Minggu, 04 Januari 2009

al-Mustadrak al-hakim

AL-MUSTADRAK ‘ALA AL-SHAHÎHAYN

KARYA AL-HÂKIM AL-NAYSÂBÛRÎ

(321-405 H/933-1014 M)

I. Pendahuluan

Kodifikasi hadis telah dimulai pada akhir abad pertama hijrah terutama oleh Ibnu syihâb al-Zhuhrî (w. 124 H/742 M). Namun usaha kodifikasi hadis baru sangat gencar dilakukan oleh ulama hadis pada abad ke-2 dan ke-3 Hijrah. Pada abad kedua kitab hadis paling populer adalah kitab al-Muwaththâ` susunan Imam Mâlik ibn Anas (w. 179 H/795 M). Kemudian pada abad ke-3 H, kodifikasi hadis mengalami masa puncaknya. Pada masa ini bermunculan sejumlah ulama hadis terkenal sebagai penyusun kitab hadis seperti Ahmad ibn Hanbal (w. 241 H/855 M), al-Bukhârî (w. 256 H/870 M), Muslim (w. 261 H/875 M), Abû Dâwûd (w. 316 H/888 M), al-Tirmidzî (w. 279 H/892 M), al-Nasâ`î (w. 302 H/916 M), Ibnu Mâjah (w. 273/886 M), al-Dârimî (w. 280 H/869 M), Ibnu Khuzaymah (w. 311 H/883 M) dan lain-lain. Pada masa inilah kutub al-sittah menjadi kitab hadis yang paling populer.

Walaupun abad ke-3 ini merupakan puncak penyusunan kitab hadis, namun ternyata kitab-kitab hadis itu terutama kutub al-sittah belum dapat menampung, merangkum dan menampilkan semua hadis Nabi baik kuantitas maupun kualitasnya. Karena itu pada abad ke-4 gerakan penyusunan kitab hadis terus berlanjut. Pada masa ini muncul sejumlah ulama hadis seperti al-Dâruquthnî (w. 385 H/995 M), al-Hâkim (w. 405 H/1014 M), al-Bayhaqî (w. 458 H/1066 M), al-Khâthib al-Baghdadî (w. 463 H/1071 M), Abû Nu’aym al-Isfahânî (w. 430 H/1039 M) dan lain-lain.

Salah seorang pakar hadis yang menarik pada abad ke-4 H ini adalah al-Hâkim al-Naysâbûrî dengan karya monumentalnya al-Mustadrak ‘alâ al-Shahîhayn, karena kontroversi sekitar dirinya baik pada sosok pribadinya, metodenya maupun pada kitab hadis yang disusunnya, al-Mustadrak.[1] Kontroversi pada pribadinya terkait dengan misteri apakah ia seorang sunnî atau syî’î; pada metodenya apakah ia menerapkan standar ganda dalam menilai hadis; dan pada status hadis dalam al-Mustadrak-nya, yang ia klaim menggunakan syarat Bukhârî dan Muslim yang menurut ulama lainnya tidak sepenuhnya ia aplikasikan dengan tepat, bahkan ia dinilai banyak melakukan kekeliruan. Pertanyaan yang cukup serius adalah pada kitab al-Mustadrak-nya, kalau ia menggunakan kriteria syaykhayn dalam al-Mustadrak, maka kitab tersebut dapat dinilai setara bahkan melebihi shahîhayn (shahîh Bukhârî dan Muslim), namun mengapa al-Mustadrak justru dinilai jauh tingkatnya dibanding shahihayn padahal ia menggunakan syarat syaykhayn? Beberapa masalah inilah yang akan dicoba untuk dijawab dalam makalah ini.

II. Biografi Singkat al-Hâkim al-Naysâbûrî

Ia adalah Abû ‘Abd Allâh Muhammad ibn ‘Abd Allâh ibn Muhammad ibn Hamduwayh ibn Nu’aym al-Dhabbî al-Thahmânî al-Naysâbûrî ia bergelar al-Hâkim, al-Hâfizh dan Imâm al-Muhadditsîn. Ia dilahirkan pada waktu subuh tanggal 3 Rabî’ al-awwal 321 H di Naysâbûr.[2]

Ia menuntut ilmu sejak kecil, pertama di bawah bimbingan ayah dan pamannya. Pada usia 9 tahun ia sudah mulai menerima hadis (al-awwal al-simâ’). kemudian pada usia 13 tahun ia berguru kepada Abû Hâtim ibn al-Hibbân (w. 342 H/952 M) dan pada usia 41 tahun ia melakukan perjalanan menuntut ilmu (rihlah) dari Naysâbûr ke Irak. Setelah berhaji, ia pergi ke Khurâsan dan Mâ Warâ al-Nahr pada usia 55 tahun. Ia melakukan perjalanan dua kali ke Irak dan Hijaz, perjalanan keduanya terjadi pada tahun 360 H menemui para huffâzh, berdiskusi dengan para syekh dan berdialog dengan gurunya, al-Dâruquthnî (306-385 H). Ia memperoleh hadis dari sejumlah sumber yang tidak terhitung jumlahnya. Jumlah guru-gurunya (syuyûkh) di Naysâbûr saja sekitar 1000 guru. Selain itu, ia juga memperoleh hadis pada guru-guru lainnya sekitar 1000 guru.[3]

Ia belajar fiqh kepada Abû Sahl ibn Muhammad al-shu’lûkî sebelum pindah ke Irak dan juga kepada Abû ‘Alî ibn Abî Hurayrah al-Faqîh setelah perjalanan ilmiahnya ke Irak. Ia belajar tasawuf kepada Abû ‘Umar ibn Muhammad ibn Ja’far al-Khuldî dan Abû ‘Utsmân al-Maghribî.[4] Ia juga banyak berguru kepada Abû Bakar al-Dhabbî yang menjadi tempat rujukan al-Hâkim dalam masalah al-jarh wa al-ta’dîl, al-‘ilal dan masalah madrasah Dâr al-Sunnah.

Al-Hâkim meninggal pada hari Rabu tanggal 3 Shafar 405 H dalam usia 84 tahun. Ia meninggal setelah keluar dari tempat pemandian (al-hammâm), kemdudian ia dikuburkan setelah ashar dan dishalatkan oleh al-Qâdhî Abû Bakar al-Hîrî.

Penilaian ulama terhadap al-Hâkim amat beragam; ada yang memuji dan ada pula yang mencelanya. Pujian yang diberikan kepada al-Hâkim dilihat dari sudut kemampuan ilmiahnya, terbukti dengan gelar-gelar yang diberikan kepadanya seperti al-hâkim, al-hâfizh al-kabîr, al-nâqid dan Syaykh al-muhadditsîn. Sementara celaan terhadap dirinya juga banyak dialamatkan padanya seperti tuduhan bahwa ia adalah râfidhî khabîts (pengikut râfidhah yang jahat), berpura-pura ahl al-sunnah atau berpenampilan sunnî padahal ia condong ke Syî’ah. Ia juga dinilai kurang cermat dan tasâhul (longgar dalam menentukan status hadis). Ulama sunnî menganggapnya tokoh sunnî disebabkan karena mayoritas guru-gurunya adalah sunnî, pengagum imam al-Syâfi’î (w. 204 H/820 M) dan bermadzhab Syâfi’î serta pernah menjadi hakim mewakili pemerintahan sunnî. Sementara orang yang menilainya Syî’ah karena dalam karyanya, al-Mustadrak, ia banyak men-shahîh-kan hadis yang membela ahl al-bayt, padahal ulama lainnya menilainya mawdhû’.[5] Walaupun begitu, Abu Bakar al-Khathîb (463 H/1071 M), al-Dzahabî (748 H/1347 M) dan al-Subkî serta ulama lainnya menilai al-Hâkim tsiqah dan dhâbith dalam masalah hadis. Selain itu, al-Dzahabî dan al-Subkî cenderung menilai al-Hâkim adalah seorang sunnî.[6]

Menurut sejumlah sumber, tulisan al-Hâkim mencapai seribu juz (bagian) yang meliputi beberapa kitab. Sedang kitab-kitab yang ditulis oleh al-Hâkim di antaranya adalah: Takhrîj al-Shahihayn, Târîkh al-Naysâbûr, Fadhâ`il al-Imâm al-Syâfi’î, Fadhâ`il al-Syuyûkh, ‘Amalî al-Âsyîyât, Tarâjum al-Syuyûkh, al-‘ilal, Târîkh ‘Ulamâ` al-Naysâbûr, al-Madkhal ilâ ‘Ilm al-Shahîh, al-Madkhal ilâ al-Iklîl, Ma’rifah ‘Ulûm al-Hadîts, al-Iklil, al-Muzakkîna li Ruwât al-Akhbâr dan al-Mustadrak ‘alâ al-Shahîhayn. Namun dari sejumlah kitab tersebut hanya ada tiga kitab yang tersebar yaitu al-Mustadrak ‘alâ al-Shahîhayn, al-Madkhal ilâ al-Iklîl, dan Ma’rifah ‘Ulûm al-Hadîts. Sisanya belum ditemukan atau paling tidak belum beredar.[7]

III.Metode al-Hâkim

Syarat hadis shahih (kaidah mayor) menurut al-Hâkim tidak berbeda dengan ulama hadis lainnya yaitu sanad-nya muttashil, râwî-nya ‘âdil, dhâbit dan tidak syâdzdz serta tidak ada ‘illah. Perbedaannya hanya pada masalah tasyaddud dan tasâhul serta kriteria minornya seperti tentang konsep ‘adâlah dimana al-Hâkim menetapkan syarat ‘âdil itu ada tiga yaitu beragama Islam, tidak berbuat bid’ah dan tidak berbuat maksiat.[8] Dengan cukup hanya tiga syarat ‘âdil ini Syuhudi Ismail menilai al-Hâkim termasuk ulama hadis yang paling sedikit memberikan syarat-syarat ‘âdil pada seorang râwî.[9] Dalam Ma’rifah fî ‘Ulûm al-Hadîts al-Hâkim merinci kriteria hadis shahih yang substansinya sebagaimana yang dijabarkan oleh M. Abdurrahman berikut ini:

Hadîts shahih itu harus diriwayatkan oleh ahli Hadîts yang shidq (jujur), tsâbit (teguh), itqân (kuat hafalannya), sihhatu ushûlihi (akidahnya benar), mu’âsharah (sezaman), liqâ` bertemu dengan gurunya), tidak tahâwun (tidak menganggap ringan dalam studi hadis, serius), tidak ghaflah (tidak pelupa dalam mempelajari Hadîts), ilmunya dapat diandalkan dan benar-benar Hadîts yang diterimanya itu diterima dari gurunya, tidak sekedar menemukan dari buku catatan. Ulama lain bahkan menyebutkan di antara syarat al-Hâkim itu bahwa ahli Hadîts tersebut harus masyhûr bi al-thalab (dikenal belajar hadis).[10]

Prinsip ijtihad al-Hâkim dalam menentukan status hadis didasarkan pada konsep-konsep berikut:

1. Râwî yang tsiqah. Perkataan tsiqah dapat diartikan sebagai kemampuan hafalan yang sempurna atau dapat diartikan juga sebagai gabungan antara ‘adâlah râwî dan dhâbith-nya. Jadi al-Hâkim termasuk orang yang tidak menyukai râwî yang tidak ‘âdil dan dhâbith.

2. Bi mitslihâ. Ini bermakna al-Hâkim menggunakan rijâl al-Syaykhayn atau orang-orang yang benar-benar mengacu pada orang-orang yang menjadi persyaratan syaykhayn. Ada juga yang menyebutkan bahwa ungkapan itu bukan saja bermakna rijâl syaykhayn tetapi juga bisa bermakna sifat-sifat yang sama dengan rijâl yang digunakan oleh syaykhayn (rijâl keduanya atau sendiri-sendiri) walaupun bukan rijâl syaykhayn seperti kemasyhuran, keteguhan, keadilan râwî dan lain-lain.

3. kriteria fuqahâ`. Dalam Ijtihadnya al-Hâkim menentukan kriteria bahwa hadis yang dihimpunnya, jika sudah diriwayatkan oleh orang yang tsiqah dan sudah memenuhi kriteria Bukhârî dan Muslim atau salah seorang daripadanya berarti memenuhi kriteria fuqahâ` Islam. Namun masalahnya adalah apakah al-Hâkim menggunakan standar ganda dalam hal ini, karena menurut sebagian ulama ada perbedaan antara ahli fiqih dan ahli hadis dalam menetapkan suatu hadis. Ahli hadis cenderung lebih ketat dalam menentukan status hadis sementara ahli fiqih lebih longgar.

4. Ziyâdah al-tsiqah. Hadis yang diterima para râwî seringkali melalui berbagai jalan periwayatan atau sanad, namun bila ada seorang râwî yang sendirian dengan disertai suatu “ungkapan atau perkataan” tambahan yang tidak terdapat pada hadis yang diriwayatkan râwî yang lain padahal masih diambil dari guru yang sama, maka hadis itu dinamakan ziyâdah al-tsiqah. Al-Hâkim juga kalangan ahli fiqih menerima konsep ini sementara ahli hadis lain menolaknya.[11]

Al-Hâkim secara eksplisit mengkategorikan hadis menjadi dua bagian, hadis shahîh dan dha’îf (tidak terdapat hadis hasan). Hadis shahîh itupun bertingkat-tingkat, ada yang disepakati ke-shahîh-annya dan ada pula yang tidak disepakati. Dari ungkapan hadis yang tidak disepakati ke-shahîh-annya itulah antara lain hadis hasan termasuk dalam kategori hadis shahîh. Konsep hadis shahîh dan hasan menurut al-Hâkim tidak sama dan tidak sebanding dengan konsep shahîh dan dha’îf menurut ulama lainnya. Artinya shahîh dan dha’îf menurut al-Hâkim berbeda dengan ulama lain meskipun istilah teknis yang dipakai sama. Hadis yang dianggap hasan oleh ulama lain dimasukkan ke dalam kategori hadis shahîh atau dalam ungkapan al-Hâkim disebut shahîh al-isnâd. Sementara hadis dha’îf yang palsu atau mawdhû’ dalam tingkatan hadis al-Hâkim ada yang termasuk hadis mawdhû’ yang dapat dipergunakan.[12]

Penilaian al-Hâkim terhadap suatu hadis, walaupun menggunakan syarat ke- shahîh-an yang sama dengan ulama lain, tergantung pada konteks hadis itu terkait masalah apa. Al-Hâkim menerapkan standar yang berbeda (standar ganda) antara hadis yang berkaitan dengan ajaran pokok dan yang bukan pokok. Al-Hâkim bersikap tasyaddud pada hadis yang berkaitan dengan masalah pokok (akidah dan ibadah) dan bersikap tasâhul pada hadis yang tidak berkaitan dengan masalah pokok dalam agama (seperti sejarah, fadhâ`il al-‘amal dan biografi sahabat). Pertanyaan tentang apakah metode standar ganda al-Hâkim ini ia aplikasikan pada hadis-hadis al-Mustadrak akan terjawab pada bagian berikutnya dari makalah ini.

IV. Gambaran Umum Al-Mustadrak ‘alâ al-Shahîhâyn: Kandungan dan status hadis

A. Kitab al-Mustadrak dan Kandungan Hadisnya

Kitab al-Mustadrak ‘alâ al-Shahîhayn (selanjutnya disingkat al-Mustadrak) dalam versi terbaru yang diterbitkan oleh Maktabah Nizâr Mushthafâ al-Bâz Makkah al-Mukarramah (Riyadh) pada tahun 2000 (cetakan pertama) sebanyak 10 jilid (4051 halaman) yang terdiri dari 8 jilid kandungan hadis-hadis al-Mustadrak (3160 halaman) dan 2 jilid (halaman 3161-4051) yang berisi fihris -fihris (al-Fahâris al-Fanniyyah li al-Kitâb). Bagian 2 jilid al-Fahâris ini terdiri 4 bagian yaitu:

1. Fihris awâ`il al-ahâdîts, bagian ini berisi indeks matan hadis yang pendek yang lafal pertamanya atau huruf awal hadisnya berdasarkan urutan huruf hija`iyyah. Setiap hadis disertai dengan nama râwî awal (sahabat) dan nomor hadis sera nomor jilid.

2. Fihris al-a’lâm li al-shahâbah wa al-tâbi’în, bagian ini berisi indeks nama-nama sahabat dan tâbi’în yang terdapat dalam rangkaian sanad hadis-hadis al-Mustadrak.

3. Fihris al-rijâl al-ladzîna takallama fîhim al-Imâm al-Dzahabî fî al-Talkhîsh Jarh wa ta’dîl, bagian ini berisi indeks para râwî dalam al-Mustadrak yang dinilai oleh al-Dzahabî baik cacat (jarh) maupun ‘âdil-nya.

4. Al-mu’jam al-lafzhî murattab hijâ`iyya. Bagian ini berisi panduan mencari (men-takhrîj) hadis-hadis al-Mustadrak yang disusun berdasarkan kata dasar. Urutan kata dasar disusun berdasarkan urutan huruf hija`iyyah. Kemudian disebutkan pula nomor hadis dan nomor jilid.

Kandungan hadis Kitab al-Mustadrak menurut versi terbaru ini berjumlah 8803 hadis yang tersebar dalam 8 jilid dengan 51 topik bahasan (kitâb). Sistematika isi al-Mustadrak adalah sebagai berikut:

Topik-topik al-Mustadrak[13]

No

Nama Topik (kitâb)

No

Nama Topik (kitâb)

1

2

3

4

5

6

7

8

9

10

11

12

13

14

15

16

17

18

19

20

21

22

23

24

25

26

Kitâb al-îmân

Kitâb al-‘ilm

Kitâb al-thahârah

Kitâb al-shalâh

Kitâb al-jum’ah

Kitâb shalât al-‘aydayn

Kitâb al-witr

Min kitâb al-tathawwu’

Kitâb al-sahwi

Kitâb al-istisqâ`

Kitâb al-kusûf

Kitâb shalat al-khawf

Kitâb al-Janâ`iz

Kitâb al-zakah

Kitâb al-shawm

Awwal kitâb al-manâsik

Kitâb al-du’â` wa al-takbîr

Kitâb fadhâ`il al-Qur`ân

Kitâb al-buyû’

Kitâb al-jihâd

Kitâb qism al-fay`

Kitâb qatl ahl al-baghy

Kitâb al-nikâh

Kitâb al-thalâq

Kitâb al-‘itq

Kitâb al-makâtib

27

28

29

30

31

32

33

34

35

36

37

38

39

40

41

42

43

44

45

46

47

48

49

50

51

Kitâb al-tafsîr

Kitâb tawârîkh al-mutaqaddimîn

Kitâbal-hijrah

Kitâb al-maghâzî wa al-sarâyâ

Kitâb ma’rifah al-shahâbah

Kitâb al-ahkâm

Kitâb al-ath’imah

Kitâb al-asyribah

Kitâb al-birr wa al-shilah

Kitâb al-libâs

Kitâb al-thibb

Kitâb al-adhâhâ

Kitâb al-dzabâ`ih

Kitâb al-tawbat wa al-inâbah

Kitâb al-adab

Kitâb al-aymân wa al-nudzûr

Kitâb al-nudzûr

Kitâb al-riqâq

Kitâb al-farâ`idh

Kitâb al-hudûd

Kitâb ta’bîr al-ru`yâ

Kitâb al-thibb

Kitâb al-ruqy wa al-tamâ`im

Kitâb al-fitan wa alm,alâhim

Kitâb al-ahwâl

Kitab al-Mustadrak versi ini sebagaimana yang dinyatakan oleh pen-tahqîq-nya, Hamdî al-Damardâsy, berbeda dengan kitab al-Mustadrak terbitan lama. al-Mustadrak terbitan lama hanya terdiri dari 4 jilid besar dan menempatkan catatan (ta’lîq) al-Dzahabî pada bagian pinggir (hâmisy) kitab al-Mustadrak, sementara pada versi baru catatan al-Dzahabî (termasuk juga catatan al-Irâqî dan al-Manâwâ serta ulama besar lainnya) ditempatkan pada akhir setiap hadis setelah komentar al-Hâkim.[14] Dengan demikian catatan para ulama hadis yang pada asalnya berada pada bagian tepi kitab, pada versi ini telah menjadi satu bagian dengan hadis-hadis al-Mustadrak dan komentar al-Hâkim.

Sementara M. Abdurrahman[15] dalam disertasinya yang ia terbitkan menggambarkan kitab al-Mustadrak (versi lama) sebagai berikut. Kitab al-Mustadrak ‘alâ al-shahihayn terdiri atas 4 jilid besar yang jumlah halamannya kurang lebih 2561 halaman. Pokok bahasannya sekitar 50 bahasan yang disebut kitâb (bab). Kitab ini ditulis oleh al-Hâkim ketika ia menjelang usia tua, yaitu tahun 373 H ketika ia berusia 52 tahun. Kitab ini disebut al-Mustadrak ‘ala al-shahihayn berarti yang ditambahkan atau disusulkan atas shahîhayn. Perbedaan kitab ini dengan para penyusun kitab sunan dan musnad terletak pada ungkapan yang tegas bahwa hadis yang tercantum dalam al-Mustadrak memenuhi syarat shahihayn,[16] tetapi syaykhayn (Bukhârî dan Muslim) tidak men-takhrîj-nya atau dengan ungkapan hadis ini shahîh al-isnâd. Meskipun demikian, tidak selamanya al-Hâkim menyatakan hadis yang tercantum di dalam kitabnya secara eksplisit memenuhi syarat shahîhayn. Ada juga hadis yang dinilainya tidak memenuhi persyaratan itu. Karena itu, Abdurrahman, mengklasifikasikan kandungan al-Mustadrak dalam empat klasifikasi yaitu:

1. Hadis-hadis yang tercantum dalam al-Mustadrak tidak ada dalam shahîhayn, baik lafal maupun makna, tetapi terdapat pada kitab lain.

2. Hadis-hadis yang terdapat dalam al-Mustadrak lafalnya berbeda dengan hadis yang ada dalam shahîhayn tetapi maknanya sama.

3. Hadis-hadis dalam al-Mustadrak melengkapi lafal hadis yang ada dalam shahîhayn.

4. Hadis-hadis yang tercantum dalam al-Mustadrak menggunakan sanad yang tidak digunakan dalam shahîhayn.[17]

Tertib susunan bab al-Mustadrak, menurut Mahmûd Thahhân mengikuti pola susunan Bukhârî dan Muslim dalam shahîh mereka.[18] Karena itu kitab al-Mustadrak termasuk kitab hadis al-jâmi’, yaitu kitab hadis yang memuat berbagai studi Islam yang meliputi bidang akidah, syarî’ah dan akhlak. Selain itu di dalamnya terdapat berbagai hal yang berkaitan dengan târîkh, tafsîr, sîrah Nabi, sahabat, maghâzî, peristiwa masa silam dan lain-lain. Jumlah hadis dalam al-Mustadrak diperkirakan sebanyak 8690 hadis (berbeda dengan jumlah hadis pada al-Mustadrak versi terbaru di atas) dan 7248 hadis di dalam talkhîs-nya. Jika hadis-hadis dalam al-Mustadrak itu diklasifikasi berdasarkan tema-temanya maka jumlahnya dapat dirinci sebagai berikut: akidah 251 hadis, ibadah 1277 hadis, hukum halal-haram 2519 hadis, târîkh para rasul 141 hadis, biografi sahabat Nabi 1218 hadis, takwil mimpi 32 hadis, pengobatan dan jampi-jampi 73 hadis, huru-hara dan peperangan 347 hadis, hari kiamat 111 hadis, peperangan Nabi 233 hadis, berkaitan dengan tafsir 974 hadis dan fadhâ`il al-Qur`ân 70 hadis.[19]

Meskipun hadis-hadis dalam al-Mustadrak di-shahîh-kan oleh al-Hâkim, baik secara eksplisit dinyatakan memenuhi syarat shahîhayn maupun secara sendiri-sendiri antara al-Bukhârî dan Muslim atau tidak disebutkan, ternyata tidak semuanya bebas dari kritik. Bahasan berikut ini akan memperjelas status hadis yang terkandung dalam al-Mustadrak.

B. Status Hadis al-Mustadrak

1. Klasifikasi Berdasarkan Syarat Râwî

Hadis yang diakui ke-sahîh-annya secara mutlak oleh al-Dzahabî dalam al-Mustadrak berjumlah 1930 hadis. Semua hadis itu ada yang eksplisit memenuhi kriteria shahîhayn, memenuhi al-Bukhâri saja, memenuhi kriteria Muslim saja, ada yang secara eksplisit tidak disebutkan tetapi memenuhi kriteria (shahîh al-isnâd), dan ada juga yang tidak dinilai sama sekali oleh al-Hâkim. Klasifikasi hadis al-Mustadrak berdasarkan râwî dapat dikelompokkan dalam lima bagian sebagaimana terurai di bawah ini.

Pertama, Hadis yang sesuai dengan syarat shahîhayn. Hadis yang memenuhi kriteria al-Bukhârî dan Muslim dinyatakan oleh al-Hâkim sebagai: هـذا حديث صحيح على شرط الشيخين ولم يخرجاه (hadis ini memenuhi persyaratan syaykhayn tetapi mereka tidak meriwayatkannya). Hadis yang memenuhi kriteria ini berjumlah 985 hadis. Al-Hâkim sering menyebut hadis dalam klasifikasi ini dengan “’alâ syarthihimâ” (sesuai dengan syarat keduanya). Namun menurut al-Dzahabî, al-Hâkim tidak selalu tepat mengaplikasikan kriteria ini. Misalnya menggunakan râwî yang dinilai cacat oleh al-Bukhârî atau mengatakan bahwa ia memakai rijâl Muslim, padahal Muslim tidak menggunakannya.[20]

Kedua, hadis yang sesuai dengan syarat al-Bukhârî. Hadis yang memenuhi kriteria al-Bukhârî dinyatakan oleh al-Hâkim dengan ungkapan: هـذا حـديـث عـلى شرط البخارى ولم يخرجاه (hadis ini berdasarkan syarat al-Bukhârî namun mereka tidak meriwayatkannya). Namun dalam mengaplikasikan syarat ini al-Hâkim seringkali keliru. Misalnya, ia menggunakan seorang râwî yang bernama Syaybah al-Hadharî yang menurut al-Hâkim adalah seorang râwî yang digunakan oleh al-Bukhârî seperti disebut dalam kitab Târîkh al-Bukhârî. Namun al-Dzahabî menolak klaim ini karena al-Bukhârî tidak menggunakannya sebagai râwî, nama al-Syaybah al-Hadharî juga tidak disebut dalam Târîkh al-Bukhârî, menurut al-Dzahabi râwî ini adalah majhul (tidak dikenal) dan hanya digunakan oleh al-Nasâ`î.[21]

Ketiga, hadis yang sesuai dengan syarat Muslim. Hadis yang sesuai dengan syarat Muslim dinyatakan oleh al-Hâkim dengan ungkapan, هـذا حـديـث عـلى شرط مسلم ولم يخرجاه (hadis ini shahîh berdasarkan syarat Muslim tetapi mreka tidak meriwayatkannya). Dalam mengaplikasikan syarat ini, al-Hâkim juga masih melakukan kekeliruan menurut ulama lain. Misalnya, al-Dzahabi membantah klaim al-Hâkim bahwa salah seorang rijâl al-hadîts yang bernama Mu’awiyah ibn Shâlih hanya digunakan oleh Muslim sementara al-Bukhârî tidak menggunakannya. Walaupun Mu’âwiyah tidak disebutkan dalam Târîkh al-Bukhârî namun namanya tercantum dalam kitab al-Tahdzib.[22]

Keempat, hadis yang sesuai dengan syarat al-Hâkim. Hadis yang sesuai dengan syarat al-Hâkim sendiri dinyatakan oleh al-Hâkim dalam al-Mustadrak dengan ungkapan, هـذا حـديـث صحيح الاسـناد ولم يخرجاه (hadis ini shahîh sanad-nya dan al-Bukhârî dan Muslim tidak meriwayatkannya). Berdasarkan penilaian ulama, hadis yang dinilai shahîh sanad-nya ini dibiarkan oleh al-Hâkim untuk sementara, ia sendiri bermaksud menelitinya kembali namun ia wafat sebelum melaksanakan maksudnya. Menurut telaah al-Dzahabi, hadis jenis ini ada yang shahîh dan ada pula yang tidak shahîh. Sementara menurut al-‘Asqalânî syarat yang diberlakukan oleh al-Hâkim hanya sebagian saja râwî yang digunakan oleh syaykhayn.[23]

Kelima, hadis yang tidak dinilai oleh al-Hâkim. Terdapat Sejumlah hadis dalam al-Mustadrak yang tidak dinilai oleh al-Hâkim. Hadis-hadis yang tidak dinilai oleh al-Hâkim ini jumlahnya banyak sekali. Pada jilid empat (versi lama) al-Mustadrak saja terdapat 280 hadis yang tidak dinilai oleh al-Hâkim. Nampaknya, al-Hâkim ingin melakukan evaluasi ulang terhadap hadis-hadis ini namun kematiannya menghentikan proses dan upayanya ini. Sejumlah hadis yang tidak dinilai oleh al-Hâkim ini ada yang shahîh dan ada yang tidak shahîh menurut penilaian ulama hadis selanjutnya.[24]

Sementara Mahmûd al-Tahhân secara sederhana mengklasifikasikan hadis al-Mustadrak pada tiga kelompok yaitu:

a. Hadis-hadis shahîh berdasarkan syarat syaykhayn atau syarat salah seorang diantara keduanya dan mereka tidak meriwayatkannya.

b. Hadis-hadis shahîh berdasarkan syarat al-Hâkim sendiri walaupun tidak merupakan syarat syaykhayn atau salah seorang diantara keduanya. Inilah yang dinyatakan oleh al-Hâkim dengan istilah “shahîh al-isnâd”.

c. Hadis-hadis yang tidak shahîh menurut al-Hâkim, tetapi ia memberitahukan tentang hadis itu.[25]

Berdasarkan rincian di atas, jelas terlihat bahwa kondisi hadis dalam al-Mustadrak tidaklah sama. Hadis dalam al-Mustadrak ada yang didasarkan pada kriteria al-Bukhârî dan Muslim; ada yang didasarkan pada kriteria Bukhari saja atau Muslim saja; ada yang menurut kriteria al-Hâkim sendiri dan ada juga yang tidak dinilai sama sekali. Sementara status hadis ada yang memenuhi kriteria ke- shahîh -an hadis ada juga yang tidak memenuhi kriteria tersebut.

2. Klasifikasi Hadis Berdasarkan Kualitas Râwî

Al-Dzahabi menggunakan 63 istilah jarh (cacat) terhadap hadis yang terdapat dalam al-Mustadrak. Ini menunjukkan bahwa hadis yang tecantum di dalamnya banyak yang rusak. Râwî yang berstatus jarh sampai ke tingkat mawdhû’ terdapat pada setiap jilid al-Mustadrak. Pada jilid I, dari 1805 hadis terdapat 45 hadis yang diduga lemah dengan menggunakan sighat mawdhû’ (palsu), munkar (ditolak), matrûk (râwî tertuduh dusta) dan laysa tsâbit (tidak konsisten). Pada jilid II ada 66 hadis yang tidak layak digunakan. Shigat yang dipakai untuk menunjukkan kelemahan hadisnya adalah mawdhû’, matrûk, kadzdzâb (pendusta), kâna yadha’u al-hadîts (dia pemalsu hadis), lâ ‘arifu jayyidan (aku tidak mengenalnya dengan baik), lâ yu’raf (tidak dikenal), bâthil (hadis batil) dan lam yashihhu (dia tidak men-shahîh-kannya). Pada jilid III terdapat 47 hadis yang tidak layak digunakan. Ungkapan yang digunakan adalah mawdhû’, qabbaha Allâhu Râfidhiyyan iftarâu’, ahsibu mawdhû’an (aku menduga palsu), wa azhunnu mawdhû’an (aku kira palsu), syibhu mawdhû’ (sepertinya palsu), ayna shihhah wa harâmun fihi, munkar [26] dan matrûk[27]. Pada jilid IV terdapat 109 hadis yang dinilai lemah, lafal yang digunakan untuk menunjukan kelemahan itu adalah lâ ashla lahu (tidak ada dasarnya), hâlik (rusak), lâ ihtajja bihi ahadun (tak ada yang berhujjah dengannya), lâ hujjata (tidak bisa dijadikan hujjah), matrûk, mawdhû’, munkar, muttaham tâlif (tertuduh dusta lagi rusak) dan nazharun (dipertimbangkan lagi). Secara keseluruhan hadis yang dianggap tidak layak dan memiliki kelemahan fatal ada 267 hadis dari 8690 hadis dalam al-Mustadrak (3,072%).[28]

Dari jumlah itu hadis shahîh pada al-Mustadrak sebenarnya masih jauh lebih banyak dari jumlah hadis yang dinilai lemah dan tidak layak. Secara ringkas penilaian Al-Dzahabi terhadap hadis-hadis al-Mustadrak adalah ada 87 hadis mawdhû’, munkar 101 hadis, matruk 60 hadis dan dha’if mencapai 930 hadis. Namun ada 359 hadis yang tidak dinilai sama sekali oleh al-Dzahabî.[29]

Di atas telah disebutkan bahwa terdapat 87 hadis yang dianggap mawdhû’ dalam al-Mustadrak. Dari 51 topik dalam 4 jilid al-Mustadrak, topik yang mengandung hadis mawdhû’ adalah sebagai berikut:[30]

a. Sejarah rasul, sahabat, hijrah dan peperangan berisi 41 hadis mawdhû dari 1637 hadis.

b. Tafsir berisi 10 hadis mawdhû’ dari jumlah 1063 hadis.

c. Sejarah Nabi pada masa lalu memiliki 6 hadis mawdhû` dari 252 hadis.

d. Riqâq memiliki 5 hadis mawdhû’ dari 334 hadis.

e. Al-fitan wa al-malâhim memiliki 5 hadis mawdhû’ dari 334 hadis

f. Salat ada 4 hadis dari 305 hadis.

g. Pengobatan Nabi ada 3 hadis dari 130 hadis.

h. Makanan ada 2 hadis dari 114 hadis.

Selain itu ada 11 topik yang masing-masing memiliki satu hadis mawdhû’ (jadi ada 11 hadis mawdhû’), 11 topik tersebut adalah: ‘îdayn (dari 28 hadis), tathawwu’ (dari 47 hadis), doa-doa (dari 207 hadis), farâ`id (dari 67 hadis), hudûd (dari 130 hadis), buyû’ (dari 215 hadis), nikah (dari 105 hadis), jihad (dari 193 hadis), memerangi pemberontak (dari 26 hadis), fadhâ`il al-Qur`ân (dari 67 hadis) dan ahwâl (114 hadis).

C. Sikap Tasâhul al-Hâkim dalam menilai hadis pada al-Mustadrak

Sebagaimana telah disebutkan di atas tentang kualitas hadis dalam al-Mustadrak, hadis-hadis dalam al-Mustadrak selain memuat hadis shahîh yang cukup banyak, namun juga memiliki muatan hadis yang lemah, baik pada tingkat lemah biasa sampai mawdhû’. Banyaknya hadis yang lemah dalam al-Mustadrak itulah al-Hâkim kemudian dicap tasâhul (longgar) oleh ulama lainnya.[31] Label tasâhul yang dialamatkan kepada al-Hâkim menurut ‘Abd al-Fattâh didasarkan pada penilaian berikut:[32]

Pertama, ketika al-Hâkim meriwayatkan hadis dari râwî syaykhayn, al-Hakim menggunakan salah satu rijâl al-Bukhârî yang frekuensi penerimaannya masih rendah. Ikrimah, misalnya, adalah rijâl al-Bukhârî, tetapi sangat jarang meriwayatkan hadis dari Ibnu ‘Abbâs melalui Ikrimah. Al-Hâkim menerima hadis dari Ikrimah walaupun hadis itu diperselisihkan ke-shahîh-annya. Ikrimah menjadi jaminan ke-shahîh-an hadis bagi al-Hâkim, karena al-Bukhari juga meriwayatkan darinya, padahal hal itu belum tentu berlaku bagi ulama lain.

Kedua, al-Hâkim mudah menyebut kriteria syaykhayn. al-Hakim banyak meriwayatkan hadis yang sebagian rijâl-nya digunakan oleh Bukhârî dan sebagian lagi oleh Muslim kemudian dikatakan bahwa hadis itu memenuhi syarat syaykhayn.

Ketiga, generalisasi al-Hâkim dalam rijâl syaykhayn. Dalam batas-batas tertentu, al-Hâkim menerima riwayat dari rijâl al-Bukhârî yang diterima juga dari guru tertentu. Namun al-Bukhârî sendiri tidak meriwayatkan hadis dari rijâl tersebut, yang diterima dari guru lainnya karena dianggap lemah atau râwî hadis tidak dhâbith atau tidak dikenal meriwayatkan hadis.

Dengan demikian, ke-tasâhul-an al-Hâkim terletak pada kelonggarannya mengatasnamakan persyaratan shahîhayn, padahal tidak memenuhi persyaratan shahîhayn. Bahkan fakta memperlihatkan al-Hâkim telah memasukkan hadis yang tidak layak dilihat dari segi ilmu hadis ke dalam al-Mustadrak. Hampir seperempat hadis yang dihimpun dalam kitab al-Hâkim cacat dan sekitar 267 hadis sangat lemah serta tidak layak dimasukkan oleh seorang ulama sekapasitas al-Hâkim. Namun ke-tasâhul-an al-Hâkim lebih banyak pada bagian-bagian yang tidak menyangkut hadis hukum. Pada bagian akidah, tidak ada satupun hadis al-Hâkim yang mawdhû’ demikian pula dalam masalah syari’ah sangat jarang ada hadis yang mawdhû’. Kunci dari persoalan ini sebenarnya adalah al-Hâkim menggunakan “standar ganda” dalam mengaplikasikan metodenya. Al-Hâkim bersikap tasyaddud (ketat) pada hal-hal yang berkaitan dengan hukum tetapi bersikap tasâhul pada hadis yang berkaitan dengan akhlak, nasihat, doa-doa dan sejarah; tasyaddud dalam masalah-masalah pokok dan tasâhul dalam masalah-masalah tidak pokok.[33]

V. Penutup

Uraian di atas menunjukkan bahwa al-Mustadrak masih jauh dibanding dengan shahîhayn walaupun al-Hâkim mengaplikasikan syarat syaykhayn dalam al-Mustadrak. Hal ini disebabkan karena standar ganda yang digunakan secara konsisten oleh al-Hâkim dalam menilai hadis. Ia bersikap tasyaddud pada bidang akidah dan ibadah, tetapi tasâhul pada bidang târîkh, biografi sahabat, fadhâ`il al-‘amal dan lainnya, akibatnya apa yang dinilai shahîh oleh al-Hâkim bisa dinilai dha’îf bahkan palsu oleh ulama lain. Selain itu, dalam beberapa kasus, al-Hâkim dinilai tidak tepat dalam mengaplikasikan syarat syaykhayn. Alasan lainnya adalah sebagian hadis hanya dinilai berdasarkan syarat al-Hâkim sendiri (bukan berdasarkan syarat syaykhayn) dan ada pula hadis yang belum dinilai sama sekali. Yang lebih parah adalah dalam al-Mustadrak terdapat hadis-hadis yang tidak layak karena sangat lemah dan palsu. Fakta ini menunjukkan bahwa kualitas al-Mustadrak tidak dapat disejajarkan dengan al-shahîhayn, karena al-shahîhayn hanya berisi hadis yang berkualitas shahîh. Walaupun beberapa sisi lemah ini mempengaruhi kualitas dan peringkat al-Mustadrak, namun jumlah hadis shahîh dalam al-Mustadrak masih jauh lebih banyak dibanding hadis yang tidak layak. Karena itu, kitab hadis ini tetap menjadi referensi hadis yang penting sebagaimana kitab-kitab hadis lainnya.

Kondisi al-Mustadrak dengan koleksi hadis seperti di atas, selain karena faktor metode yang diaplikasikan al-Hâkim sendiri, tetapi juga karena al-Mustadrak adalah proyek al-Hâkim yang belum tuntas. Sebelum ia selesai menilai seluruh hadis al-Mustadrak ia terlebih dahulu meninggal dunia. Karena itu, al-Mustadrak sangat terbuka untuk diteliti dan dinilai kembali sebagaimana yang telah dilakukan oleh para ulama hadis seperti al-Dzahabî dan ulama lainnya.

Daftar Pustaka

Abdurrahman, M., Pergeseran Pemikiran Hadîts (Ijtihad Al-Hâkim dalam Menentukan Status Hâdîts), Jakarta, Paaramadina, 1999.

Husayn, Al-Sayyid Mu’zham, “Tadzkirah al-Mushannif “ dalam al-Imâm al-Hâkim Abû ‘Abd Allâh Muhammad ibn al-Hâfizh al-Naysâbûrî, Kitâb Ma’rifah ‘Ulûm al-Hadîts, al-Madinah al-Munawwarah, al-Maktabah al-‘Ilmiyyah, 1977.

Ismail, Syuhudi, Kaedah Keshahihan Sanad Hadis (Telaah Kritis dengan Pendekatan Ilmu Sejarah), Jakarta, Bulan Bintang, 1995.

Khathîb, Muhammad ‘Ajjâj al-, Ushûl al-Hadîts ‘Ulûmuh wa Mushthalahuh, Beyrut, Dar al-Fikr, 1989.

Naysâbûrî, al-Imâm al-Hâfizh Abû ‘Abd Allâh Muhammad ibn ‘Abd Allâh al-Hâkim al-, al-Mustadrak ‘alâ al-Shahîhayn Jilid 1-10, Riyâdh, Maktabat Nizâr Mushthafâ al-Bâz, 2000.

Shâlih, Shubhî al-, ‘Ulûm al-Hadîts wa Mushthalahuhu, Beyrut, Dâr al-‘Ilm li al-Malâyîn, 1988.

Suparta, Munzier, Ilmu Hadis, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 2002.

Thahhân, Mahmûd al-, Ushûl al-Takhrîj wa Dirâsât al-Asânîd, Riyadh, Maktabah al-Ma’ârif1991.

Ya’qub, Ali Mustafa, Kritik Hadis, Jakarta, Pustaka Firdaus, 2000.



[1] Mustadrak (jamak: mustadrakât) adalah salah satu bentuk metode pembukuan hadis, yang menurut Shubhî Shâlih berarti menyusulkan hadis-hadis yang terlewatkan oleh seorang penulis hadis dalam kitabnya berdasarkan syarat yang digunakan penulis kitab hadis itu. Sementara menurut Ali Mustafa Ya’qub, metode mustadrak berarti menyusulkan hadis-hadis yang tidak tercantum dalam suatu kitab hadis yang lain. Namun dalam menuliskan hadis-hadis susulan itu penulis kitab pertama mengikuti persyaratan hadis yang dipakai oleh kitab yang lain itu. Jenis-jenis kitab hadis selain mustadrak adalah kutub al-shihhâh, al-Jawâmi’ (al-jâmi’) dan al-masânîd (al-musnad), al-ma’âjim (al-mu’jam), al-mustakhrajât (al-mustakhraj) dan al-ajzâ` (juz`). Lihat pengertian istilah-istilah ini pada: Shubhî al-Shâlih, ‘Ulûm al-Hadîts wa Mushthalahuhu, (Beyrut: Dâr al-‘Ilm li al-Malâyîn, 1988), h. 117-125. Lihat juga pengertian istilah-istilah jenis kitab hadis ini pada: Ali Mustafa Ya’qub, Kritik Hadis, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000), h. 76-80. Namun pada Ali Mustafa Ya’qub terdapat beberapa istilah yang tidak ada pada Shubhî al-Shâlih, yaitu metode Muwaththâ`, mushannaf, sunan, majma’ dan zawâ`id.

[2] Al-Sayyid Mu’zham Husayn, “Tadzkirah al-Mushannif “ dalam al-Imâm al-Hâkim Abû ‘Abd Allâh Muhammad ibn al-Hâfizh al-Naysâbûrî, Kitâb Ma’rifah ‘Ulûm al-Hadîts, (Al-Madinah al-Munawwarah: al-Maktabah al-‘Ilmiyyah, 1977), h. i.

[3] Ibid.

[4] Ibid.

[5] M. Abdurrahman, Pergeseran Pemikiran Hadîts (Ijtihad Al-Hâkim dalam Menentukan Status Hâdîts), (Jakarta: Paramadina, 1999), h. 39-41.

[6] Al-Sayyid Mu’zham Husayn, Op. Cit., h. iv-v. Menurut al-Dzahabî, dalam al-Mustadrak, al-Hâkim memuat hadis-hadis tentang keutamaan tiga khalifah termasuk mengutamakan ‘Utsmân, apakah ia pantas disebut Syî’ah dan râfidhah? tanya al-Dzahabî. Walaupun al-Hâkim menulis satu juz tentang keutamaan Fâthimah ra namun menurut al-Dzahabî itu bukan ukuran bahwa ia seorang syî’î atau râfidhî karena tak seorang pun yang mengingkari keutamaan Fâthimah. Sementara argumen al-Subkî tentang kesunnian al-Hâkim di antaranya adalah bahwa guru-guru al-Hâkim mayoritas adalah tokoh-tokoh ahl al-sunnah yang berkaitan dengan teologi Abû al-Hasan al-Asy’arî (w.935 M). Selain itu, al-Hâkim ketika menulis biografi (tarâjum) ahl al-sunnah, ia memberikan pujian dan keta’zhiman kepada tokoh-tokoh tersebut..

[7] Lihat: Al-Sayyid Mu’zham Husayn, Ibid., h. iii (هـ) dan lihat pula: M. Abdurrahman, Op. Cit., h. 53-54.

[8] M. Abdurrahman, Op. Cit., h. 81 dan 258.

[9] Tabel ikhtisar Syuhudi Ismail mengenai pendapat 15 orang ulama hadis tentang kriteria (syarat-syarat) periwayat yang adil menunjukkan bahwa ulama yang paling banyak menyebutkan syarat-syarat adil adalah Nûr al-Dîn ‘Itr yaitu 7 syarat, sementara yang paling sedikit adalah al-Hâkim al-Naysâbûrî hanya 3 syarat. Lihat: Syuhudi Ismail, Kaedah Keshahihan Sanad Hadis (Telaah Kritis dengan Pendekatan Ilmu Sejarah), (Jakarta: Bulan Bintang, 1995), h. 130-131.

[10] M. Abdurrahman, Op. Cit., h. 77,

[11] M. Abdurrahman, Op. Cit., h. 93- 95, 100, 103. M. Abdurrahman merinci prinsip ijtihad al-Hâkim dalam menentukan hadis ini didasari oleh pernyataan al-Hâkim pada bagian awal al-Mustadrak-nya yaitu: أنا أستعين الله على احراج أحاديث رواتـها ثقات فقد احتج بمثلها الشيخان ر. او أحدهما وهذا شرط الصحيح عند كافة فقهاء الاسلام أن الزيادة فى الأسانيد والمتون من الثقات مقبولة. , artinya: aku memohon pertolongan Allah untuk meriwayatkan hadis-hadis yang para râwî-nya orang-orang tsiqah (terpercaya). Bukhârî dan Muslim atau salah seorang diantara mereka telah menggunakan para râwî semacam itu (bimitslihâ) untuk berhujjah dengannya. Ini adalah syarat hadis shahîh menurut segenap fuqahâ` Islam, bahwa tambahan dalam sanad-sanad dan matan-matan dari orang-orang terpercaya yang bisa diterima (lihat halaman 93).

[12] Ibid., h. 259-260.

[13] Diolah dari al-Mustadrak jilid 1-8. Kitab al-Mustadrak pada versi terbaru ini tidak memiliki daftar isi baik pada bagian awal maupun akhir kitab. Demikian juga dalam bagian fihris tidak ditemukan sistematika atau daftar isi topik al-Mustadrak. Untuk menemukan topik-topik al-Mustadrak harus membuka satu persatu atau jilid demi jilid kitab al-Mustadrak ini.

[14] Lihat pengantar Hamdî al- Damardâsy Muhammad dalam al-Imâm al-Hâfizh Abû ‘Abd Allâh Muhammad ibn ‘Abd Allâh al-Hâkim al-Naysâbûrî, al-Mustadrak ‘alâ al-Shahîhayn al-Juz al-Awwal, (Riyâdh: Maktabat Nizâr Mushthafâ al-Bâz, 2000), h. 1-2. Lihat pula beberapa hadis sebagai contoh pada bagian awal kitab ini bagaimana catatan al-Dzahabi disisipkan pada akhir setiap hadis.

[15]M. Abdurrahman, Op. Cit., h, 54-57

[16] Kriteria-kriteria al-Bukhârî dan Muslim berdasarkan penelitian ulama adalah: (1) rangkaian perawi dalam sanad harus bersambung mulai perawi pertama sampai perawi terakhir; (2) para perawinya harus dikenal sebagai orang-orang yang tsiqah, dalam arti ‘âdil dan dhâbith; (3) hadisnya terhindar dari ‘illat (cacat) dan syâdz (janggal); dan (4) para perawinya yang terdekat dalam sanad harus harus sezaman. Hanya saja terjadi perbedaan pendapat antara keduanya mengenai persambungan sanad. Menurut al-Bukhârî, sanad hadis dikatakan bersambung apabila antara perawi yang terdekat itu pernah bertemu, sekalipun hanya satu kali. Jadi tidak cukup hanya sezaman (al-mu’âsharah). Sedangkan menurut Muslim, apabila antara perawi yang terdekat hidup sezaman sudah dikategorikan bersambung. Di samping persyaratan yang telah disepakati di atas, ada sebagian ulama yang menyatakan bahwa al-Bukhârî juga menetapkan syarat terjadinya periwayatan harus dengan cara al-samâ’. Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa persyaratan hadis shahîh yang ditetapkan oleh al-Bukhârî lebih ketat dari persyaratan yang ditetapkan oleh Muslim. Munzier Suparta, Ilmu Hadis, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002), h. 128.

[17] Lihat klasifikasi ini beserta contohnya masing-masing pada M. Abdurrahman, Ibid., h. 57-62.

[18] Mahmûd al-Thahhân, Ushûl al-Takhrîj wa Dirâsât al-Asânîd, (Riyadh: Maktabah al-Ma’ârif1991), h. 102.

[19] M. Abdurrahman, Op. Cit.,h. 213-214.

[20] Ibid., h. 216-219

[21] Ibid., h. 219-220.

[22] Ibid., h. 220-221.

[23] Ibid., h. 221-222.

[24] Ibid., h. 222-223.

[25] Mahmûd al-Thahhân, Loc. Cit.

[26] Hadis munkar adalah hadis yang diriwayatkan oleh râwî yang lemah dan menyalahi riwayat râwî yang tsiqah. Muhammad ‘Ajjâj al-Khâthib, Ushûl al-Hadîts ‘Ulûmuh wa Mushthalahuh, (Beyrut: Dâr al-Fikr, 1989), h. 348.

[27]Hadis matrûk adalah hadis yang diantara perawinya adalah seorang pendusta dalam hadis atau sangat pendusta dalam perkataannya, atau nampak kefasiqannya baik perkataan maupun perbuatan, atau sangat jelek kesalahannya dan banyak lupanya. Ibid.

[28] M. Abdurrahman, Op. Cit., h. 224-227.

[29] Ibid., h. 228.

[30] Ibid., h. 230-231.

[31] Tasâhul secara lugawi berarti menganggap longgar terhadap suatu keadaan. Dalam terminologi ahli hadis tasâhul dapat diartikan dua macam: (a) tasâhul dalam hadis Rasul seperti membuat (meriwayatkan) hadis palsu, banyak lupa, lalai, tidak dhâbith, belajar hadis tidak serius dan lain-lain; (b) tasâhul dalam metode ke-shahîh-an yang bukan pada halal dan haram dengan kemungkinan diterima, dipertanyakan lagi dan tawaqquf. Yang pertama harus ditolak sementara yang kedua harus dilihat dulu kondisinya. Nampaknya label tasâhul yang ditujukan kepada al-Hâkim termasuk tasâhul kategori kedua. Lihat : Ibid., h. 232.

[32] Ibid., h. 232-233.

[33] Ibid., h. 234, 235 dan 238.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar