutawakkil, ini membuka jalan kepada mereka untuk melakukan tindakan kejam kepada para khalifah selanjutnya. Tindakan tindakan tidak ini berlangsung sepanjang kekuasaan mamâlik Turki ini sampai pada masa kekuasaan Buwayhî. Pada kedua masa ini para khalifah mendapat perlakuan kejam baik ada sebab atau tidak, seperti dibunuh, dijemur, dipukul dan dicungkil biji matanya. Pada masa kekuasaan Turki ini dari 12 khalifah pada periode ini, hanya ada 4 khalifah yang wafat dengan wajar, selebihnya, kalau tidak dibunuh, mereka diturunkan dari tahta dengan cara paksa.
[18] Ahmd Fadhil Lubis, Op. Cit., h. 84.
[19] Dinasti Buwayhî adalah pengikut Syî’ah. Oleh karena itu sejak nengausai pemerintahan, perayaan Syiah mulai di adakan seperti perayaan kematian Husayn ibn ‘Alî ibn Abî Thâlib (w. 680) cucu Rasulullah saw.yang dibunuh oleh Khalifah Umayyah di
[20] Ahmad Fadhil Lubis, Op. Cit., h. 84.
[21] Ibid., h. 85.
[22] Badri Yatim, “Abbasiyyah, Dinasti”, Op. Cit., h. 10.
[23] Ibid.
[24] Ira M. Lapidus, Sejarah Sosial Umat Islam bagian kesat dan dua, (
[25] Adjid Thohir, Op. Cit., h. 53-54 dan A. Hasjmy, Op. Cit., h. 213-214.
[26] Ira M. Lapidus, Op. Cit., h. 105-106.
[27] A. Hasjmy, Op. Cit., h. 230-231.
[28] Ibid., h. 230.
[29] Ibid., h. 231-232.
[30] Ibid.232-233.
[31] Ibid., h. 234-235.
[32] Lihat: Hassan Ibrahim Hassan, Sejarah dan Kebudayaan Islam, diterjemahkan oleh Djahdan Humam dari Islamic History and Culture, (Yogyakarta: Kota Kembang, 1989), h. 132 dan 133.
[33] Ahmad Amin, Dhuhâ Islâm Juz II, (Beyrut: Dâr al-Kâtib al-‘Arabî, tt)h. 49-66.
[34] Ibid., h. 49.
[35] Ibid., h. 69-71.
[36] Disarikan dari Ahmad Amin, Ibid., h. 73-105 dan Ahmad Amîn, Zhuhr al-Islâm Juz 1-2, (Beyrut: Dâr al-Kâtib al-‘Arabî, tt), h. 161-310.
[37] Nama-nama ini dihimpun dari berbagai sumber yaitu:Amin Abdullah, “Penerjemahan Karya Klasik”, M. Abdurrahman, “Ilmu Hadis sebagai Sumber Pemikiran”, Juhaya S. Praja,”Fikih dan Syariat”, Mulyadi Kertanegara, “Ilmu Kalam”, Yunasril Ali,”Tasawuf”, semuanya dalam: Taufik Abdullah, et. al., (ed), Ensiklopedi Tematis Dunia Islam Edisi Pemikiran dan Peradaban, (
[38] Lihat daftar lebih lengkap pada Ahmad Baiquni, Al-Qur`ân dan Ilmu Pengetahuan Kealaman, (Yogyakarta: PT Dana Bhakti Prima Yasa, 1996), h. 67-72.
[39] Badri Yatim, “Dinasti Abbasiyyah”, Op. Cit., h. 8 dan A. Hasjmy, Op. Cit. h. 238-239.
[40] A. Hasjmy, Op. Cit., h. 233-234.
[41] Ibid, h. 239-240.
[42] Ibid., h. 240-241.
[43] Ibid., h. 241-242.
[44] Ajid Thohir, Op. Cit., h. 55-56.
[45] Badri Yatim, “Abbasiyyah, Dinasti”, OP. Cit., h. 10.
[46] Badri Yatim, Sejarah Peradan Islam, Op. Cit., h. 85.
[47] Nur Ahmad Fadil Lubis, Op. Cit., h. 111.
[48] Ibid.
[49] Lihat al-Suyûthî, Op. Cit., h. 429, 433-435.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar