Rabu, 07 Januari 2009

Peradaban Islam Bani Abbasiyyah

I. Pendahuluan

Dinasti ‘Abbâsiyyah adalah dinasti yang berasal dari salah satu cabang Bani Hâsyim keturunan al-‘Abbâs paman Nabi Muhammad Saw. Cabang lainnya adalah keturunan ‘Alî ibn Abî Thâlib (w. 661 M). Pandangan umum menunjukkan bahwa yang paling berhak menjadi khalifah adalah keturunan Banî Hâsyim dari kalangan ‘Alawiyyûn (keturunan ‘Ali), namun keturunan al-‘Abbâs juga mengklaim berhak menjabat khalifah bahkan lebih berhak dari keturunan ‘Alî. Klaim mereka adalah, kalau jabatan khalifah adalah warisan Rasulullah maka dalam sistem waris, warisan tidak diperoleh sepupu kalau ada paman. Sedang keturunan dari anak perempuan tidak mewrisi pusaka datuk dengan adanya pihak ashabah.[1] Terlepas dari klaim ini, realitas sejarah menunjukkan bahwa keturunan al-‘Abbâslah yang memperoleh jabatan khalifah pasca Dinasti Ummayyah.

Berbicara tentang Dinasti ‘Abbâsiyyah berarti berbicara tentang masa puncak kejayaan dan keemasan Islam. Sebab pada masa inilah tingkat kemakmuran, kekuatan politik dan ledakan gerakan intelektual dan keagamaan demikian luar biasa yang kemudian menjadikan peradaban Islam sebagai peradaban yang tak tertandingi pada saat itu. Bahkan peradaban yang dihasilkan umat Islam pada saat itu merupakan perintis dan pemberi jalan bagi kebangkitan Eropa untuk mengembangkan peradabannya lewat filsafat, sains dan teknologi di kemudian hari.

Namun berbicara tentang Dinasti ‘Abbâsiyyah juga berarti berbicara tentang realitas sejarah yang pahit di akhir cerita. Karena pada masa akhir dinasti ini peristiwa memilukan atas umat Islam dan hancurnya peradaban Islam serta pusat-pusat peradaban Islam lainnya terjadi pada tahun 1258 ketika bangsa bengis dan kejam, Mongol dan Tartar menghancurluluhkan kota Baghdâd dan membantai lebih dari satu juta jiwa penduduknya termasuk khalifah, keluarga, pembesar istana dan para ulama. Ini adalah pukulan mematikan terhadap dinasti ini dan sekaligus peradaban Islam.

Pembicaraan tentang Dinasti ‘Abbâsiyyah dalam tulisan ini, akan dimulai dari awal kebangkitannya, periodesasi kekuasaannya, perdabannya, sampai masa keruntuhannya. Aspek peradaban Islam masa ini hanya difokuskan pada tiga aspek yaitu aspek politik, aspek pendidikan dan ilmu pengetahuan dan aspek ekonomi.

II. Kebangkitan Dinasti Abbâsiyyah

M. Atho Mudzhar mengemukakan beberapa teori sejarawan tentang kebangkitan Dinasti ‘Abbâsiyyah. Teori-teori yang ada nampaknya lebih menekankan pada satu aspek sebagai sebab utama kebangkitan ‘Abbâsiyyah. Paling tidak ada empat teori, menurut Atho Mudzhar, dalam hal ini yaitu: pertama, teori faksionalisme rasial atau teori pengelompokan kebangsaan. Kedua, teori faksionalisme sektarian atau teori pengelompokan golongan atas dasar paham keagamaan. Ketiga, teori faksionalisme kesukuan. Keempat, teori yang menekankan kepada ketidakadilan ekonomi dan disparitas regional.[2]

Setelah mengupas teori itu berdasarkan fakta-fakta sejarah, M. Atho Mudzhar menilai bahwa kebangkitan ‘Abbâsiyyah tidak dapat dilihat secara sederhana dengan hanya mengaplikasikan salah satu teori saja, tetapi teori-teori di atas harus dikombinasikan di mana satu teori saling mendukung yang lainnya karena proses sosial yang terjadi sangat kompleks sehingga penerapan satu teori hanya dapat berarti jika dilengkapi dengan teori lainnya.[3]

A. Hasjmi menyebutkan beberapa faktor dari runtuhnya Bani Umayyah dan bangkitnya dinasti ‘Abbâsiyyah yaitu: pertama, terjadinya kekacauan dalam kehidupan negara yang diperparah dengan berbagai kesalahan yang dilakukan oleh khalifah dan para pejabat negara seperti perekrutan pegawai yang menggunakan sistem nepotis dan ras, penindasan yang terus menerus pada kelompok ‘Alî dan Banî Hâsyim, menganaktirikan kelompok muslim non-Arab dalam pemerintahan dan pelanggaran terhadap ajaran Islam dan HAM secara terang-terangan. Kedua, munculnya gerakan rahasia dari turunan Banî Hâsyim dan Banî ‘Abbâs yang mendapat banyak pengikut terutama mereka yang selama ini tertindas. Ketiga, Munculnya perlawanan dari kelompok-kelompok Syî’ah, Khawârij dan Mu’tazilah.[4] Sementara Ajid Thohir, menyebutkan enam faktor pendukung berdirinya Dinasti ‘Abbâsiyyah yang pada dasarnya dapat disederhanakan jadi tiga yaitu faktor kelompok ‘Alî (Syî’ah) yang bertentangan dengan Mu’awiyyah yang semakin kuat setelah terbunuhnya Husayn di Karbala, faktor kelompok Khawârij dan faktor munculnya paham mawâlî.[5]

III. Periode Kekuasaan ‘Abbâsiyyah

Dinasti ‘Abbâsiyyah berkuasa kurang lebih selama 5 abad (750-1258) atau 7,5 abad (750-1517 M) dalam versi al-Suyûthî. Namun versi al-Suyûthî ini tidak banyak digunakan oleh ahli sejarah dalam kasus periodesasi dinasti ‘Abbâsiyyah. Para ahli sejarah membagi periode kekuasaan Bani ‘Abbâs dengan rincian yang berbeda-beda. Pada umumnya para ahli sejarah membagi periode ‘Abbâsiyyah berdasarkan pada kelompok yang berpengaruh kuat pada masa ‘Abbâsiyyah. Atas dasar ini, oleh Ahmad Fadhil Lubis dan A. Hasjmy, periode ‘Abbâsiyyah dibagi menjadi 1) periode awal (750-847 M) atau disebut juga periode ‘Abbâs I, 2) periode lanjutan (847-945 M) atau disebut juga periode ‘Abbâs II , 3) periode Buwayhî (945-1055) atau disebut juga periode ‘Abbâs III, dan 4) periode Saljûq (1055-1258 M) disebut juga periode ‘Abbâs IV.[6] Badri Yatim, membagi periode ‘Abbâsiyyah lebih detil dari pembagian periode di atas, ia membaginya menjadi lima periode yaitu: periode pertama (750-847 M.), disebut periode pengaruh Persia pertama, 2) periode kedua (847-945 M), disebut masa pengaruh Turki pertama, 3) periode ketiga (945-1055 M), disebut juga masa kekuasaan Buwayhî atau pengaruh Persia kedua, 4) periode keempat (1055-1194), disebut juga masa pengaruh Turki (Bani Saljûq) kedua, dan 5) periode kelima (1194-1258), masa dimana khalifah bebas dari pengaruh dinasti lain, namun kekuasaannya hanya efektif di sekitar kota Baghdad saja.[7] Berbeda dengan pembagian periode di atas, Ajid Thohir membagi periode ‘Abbâsiyyah menjadi dua periode berdasarkan dinamika peradaban di masa ‘Abbâsiyyah, periode I (750-945) dimulai dari pemerintahan Abû al-‘Abbâs sampai pada Mustakfî, periode ini diasumsikan sebagai periode perkembangan di berbagai bidang masih menunjuk grafik vertikal, stabil dan dinamis, dan periode kedua (945-1258) dari masa al-Mu’tî sampai al-Musta’shim. Periode ini ditandai dengan semakin merosotnya kejayaan ‘Abbâsiyyah sampai datangnya pasukan Tartar menghancurkan Dinasti ‘Abbâsiyyah.[8] Sementara al-Suyûthî membagi periode kekuasaan ‘Abbâsiyyah berdasarkan letak geografis atau wilayah di mana ‘Abbâsiyyah berkuasa yaitu ‘Abbâsiyyah di Irak dan ‘Abbâsiyyah di Mesir (dalam kekuasaan Mamlûk).[9]

Untuk memudahkan rincian, dalam tulisan ini diambil pembagian periode atas dasar asumsi kelompok yang berpengaruh dalam kekuasaan ‘Abbâsiyyah yang terbagi dalam 5 periode sebagaimana periodesasi yang dibuat oleh Badri Yatim:

1. Periode pertama, kekuasaan penuh ‘Abbâsiyyah dan Pengaruh Orang Persi (132-232 H/750-847 M.)

Masa ini diawali sejak Abû al-‘Abbâs al-Saffâh menjadi khalifah (750 M) dan berlangsung selama satu abad hingga meninggalnya khalifah al-Watsîq (847 M). Masa ini dianggap sebagai zaman keemasan (golden age atau ‘ashr al-dzahabi) Dinasti ‘Abbâsiyyah. Wilayah kekuasaan ‘Abbâsiyyah pada periode ini membentang dari Lautan Atlantik sampai Sungai Indus, dari Laut Kaspia sampai hingga ke Sungai Nil. Pada masa ini, ada wilayah Islam yang tidak dibawah kontrol ‘Abbâsiyyah yaitu Andalusia yang didirikan oleh ‘Abdurrahmân tahun 756 M, salah seorang keluarga Umayyah yang berhasil melarikan diri ke Cordoba (Spanyol) dan mendirikan kerajaan di sana. Selama satu abad ini terdapat 9 orang khalifah yang bergantian memimpin Dinasti ‘Abbâsiyyah yaitu mulai al-Saffâh (750-754) sampai al-Watsîq (842-847)[10] (lihat lampiran I). Para khalifah ini merupakan khalifah ‘Abbâsiyyah yang membawa dinasti ‘Abbâsiyyah ke puncak kejayaannya. Sebagaimana dinyatakan Badri Yatim, bahwa kalau dasar-dasar pemerintahan Dawlah ‘Abbâsiyyah ini telah diletakkan dan dibangun oleh Abû al-‘Abbâs al-Saffâh dan Abû Ja’far al-Manshûr (754-775 M), maka puncak keemasan dinasti ini berada pada tujuh khalifah sesudahnya, mulai dari khalifah al-Mahdî (775-785 M) hingga khalifah al-Watsîq. Puncak popularitas daulah ini berada pada zaman Hârûn al-Rasyîd (786-809 M) dan al-Ma`mûn (813-833 M).[11]

Periode ini disebut juga sebagai periode pengaruh Persia pertama karena kuatnya pengaruh orang-orang Persi (salah satu kelompok al-mawâlî) dalam tubuh pemerintahan ‘Abbâsiyyah. Menurut Ahmad Amîn, pengaruh Persi menguat pada masa ‘Abbâsiyyah awal, dan pengaruh ini semakin kuat hari demi hari.[12] Al-Manshûr adalah khalifah pertama yang banyak menggunakan kaum mawâlî sebagai pekerja dan lebih mengutamakannya dari orang Arab. Pada masa khalifah Hârûn al-Rasyîd, pengaruh Persi semakin kuat dengan diserahkannya urusan negara kepada keluarga Barâmikah (al-Barmakî) yang berasal dari Balkh Persia selama 50 tahun. Puncaknya adalah pada masa al-Ma`mûn ketika ia berhasil merebut kursi kekhalifahan dari tangan saudaranya al-Amîn (809-813 M) atas bantuan orang-orang Persi (Khurâsan). Pada saat itu, kebanyakan orang Persi mendukung al-Ma`mûn sedang orang Arab mendukung al-Amîn. Namun, pada masa al-Mu’tashim (833-842 M), posisi orang Persia digantikan oleh orang-orang Turki.[13] Pada periode ini juga terjadi peristiwa penting yaitu peristiwa al-mihnah tentang kemakhlukan Alquran dari masa al-Ma’mûn dan berakhir pada masa al-Murawakkil (847-861 M).

2. Periode kedua, Pengaruh Orang Turki (847-945)

Periode ini ditandai dengan meninggalnya khalifah al-Watsîq dan berakhir ketika keluarga Buwayhî bangkit memerintah (847-861 M). Sepeninggal al-Watsîq, al-Mutawakkil naik menjadi khalifah. Masa ini ditandai dengan bangkitnya pengaruh Turki (disebut juga pengaruh Turki pertama) karena pada masa ini orang-orang Turki memegang jabatan penting pada kekhalifahan ‘Abbâsiyyah. Mereka semula di bawa oleh al-Mu’tashim dan bermukim di Baghdad. Namun penduduk kota pada umumnya tidak menyukai mereka, sehingga al-Mu’tashim memindahkan mereka ke sebuah kota yang sengaja di bangun buat mereka, yaitu kota Samarra`, sebuah kota yang terletak disebelah utara Baghdad.[14] Pilihan al-Mu’tashim terhadap unsur Turki dalam ketentaraan terutama dilatarbelakangi adanya persaingan antara golongan Arab dan Persia pada masa al-Ma`mûn dan sebelumnya.[15] Berbagai peristiwa yang terjadi telah menyebabkan al-Mu’tashim kehilangan kepercayaan terhadap keturunan Arab dan Persia. Orang-orang Persia ternyata memiliki tujuan untuk berkuasa, bermula dari peristiwa Abû salâmah al-Khallâl, Abû Muslim al-Khurâsânî, kaum Barâmikah kemudian Fadhl ibn Sahl. Sementara keturunan Arab merasa kekuasaan mereka telah lenyap setelah tumbangnya Dinasti Umayyah di ujung pedang orang-orang Persia, ini mendorong Nashr ibn Sabth memberontak pada masa al-Ma`mûn untuk membela orang-orang Arab.[16]

Pada masa al-Mu’tashim dan al-Watsîq, pengaruh orang Turki ini dapat dikendalikan. Namun pada masa al-Mutawakkil, mereka mulai bernafsu untuk memiliki kekuasaan penuh. Setelah al-Mutawakkil meninggal dunia para jenderal dari suku Turki (amir) berhasil mengontrol pemerintahan. Empat khalifah berikutnya, yaitu al-Mustanshir (861-862 M), al-Musta’în (862-866 M), al-Mu’tazz (866-896 M), dan al-Muhtadî (896-870 M) hanya menjadi simbol semata daripada menjadi kepala pemerintahan yang efektif.[17]

Secara umum apa yang terjadi di daerah terkait sangat erat dengan apa yang terjadi dipusat. Lemahnya pemerintah pusat Dinasti ‘Abbâsiyyah menyebabkan otonomi yang lebih besar di daerah. Kekacauan yang banyak timbul di pemerintahan pusat, pergantian para khalfiah dan para menteri, penyalahgunaan kekuasaan oleh para pejabat dan banyaknya polemik di antara berbagai madzhab fikih dan sekte akidah juga mendorong munculnya perubahan politik di wilayah timur Dinasti ‘Abbâsiyyah. Masa ini juga ditandai dengan munculnya beberapa orang yang mengklaim sebagai khalifah. Klaim tersebut kebanyakan atas nama keturunan ‘Alî. Akibatnya banyak pemberontakan yang harus diselesaikan oleh ‘Abbâsiyyah. Disintegrasi ini mulai menjalar ke wilayah yang lebih luas. Mulai banyak daerah yang memisahkan diri dari kekhalifahan dan menjadi dinasti yang merdeka misalnya Spanyol, Afrika Utara dan Persia.[18]

Masa kedua ini dilewati oleh 13 khalifah Dinasti ‘Abbâsiyyah dari al-Mutawakkil (847-861) sampai al-Muktakfi (944-946) (lihat lampiran I).

3. Periode Ketiga, Di bawah Kekuatan Dinasti Buwayhî (945-1055 M)

Masa ini dimulai dengan bangkitnya Bani Buwayhî[19] hingga dengan munculnya kaum Saljûq. Kekuasaan Buwayhî menyebar sampai ke Irak dan Persia Barat. Sementara itu, Persia Timur, Transoksania dan Afghanistan yang semula di bawah kekuasaan Dinasti Samâniyyah beralih kepada Dinasti Ghaznawî (lihat peta pada lampiran II). Kemudian sejak tahun 869M, Dinasti Fâthimiyyah berdiri di Mesir. Untuk beberapa lama, dinasti ini juga mengontrol sebagian besar wilayah Suriah dan seluruh wilayah Barat Mesir dan bahkan sebagian dari mereka mendirikan dinasti yang merdeka. Meskipun begitu, Dinasti Buwayhî masih tetap cukup kuat dan berkuasa karena mereka menguasai Baghdad, yang merupakan pusat dunia Islam dan kediaman khalifah ‘Abbâsiyyah.[20]

Pada tahun 945 pasukan Buwayhî memasuki kota Baghdad untuk merebut kekuasaan dan memegang kekuasaan de facto. Khalifah al-Muktakfî (944-946 M) kemudian mengangkat pimpinan pasukan Buwayhî yang bernama Ahmad ibn Buwayhî sebagai panglima besar untuk memperkuat kekuatan dawlah. Namun Ahmad ibn Buwayhî ternyata mengkhianati dan menurunkan khalifah yang kemudian menggantikannya dengan al-Mu’tî (946-974 M) sebagai khalifah baru. Sejak kekuasaan secara de facto di tangan Buwayhî, khalifah tidak lebih dari “pimpinan boneka” bahkan orang-orang Buwayhî yang menganut paham Syî’ah terkesan kurang menghormati khalifah yang berfaham sunnî. Selama satu abad (945-1055 M) kekuasaan Dinasti Buwayhî, terdapat lima khalifah ‘Abbâsiyyah yang memegang jabatan khalifah, namun sampai menjelang akhir abad ke-10 kekuasaan ‘Abbâsiyyah sudah makin melemah sehingga kedaulatan wilayahnya hanya terbatas pada wilayah sekitar Baghdad. Negeri-negeri yang melepaskan diri dari Baghdad telah membelah-belah wilayah ‘Abbâsiyyah menjadi beberapa wilayah yaitu Dinasti Buwayhî di Persia (932-1055), Dinasti Samâniyyah di Khurasan (874-965), Dinasti Hamdaniyyah di Suriah (924-1003), Dinasti ‘Umayyah di Spanyol (756-1030), Dinasti Fâthimiyyah di Mesir (969-1171), dan Dinasti Ghaznawî di Afghanistan (962-1187). Pada masa dominasi Buwayhî ini terdapat empat khalifah yang memerintah yaitu dari al-Mu’tî (946-974 M) sampai al-Qâ`im (1031-1075 M)[21] (lihat lampiran I).

4. Periode Keempat, Dalam Kekuasaan Dinasti Saljûq (1055-1199 M)

Periode ini ditandai kekuasaan Bani Saljûq atas dawlah ‘Abbâsiyyah. Kehadiran bani saljuq adalah atas undangan khalifah untuk melumpuhkan kekuatan Dinasti Buwayhî di Baghdad. Pada masa ini kondisi dan wibawa khalifah membaik, terutama kewibawaanya dalam bidang agama setelah sekian lama dikuasai orang Syiah.[22] Pada masa ini, terdapat tiga orang sultan Dinasti Saljûq yang sangat berpengaruh yaituTughrul Bek (w. 1038 M), Alp Arslan (w. 1074 M) dan Maliksyah (w. 1092 M). Salah seorang wazîrnya yang paling populer adalah Nizhâm al-Mulk yang berhasil mendirikan madrasah Nizhâmiyyah (1067) dan Madrasah Hanafiyyah di Baghdad. Cabang madrasah Nizhâmiyyah didirikan hampir di setiap kota di Irak dan Khurâsân.

Pusat kekuasaan saljûq tidak hanya di kota Baghdad, tetapi juga di wilayah lain terutama Naysâbûr dan Rayy. Pembagian wilayah yang terbagi-bagi ini menjadi bumerang dikemudian hari ketika kekuasaan pusat melemah, karena masing-masing akhirnya memerdekakan diri. Ini mengakibatkan konflik di antara penguasa Saljûq sendiri yang membawa kelemahan kekuasaan mereka, hingga pada masa Khawarizmsyah (1199 M), kekuasaan Saljûq berakhir. Pada masa ini ada 7 khalifah Abbasiyyah yang berkuasa yaitu dari al-Muqtadî (1075-1094 M) sampai al-Mustadhî` (1170-1180 M), sementara al-Nâshir (1180-1225) berada masa transisi antara keruntuhan saljûq dan kebangkitan Abbâsiyyah kembali.

5. Periode Kelima, Independensi Kekuasaan Khalifah di Sekitar Baghdad dan akhir Dinasti ‘Abbâsiyyah di Baghdad (1199-1258 M)

Pada periode ini khalifah tidak berada di bawah kekuasaan suatu dinasti tertentu. Mereka merdeka dan berkuasa, tetapi hanya di Baghdad dan sekitarnya. Sempitnya wilayah kekuasaan khalifah menunjukkan kelemahan politiknya. Pada masa inilah datang tentara Mongol dan Tartar menghancurluluhkan Baghdad tanpa perlawanan pada tahun 1258 M.[23] Pada periode ini terdapat 4 khalifah yang berkuasa yaitu dari al-Nâshir sampai al-Musta’shim (1242-1258 M).

IV. Peradaban Islam masa Bani Abbasiyyah

1. Bidang Politik

Sistem pemerintahan Dinasti ‘Abbâsiyyah tidak banyak mengalami perubahan. Menurut M. Lapidus, ‘Abbâsiyyah melanjutkan upaya Umayyah untuk memusatkan kekuasaan di tangan khalifah dan elite penguasa. Sebagaimana Umayyah telah telah mewarisi preseden birokrasi bangsa Romawi dan Sasania dan bahkan sisa-sisa organisasi kuno, maka ‘Abbâsiyyah mewarisi berbagai tradisi, praktik, keahlian dan bahkan personil administrasi Umayyah.[24]

Pada masa ‘Abbâsiyyah terutama dari khalifah Abû ‘Abbâs al-saffâh sampai al-mustakfî (antara 750-945 M) ada beberapa kebijakan politik yang diambil untuk memperkokoh kekuasaan dinasti ‘Abbâsiyyah yaitu:[25] Pertama, memindahkan ibu kota negara dari Damaskus ke Baghdad; selanjutnya kota Baghdad dijadikan sebagai ibukota negara dan menjadi pusat aktivitas politik, ekonomi, sosial dan budaya. Kebijakan ini membawa kota Baghdad menjadi kota kosmopolitan dan kota internasional dengan komposisi penduduk yang heterogen. Ira M. Lapidus menggambarkan, bahwa belum pernah terjadi di Timur Tengah sebuah kota yang sedemikian besar dan menjadi kota metropolitan dengan luas kota 25 mil persegi berpenduduk sekitar 300.000 sampai 500.000 jiwa. Baghdad lebih luas dari Konstantinopel dan lebih besar dari kota-kota besar lainnya di Timur Tengah hingga Istambul di abad ke-19. Pada zaman itu Baghdad merupakan kota terbesar di dunia selain Cina. Baghdad tumbuh menjadi kota besar bagi perdagangan internasional. Namun yang paling penting dalam sejarah Timur Tengah adalah, kota Baghdad bercorak kosmopolitan lantaran keragaman penduduknya. Yahudi, Kristen, muslim, termasuk kelompok Pagan, bangsa Persia, Irak, Arab, Syria dan Asia Tengah menjadi populasi kota Baghdad. Para pedagang dari Khurasan dan dari negeri Timur, pebisnis dan intelektual Bashrah, kelompok bangsawan dari Ahwaz, pekerja sektor pakaian dari Khuzistan, tawanan perang dari Anatolia, ilmuwan dari Alexandria, Harran dan Jundishafur serta kelompok Kristen Nestorian menjadikan Baghdad sebagai tempat tinggal mereka.[26] Kedua, Merangkul orang-orang Persia, dalam rangka politik memperkuat diri, ‘Abbâsiyyah memberi peluang dan kesempatan yang besar kepada para mawâlî. Ketiga, Menghapus politik kasta. Keempat, Para khalifah tetap dari Arab sementara para menteri, gubernur, angkatan perang dan pegwai lainnya banyak diangkat dari golongan mawâlî. Kelima, kebebasan berpikir dan berpendapat mendapat porsi yang tinggi.

Pada masa ‘Abbâsiyyah, negara dipimpin oleh kepala negara yang bernama khalifah dan jabatannya disebut khilâfah. Khalifah dalam menjalankan pemerintahannya dibantu oleh lembaga wizârah (kementerian) yang dijabat oleh seorang wazîr (perdana menteri). Wizârah ini ada dua macam, pertama, wizârat al-Tanfîzh (kabinet presidensil) di sini wazir berperan sebagai pembantu khalifah dan bekerja atas nama khalifah, dan kedua, wizârat al-tafwîdh (kabinet parlementer), di sini wazir diberi kuasa penuh untuk memimpin pemerintahan, sedang khalifah hanya simbol saja. Dalam menjalankan tugasnya wazir dibantu oleh beberapa orang râ`is al-dîwân (menteri departemen atau biro) yaitu dîwân al-kharraj (departemen keuangan), dîwân al-al-diyah (departemen kehakiman), dîwân al-zimmam (departemen pengawasan urusan negara), dîwân al-jund (departemen ketentaraan), dîwân al-mawâlî wa al-ghilman (departemen perburuhan), dîwân al-barid (departemen perhubungan), dîwân zimam ‘an nafaqât (dewan pengawas keuangan), dîwân al-rasâ`il (departemen kearsipan), dîwân al-nazhar fî al-mazhâlim (departemen pembelaan rakyat tertindas), dîwân al-akhdas wa al-syurthah (departemen keamanan dan kepolisian), dîwân al-‘athâ` wa al-hawâ`ij (departemen sosial), dîwân al-akhasyam (departemen urusan keluarga dan wanita) dan dîwân al-akarah (departemen pekerjaan umum dan pekerja).[27]

Kemudian dalam bidang tatausaha negara khalifah dibantu sebuah dewan yang disebut dîwân al-kitâbah (sekretariat negara), lembaga ini dipimpin oleh seorang sekretaris negara yang disebut râ`is al-kuttâb. Dalam menjalankan tugasnya, Râ`is al-kuttâb ini dibantu oleh beberapa sekretaris yaitu: kâtib al-rasâ`il (sekretaris urusan korespondensi), kâtib al-kharraj (sekretaris urusan keuangan), kâtib al-jumd (sekretaris urusan ketentaraan), kâtib al-syurthat (sekretaris urusan kepolisian) dan kâtib al-qadhâ (sekretaris urusan kehakiman).[28]

Pada masa ‘Abbâsiyyah, kekuasaan wilayah diatur berdasarkan sistem sentralisasi yang disebut dengan nizhâm idârî al-markazî. Wilayah negara dibagi dalam beberapa provinsi (imârât) yang dipimpin seorang gubernur yang disebut âmir atau hâkim. Pada saat itu, provinsi ini terbagi menjadi tiga yaitu:

1. Imaarat al-istikfa, yaitu provinsi yang kepada gubernurnya diberi hak kekuasaan yang besar dalam segala bidang urusan negara, termasuk urusan kepolisian, ketentaraan, keuangan dan kehakiman.

2. al-imaarah al-khassah, provinsi yang kepada gubernurnya hanya diberi wewenag yang terbatas.

3. Imaarat al-istilau, yaitu provinsi de facto yang didirikan oleh seorang panglima dengan kekerasan, yang kemudian terpaksa diakuinya dan panglima yang bersangkutan menjadi gubernurnya.

Kepada wilayah (provinsi) hanya diberikan hak-hak otonomi terbatas; yang mendapat hak otonomi penuh adalah “desa” yang disebut al-qura dengan kepala desa yang bergelar syaikh al-qaryah.[29]

Angkatan perang ‘Abbâsiyyah terdiri dari angkatan darat dan angkatan laut. Kedua angkatan perang ini dibawah pengelolaan dîwân al-jund. Masing-masing angkatan ini ada dua macam, al-jund al-murtaziqah, yaitu tentara tetap yang bergaji dan tinggal di asrama dan al-jund al-muthawwi’ah (milisi). Sementara untuk kesatuan tentara, di zaman ‘Abbâsiyyah terbagi menjadi empat yaitu ‘ârif (komandan regu) memimpin 10 prajurit, nâqib (komandan kompi) memimpin 10 ârif (seratus prajurit), qâ`id (komandan batalion) memimpin 10 nâqib (1000 prajurit) dan âmir (panglima divisi) memimpin 10 qâ`id (10.000) prajurit. Dalam keadaan darurat, seringkali khalifah menyerahkan pimpinan negara kepada panglima besar angkatan perang Islam yang disebut dengan âmir al-umarâ`. Pada kondisi seperti ini wazîr hanya menjadi penasehat.[30]

Urusan keuangan negara pada zaman ‘Abbâsiyyah diurus oleh sebuah lembaga keuangan yaitu bayt al-mâl. Bayt al-mâl pada zaman ini terdiri dari tiga dîwân yaitu dîwân al-khazânah yang bertugas mengurus perbendaharaan negara, dîwân al-azrâ` yang bertugas mengurus kekayaan negara pada sektor hasil bumi, dan dîwân khazâ`in al-silâh yang bertugas mengurus perlengkapan angkatan perang.

Urusan hukum pada masa ‘Abbâsiyyah diurus oleh dua lembaga yaitu lembaga kehakiman dan badan pengadilan. Lembaga kehakiman terdiri dari empat tingkatan yaitu 1) dîwân al-qâdhî al-qudhâh (mahkamah agung) yang dipimpin oleh al-qâdhî al-qudhâh (ketua mahkamah agung), 2) Qudhâh al-aqâlî (hakim provinsi yang mengetuai pengadilan tinggi), 3) Qudhâh al-amshâr (hakim kota yang mengetuai pengadilan negeri: al-qadhâ` atau al-hisbah), dan 4) al-sulthah al-qadhâ`iyyah (jabatan kejaksaan), di ibukota negara dipimpin oleh al-mudda’ al-‘umûmî (jaksa agung) dan tiap kota dipimpin oleh nâ`ib ‘umûmî (jaksa). Sementara untuk badan pengadilan ada tiga macam, 1) al-qadhâ` (gelar hakimnya adalah al-qâdhî), tugasnya mengurus perkara-perkara agama, 2) al-hisbah (gelarnya hakimnya al-muhtasib), tugasnya menyelesaikan perkara-perkara umum dan tindak pidana yang mendesak, 3) al-nazhar fî al-mazhâlim (gelar hakimnya shâhib atau qâdhî al-mazhâlim), tugasnya mengurus perkara banding dari pengadilan al-qadhâ dan al-hisbah. Selain itu, al-nazhar fî al-mazhâlim juga mengurus pengaduan rakyat atas pejabat negara yang menyeleweng, pengaduan pegawai yang terlambat atau dikurangi gajinya, menjalankan keputusan hakim yang tidak mampu dilaksanakan oleh al-qâdhî dan al-muhtasib. Di ibu kota negara mahkamah mazhâlim ini diketuai oleh khalifah sedang di ibukota provinsi diketuai oleh gubernur atau[31] qâdhî al-qudhâh, atau hakim lain yang mewakili gubernur.

2. Bidang Ilmu Pengetahuan

Terdapat banyak faktor yang menyebabkan terjadinya gerakan keilmuan dan kehidupan intelektual yang luar biasa pada masa ‘Abbâsiyyah, faktor-faktor itu di antaranya adalah: pertama, Dinasti ‘Abbâsiyyah lebih mengutamakan pengembangan peradaban daripada melakukan ekspansi wilayah kekuasaannya. Kedua, terjadinya asimilasi budaya antar bangsa yang mengakibatkan upaya adaptasi, adopsi dan kesadaran untuk saling belajar antarbudaya serta upaya mengenal warisan ilmu pengetahuan dari peradaban lain. Pada saat itu, kebudayaan Arab, Persia, India, Yunani dan Romawi, serta tradisi agama Yahudi dan Nasrani bertemu dalam satu wilayah kekuasaan Islam. Ketiga, Kesiapan umat Islam untuk menyerap budaya dan khazanah peradaban besar dan mengembangkannya secara kreatif. Keempat, sikap terbuka umat Islam yang mendorong orang-orang non-Arab (mawâlî) untuk masuk Islam dan ikut mengembangkan sumbangan pengetahuan dan intelektual dalam bingkai peradaban Islam. Bahkan jumlah ilmuwan kalangan ‘ajam (non-Arab) ini melebihi ilmuwan bangsa Arab sendiri. Kelima, Munculnya gerakan penerjemahan yang memungkinkan berbagai ilmu pengetahuan, filsafat dan lainnya untuk dipelajari dan dikembangkan oleh umat Islam. Keenam, berdirinya lembaga-lembaga pendidikan, perpustakaan dan pusat-pusat sentra keagamaan dan intelektual di hampir seluruh wilayah Islam terutama di kota-kota utama. Ketujuh, penghargaan yang tinggi terhadap para ilmuwan dan karya-karya mereka serta pemberian posisi penting, kehidupan yang layak dan perlindungan dari penguasa. Kedelapan, adanya beberapa penguasa Abbâsiyyah yang cinta dengan ilmu pengetahuan seperti Harûn al-Rasyîd dan al-Ma`mûn.

Kejayaan Dinasti Abbâsiyyah salah satunya ditandai dengan adanya “booming” (ledakan) aktivitas keilmuan yang belum pernah disaksikan oleh bangsa Timur (juga bangsa Barat) baik dalam wilayah ilmu keagamaan (al-‘ulûm al-naqliyyah atau syar’iyyah) maupun wilayah filsafat (‘al-‘ulûm al-‘aqliyyah atau hikmiyyah) atau disebut juga dengan ilmu-ilmu asing (al-‘ulûm al-‘ajamiyyah) atau ilmu-ilmu klasik (al-’ulûm al-qâdimah).[32] Perkembangan luar biasa ini dapat dilihat dari banyaknya lembaga-lembaga pendidikan dan sentra-sentra studi agama, filsafat, sains dan sastra yang didirikan pada saat itu disetiap wilayah Islam.

Pada abad pertama pemerintahan Dinasti ‘Abbâsiyyah telah berkembang beberapa lembaga pendidikan atau tempat belajar yang disebut ma’had (jamak: ma’âhid), sebagaimana yang disebut oleh Ahmad Amîn yaitu:[33]

a. Al-kuttâb, tempat pendidikan anak-anak.

b. mesjid, adalah ma’had atau lembaga pendidikan terbesar yang pada saat itu menempati posisi madrasah dan perguruan tinggi pada masa ini. Contohnya adalah mesjid ‘Amrû di Mesir, mesjid Bashrah, mesjid Kûfah, Masjid al-Harâm di Makkah, Mesjid Nabawî di Madinah, mesjid al-Manshûr di Baghdad. Mesjid saat itu telah menjadi lembaga pendidikan terpenting sejak masa Dinasti Umayyah sampai Dinasti ‘Abbâsiyyah karena di dalamnya terdapat halaqah-halaqah yang mengkaji berbagai disiplin ilmu dari studi Alquran, hadis sampai sastra.

c. Majâlis al-Munâzharah, adalah forum-forum debat dalam berbagai disiplin ilmu yang diadakan diberbagai negeri, istana, mesjid dan antar ulama pada masa ‘Abbâsiyyah. Para khalifah banyak memiliki forum debat seperti ini terutama khalifah al-Ma’mûn.

d. Al-Maktabât, perpustakaan pada saat itu lebih menyerupai universitas selain tempat menyimpan khazanah pustaka yang kaya, perpustakaan juga menjadi tempat belajar, menulis, berdiskusi dan pusat penerjemahan. Yang paling terkenal adalah Bayt al-Hikmah (disebut juga khazânat al-hikmah) yang di dalamnya banyak tersimpan buku-buku ilmu pengetahuan yang diambil dari berbagai bangsa, yang terbanyak adalah buku-buku filsafat dan hikmah.

e. Madrasah, Pada masa Abbâsiyyah awal, belum ditemukan adanya madrasah khusus belajar, sebab madrasah baru muncul pada masa Nizhâm al-mulk, perdana menteri Saljûq dari tahun 456-485 H. (zaman Abbâsiyyah di bawah kekuasaan Turki Saljûq) adalah orang pertama yang membangun madrasah, ia membangun madarasah di beberapa wilayah yaitu di Baghdad, Balkh, Naysabur, Harrah (Herat), Isfahan, Bashrah, Marwu, Thabaristan, dan mawshil. Disebutkan bahwa Ia memiliki madrasah pada setiap kota di Baghdad dan Khurasan.[34]

Tradisi keilmuan yang juga sangat penting pada saat itu adalah tradisi rihlat al-ulamâ`, yaitu perjalanan para ulama ke berbagai negeri dan daerah yang menjadi pusat ilmu pengetahuan untuk menuntut ilmu sekaligus juga mengajarkan pengetahuan mereka. Para ahli hadis, sastra, bahasa, filsafat dan lainnya rata-rata melakukan perjalanan ke berbagai kota penting pusat pengetahuan. Bahkan pelajar filsafat melakukan perjalanan ke Konstantinopel untuk mendapatkan buku-buku filsafat untuk diterjemahkan.[35]

Pada masa Abbâsiyyah terdapat sejumlah wilayah yang menjadi sentra gerakan keagamaan, ilmu pengetahuan dan intelektual dunia Islam. Sebagian besar wilayah itu dalam kekuasaan Abbâsiyyah, dan sisanya berada pada kekuasaan dinasti lain walaupun juga pernah dikuasai Abbâsiyyah. Sentra-sentra kehidupan intelektual pada masa Abbâsiyyah adalah: 1) Hijâz (Makkah dan Madinah) yang menjadi sentra hadis dan pemahaman terhadap penjelasan Alquran dan hadis, 2) Baghdad, adalah sentra ilmu pengetahuan dan intelektual terpenting dalam berbagai disiplin ilmu dan seni, seperti tafsir, hadis, fiqh, lughah (nahw-sharf), filsafat (terutama penerjemahan buku-buku filsafat), kalâm, ilmu-ilmu alam dan matematika, nyanyian, musik, ukiran, dan lukisan. Baghdad juga menjadi sentra penulisan buku-buku berbagai disiplin ilmu dan seni tersebut. Selain kota Baghdad, kota Bashrah dan Kufah yang telah menjadi sentra intelektual dan ilmu pada masa Dinasti Umayyah. 3) Mesir, di sini terdapat gerakan keilmuan dalam bidang agama yang luas, terutama studi Alquran, hadis fiqh, qirâ`ât dan qashash (kisah-kisah) sentra utamanya adalah di Masjid ‘Amrû di Fusthath. Pada masa berikutnya Mesjid Ibn al-Thûlûn dan al-Azhar juga menjadi sentra ilmu dan intelektual di Mesir selain mesjid Fusthath. Di samping studi agama, terdapat pula gerakan keilmuan dalam studi sastra Arab. Sentra intelektual lainnya di Mesir adalah kota Alexandria yang banyak menyimpan khazanah filsafat Yunani. 4) Syam, sentranya adalah kota Damaskus, Halab dan Beirut menjadi sentra kegiatan berbagai disiplin ilmu. Di Syam selain gerakan studi agama, gerakan studi sastra (natsar dan syi’r) sangat kuat bahkan lebih kuat dibanding Mesir. Studi filsafat juga tersebar di wilayah ini karena wilayah Halab (Aleppo) adalah salah satu tempat warisan pengetahuan Yunani dan Romawi terutama filsafat, sementara di Beirut terdapat madrasah yang menjadi lembaga studi undang-undang Romawi. 5) Khurasan (Naysabur, Marwu, Harrah dan Balkh) dan Wara` al-Nahr (terutama Samarqand dan Bukhârâ), kedua wilayah ini banyak melahirkan tokoh hadis, tasawuf, fiqih, kalam, filsafat, sastra Arab dan lainnya. 6) Afghanistan (Qunduhar dan Kabul) dan Sind (terletak antara India, Makran dan Sijistan) sentra kegiatan ilmu dan intelektual di wilayah ini berjasa besar membawa warisan pengetahuan India (matematika, falak, filsafat India) ke wilayah Arab, apalagi dengan hadirnya Abû al-Rayhân al-Bîrûnî (362-440 H.) yang giat mempelajari India, geografinya, ilmu pengetahuannya, agamanya, bahasanya (terutama sansekerta) dan sebagainya. 7) Maghrib (di antaranya Qayrawan, al-Mahdiyyah dan Fez), wilayah ini terkenal dan lebih kuat sebagai sentra ilmu dan intelektual dalam bidang fiqih, hadis, sastra dan kritik sastra, sementara dalam ilmu teoritis seperti filsafat dan cabang-cabangnya kurang berkembang.[36]

Pada masa Abbâsiyyah berbagai disiplin ilmu keislaman berkembang demikian pesatnya, demikian juga dengan filsafat, sains, bahasa dan sastra. Hampir semua tokoh-tokoh intelektual Islam yang populer sampai masa kini adalah kaum intelektual yang hidup pada masa Abbâsiyyah. Di sini akan dikemukakan beberapa disiplin ilmu keislaman, filsafat dan sains berikut dengan beberapa orang tokoh populernya.

a. Ilmu-ilmu keislaman, filsafat, sejarah dan bahasa:[37]

1) Tafsir, tokohnya adalah Ibnu Jarîr al-Thabarî (225-310 H) dan Zamakhsyarî (467-538 H).

2) Hadis, di antara tokohnya adalah al-Bukhârî (194-256 H), Muslim (204-261 H), Abû Dâwûd (202-275 H), al-Tirmidzî (209-279 H), al-Nasâ`î (215-303 H), Ibnu Mâjah (209-273 H), Ibnu Hibbân (w. 354 H), Hâkim al-Naysâbûrî (321-405 H), al-Dârimî (200-280 H), dan al-Bayhaqî (w. 458 H).

3) Fiqih, diantara tokohnya adalah Mâlik ibn Anas (w. 179 H), Abû Hanifah (w. 150 H), Sufyan al-Tsawrî (w. 161 H), al-Syâfi’î (w. 204 H), Ahmad ibn Hanbal (w. 241 H), Dâwûd al-Zhâhirî (w. 270 H).

4) Kalâm, di antara tokohnya adalah Abû Huzayl al-Allâf (w. 840 M), al-Asy’arî (w. 935 M), al-Baqillânî (w. 1031 M), al-Juwaynî (w. 1085 M), dan al-Ghazâlî (w. 1111 M).

5) Tasawuf, di antara tokohnya adalah Junayd al-Baghdadî (w. 910 M), al-Qusyayrî (1073 M), Abû Yazîd al-Busthamî (w. 875 M), al-Hallâj (w. 922 M), Dzûnnûn al-Mishrî (w. 860 M), al-Ghazâlî (w. 1111 M), dan ‘Abd al-Qâdir al-Jaylânî (w. 1166 M).

6) Filsafat Islam, di antara tokohnya adalah al-Kindî (w. 873 M), al-Fârâbî (w. 950 M), al-Râzî (w. 925 M), Ibnu Sînâ (w. 1037 M) dan Ibnu Miskawayh (w. 1030 M).

7) Sejarah (penulisan sejarah), di antara tokohnya adalah Ibnu Ishâq (w. 767 M), Ibnu Hisyâm (w. 834 M), al-Waqidî ( w. 874 M), Ibnu Sa’ad (w. 845 M) dan al-Thabarî (w. 923 M).

8) Bahasa, di antara tokohnya adalah Sibawayh (w. 183 H) dan al-Farrâ` (w. 208 H).

b. Sains

Dalam bidang ini ada sejumlah ilmuwan Islam yang populer pelopor sains yaitu:[38]

1) Jâbir Ibn Hayyân (w. 815 M), nama Latinnya adalah Geber, ia ahli fisika, kedokteran dan kimia.

2) Al-Khawarizmî (w. 840 M), di Barat dikenal dengan nama Algorism, ia ahli aritmatika, geografi dan tabel astronomi.

3) Al-Battânî (w. 929 M), nama latinnya adalah Albategnius, ahli astronomi yang berhasil mengukur panjang tahun dengan teliti dan memperkenalkan sinus dan tangens sebagai fungsi goniometri dalam matematika.

4) Al-Râzî (w. 925 M), nama latinnya Razhes, ia ahli kedokteran klinis, bidang kimia (penerus Ibn Hayyân), bukunya menjadi buku manual laboratorium pertama yang pernah dikenal orang.

5) Al-Fârâbî (w. 925 M), dikenal sebagai Alpharabius, ahli dalam bidang musik sains sosial, matematika dan pengobatan.

6) Abû al-Qâsim al-Zahrawî (w. 1013 M), nama latinnya Albucasis, ia adalah ahli bedah tersohor. Karya ensiklopedisnya, al-tasif, breisi tentang teknik pengambilan batu ginjal, bedah mata, bedah telinga, bedah tenggorokan, teknik pengambilan janin yang mati, teknik amputasi dan lainnya.

7) Ibn al-Haytsam (w. 1039 M), nama latinnya Alhazen, ia ahli fisika dan matematika geometri analitik, ia juga ahli anatomi mata dalam bidang kedokteran.

8) Al-Bîrûnî (w. 1048 M), ia ahli geografi, matematika, fisika, mineralogi, dan astronomi. Ia orang pertama yang mempersoalkan perputaran bumi mengelilingi sumbunya dan tentang kesamaan gravitas bumi dengan gravitasi di langit.

9) Ibnu Sînâ (w. 1037 M), nama latinnya Avicenna, ia terkenal ahli dalam bidang kedokteran, walaupun ia juga menguasai matematika, astronomi, fisika, minerologi, ekonomi dan politik.

10) Al-Khayyâm (w. 1148 M), ahli astronomi dan kedokteran, ia juga memiliki karya besar dalam bidang matematika (geometri dan aljabar).

11) Al-Idrîsî (w. 1166 M), ia ahli flora dan fauna (termasuk khasiat tumbuhan) dan menulis tentang geografi Asia, Afrika dan Eropa.

3. Bidang Ekonomi

a. Kas negara

Kemajuan ekonomi di masa Abbâsiyyah menjadikan wilayah Islam menjadi wilayah yang makmur. Devisa negara demikian berlimpah. Al-Manshûr telah meletakan dasar yang kuat perekonomian Dinasti Abbâsiyyah, ia telah menyisakan 812.000.000 dirham untuk kas negara. Pada zaman al-Mahdî tingkat perekonomian telah meningkat pesat dan pada masa Harûn al-Rasyîd umat Islam mengalami tingkat kemakmuran yang paling tinggi. kesejahteraan sosial, kesehatan, pendidikan dan kebudayaan serta kesusasteraan berada zaman keemasannya. Ketika ia wafat, ia menyisakan 900.000.000 dirham dalam kas negara.[39] Sumber devisa negara terpenting pada saat itu adalah al-kharraj (pajak hasil bumi), al-jizyah (pajak badan), al-zakah (berbagai macam zakat), al-fai (pampasan perang), al-ghanimah (rampasan perang) dan al-asyur (pajak niaga dan beacukai).[40]

b. Pertanian

Upaya-upaya untuk memajukan pertanian pada masa itu adalah: pertama, Memperlakukan ahl al-dzimmah dan mawâlî dengan perlakuan baik dan adil, serta menjamin hak milik dan jiwa mereka, sehingga kembalilah mereka bertani di seluruh penjuru negeri. Kedua, mengambil tindakan keras terhadap para pejabat yang berlaku kejam kepada para petani. Ketiga, memperluas daerah-daerah pertanian di segenap wilayah negara. Keempat, membangun dan menyempurnakan perhubungan ke daerah-daerah pertanian, baik darat maupun air. Kelima, membangun bendungan-bendungan dan menggali kanal-kanal baik besar maupun kecil, sehingga tidak ada daerah pertanian yang tidak ada irigasinya. Tindakan ini membuat tanah Irak menjadi “tanah hitam” (subur).[41]

c. Perindustrian

Selain sektor pertanian, para khalifah Dinasti Abbâsiyyah juga memperhatikan sektor perindustrian dan memberikan motivasi yang besar kepada rakyat untuk mengembangkan sektor industri ini. Karena itu, bermunculan berbagai macam industri di beberapa wilayah Islam. pada masa Abbâsiyyah ada beberapa wilayah yang terkenal dengan industrinya masing-masing. Bashrah terkenal dengan industri sabun dan gelas, Kufah, Khazastan dan Damaskus terkenal dengan industri sutra, Khurasan terkenal dengan selendang, wol, dan tambang (perak, tembaga, seng, dan besi), Mesir terkenal dengan industri tekstil, Syam terkenal dengan industri keramik dan gelas, Andalusia terkenal dengan industri kapal, kulit dan senjata, dan Baghdad sendiri memiliki berbagai macam industri. Di Baghdad terdapat industri barang mewah (luks) baik gelas, tekstil, keramik dan sebagainya. Baghdad juga memiliki 4.000 pabrik gelas, 30.000 kilang keramik dan 400 buah kincir air.[42]

d. Perdagangan

Perhatian besar para khalifah Abbâsiyyah terhadap sektor perdagangan terlihat dari upayanya memperlancar transportasi pada setiap jalur perdagangan misalnya dibangun sumur dan tempat istirahat pada setiap rute yang dilewati pedagang; membangun armada-armada dagang dan armaada laut untuk melindungi pantai dari serangan bajak laut, membentuk satu badan khusus untuk mengawasi pasar, timbangan dan harga. Usaha ini menjadikan kota Baghdad sebagai kota perdagangan internasional terbesar di dunia pada saat itu disusul kemudian kota Damaskus. Kota dagang lainnya adalah Bashrah, Kufah, Madinah, Kairo, Qayrawan dan kota-kota di Persia. Kapal-kapal dagang Arab pada saat itu telah sampai ke Ceylon, Bombay, Malaka, pantai-pantai Aceh, Indocina dan Tiongkok.[43]

V. Keruntuhan Bani Abbasiyyah

Ada beberapa faktor yang menyebabkan kemunduran dan keruntuhan Dinasti Abbasiyyah ini. Beberapa faktor itu dapat dikelompokkan menjadi faktor internal dan faktor eksternal. Di antara faktor internalnya adalah: 1) pertentangan internal keluarga khalifah (misalnya konflik antara al-Manshûr dengan ‘Abd Allâh ibn ‘Alî, konflik al-Amîn dengan al-Ma`mûn, konflik al-Mu’tashim dengan al-‘Abbâs ibn al-Ma`mûn),[44] 2) Persaingan tidak sehat antara berbagai bangsa yang terhimpun dalam Dawlah ‘Abbâsiyyah terutama Arab, Persia dan Turki, 3) Konflik aliran pemikiran di kalangan umat Islam yang menimbulkan konflik berdarah, 4) munculnya dinasti-dinasti kecil yang melepaskan diri dari kekuasaan Baghdad, 5) kemerosotan ekonomi akibat kemunduran politik. Adapun faktor eksternal adalah 1) Perang salib yang berlangsung selama dua abad, dan 2) serangan tentara Mongol yang mematikan terhadap kota Baghdad di bawah pimpinan Hulagu Khan pada tahun 1258 M. Yang terakhir ini merupakan serangan paling mematikan dan paling menentukan hancurnya Dawlah Abbâsiyyah.[45]

Tentara Mongol sangat membenci Islam, terutama panglimanya Hulagu Khan, karena mereka banyak dipengaruhi oleh orang-orang Kristen Nestorian. Gereja-gereja Kristen berasosiasi dengan orang-orang Mongol yang anti Islam dan diperkeras di kantong-kantong ahl al-kitâb. Bukti konspirasi ini adalah setelah tentara Mongol menghancurleburkan pusat-pusat Islam, mereka justru ikut memberbaiki Yerusalem.[46] Bukti lainnya adalah istri Hulaghu Khan adalah seorang Kristen Nestorian yang mungkin mempengaruhinya membenci Islam.[47] Selain itu, terdapat persekutuan yang kuat antara kerajaan Armenia (pendukung perang Salib) dengan Mongol yang memungkinkan mereka secara bersama-sama menghancurkan wilayah Islam.[48] Walaupun Mongol secara mandiri kemudian mampu melakukan misinya, namun paling tidak kerajaan ini turut mempengaruhi kebencian Mongol atas Islam.

Di pihak lain, al-Suyûthî menceritakan, di kalangan istana kekhalifahan sendiri terdapat seorang pengkhianat yang ikut mempermudah penyerangan tentara Mongol terhadap Baghdad yaitu wazîr al-‘Alqamî. Al-Suyûthî dalam Târîkh al-Khulafâ` menceritakan bahwa al-‘Alqamî adalah orang yang ingin sekali melenyapkan Dawlah Abbâsiyyah dan mengalihkannya kepada kaum ‘Alawiyyah. Ia menjalin kontak rahasia dengan Mongol tanpa disadari oleh al-Musta’shim (1242-1258 M). Salah satu strateginya adalah mengurangi sekian banyak jumlah tentara yang dulu begitu banyak telah direkrut oleh al-Mustanshir (1226-1242 M), ayah al-Musta’shim. Kemudian ia menjalin kontak dengan Mongol dan mengundang mereka agar segera menginvasi Baghdad. Ketika tentara Mongol dengan kekuatan 200.000 tentara telah mencapai Baghdad, al-‘Alqamî, kembali menjalankan siasat liciknya. Ia pura-pura meminta izin kepada khalifah untuk menemui tentara Mongol untuk mengikrarkan perdamaian. Setelah itu, ia menemui khalifah dan menyampaikan bahwa raja Mongol ingin mengawinkan anak perempuannya dengan anak al-Musta’shim, Abû Bakar, dan tetap membiarkannya menduduki posisi khalifah. Khalifah beserta para pembesar keluar menemui perkemahan tentara Mongol, kemudian wazîr al-‘Alqamî meminta agar para ulama dan umara serta para pejabat menyusul khalifah. Namun mereka semuanya termasuk khalifah dan keluarganya dibunuh. Satu persatu kelompok yang datang dari Baghdad ke tempat itu dibunuh semua tanpa sisa. Setelah pembantaian khalifah, ulama dan pejabat khalifah serta pengawal khalifah yang datang ke tempat itu, mereka masuk Baghdad membunuh lebih dari satu juta jiwa penduduknya selama 40 hari. al-‘Alqamî sendiri tertipu, karena Hulagu Khan tidak pernah mewujudkan keinginannya untuk mendirikan khalifah Islam atas nama keluarga ‘Alawiyyah untuk mengganti keluarga Abbasiyyah, ia sendiri diperlakukan seperti budak atau pelayan dan mati dalam keadaan menyedihkan.[49]

VI. Penutup

Kebangkitan Dinasti ‘Abbâsiyyah disebabkan oleh beberapa faktor yang saling berkaitan dan mendukung, terutama faktor berbagai kesalahan Dinasti Umayyah yang terkait dengan masalah rasial, sektarian, penindasan ekonomi, penindasan kelompok, praktik nepotisme dan lainnya yang menyulut ketidakpuasan umat Islam yang kemudian dimanfaatkan oleh Abbasiyyah melalui gerakan-gerakan rahasianya yang akhirnya memunculkan kekuatan baru yang tak dapat dilawan oleh Dinasti Umayyah.

Dinasti ‘Abbâsiyyah didirikan oleh Abû al-‘Abbâs al-Saffâh yang dasar-dasarnya nya kemudian diperkuat oleh al-Manshûr. Kemudian pada masa khalifah al-Mahdî sampai al-Watsîq merupakan masa kejayaan dinasti ini, puncaknya pada masa Harûn al-Rasyîd dan al-Ma`mûn. Namun mulai masa al-Mutawakkil dan seterusnya sampai al-Musta’shim, kekuasaan dinasti ini mulai melemah, orang-orang Turki dan Dinasti Buwayhî, menjadikan mereka sebagai penguasa simbolik dan memperlakukan mereka dengan kasar. Kehormatan mereka mulai pulih ketika Dinasti Saljûq berkuasa, namun pada saat kekuasaan mereka independen dari dinasti manapun, tentara Mongol datang mengakhiri masa dinasti ini.

Peradaban Islam yang dibangun pada masa ini sangat luar biasa. Dinasti ini telah mengorganisir negara dengan baik. Urusan negara masing-masing telah dibagi dan diurus masing-masing departemen yang telah dibentuk yang terdiri dari khalifah, wizârât, dîwân al-kitâbah, dîwân- dîwân (departemen-departemen), bayt al-mâl, dîwân al-jund (angkatan perang), dîwân qâdhî al-qudhâh (kehakiman), dan manajemen negara yang menganut sistem nizhâm al-idârî al-markazî (sentralisasi). Dalam bidang pendidikan dan ilmu pengetahuan terjadi “booming” kegiatan keilmuan dan intelektual yang luar biasa dalam segala disiplin ilmu baik agama, sains, filsafat, sastra, bahasa dan lainnya. Gerakan intelektual ini diperkukuh dengan didirikannya sejumlah lembaga pendidikan dan perpustakaan seperti Bayt al-Hikmah dan Madrasah Nizhâmiyyah. Selain itu, gerakan intelektual juga sangat didukung dengan banyaknya sentra-sentra kehidupan intelektual yang muncul di berbagai wilayah Islam saat itu. Gerakan ini telah menghasilkan ulama, filosof dan saintis yang memiliki pengaruh besar tidak hanya di dunia Islam tetapi juga sampai ke Eropa yang membuka jalan bagi kebangkitan sains di Eropa. Sementara di bidang ekonomi, dinasti ini mampu menciptakan kemakmuran yang luar biasa dan menggalakkan berbagai sektor perekonomian baik pajak, pertanian, perdagangan, dan perindustrian (termasuk pertambangan).

Keruntuhan dinasti ini disebabkan oleh faktor internal dan eksternal. Faktor internalnya adalah konlik keluarga khalifah, perebutan pengaruh antar bangsa (Arab, Persia dan Turki), Konflik sektarian, munculnya dinasti-dinasti kecil yang independen, dan kemerosotan ekonomi. Adapun faktor eksternalnya adalah perang salib yang berlangsung selama dua abad dan serangan tentara Mongol yang mematikan terhadap kota Baghdâd pada tahun 1258 M.

Daftar Pustaka

Abdullah, Taufik, et. al., (ed), Ensiklopedi Tematis Dunia Islam Edisi Pemikiran dan Peradaban, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 2002).

Amîn, Ahmad, Dhuhâ Islâm Juz 1, Beyrut, Dâr al-Kâtib al-‘Arabî, tt.

--------, Zhuhr al-Islâm Juz 1-2, Beyrut, Dâr al-Kâtib al-‘Arabî, tt .

Baiquni, Ahmad, Al-Qur`ân dan Ilmu Pengetahuan Kealaman, (Yogyakarta: PT Dana Bhakti Prima Yasa, 1996.

Hassan, Hassan Ibrahim, Sejarah dan Kebudayaan Islam, diterjemahkan oleh Djahdan Humam dari Islamic History and Culture, Yogyakarta, Kota Kembang, 1989.Hasjmy, A., Sejarah Kebudayaan Islam, Jakarta, Bulan Bintang, 1993.

Hasjmy, A., Sejarah Kebudayaan Islam, Jakarta, Bulan Bintang, 1993.

Lapidus, Ira M., Sejarah Sosial Umat Islam bagian kesatu dan dua, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 1999.

Lubis, Nur Ahmad Fadhil,”Dinasti Abbasiyyah” dalam Taufik Abdullah, et. Al (ed), Ensiklopedi Tematis Dunia Islam Edisi Khilafah, Jakarta, PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 2002.

Mudzhar, M. Atho, “Teori-teori tentang Jatuhnya Daulat Bani Umayah dan Bangkitnya Daulah Bani Abbasiyah”, dalam: Pendekatan Studi Islam dalam Teori dan Praktek, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 1998

Syalabi, Ahmad, Sejarah Kebudayaan Islam 3, Jakarta, Alhusna Zikra, 1997.

Suyûthî, al-Hâfizh Jalâl al-Dîn al-, Târîkh al-Khulafâ`, Dâr al-Kutub al-Islâmiyyah, tt.

Thohir, Ajid, Perkembangan Peradaban Di Kawasan Dunia Islam, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 2004.

Yatim, Badri, Sejarah Peradaban Islam (Dirasah Islamiyah II), Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 2002.

------- ,”Abbasiyyah, Dinasti”, dalam Ensiklopedi Islam Jilid 1, (Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 2005.



[1] Ajid Thohir, Perkembangan Peradaban Di Kawasan Dunia Islam, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004), h. 46.

[2] M. Atho Mudzhar, “Teori-teori tentang Jatuhnya Daulat Bani Umayah dan Bangkitnya Daulah Bani Abbasiyah”, dalam Pendekatan Studi Islam dalam Teori dan Praktek, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998), h. 86-88.

[3] Lihat, Ibid., h. 123.

[4] A. Hasjmy, Sejarah Kebudayaan Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1993), h. 210-211.

[5] Ajid Thohir, Perkembangan Peradaban Di Kawasan Dunia Islam, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004

[6] Lihat: Nur Ahmad Fadhil Lubis,”Dinasti Abbasiyyah” dalam Taufik Abdullah, et. Al (ed), Ensiklopedi Tematis Dunia Islam Edisi Khilafah, (Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 2002), h. 83-86. pembagian seperti ini juga dapat dilihat pada A. Hasjmy, Sejarah Kebudayaan Islam, (Jakarta Bulan Bintang, 1993), h. 213.

[7] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam (Dirasah Islamiyah II), (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2002), h. 49-50.

[8] Ajid Thohir, ibid, h. 53.

[9] Lihat al-Hâfizh Jalâl al-Dîn Al-Suyûthî, Târîkh al-Khulafâ`, (Dâr al-Kutub al-Islâmiyyah: tt), h. 238-473. Ringkasnya dapat dilihat pada daftar isi pada bagian akhir buku ini.

[10] Nur Ahmad Fadhil Lubis, Op. Cit., h. 83.

[11] Badri Yatim,”Abbasiyyah, Dinasti”, dalam Azyumardi Azra, et. al. (ed), Ensiklopedi Islam Jilid 1, (Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 2005), h. 7.

[12] Ahmad Amîn, Dhuhâ Islâm Juz 1, (Beyrut: Dâr al-Kâtib al-‘Arabî, tt), h. 40.

[13] Lihat: Ibid, h. 40-43 Lihat pula kisah perebutan kekuasaan antara al-Ma’mûn dengan al-Amîn pada Ahmad Syalabî, Sejarah dan Kebudayaan Islam 3, (Jakarta: PT Alhusna Zikra, 1997), h. 125-129. Lihat pula tentang tokoh intelektual arsitek perpecahan antara al-Ma’mûn dengan al-Amîn yaitu al-Fadhl ibn al-Rabî’ dan kisah detil nya pada h. 263-279.

[14] Nur Ahmad Fadhil Lubis, Op. cit., h. 83.

[15] Badri Yatim, ”Abbasiyyah, Dinasti”, Op. Cit., h. 9. Persaingan antara berbagai kelompok masyarakat, terutama Arab dan Persia, telah mendorong al-Ma`mûn pada awal pemerintahannya untuk mempercayakan keamanan pribadinya kepada pasukan khusus yang direkrut dari hamba sahaya. Sebagian mereka berasal dari bangsa Berber, tetapi pada umumnya berasal dari Turki. Lihat Nur Ahmad Fadhil Lubis, , Op. Cit., h. 96.

[16] A. Syalabi, Op. Cit., h. 307.

[17] Orang-orang Turki telah membunuh khalifah al-Mutawakkil, ini membuka jalan kepada mereka untuk melakukan tindakan kejam kepada para khalifah selanjutnya. Tindakan tindakan tidak ini berlangsung sepanjang kekuasaan mamâlik Turki ini sampai pada masa kekuasaan Buwayhî. Pada kedua masa ini para khalifah mendapat perlakuan kejam baik ada sebab atau tidak, seperti dibunuh, dijemur, dipukul dan dicungkil biji matanya. Pada masa kekuasaan Turki ini dari 12 khalifah pada periode ini, hanya ada 4 khalifah yang wafat dengan wajar, selebihnya, kalau tidak dibunuh, mereka diturunkan dari tahta dengan cara paksa.

[18] Ahmd Fadhil Lubis, Op. Cit., h. 84.

[19] Dinasti Buwayhî adalah pengikut Syî’ah. Oleh karena itu sejak nengausai pemerintahan, perayaan Syiah mulai di adakan seperti perayaan kematian Husayn ibn ‘Alî ibn Abî Thâlib (w. 680) cucu Rasulullah saw.yang dibunuh oleh Khalifah Umayyah di padang Karbala, setiap tanggal 10 Muharram.

[20] Ahmad Fadhil Lubis, Op. Cit., h. 84.

[21] Ibid., h. 85.

[22] Badri Yatim, “Abbasiyyah, Dinasti”, Op. Cit., h. 10.

[23] Ibid.

[24] Ira M. Lapidus, Sejarah Sosial Umat Islam bagian kesat dan dua, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1999), h. 109.

[25] Adjid Thohir, Op. Cit., h. 53-54 dan A. Hasjmy, Op. Cit., h. 213-214.

[26] Ira M. Lapidus, Op. Cit., h. 105-106.

[27] A. Hasjmy, Op. Cit., h. 230-231.

[28] Ibid., h. 230.

[29] Ibid., h. 231-232.

[30] Ibid.232-233.

[31] Ibid., h. 234-235.

[32] Lihat: Hassan Ibrahim Hassan, Sejarah dan Kebudayaan Islam, diterjemahkan oleh Djahdan Humam dari Islamic History and Culture, (Yogyakarta: Kota Kembang, 1989), h. 132 dan 133.

[33] Ahmad Amin, Dhuhâ Islâm Juz II, (Beyrut: Dâr al-Kâtib al-‘Arabî, tt)h. 49-66.

[34] Ibid., h. 49.

[35] Ibid., h. 69-71.

[36] Disarikan dari Ahmad Amin, Ibid., h. 73-105 dan Ahmad Amîn, Zhuhr al-Islâm Juz 1-2, (Beyrut: Dâr al-Kâtib al-‘Arabî, tt), h. 161-310.

[37] Nama-nama ini dihimpun dari berbagai sumber yaitu:Amin Abdullah, “Penerjemahan Karya Klasik”, M. Abdurrahman, “Ilmu Hadis sebagai Sumber Pemikiran”, Juhaya S. Praja,”Fikih dan Syariat”, Mulyadi Kertanegara, “Ilmu Kalam”, Yunasril Ali,”Tasawuf”, semuanya dalam: Taufik Abdullah, et. al., (ed), Ensiklopedi Tematis Dunia Islam Edisi Pemikiran dan Peradaban, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 2002). Juga diambil dari Nur Ahmad Fadhil Lubis, ‘Dinasti Abbasiyyah”, dalam: Taufik Abdullah, et. al., (ed), Ensiklopedi Tematis Dunia Islam Edisi Khilafah dan A. Hasjmy, Sejarah Kebudayaan Islam.

[38] Lihat daftar lebih lengkap pada Ahmad Baiquni, Al-Qur`ân dan Ilmu Pengetahuan Kealaman, (Yogyakarta: PT Dana Bhakti Prima Yasa, 1996), h. 67-72.

[39] Badri Yatim, “Dinasti Abbasiyyah”, Op. Cit., h. 8 dan A. Hasjmy, Op. Cit. h. 238-239.

[40] A. Hasjmy, Op. Cit., h. 233-234.

[41] Ibid, h. 239-240.

[42] Ibid., h. 240-241.

[43] Ibid., h. 241-242.

[44] Ajid Thohir, Op. Cit., h. 55-56.

[45] Badri Yatim, “Abbasiyyah, Dinasti”, OP. Cit., h. 10.

[46] Badri Yatim, Sejarah Peradan Islam, Op. Cit., h. 85.

[47] Nur Ahmad Fadil Lubis, Op. Cit., h. 111.

[48] Ibid.

[49] Lihat al-Suyûthî, Op. Cit., h. 429, 433-435.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar