Selasa, 06 Januari 2009

Dasar filosofis pendidikan Islam

DASAR-DASAR FILOSOFIS PENDIDIKAN ISLAM:

HAKIKAT MANUSIA, ALAM DAN KEHIDUPAN

Oleh: Rahmadi

A. PENDAHULUAN

Selain masalah tentang Tuhan, ada tiga persoalan mendasar dan krusial yang selalu mengusik pikiran manusia ketika ia menjalani kehidupan di dunia ini. Pertama, adalah siapakah dirinya sebenarnya? dengan kata lain apa hakikat dirinya? Kedua, adalah alam di mana tinggal; apa hakikatnya? dan ketiga adalah tentang kehidupan; untuk apa manusia hidup? dan untuk apa kehidupan ini diadakan? Pertanyaan-pertanyaan mendasar ini selalu mengusik pikiran manusia dan mereka berusaha menemukan jawabannya.

Tentang hakikat manusia misalnya muncul bermacam-macam pendapat tentang itu. Misalnya, sebagaimana yang dikemukakan oleh Jalaluddin, menurut paham materialisme, manusia adalah unsur-unsur materialisme-mekanistik yang kompleksitasnya terdiri atas aspek-aspek fisiologis, neurologis, fisika dan biokimia. Semua unsur itu bekerja di bawah satu sistem “organisasi” yang berpusat pada central nervous system (sistem syarat pusat) yakni mind. Namun mind di sini lebih mendekati syaraf yang bersifat neurologis dan bukan psikis.[1] Sementara itu, beberapa kalangan ahli biologi dan psikologi mempertahankan pandangan tentang adanya elemen “jahat” dalam diri manusia yang terwariskan secara turun temurun. Lorenz, misalnya, menganggap manusia sebagai bagian dari gerak evolusi dari hewan lain yang berarti manusia memiliki sifat agresif. Menurutnya, pertempuran dan kejahatan yang mengarah pada kekejaman dan kebiadaban merupakan instink yang telah ada dalam diri manusia.[2] Kalangan Kristen memandang negatif manusia karena telah membawa dosa asal (dosa warisan); sementara kalangan empirisme dengan teori tabularasanya memandang manusia seperti kertas putih yang tidak memiliki potensi apa-apa.[3]

Pandangan manusia tentang alam juga bervariasi. Kaum sekuleristik-ateistik berpendapat bahwa alam ini hanyalah materi mekanistik yang bergerak dengan sendirinya dan tercipta dengan sendirinya; sementara kaum primitif melihat alam sebagai kekuatan dahsyat yang harus disembah. Begitu pula pandangan manusia tentang hakikat kehidupan. Ada yang berpandangan bahwa hidup ini hanyalah di sini, tidak ada lagi kehidupan setelah ini karena itu hidup harus dinikmati sebebas-bebasnya sebelum kehidupan berakhir dengan kematian; sementara yang lain berpandangan bahwa kehidupan ini pada hakikatnya adalah kesengsaraan, tanpa makna dan tujuan . Kematian adalah akhir dari kesengsaraan untuk menuju kehidupan yang lebih abadi dan menyenangkan, dan sebagainya.

Pandangan tentang hakikat alam, manusia dan kehidupan sangat penting dan sangat berpengaruh dalam pelbagai bidang kehidupan terutama pada bidang pendidikan. Karena pandangan tentang hal itu akan mempengaruhi tujuan hidup dan pandangan hidup manusia yang pada gilirannya akan diwariskan dan diwujudkan melalui pendidikan. Orang yang memiliki pandangan hidup materialistik terhadap hakikat manusia alam dan kehidupan akan mengimplementasikan pendidikan yang materialistik pula, demikian juga dengan orang yang berpandangan spiritualistik akan mengimplementasikan pendidikan yang spiritualistik pula dan seterusnya. Karena itu, sebelum mengimplementasikan sebuah paradigma pendidikan, ketiga pertanyaan mendasar ini harus dijawab terlebih dahulu agar menjadi basis utama pendidikan. Sekarang pertanyaannya adalah bagaimanakah pandangan Islam tentang ketiga pertanyaan filosofis ini? Dan apa implikasinya bagi pendidikan Islam? Pertanyaan inilah yang akan kita jawab dalam uraian-uraian selanjutnya dari makalah ini.

B. DASAR FILOSOFIS PENDIDIKAN ISLAM TENTANG HAKIKAT MANUSIA

1. Term manusia dalam Alquran

Menurut M. Quraish Shihab ada tiga kelompok kata yang digunakan Alquran untuk menunjuk kepada manusia. Pertama, menggunakan kata insân, ins, nâs, atau unâs; kedua, menggunakan kata basyar; dan ketiga menggunakan kata banî Âdam dan zuriyat Âdam.[4]

Penggunaan kata basyar dalam Alquran digunakan sebanyak 36 kali dalam bentuk tunggal dan satu kali dalam bentuk mutsanna. Dari penggunaan istilah itu Baharuddin menyimpulkan bahwa penggunaan kata basyar dalam Alquran menggambarkan manusia dari sisi fisik biologisnya seperti kulit manusia, kebutuhan biologisnya seperti makan, minum, berhubungan seks dan lain-lain. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa manusia yang dijelaskan dengan istilah basyar menekankan gejala umum yang melekat pada gejala fisik manusia, yang secara umum relatif sama antar sesama manusia. Pengertian basyar tidak lain adalah pengertian manusia pada umumnya, yaitu manusia dalam kehidupannya sehari-hari yang sangat bergantung pada kodrat alamiahnya seperti makan, minum, berhubungan seks, tumbuh berkembang dan akhirnya mati, hilang dari peredaran dunia.[5] Ringkasnya, kata basyar merujuk pada manusia sebagai makhluk biologis.

Penggunaan kata al-ins (18 kali), al-unâs (5 kali), al-insân (65 kali), dan an-nâs (243 kali). Kata al-ins dipakai Alquran dalam kaitannya dengan berbagai potensi jiwa manusia, antara lain sebagai hamba Allah yang selalu berbuat baik, tetapi juga potensial menjadi pembangkang Allah. Selain itu, al-ins juga diberi peluang untuk mengembangkan potensinya untuk dapat menguasai alam.[6] Berdasarkan penggunaan kata unâs dalam berbagai konteks, ia selalu dihubungkan dengan kelompok manusia, baik sebagai suku bangsa, kelompok pelaku kriminal, maupun kelompok orang yang baik dan buruk nanti di akhirat. Dalam konteks ini manusia dipahami sebagai makhluk berkelompok, dan ia selalu membentuk kelompoknya sesuai dengan ciri-ciri persamaannya.[7] Penggunaan Kata al-insân menggambarkan bahwa manusia telah diberikan Allah ilmu pengetahuan, memiliki potensi dan sarana-sarana dalam dirinya untuk menemukan, mengembangkan dan menciptakan ilmu pengetahuan.[8] Menurut M. Quraish Shihab penggunaan kata al-insân menunjukkan tentang seluruh totalitas manusia, jiwa dan raganya; manusia yang berbeda antara satu sama lain, akibat perbedaan fisik, mental dan kecerdasan.[9] Kata an-nâs dalam pelbagai konteks penggunaannya menunjukkan bahwa kata an-nâs mengandung makna sifat-sifat dan nilai-nilai universal manusia. Bisa juga bermakna bahwa manusia adalah salah satu spesies (makhluk) Tuhan di alam ini.[10] Sedang penggunaan kata Banî Âdam secara umum memberikan gambaran bahwa manusia adalah makhluk yang memiliki kelebihan dan keistimewaan dari makhluk lainnya. Keistimewaan itu meliputi fitrah keagamaan, peradaban, dan kemampuan memanfaatkan alam. Dengan kata lain bahwa manusia adalah makhluk yang berada dalam relasi dengan Allah (habl min Allâh), relasi dengan sesama (habl min an-nâs) dan relasi dengan alam (hablun min al-‘âlam).[11]

Apa yang digambarkan oleh Baharuddin ini sebenarnya masih sangat general, masih banyak lagi makna yang bisa digali lebih dalam dari penggunaaan term-term yang merujuk pada manusia dalam Alquran baik dalam kelompok basyar, insân (ins, unâs dan an-nâs) mapun banî Âdam. Apalagi kalau kita merujuk pada masing-masing ayat berdasarkan konteks dan kasusnya masing-masing maka kita akan menemukan makna yang jauh lebih kaya lagi dimana setiap orang dapat memberi penafsiran yang lebih luas.

Implikasi dari pemaknaan penggunaan term-term itu terhadap pendidikan Islam adalah bahwa pendidikan Islam harus mengupayakan pendidikan yang mampu mengembangkan manusia sebagai makhluk biologis; mampu mengembangkan manusia pada seluruh aspek totalitas potensinya baik potensi ruhaninya maupun jasmaninya serta posisinya sebagai pribadi dan makhluk sosial; mampu mengembangkan kelebihan dan keistimewaan manusia sebagai makhluk utama dan berperadaban dalam relasinya dengan Tuhan, relasinya dengan sesama manusia, dan relasinya dengan alam semesta.

2. Asal Penciptaan dan Unsur Manusia

Menurut an-Nahlâwî, sejak manusia berada di permukaan bumi, selalu terdapat dua pandangan ekstrem tentang manusia. Satu pihak cenderung melihat manusia sebagai makhluk yang terbesar dan teragung posisinya di alam sehingga melahirkan sifat individualistis dan kesombongan, sementara pada pihak lain berpandangan bahwa manusia adalah makhluk yang hina dan rendah posisinya di alam sehingga melahirkan ketundukkan kepada pohon, batu, sungai, gunung dan binatang; mereka menilai tidak ada keselamatan selain sujud kepada matahari, bulan, bintang dan api serta benda apa saja yang dapat memberi mudarat dan manfaat kepada mereka.[12]

Dalam Islam, menurut an-Nahlâwî, asal manusia ada dua yaitu asal yang jauh dan asal yang dekat. Asal yang jauh adalah tahap penciptaan awal, pada tahap ini manusia berasal dari tanah (thîn, turâb, shalshâl) kemudian disempurnakan oleh Allah dengan tiupan roh (al-Sajadah: 8-9) sementara asal yang dekat adalah manusia berasal dari air mani yang hina (mâ` mahîn, mâ` dâfiq, nuthfah) yang kemudian berproses menjadi manusia yang utuh (Lihat: al-Mu’minûn: 13-14).[13] Di sini Alquran mengajarkan manusia untuk bersikap tawadhu berdasarkan kesadaran bahwa dirinya berasal dari sesuatu yang hina. Karena itu manusia tidak pantas bersikap sombong, bahkan seharusnya manusia mensyukuri nikmat penciptaan dirinya yang asalnya hina kemudian menjadi makhluk mulia.

Dalam diskursus tentang hakikat manusia, terdapat perbedaan yang bersifat komplementer di antara kalangan muslim tentang rincian unsur manusia. Ada yang membagi unsur manusia itu secara garis besar menjadi dua yaitu jasmani dan ruh; Omar Muhammad al-Toumy al-Syaibaniy membaginya menjadi tiga dimensi yaitu badan, akal dan ruh;[14] ‘Abd al-Fattâh Jalâl membagi susunan bentuk manusia menjadi empat yaitu al-jism, al-‘aql, al-qalb dan ar-rûh;[15] sementara Baharuddin membagi menjadi tiga aspek dengan enam dimensi yaitu jismiyah (dimensi fisik), nafsiyah (dimensi psikis yang terdiri dari dimensi nafsu, akal dan hati) dan ruhaniah (aspek spiritual-transendental yang terdiri dari dimensi ruh dan fitrah).[16] Untuk penjelasan lebih lanjut akan digunakan pembagian unsur manusia menurut temuan Baharuddin karena menyajikan rincian yang lebih detil, yaitu:

a. Aspek Jismyiah

Aspek jismiyah adalah organ fisik dan biologis manusia dengan segala perangkat-perangkatnya. Organ fisik-biologis manusia adalah organ fisik yang paling sempurna di antara semua makhluk (ahsan taqwîm). Proses penciptaan manusia memiliki persamaan dengan hewan dan tumbuh-tumbuhan, karena semuanya bagian dari alam. Aspek jismiyah ini memiliki dua sifat dasar. Pertama dalam bentuk konkret, berupa tubuh kasar yang tampak. Kedua, berupa bentuk abstrak berupa nyawa halus (daya hidup) yang menjadi sarana kehidupan tubuh. Aspek abstrak jismiyah inilah yang akan mampu berinteraksi dengan aspek nafsiyah dan ruhaniah manusia.[17]

b. Aspek Nafsiyah

Aspek nafsiyah adalah keseluruhan kualitas khas kemanusiaan berupa pikiran, perasaan, kemauan dan kebebasan. Aspek ini merupakan persentuhan antara aspek jismiyah dengan aspek ruhaniyah. Aspek ini mewadahi kedua aspek yang saling berbeda,—dan mungkin berlawanan—itu. Aspek jismiyah dengan karakteristik utamanya yang bersifat empiris, konkret, indrawi, mekanistik dan determenistik, sementara aspek ruhaniyah bersifat spiritual, transendental, suci, bebas dari terikat pada hukum dan prinsip alam, dan cenderung pada kebaikan. Keduanya saling berbeda dan berlawanan tetapi keduanya juga saling membutuhkan.[18] Aspek nafsiyah ini terdiri dari tiga dimensi yaitu:

1) Dimensi an-Nafs (nafsu)

Dimensi ini adalah dimensi yang memiliki sifat-sifat kebinatangan dalam sistem psikis manusia. Nafsu adalah daya-daya psikis yang memiliki dua kekuatan ganda yaitu daya ghadhabiyah dan daya syahwatiyah. Al-ghadhab adalah daya yang bertujuan untuk menghindarkan diri manusia dari segala yang membahayakan dan mencelakakan sementara asy-syahwatiyah adalah daya yang berpotensi mengejar segala yang menyenangkan. Prinsip kerjanya berusaha untuk mengejar kenikmatan dan berusaha mengumbar dorongan-dorongan agresif dan seksual. Prinsip kerja nafsu ini sama dengan prinsip kerja binatang karenanya disebut dengan an-nafs al-hayawâniyah. Namun dimensi ini dapat diarahkan pada kemanusiaan bila mendapat pengaruh yang besar dari dimensi lainnya seperti akal, hati, ruh dan fitrah.[19] Bila nafsu ini terpengaruh secara positif dengan dimensi lainnya maka ia bisa menjadi nafs al-lawwâmah dan nafs al-muthmainnah.

2) Dimensi al-‘aql (akal)

Dimensi akal adalah adalah dimensi psikis manusia yang berada di antara dua dimensi lainnya yang saling berlawanan, yaitu antara dimensi nafsu dan qalb (hati). Ia menjadi pewadah dan penengah kepentingan kedua dimensi itu. Dimensi nafsu memiliki sifat kebinatangan sementara dimensi hati memiliki sifat dasar kemanusiaan dan berdaya citarasa. Dimensi ini memiliki peranan penting berupa fungsi pikiran yang merupakan kualitas insâniyah pada psikis manusia. Sifat dasar akal adalah rasional yang merupakan sifat khas kemanusiaan sehingga ia disebut juga an-nafs al-insâniyah.[20]

Akal memiliki dua makna, pertama, akal jasmani, yaitu salah satu organ tubuh yang terletak di kepala. Akal ini menggunakan daya kognisi (al-mudrikah) dalam otak (al-dimâgh) untuk berpikir. Objek pemikirannya adalah hal-hal yang bersifat sensoris dan empiris. Kedua akal ruhani, yaitu akal abstrak yang mampu memperoleh pengetahuan abstrak, metafisika seperti memahami proses penciptaan langit dan bumi. Akal abstrak adalah akal yang selalu berhubungan dengan qalb sehingga aktivitasnya berkombinasi menjadi bertpikir dan berzikir (ûlû al-albâb). Tapi jika akal beraktivitas sebagaimana adanya tanpa melibatkan daya qalb maka ia hanya akan berpikir secara rasional saja tanpa disertai dengan zikir dan perbuatan spiritual lainnya. Kalau dilihat dari aktivitasnya, Alquran banyak menggambarkan aktivitas akal di antaranya adalah an-nazhar (melihat dengan memperhatikan), at-tadabbur (memperhatikan secara seksama), at-ta`ammul (merenungkan), al-istibshâr (melihat dengan mata batin), al-i’tibâr (menginterpretasikan), at-tafkîr (memikirkan) dan at-tafakkur (mengingat).[21]

3) Dimensi al-qalb (hati)

Dimensi hati adalah dimensi yang memiliki peranan penting dalam memberi sifat insâniyah (kemanusiaan) bagi psikis manusia. Ini dapat dipahami dengan banyaknya istilah lain yang identik dengannya, di antaranya adalah: (1) ash-shadr (tempat perasaan was-was); (2) al-qalb (tempat iman); (3) asy-syagaf (tempat cinta); (4) al-fu`âd (yang dapat memelihara kebenaran); (5) habat al-qalb (tempat cinta dan kebenaran); (6) as-suwida (tempat ilmu dan agama); (7) mahâjah al-qalb (merupakan manifestasi sifat-sifat Allah); (8) ad-damir (tempat merasa dan daya rekoleksi); dan (9) as-sirr (bagian qalb yang paling halus dan rahasia). Mengingat perannya yang demikian besar, hati menjadi penentu bagi kebaikan dan keburukan seseorang, sebab sebagaimana sabda Nabi bahwa dalam tubuh itu ada segumpal daging yang menentukan baik buruknya seseorang secara keseluruhan, yaitu hati (H. R. Bukhârî).[22]

Dari hasil telaah Baharuddin terhadap 132 kali penggunaan istilah “qalb” dalam Alquran, ia menyimpulkan bahwa fungsi hati itu sedikitnya ada tiga yaitu:

(1) Fungsi kognisi yang menimbulkan daya cipta; seperti berpikir (‘aql), memahami (fiqh), mengetahui (‘ilm), memperhatikan (dabbr), mengingat (dzikr), dan melupakan (ghulf).

(2) Fungsi emosi yang menimbulkan daya rasa seperti tenang (thuma`nînah), jinak atau sayang (ulfah), senang (ya’aba), santun dan penuh kasih sayang (ra’fah wa rahmah), tunduk dan bergetar (wajilat), mengikat (ribâth), kasar (ghalîzh), takut (ru’b), dengki (ghill), berpaling (dzayq), panas (ghalîth), sombong (hamiyah), kesal (isyma`azza) dan sebagainya.

(3) Fungsi konasi yang menimbulkan daya karsa; seperti berusaha (kasb).[23]

Selanjutnya jika dilihat dari kondisinya hati itu ada yang baik atau hidup (al-hayyah) seperti sehat (sâlim), bening (mahs), bersih (thuhûr), baik (khayr). Hati seperti ini akan menghasilkan iman dan takwa. Ada pula kondisi hati yang tidak baik dan dianggap mati (maytah) seperti berpaling (ash-sharf), sesat (ghamrah), buta (ta’mâ), dan kasar (qasat). Hati seperti ini adalah hati yang gelap (qalb saudâ’) yang bersifat ingkar dan kafir. Selain itu adapula kategori kondisi hati yang hidup tapi menderita penyakit hati (maradh) karena kemunafikan (nifâq) dan keraguan (irtibat).[24]

c. Aspek Ruhaniah

Aspek ruhaniah adalah aspek psikis manusia yang bersifat spiritual-transendental. Aspek ini memiliki dua dimensi psikis yaitu ruh dan fitrah. Keduanya adalah milik dan berasal dari Allah. Dimensi ruh diberikan kepada manusia melalui proses an-nafkh (peniupan ruh) sedang pemberian fitrah kepada manusia melalui proses al-fithr (penciptaan). Dimensi ruh dan fitrah sebagai sisi spiritual-transendental mengandung sifat-sifat Allah yang tercakup dalam al-asmâ` al-husnâ (yang berjumlah 99 nama) yang menjadi potensi luhur batin manusia.[25]

Berdasarkan konsep di atas Baharuddin kemudian membuat gambaran tentang susunan sifat dan kebutuhan dasar dimensi-dimensi manusia sebagaimana terlihat pada tabel berikut:[26]

Aspek

Dimensi

Sifat-sifat dasar

Kebutuhan dasar

Ruhaniah

Al-fithrah

Suci/quds

Keyakinan/agama

Ar-rûh

Spiritual

Aktualisasi potensi/perwujudan diri

Nafsiyah

Al-qalb

Emosional

Cinta dan kasih sayang

Al-‘aql

Rasional

Penghargaan/ ingin tahu

An-nafs

Kehidupan, biologis

Keamanan, ketentraman, seksual

Jismiyah

Al-jism

Keragaan, fisik-biologis

Kebutuhan biologis dan material

Pandangan tentang asal-usul manusia dan unsur-unsurnya berimplikasi pada pendidikan Islam, yakni pendidikan Islam harus mengimplementasikan bentuk pendidikan yang berusaha menyentuh dan mengembangkan semua aspek (jismiyah, nafsiyah dan ruhaniah) dan semua dimensi manusia (fisik, nafsu, akal, hati, ruh dan fitrah) secara seimbang. Pendidikan Islam harus melaksanakan pendidikan yang konprehensif yaitu pendidikan yang dapat mengembangkan semua sifat-sifat dasar manusia dan dapat menyentuh semua kebutuhan manusia secara totalitas; pendidikan yang menyentuh dimensi fisik-material sampai dimensi spiritual; pendidikan yang mampu membentuk fisik-biologis yang sehat (al-jism as-salim), nafsu yang tenang (muthma`innah), rasio yang cerdas, emosi yang stabil atau hati yang sehat (qalb salim), kedalaman spiritual, kesadaran ketuhanan dan kehanifan. Inilah barangkali tugas terberat dari pendidikan Islam.

Selain itu, pendidikan Islam haruslah pendidikan yang memberikan kesadaran kepada manusia bahwa ia adalah makhluk yang diciptakan, makhluk bertuhan, dan ia berasal dari sesuatu yang hina yang kemudian disempurnakan oleh Allah dengan tiupan ruh dari-Nya. Kesadaran ini akan melahirkan rasa spiritual ketuhanan, sikap ketawadhuan manusia, rasa syukur dan ketundukan kepada Allah.

3. Manusia Makhluk yang Mulia: kelebihan dan kelemahannya

Menurut an-Nahlâwî, Islam menjelaskan bahwa manusia bukanlah makhluk yang rendah dan hina karena itu derajatnya tidak sama dengan hewan, benda mati maupun seluruh makhluk lainnya (al-Isrâ`: 70 dan al-Hâj: 65). Allah memberi anugerah kepada manusia berupa rizki dan menundukan alam bagi manusia, karena itu Allah melarang manusia merendahkan dirinya pada alam. Selain itu Allah juga memberinya rasa aman dari ketakutan menghadapi alam dan memberinya kesadaran bahwa alam tunduk di tangannya sehingga ia dapat menundukkan alam bagi kemaslahatannya. Ini, menurut an-Nahlawî adalah langkah pendidikan Rabbâniyyah di mana Alquran menumbuhkan rasa terhormat dan mulia pada diri manusia serta secara bersamaan merasakan keutamaan karunia Allah[27]

Sebagai makhluk yang mulia, manusia memiliki banyak kelebihan seperti bentuknya yang lebih sempurna dari makhluk lainnya (ahsan al-taqwîm, at-Tîn: 4). Namun dalam kapasitasnya sebagai makhluk yang terbaik ia juga memiliki banyak kekurangan yang dapat menjerumuskannya kederajat terendah (asfal sâfilîn, at-Tîn: 5) atau bahkan lebih sesat dari binatang bila ia melalaikan semua potensinya (al-A’râf:179). Bahasan berikut ini akan mencoba merinci secara ringkas tentang kelebihan dan kekurangan manusia.

Dalam telaah ayat-ayat Alquran, Widodo Supriyono mengindentifikasi beberapa kelebihan manusia di antaranya adalah:[28]

a. manusia mempunyai bentuk fisik yang sebaik-baiknya, ahsan al-taqwîm (as-Sajadah: 9; at-Tîn; 4)

b. Manusia mempunyai potensi keruhanian yang tidak terhingga banyaknya karena adanya ruh yang ditiupkan Allah padanya (as-Sajadah: 9) yang dapat dirinci sebagai berikut: (1) dapat memahami sesuatu, ûlû al-albâb (az-Zumar: 21); (2) manusia dapat berpikir dan merenung, yakni berpikir dan merenungkan peristiwa-peristiwa alam (al-Jâtsiyah: 13); (3) manusia dapat mempergunakan akalnya (al-Baqarah: 164) terutama dalam hal kemampuan memperoleh berbagai kemahiran (az-dzakâ’), pengertian inderawi (idrâk), kemampuan mengingat yang telah dipelajari (at-tadzakkur), visi angan-angan yang melambung (takhayyal) dan kemampuan pemaknaan dan pemahaman serta kemampuan penemuan keterkaitan antar sesuatu; (4) manusia dapat percaya, beriman (an-Nahl: 86); (5) Manusia dapat bertakwa (al-Baqarah: 2); (6) Manusia dapat mengingat dan mengambil pelajaran (an-Nahl: 13); (7) manusia dapat mendengarkan kebenaran firman Tuhan (ar-Rahmân: 22); (8) manusia dapat berilmu/’âlim (ar-Rahmân: 22); (9) manusia dapat berkesenian (an-Nahl: 6); (10) manusia dapat menguasai teknologi tepat guna (Hûd: 38; al-Anbiyâ`: 80-81); (11) manusia lahir kedunia telah membawa fitrah.

Kelebihan manusia yang lain adalah ia diberi hidayah yang lengkap oleh Allah sebagai bekal kehidupannya di dunia; hidayah yang tidak hanya datang dari dalam dirinya tetapi juga datang dari luar dirinya. Macam-macam hidayah itu adalah (1) hidâyah ilhâmî (instinct), seperti denyut hati (gerak hati, impuls) yang terdapat dalam bakat manusia maupun binatang termasuk di dalamnya nafsu, dorongan untuk melakukan sesuatu yang tidak berdasarkan suatu pikiran. Atau dengan kata lain dorongan yang bersifat animal, tidak berdasarkan pikir panjang. (2) hidâyah hawâsî (indera), yaitu alat badani yang peka terhadap rangsangan dari luar yang meliputi: al-bashîrah (indera penglihatan), as-samî’ah (indera pendengaran), hâssah ath-tha’am (indera pengecap), hassah asy-syûm (indera penciuman) dan hassah al-lams (indera perabaan); (3) hidâyah al-‘aql (hidayah akal budi); (4) hidâyah al-adyânî (hidayah agama); dan (5) hidâyah tawfîqî atau hidâyah ma’ûnah. Hidayah pertama dan kedua dianugerahkan kepada manusia dan hewan; hidayah yang ketiga sampai yang kelima hanya diberikan kepada manusia. Dan hidayah yang kelima (yang tertinggi) hanya dimonopoli oleh Allah, nabi sekalipun tidak berkompeten untuk memberi hidayah tingkat tertinggi tersebut.[29]

Kelebihan manusia lainnya yang dianugerahkan Allah kepada manusia, menurut an-Nahlâwî, adalah manusia diberi kemampuan untuk membedakan mana yang baik dan mana yang buruk; diberi ilham kepada nafs kemanusiaannya tentang kedurhakaan dan ketaqwaan; pada wataknya diberi kemampuan melakukan kebaikan dan kejahatan; dan manusia diberi irâdah (kehendak) dalam dirinya sehingga manusia mampu memilih antara jalan yang membawa kebaikan dan kebahagiaan dengan jalan yang membawanya mencapai kesengsaraan. Tidak cukup itu saja, Allah juga menjelaskan bahwa tujuan hidup manusia adalah mensucikan jiwa dan menghindarikan diri dari jalan yang jahat (al-Syams: 7-10). Allah melaknat kaum yang mengingkari hakikat kemanusiaan yang menyangka bahwa dalam diri manusia tidak ada unsur kedurhakaan (al-syams:7-10 ).[30]

Di antara kemuliaan yang diberikan Allah kepada manusia adalah potensi untuk belajar (at-ta’allum) dan mengenal (al-ma’rifah) (al-`Alaq: dan al-Baqarah: 31) dan memberinya seperangkat instrumen untuk potensi belajar itu di antaranya adalah pendengaran (as-sama`), penglihatan (al-bashar) dan hati/emosi (al-fu`âd) (al-Nahl: 78). Allah mencela orang-orang yang tidak mau menggunakan instrumen ini untuk belajar dan memperoleh pengetahuan dan menggolongkannya sebagai orang yang lebih sesat dari binatang ternak (al-A’râf: 179). Instrumen lainnya yang menjadi bekal manusia untuk belajar dan memperoleh pengetahuan adalah lisan yang dibarengi dengan potensi al-bayân (mampu memberi penjelasan) (al-Balad: 8-9; ar-Rahmân 1-3) dan al-qalam yang dibarengi dengan kemampuan al-kitâbah (menulis) (al-Qalam: 1-3). Tujuan terpenting dari kemampuan berpikir dan belajar pada manusia adalah agar manusia dapat mempelajari syariat Allah (al-Baqarah: 129), merenungi penciptaan langit dan bumi serta diri manusia sendiri (adz-Dzâriyât: 21, ath-Thâriq: 5, al-Ghâsyiyah: 18).[31] Semua instrumen itu (penglihatan, pendengaran dan hati) diberikan kepada manusia agar ia dapat berpikir dan berpandangan jernih; memperhatikan sekelilingnya dan kemudian menelitinya dengan menggunakan akal dan hati agar manusia dapat mempergunakan apa yang telah ditundukkan Allah bagi manusia. Ini berarti bahwa manusia harus mengupayakan pendidikan ilmiyah yang didasarkan pada perhatian, pembahasan, pengambilan kesimpulan dan pemikiran.[32]

Namun dibalik keunggulannya itu manusia juga memiliki banyak kelemahan diantaranya adalah: bersifat tergesa-gesa (al-Isrâ`: 11), suka membantah (al-Kahfi: 54), melampaui batas (Yûnus: 12), kikir (al-A’râf: 19), keluh kesah (al-A’râf: 20), ingkar, tidak mau bersyukur (al-‘Âdiyât: 6), pembangkang bila merasa dirinya serba cukup (al-‘Alaq:7), ditakdirkan menderita dan bersusah payah (al-Insyiqâq: 6 dan al-Balad: 4), bersifat lemah (an-Nisâ`: 28), cenderung zhalim dan kafir (Ibrâhîm: 34), bodoh (al-Ahzab: 71), gelisah, resah dan segan membantu (al-Ma’ârij: 19-21) dan sebagainya.

Pandangan ini berimplikasi bahwa pendidikan Islam adalah pendidikan yang tidak hanya mampu mempertahankan eksistensi manusia sebagai makhluk yang mulia tetapi meningkatkan lebih jauh martabat manusia hingga melampaui martabat malaikat. Karena itu pendidikan Islam harus mampu mengembangkan semua potensi positif manusia secara maksimal dan menekan semua potensi negatif manusia sampai ke titik nol.

4. Fungsi Manusia: Menjadi Khalifah dan Abdullah

Pembicaraan manusia sebagai khalifah banyak berkaitan dengan kedudukan atau fungsi manusia di alam semesta. ‘Abd al-Fattâh Jalâl menjelaskan bahwa Allah sebagai pencipta alam berkehendak untuk menciptakan manusia sebagai khalifah di bumi yang bertugas memakmurkan alam dan memikul amanah risalah. Manusia juga ditugaskan untuk melaksanakan kemaslahatan, kebaikan dan kebenaran pada setiap elemen alam. Ini hanya bisa dilakukan jika manusia selalu taat pada syariat Allah dan melaksanakan tugas (taklif) yang telah dibebankan Allah. Jika tidak, maka manusia bukannya menjadi khalifah tetapi menjadi pengikut syahwat dan menjadi perusak bumi (al-Baqarah: 30; Fâthir: 39). Sebagai khalifah, menurut Jalâl, manusia diberi tanggung jawab untuk mengurus dan memanfaatkan apa yang terdapat di bumi dan menjadi khalifah bagi sebagian manusia lainnya dalam memakmurkan bumi. Karena fungsi kekhalifahannya itu, kata Jalâl, jika sebagian manusia ada yang meningkat derajatnya menyamai sifat-sifat malaikat maka ada lagi manusia yang malah mampu melebihi malaikat, yaitu orang melaksanakan taklif Allah; setia pada syariat Allah, berusaha di jalan yang benar; menghabiskan hidupnya untuk keridhaan Allah; memperbaiki urusan umat; dan memberikan manfaat umum kepada manusia. Contoh orang seperti ini adalah para rasul. Namun manusia bisa juga jatuh martabatnya ke tingkat yang paling rendah jika ia ingkar dengan nikmat Allah dan melakukan tindakan kerusakan di bumi. Jika ia melakukan itu maka lenyaplah anugerah kekhalifahan itu darinya.[33]

Dalam bahasannya tentang makna khalifah, Abuddin Nata lebih cenderung untuk menggunakan istilah “khalâ`if dibanding “khalîfah” dalam konteks ini. Menurutnya, kalau diamati secara seksama, istilah khalîfah dalam bentuk mufrad (tunggal) yang berarti penguasa politik hanya digunakan untuk nabi-nabi, yang dalam hal ini adalah nabi Âdam as. dan tidak digunakan untuk manusia secara umum. Sedangkan untuk manusia biasa digunakan istilah khalâ`if (al-An’âm: 165) daripada kata khalîfah. Bedanya, menurut Abuddin Nata, ayat-ayat yang menggunakan khulafâ` (jamak dari khalîfah) berkaitan dengan wilayah politik sedang kata khalâ`if tidak mengesankan adanya kekuasaan politis, karena itu orang yang tidak memiliki kekuatan politik disebut khalâ`if yang pengertiannya lebih luas, yakni bukan hanya dalam arti penguasan politik tetapi juga penguasa dalam pelbagai bidang kehidupan lainnya.[34]

Selain sebagai khalifah di bumi, manusia diciptakan Allah untuk menjalankan fungsinya sebagai hamba Allah (adz-Dzariyat: 56). Sebagai hamba Allah, manusia diwajibkan beribadah kepada penciptanya dalam arti selalu tunduk dan taat pada perintah-Nya sesuai dengan petunjuk yang telah diberikannya.

Menurut Muhamiin dan Abdul Mujib, ibadah yang dilaksanakan manusia memiliki pengertian khusus dan pengertian umum. Dalam pengertian khusus, ibadah adalah melaksanakan peraturan-peraturan yang mengatur hubungan antara hamba dengan Tuhannya yang tatacaranya telah diatur secara rinci di dalam Alquran dan assunnah, sedangkan ibadah dalam arti luas adalah aktivitas yang titik tolaknya adalah ikhlas dan ditujukan untuk mencapai ridha Allah berupa amal saleh. Selanjutnya Muhaimin dan Abdul Mujib membagi ibadah dalam tiga kategori, yaitu ibadah person, ibadah antarperson dan ibadah sosial.[35]

Konsep tentang manusia sebagai khalîfah dan ‘abd Allâh ini berimplikasi bahwa pendidikan Islam harus mampu melahirkan output pendidikan yang memiliki kualifikasi sebagai khalifah yang profesional dalam mengelola alam dalam pelbagai bidang kehidupan sesuai dengan keahlian dan skillnya masing-masing, tidak hanya terbatas pada bidang politik, tetapi juga bidang-bidang kehidupan lainnya seperti ekonomi, militer, teknologi, sains, spiritual dan sebagainya. Selain memproduk “calon khalifah”, pendidikan Islam juga harus mampu memproduk para ‘abd Allâh, yang memiliki dimensi ibadah yang luas, tidak saja ibadah dalam arti khusus (mahdhah) tetapi juga dalam arti umum (ghayr mahdhah); tidak hanya dalam ibadah personal dan interpersonal, tetapi juga ibadah sosial.

5. Tanggung Jawab Manusia

Seiring dengan anugerah potensi manusia yang demikian besar, maka manusia pun memiliki tanggung jawab (mas`uliyyah) dan beban (taklif) yang besar pula berupa tanggung jawab melaksanakan syariat Allah dan ibadah. Ini adalah satu amanah yang enggan dipikul oleh seluruh makhluk lainnya (al-Ahzâb: 72-73). Sebagai makhluk yang diberi kebebasan memilih, manusia bertanggung jawab atas perbuatan baik dan jahat yang telah dipilihnya dan mendapat balasan sesuai dengan pilihannya itu di hari kiamat (al-zalzalah: 8-9). Manusia bertanggung jawab dan mendapat balasan yang sesuai terhadap penggunaan pendengaran, penglihatan dan hati (al-Isrâ`: 36); manusia juga bertanggung jawab terhadap usia, masa muda, harta, ilmu dan fisiknya sebagaimana yang disebut dalam hadis Nabi.[36] Semua tanggung jawab ini untuk mendidik manusia agar ia selalu waspada, menjaga diri dan menjauhi hal-hal yang menjerumuskan; tidak tunduk pada hawa nafsu; menjauhi perbuatan zalim dan tirani; dan istiqâmah dalam setiap perilakunya dan urusannya.[37] Tanggung jawab tertinggi manusia dari semua tanggung jawab itu adalah beribadah kepada Allah dan mentauhidkan-Nya yakni dengan cara ikhlas beribadah semata hanya kepada-Nya (adz-Dzâriyât: 56 dan al-Jin: 18).[38]

Konsep ini berimplikasi bahwa pendidikan Islam harus mampu menanamkan semangat responsibilitas (tanggung jawab) dan sikap amanah terhadap tanggung jawab apapun yang dipikulkan dipundak manusia. Kesadaran bertanggung jawab itu, tidak hanya terbatas pada kesadaran akan tanggung jawab pada diri sendiri dan manusia, tetapi lebih tinggi lagi kesadaran bertanggung jawab kepada Allah yang pada hakikatnya Dia-lah pemberi amanah yang sesungguhnya kepada manusia.

C. DASAR FILOSOFIS PENDIDIKAN ISLAM TENTANG ALAM

1. Alam adalah Ciptaan Allah dan kitab Allah dalam bentuk lain

Menurut an-Nahlawî, keistimewaan pandangan Islam tentang alam adalah ia tidak melihat alam semata-mata hanya menggunakan akal, tetapi juga melibatkan perasaan manusia, yakni menggerakkan perasaan manusia untuk merasakan keagungan Allah; kekerdilan manusia dihadapan-Nya dan keniscayaan untuk tunduk kepada-Nya. Semua yang ada di alam menjadi argumen rasional-faktual yang tegas mengindikasikan keesaan ketuhanan Allah di seluruh alam. Alam ini diciptakan dengan tujuan-tujuan tertentu, bukan karena faktor untuk bermain-bermain atau melakukan kesia-siaan yang tak berguna (ad-Dukhân: 38-39; al-Ahqâf: 3). Perenungan terhadap ciptaan Allah akan menggerakkan perasaan (lembut) manusia, memberi pemahaman dan mendorong manusia untuk beribadah dan mentauhidkan Allah.[39]

Implikasi pendidikan yang ingin ditanamkan pada perspektif Islam tentang alam, menurut an-Nahlawî di antaranya adalah (1) menciptakan hubungan yang erat seorang Muslim dengan Tuhannya dan mengingatkan bahwa tujuan tertinggi dari kehidupan ini adalah beribadah kepada Allah, dan (2) mendidik manusia untuk bersungguh-sungguh, karena alam ini seluruhnya ditegakkan berdasarkan atas kebenaran (al-haqq) dan diwujudkan untuk tujuan yang jelas serta memiliki batas tertentu di sisi Allah. Alam tidak diciptakan untuk bersenda gurau dan berlaku sia-sia (al-Anbiyâ`: 16-17). Ini mengajarkan manusia untuk meneliti tentang tujuan dari realitas alam ini dan menjauhkan dari berpikir tentang hal-hal yang melalaikan, main-main dan sia-sia; dan juga mengajarkan untuk merenungi alam ini dengan renungan yang logis dan ilmiah.[40]

Menurut al-Attas, alam ini adalah bentuk lain dari wahyu Tuhan, sama halnya dengan Alquran. Perbedaannya terletak pada keadaan bahwa alam yang terkembang merupakan sesuatu yang diciptakan; ia tampil dalam pelbagai bentuk yang berbeda-beda, yang berfungsi sebagai simbol wujud yang secara kontinu diartikulasikan melalui Kalam yang kreatif. Jika ayat Alquran terdiri dari ayat-ayat yang berarti tanda-tanda maka alam juga merupakan “buku” yang berisi tanda-tanda.[41]

Namun, menurut al-Attas, memahami fenomena alam lebih sulit karena tanda-tandanya sangat kabur dan tidak mudah dicerna. Al-Attas membuat perbandingan antara memahami kitab yang tertulis (Alquran) dan kitab Tuhan yang terbuka (alam); ia menggaris bawahi bahwa tujuan sebenarnya dari membaca kedua kitab itu adalah untuk memahami tanda-tandanya, yang pada satu pihak (Alquran) dalam bentuk perkataan dan alam pada pihak lain dalam bentuk fenomena alam. Jika pada pembacaan Alquran hanya terfokus pada aspek-aspek fisikal dari Kitab, seperti tinta, huruf, kata dan kertas, tetapi melupakan maksud dari kata, kalimat dan kandungannya sesungguhnya seseorang telah kehilangan tujuan dari membaca Kitab (Alquran) itu, karena tak satupun ilmu yang dapat diperoleh dengan cara tersebut. Alam ini juga ibarat kitab yang maknanya hanya bisa dipahami oleh mereka yang dibekali ilmu pengetahuan yang sesuai, yakni hikmah dan intuisi spiritual. Al-Attas sering mangatakan bahwa di antara objek-objek alam, ada yang memiliki makna yang bisa ditangkap dengan jelas, sama halnya dengan ayat-ayat muhkamât yang terdapat dalam Alquran dan ada yang memiliki makna yang ambigu (mutasyâbihât). Pemahaman dan penerjemahan yang dilakukan terhadap tanda-tanda di alam ini haruslah berdasarkan metode yang valid sebagaimana orang dalam menerjemahkan dan menafsirkan Alquran. Kesimpulannya, menurut Al-Attas, sains adalah sejenis takwil atau terjemahan alegoris terhadap segala sesuatu yang empiris pada alam natural.[42] Orang-orang yang mampu memahami tanda-tanda itu menurut Al-Attas hanyalah orang-orang beradab yakni orang yang memiliki intelektualitas, etika, dan disiplin spiritualitas.[43]

2. Ketundukkan Alam terhadap Sunnatullah

Alam ini ditundukkan oleh Allah dengan sunnah (hukum alam) yang telah ditetapkan-Nya dengan qadar-qadar yang telah ditetapkan-Nya (Yâsîn: 37-40; al-Hijr: 19-21). Perputaran matahari dan bulan tidak menyimpang dan pergantian muslim tidak berbenturan, tetapi semuanya berjalan sesuai dengan sunnah dan ukuran-ukuran yang telah ditetapkan Allah bagi alam. Demikian pula Allah telah menjadikan kehidupan di bumi sesuai dengan qadar yang ditentukan-Nya. Allah telah mengajarkan manusia tentang perhitungan waktu dengan pergantian siang dan malam dan menetapkan pembagian musim, dan hitungan bulan qamariyah.[44]

Ini juga mengajarkan dua hal kepada manusia: (1) perulangan peristiwa-peristiwa alam merupakan sunnah yang telah ditetapkan Allah (sunnatullah), Allah-lah yang memiliki kekuasaan untuk merubahnya jika Ia mau. Sunnatullah inilah yang menjadi dasar seluruh bangunan undang-undang ilmiah; menjadi dasar berpikir ilmiah yang dengan berpikir ilmiah itu telah membuka dan menciptakan setiap peradaban yang tak pernah ada sebelumnya. (2) Bahwa sunnah alam ini dan semua peristiwa, realitas dan kondisinya dari atom yang kecil hingga benda yang terbesar adalah diciptakan dan dijalankan Allah atau diturunkan dengan ketetapan yang diketahui, tidak lebih dan tidak kurang. Tidak sesuatupun yang melampaui batas-batas yang telah ditetapkan-Nya.[45]

3. Seluruh alam berjalan berdasarkan kudrat Allah dan tunduk kepada Allah

Allah mengatur sunnah alam dan senantiasa mengurus dan menjalankan urusan-Nya di alam (al-Hâjj: 65; Fâthir: 41; ar-Rûm: 25; al-Sajadah: 5). Manusia hanyalah bagian kecil dari alam, karena itu manusia wajib untuk tunduk dalam segala keadaannya, hidupnya dan matinya terhadap ketetapan Allah yang Maha Agung dan Maha Mengetahui (al-`An’âm: 61). Sebab alam ini tunduk kepada Allah, yakni tunduk kepada sistem-Nya, perintah-Nya, keinginan dan kehendak-Nya, sebagaimana telah dijelaskan Allah di beberapa tempat dalam Alquran (al-Baqarah: 116-117; al-Isrâ`: 33). Aspek pendidikan yang dapat diambil dalam hal ini adalah jika setiap makhluk dan benda mati di alam ini tunduk kepada pencipta-Nya; bersaksi atas keagungan dan kesucian Allah dari segala kekurangan, maka sepantasnyalah manusia yang memiliki akal—yang mampu berpikir untuk mengenal Tuhannya melalui nikmat dan karunia-Nya—untuk lebih tunduk kepada Allah; merasakan keagungan-Nya; bertasbih dan bertahmid dan bertaqdis kepada Allah. Inilah, menurut an-Nahlâwî, kesimpulan pendidikan terpenting yang lahir dari konsep alam dan keistimewaannya yang dikemukakan oleh Islam.[46]

4. Alam ditundukkan Allah bagi manusia

Keistimewaan agama Islam tentang manusia dan hubungannya dengan alam adalah Islam menjadikan manusia sebagai pengelola alam sekitarnya dan memberi kekuasaan kepada manusia atas alam berdasarkan izin Allah karena Allah menundukkan alam bagi manusia mulai dari benda terbesar yang berpengaruh besar bagi kehidupan manusia seperti matahari sampai benda kecil yang bermanfaat bagi manusia seperti lebah dan atom (ibrâhîm: 32-34; al-Baqarah: 29; an-Nahl: 12-14). Ajaran Alquran dengan amtsal-nya tentang masalah ini mengandung aspek pendidikan seperti melembutkan hati manusia; mendidik hati dan perilaku manusia untuk tunduk kepada Allah; merasakan karunia, pertolongan, rahmat dan kelembutan Allah; mendorong manusia untuk memuji, bersyukur, bertasbih dan mentauhidkan-Nya. Juga mendidik akal manusia berdasarkan ilmiah-amaliyah.[47]

Pada aspek ilmiah, sosial dan peradaban, ayat-ayat Alquran (tentang alam) yang diturunkan 14 abad yang lalu menekankan bahwa manusia dapat mengelola panas matahari yang telah ditundukkan Allah; dapat mengelola sinar bulan, angin, bintang, sungai, gunung, laut dan segala sesuatu yang ditundukkan Allah bagi manusia dan menjadikan kunci (menyingkap alam itu) di tangan manusia. Sedang pada aspek pendidikan, Alquran mengajarkan manusia untuk tidak melakukan tirani di alam; tidak melampuai batas dalam mengelola alam; tidak mencemari air sungai; tidak membunuh habitat laut; tidak menggunakan nikmat Allah untuk menumpahkan darah dan menyebar kerusakan; tidak menzalimi sesamanya yang menimbulkan pemberontakan dan permusuhan atau melakukan dosa dan kebohongan.[48]

Manusia dalam pandangan Islam adalah pengelola alam yang ditundukkan Allah berdasarkan nama Allah dan perintah-Nya serta tetap dalam batas-batas syariat Allah. Allah tidak menyukai kerusakan dan tidak membolehkan kezaliman dan permusuhan, tetapi Ia menyeru kepada keadilan di antara sesama manusia, saling berkasih sayang, saling melengkapi dan saling menolong. Jika manusia menyebut nama Allah dalam setiap perilakunya dan pada setiap apa saja yang ia lakukan maka jadilah perilakunya itu sebagai teladan dan jauh dari setiap sikap tirani, permusuhan, kerusakan, dan kebohongan.[49]

Ditundukkannya alam bagi manusia adalah salah satu implikasi dari fungsi kekhalifahan manusia di bumi. Karenanya merupakan tanggung jawab moral manusia untuk mengolah dan memanfaatkan sumber-sumber yang tersedia di alam ini guna memenuhi keperluan hidupnya. Demikian pula perlu disadari bahwa kewenangan manusia untuk memanfaatkan alam semesta harus didasarkan kepada garis yang telah ditetapkan Allah SWT dan tidak boleh menyalahinya. Seperti tidak boleh merusak alam, tidak boleh mengeksploitasinya untuk kepentingan individu atau golongan, tidak boleh memanfaatkannya secara berlebihan dan hal-hal destruktif lainnya.[50]

Implikasi dari pandangan Islam tentang hakikat alam adalah, pendidikan Islam harus menyajikan tiga aspek penting:

Pertama, alam dan fenomenanya harus ditampilkan sebagai “kitab terbuka” atau wahyu Allah yang tak tertulis. Artinya, membaca fenomena alam dengan menggunakan sains sebagai kacamata bacanya pada hakikatnya sama artinya membaca ayat-ayat Allah di alam dan membaca sunnatullah-Nya. Kalau memahami Alquran harus menggunakan tafsir dan takwil, maka membaca fenomena alam harus menggunakan sains sebagai tafsirnya. Cara membaca fenomena alam, baik dalam bentuk perenungan, pengamatan mauupun penelitian dalam pendidikan Islam harus berbeda dengan cara baca orang-orang yang sekuler yang tidak melibatkan aspek spiritual dan tidak melibatkan Tuhan dalam meneliti alam semesta, karena dalam pendidikan Islam membaca fenomena alam harus melibatkan intelektualitas, etika, dan disiplin spiritualitas yang berlandaskan semangat ilmiah dan kesadaran ketuhanan.

Kedua, Pendidikan Islam harus mampu melahirkan output pendidikan yang profesional dalam mengelola alam; memiliki tanggung jawab spiritual kepada Tuhan sang Pencipta alam; anti melakukan perusakan, tirani dan eksploitasi berlebihan terhadap alam; memandang alam sebagai karunia yang harus disyukuri dan diperlakukan dengan baik; dan menyadari bahwa hubungan alam dengan dirinya bukan hubungan antara penakluk dan yang ditaklukkan tetapi antara hubungan segi tiga antara orang yang menanggung amanah (manusia), yang diamanahi (alam) dan pemberi amanah (Allah). Semua tindakan di alam harus berjalan di atas garis-garis yang telah ditetapkan sang Pencipta.

Ketiga, dalam pendidikan Islam, perbincangan tentang alam tidak saja menghasilkan sains atau semata-mata sains, tetapi juga melahirkan ketawadhuan, kesyukuran, ketundukkan, ketauhidan dan nilai-nilai spiritual lainnya yang mampu menembus realitas dibalik fenomena alam yang nampak. Yakni sains yang tidak lepas dari nilai-nilai ilahiyah dan nilai-nilai kemanusiaan.

D. DASAR FILOSOFIS PENDIDIKAN ISLAM TENTANG KEHIDUPAN

1. Pandangan optimistik dan pesimistik tentang kehidupan

Menurut Nurcholish Madjid, tidak sedikit kalangan pemikir yang berpandangan bahwa hidup ini tidak bermakna dan tidak pula bertujuan. Bahkan kaum pesimistik berpandangan bahwa hidup ini tidak saja tidak bermakna dan tidak bertujuan tetapi juga penuh kesengsaraan, sehingga mati menurut mereka lebih baik daripada hidup. Menurut mereka hidup ini hanyalah proses pasti menuju tragedi (kematian). Jadi hidup adalah kesengsaraan. Sehingga Darrow mengatakan bahwa hidup adalah “guyon yang mengerikan” (awful joke) dan Tolstoy melihat hidup sebagai “tipuan dungu” (stupid fraud). Implikasi dari pandangan ini kaum pesimistik berpandangan bahwa tidak ada makna dan tujuan hidup serta tidak ada kebahagiaan yang sejati. Setiap gambaran tentang kebahagiaan adalah palsu, sebab kebahagiaan itu sendiri adalah palsu. Karena kebahagiaan adalah semu dan palsu maka manusia adalah makhluk sengsara. Kalaupun ada orang yang bahagia jumlahnya pasti sedikit dan tidak langgeng. Malah kebahagiaan yang tidak langgeng itu sebenarnya adalah sumber kesengsaraan orang banyak karena bisa jadi dicapai dengan cara “memeras” orang banyak. Semboyan kaum pesimistik ini adalah “ segala yang lalu telah tiada, segala yang akan datang belum terjadi dan segala yang sedang terjadi tidak memadai, artinya merindukan masa lampau adalah sia-sia, memimpikan masa depan adalah impian belaka dan menjalani kehidupan sekarang tidak cukup menarik karena keberadaan kita di dunia ini hanyalah kebetulan belaka, tanpa makna dan tujuan hidup, bahkan tanpa hal-hal yang benar-benar menyenangkan.[51]

Berbeda dengan kaum pesimisme, kaum positivisme memandang hidup ini cukup berharga (worthwhile) dan memandang tidak masuk akal kalau kematian itu lebih berharga daripada kehidupan. Mereka membalikkan argumen kaum pesimisme. Jika benar kematian itu lebih tragis dan menakutkan, maka memandang mati lebih baik daripada hidup adalah suatu kontradiksi. Jika mati lebih baik daripada hidup maka premisya seharusnya berbunyi bahwa mati lebih menyenangkan atau kurang menakutkan daripada hidup. Kalau mati disebut kesengsaraan dan pembunuhan adalah suatu kejahatan maka logisnya adalah hidup bagaimanapun lebih baik daripada kematian. Karena itu, menurut kaum positivisme tidak ada seorang pun yang tidak mempunyai makna dan tujuan hidup. Sebab setiap orang mempunyai tujuan berharga yang diperjuangkan untuk diwujudkan. Maka hidup ini cukup berharga, dan kenyataannya adalah bahwa hampir setiap orang berjuang untuk mempertahankan dan meningkatkan taraf hidupnya, biar pun ia mungkin merasa sengsara hidup di dunia. Namun adanya harapan di hati menjadi penyangga kekuatan jiwanya untuk tetap hidup, kalau dapat selama mungkin, di dunia ini.[52]

Menurut Nurcholish Madjid, hidup ini adalah berharga secara instrinsik, artinya ia berharga karena dirinya sendiri. Karena itu sesungguhnya tidak relevan untuk menanyakan apakah hidup itu lebih berharga daripada mati, sebab pertanyaan itu mengisyaratkan komparasi antara kehidupan dan kematian sementara tak seorang pun yang pernah mengalami kematian secara sadar dapat membandingkan dengan kehidupannya sendiri. Hidup ini bukanlah suatu lingkaran tertutup yang tanpa ujung dan pangkal. Kehidupan berpangkal dari sesuatu dan berujung kepada sesuatu, yaitu berpangkal dari Tuhan dan berujung kepada Tuhan sebagai pencipta dan pemberi kehidupan. Karena itu tujuan hidup manusia adalah Tuhan. Arti dan makna hidup ditemukan dalam usaha kita “bertemu” dan “mencari wajah” Tuhan, dengan harapan memperoleh ridha Tuhan sedang tujuan hidup kosmis ia memperoleh kebahagiaan sejati dalam hidup sesudah mati. Kematian bukanlah akhir segala-galanya; khususnya bukan akhir dari pengalaman manusia tentang kebahagiaan dan kesengsaraan karena kematian adalah suatu peristiwa peralihan (transitory), yang mengawali pengalaman kebahagiaan dan kesengsaraan yang hakiki.[53]

2. Kehidupan dan kematian diciptakan sebagai periode kompetisi manusia untuk menjadi yang terbaik

Dalam pandangan Islam, terciptanya kehidupan dan kematian di dunia memiliki tujuan-tujuan tertentu. Kehidupan dan kematian diciptakan oleh Allah misalnya dapat ditemukan jawabannya pada pernyataan Allah dalam al-Mulk: 2 (artinya): Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa diantara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.[54] Ayat ini jelas menunjukkan bahwa terciptanya kehidupan dan kematian adalah untuk melihat dan menguji siapa di antara manusia yang terbaik amalnya. Artinya kehidupan dan kematian diciptakan oleh Allah sebagai periode kompetisi manusia mencapai prestasi hidup untuk menjadi yang terbaik di antara manusia lainnya. Bahkan di tempat lain, pada QS. Hûd: 7, Allah menyatakan bahwa diciptakannya langit dan bumi bertujuan untuk menguji manusia siapakah di antara mereka yang terbaik amalnya: (artinya): Dan Dia-lah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam hari, dan adalah ‘Arsy-Nya di atas air, agar Dia menguji siapakah diantara kamu yang lebih baik amalnya.[55] Dari dua ayat ini menunjukkan dengan tegas bahwa hakikat kehidupan ini adalah periode dan tempat ujian untuk berkompetisi menggapai prestasi (amal) kehidupan yang terbaik atau menggapai kualitas hidup yang terbaik. Karena itu, hidup ini adalah dinamis dan positif, tiada henti untuk berprestasi untuk menjadi yang terbaik sampai batas kehidupan berakhir pada kematian. Tiada kata malas, mundur, menyerah dan frustasi, dalam kondisi apapun manusia harus tetap menampilkan amal terbaiknya walaupun hanya pada gerak hatinya. sebab keputusan final prestasi kehidupan ini ada ditangan Allah yang akan diumumkan di akhirat. Karena itu semua aktivitas kehidupan manusia hanyalah diabdikan kepada Allah sebagaimana di antara doa yang sering dibaca dalam salat: sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah.

3. Sifat-sifat kehidupan dunia

Setelah mengemukakan beberapa ayat Alquran An-Nahlawî menyimpulkan sifat-sifat kehidupan ini sebagai berikut:

  1. kehidupan dunia hanyalah kesenangan sementara, tempat perlintasan dan instrumen untuk menuju kehidupan akhirat; karena itu tidak boleh dijadikan sebagai tujuan kehidupan. Menjadikan dunia sebagai puncak kehidupan dan tujuan akhir akan melalaikan dan membuat manusia lupa terhadap tujuan penciptaan dunia, yang sebenarnya hanyalah tempat ujian manusia. Tempat kehidupan yang sejati (dâr al-baqâ`) adalah akhirat, sedang dunia hanyalah wadah kehidupan yang akan lenyap (dâr al-fanâ`)
  2. Kehidupan dunia penuh dengan hiasan indah (az-zînah) dan perhiasan (az-zukhruf), syahwat serta pelbagai kelezatan (al-muladzdzât) yang pada hakikatnya menjadi bagian instrumen dunia yang menambah sempurnanya (dan beratnya) ujian dan cobaan kepada manusia (Hûd: 15-16; Âli ‘Imrân: 14).
  3. Seorang muslim tidak saja boleh menikmati dunia bahkan memiliki hak penuh untuk menikmati kehidupan dunia asal sesuai dengan ketentuan syariah (al-Qashash: 77dan al-A’râf: 32). Dalam hal ini Muslim dapat menikmati dunia sebagaimana orang-orang kafir dan mulhid, tetapi dengan syarat bahwa hal itu tidak melalaikannya dari ketaatan kepada Allah. Yakni seorang muslim harus menggunakan dunia untuk kepentingan kehidupan akhirat dan menundukkan dunia untuk kepentingan melaksanakan ketaatan kepada Allah; seorang muslim boleh menikmati harta sembari digunakannya untuk membayar zakat; dapat menikmati memperoleh anak guna dididiknya menjadi hamba yang taat kepada Allah dan syariat-Nya; demikianlah seterusnya seorang muslim boleh menikmati apa saja yang dibolehkan oleh syara’ dan dengan tujuan yang dibenarkan oleh syara pula.
  4. Dunia ini memiliki tatanan sosial dan tatanan kemanusiaan yang telah ditradisikan oleh Allah (sunnatullah) di antara pelbagai bangsa dan umat. Siapapun yang berusaha di dunia maka hasil usahanya akan diperoleh secara penuh di dunia; dan siapapun yang menundukkan dunia karena mencari ridha Allah maka ia akan beruntung di dunia dan akhirat.
  5. Masa kehidupan dunia ini sangat singkat; tidak dapat dibandingkan dengan masa kehidupan akhirat bahkan tidak sebanding dengan satu jam atau satu hari waktu akhirat (Thâhâ: 102-104).
  6. Kehidupan dunia ini adalah tempat berusaha dengan segala keletihan, kepayahan dan kesungguhannya (al-Insyiqâq: 6).
  7. Allah akan menolong orang-orang beriman baik pada kehidupan dunia maupunb kehidupan akhirat. Karena itu kehidupan dunia tidaklah semata-mata tempat penampakan kekafiran dan kerusakan tetapi juga tempat penampakan keimanan dan kebaikan dengan pertolongan Allah (Ghâfir: 51).
  8. Kehidupan dunia adalah tempat permainan (la’ib), kelalaian (lahw), perhiasan (zînah), saling membanggakan (tafâkhur) dan perlombaan untuk menjadi yang “terbanyak” (takâtsur) dari segi harta dan anak-anak (al-Hadîd: 20 dan at-Takâtsur: 1-2).[56]

Aspek pendidikan yang bisa dipetik dari sifat-sifat dunia itu, menurut an-Nahlâwî, adalah: pertama, seorang muslim jangan sampai tertipu oleh kehidupan dunia atau lalai dengan tujuan kehidupan sesungguhnya untuk beramal di dalamnya. Karena kehidupan ini adalah ujian dan bersifat sementara maka seharusnya yang ada pada diri seorang muslim hanyalah kesungguhan, kewaspadaan dan kesabaran terhadap kesulitan hidup. Seorang muslim adalah seorang petualang pemberani yang ambisinya tidak terhenti pada batas tertentu, tetapi tujuan hidupnya jauh melampaui tujuan kehidupan dunia yang dekat ini yakni kehidupan akhirat. Kedua, seorang muslim jangan mengharamkan atas dirinya kekayaan dunia yang baik-baik; bahkan seorang muslim seharusnya menikmati harta benda duniawi dimana dengan harta benda itu pula ia melaksanakan ibadah kepada Allah. Dibalik kenikmatan duniawi itu ia mengarahkan tujuan penggunaannya untuk mencari ridha Allah. Ketiga, bersabar terhadap cobaan dan kesempitan kehidupan dunia, karena seorang muslim telah terlebih mengenali bahwa kehidupan ini adalah tempat bekerja keras dan tempat cobaan. Karena itu ia tidak boleh putus asa, tetapi tetap bersabar dan menyiapkan dirinya untuk berjihad. Keempat, Setiap pribadi muslim dan masyarakat harus mengerahkan kemampuannya untuk memerangi setiap musuh-musuhnya yakni mengalahkan musuh-musuh kebajikan dan kebaikan baik dari golongan jin maupun manusia. Karena ia tahu bahwa Allah akan menolong orang-orang beriman, jika mereka mewujudkan iman mereka dalam perilaku mereka; mengikuti Kitab-Nya dan Rasul-Nya, serta menjadikannya sebagai basis kekuatan, keperkasaan dan pertahanan sebagaimana yang telah diperintahkan Allah.[57]

Implikasi dari pandangan di atas adalah bahwa pendidikan Islam harus menanamkan sikap positif terhadap hidup yakni: memandang hidup punya makna dan tujuan, memandang hidup sebagai kesempatan menjadi yang terbaik dengan mengutamakan kualitas; memiliki tujuan hidup untuk mencari ridha Allah; memandang hidup sebagai perjalanan menuju Allah; memandang bahwa kehidupan dan masa depan sejati adalah akhirat; memandang bahwa kebahagiaan tidak hanya diraih akhirat tetapi juga harus diraih di dunia; memandang kenikmatan dunia dengan positif, bahwa sebagai muslim ia halal dan berhak untuk menikmati serta hidup bahagia dunia ini; bersikap mawas diri terhadap jerat dunia agar tidak terjebak dalam pesona dunia yang penuh permainan, kelalaian, perhiasan, kebanggaan dan perlombaan duniawi; memandang kebenaran sebagai pilihan hidup dan kejahatan adalah musuh kehidupan; dan sebagainya.

E. PENUTUP

Menurut perspektif Islam, manusia adalah makhluk yang mulia dan memiliki bentuk yang terbaik di alam. Manusia memiliki dimensi yang sempurna dari dimensi fisik-biologis sampai dimensi spiritual-transendentalnya. Manusia memiliki enam dimensi utama yaitu: fisik-indrawi, nafsu, akal, hati, ruh dan fithrah yang kemudian dibekali dengan sejumlah kelebihan berupa sejumlah potensi psikis yang tiada terhingga dan pemberian hidayah (terutama hidayah agama dan hidayah tawfîqî/ ma’ûnah). Manusia memiliki kedudukan yang terhormat di alam yaitu sebagai khalifah fî al-ardh (pengelola alam dalam pelbagai aspek kehidupan) dan sebagai ‘abd al-Allâh yang memiliki dimensi ibadah yang luas. Namun dibalik segudang kelebihan itu, manusia juga memiliki sejumlah kelemahan yang bisa saja menjatuhkan martabatnya ketitik terendah bahkan lebih sesat dari binatang. Pandangan ini berimplikasi bahwa pendidikan Islam memiliki tugas berat untuk mengembangkan semua potensi dan dimensi positif manusia secara konprehensif dan menekan seminimal mungkin potensi negatif manusia. Pendidikan Islam juga harus mampu menumbuhkan kecerdasan intelektual, kecerdasan emosional, kecerdasan spiritual dan keterampilan fisikal dalam diri setiap insan secara seimbang dan komprehensif.

Menurut perspektif Islam, alam adalah “kitab terbuka” yang berisi tanda-tanda (âyât) yang pada hakikatnya adalah “wahyu” Tuhan dalam bentuk lain yang diciptakan dalam bentuk yang sangat beragam. Alam tunduk kepada aturan yang telah ditetapkan oleh Allah (sunnatullah) dan juga ditundukkan untuk kepentingan manusia yang diberi amanah untuk mengelolanya. Pandangan ini berimplikasi bahwa pendidikan Islam harus melahirkan output yang memiliki profesionalisme dalam mengelola alam dan memiliki kcerdasan dalam membaca fenomena alam (sunnatullah) sebagai âyât Allah yang terbentang luas tak terhingga di mana diri manusia juga menjadi bagiannya.

Dalam perspektif Islam, walaupun kehidupan duniawi bersifat sementara namun kehidupan ini memiliki makna dan tujuan positif. Kehidupan adalah ujian untuk menjadi yang terbaik, yaitu menjadi manusia yang paling baik mutu amalnya dalam pelbagai bidang kehidupan dengan menggunakan dunia sebagai instrumennya. Selain itu, visi kehidupan tidak hanya terhenti pada kebahagiaan dunia, tetapi visi kehidupan merambah jauh ke depan yaitu meraih kebahagiaan yang sejati di akhirat tanpa mengabaikan kebahagiaan dunia walaupun nilainya jauh lebih kecil dibanding kebahagiaan akhirat. Agar tidak gagal dalam meraih visi kehidupan sejati itu, manusia harus waspada terhadap jerat-jerat kehidupan dunia berupa la’ib, lahw, zînah, tafâkhur dan takâtsur yang dapat melalaikan manusia dari tujuan hidup sebenarnya. Implikasinya bagi pendidikan Islam adalah bahwa pendidikan Islam harus dapat menanamkan sikap positif terhadap makna dan tujuan hidup; menanamkan visi kehidupan yang jauh ke depan; menanamkan sikap waspada terhadap jerat-jerat kehidupan dunia dan menanamkan sikap dan semangat berkompetisi secara positif untuk menjadi manusia yang terbaik dalam semua aspek kehidupan.

DAFTAR PUSTAKA

‘Abd al-Fattâh al-Jalâl, Min al-Ushûl at-Tarbiyah fî al-Islâm, 1977

Abdurahhman Saleh Abdullah, Teori-teori Pendidikan Berdasarkan Al-Qur’an, (Jakarta: Rineka Cipta, 2005

‘Abd ar-Rahmân an-Nahlâwî, Ushûl al-Tarbiyah al-Islâmiyyah wa Asâlîbuhâ fî al-Bayt, wa al-Madrasah wa al-Mujtama`, Beirut: Dâr al-Fikr, 1979M.

Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997.

Al-Rasyidin dan Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Ciputat Press, 2005.

Baharuddin, Paradigma Psikologi Islami: Studi tentang Elemen Psikologi dari Alquran, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004

Choiruddin Hadhiri, Klasifikasi Kandungan Al-Qur`an, Jakarta, Gema Insani Press, 1995.

Jalaluddin, Teologi Pendidikan, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003.

Muhaimin et. al., Paradigma Pendidikan Islam:Upaya Mengefektifkan PAI di Sekolah, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2004.

Muhaimin dan Abdul Mujib, Pemikiran Pendidikan Islam (Kajian Filosofis dan Kerangka Dasar Operasionalisasinya), (Bandung: Trigenda Karya, 1993.

Nurcholish Madjid, Islam: Doktrin dan Peradaban, (Jakarta: Paramadina, 1995.

Omar Muhammad al-Toumy al-Syaibany, Falsafah Pendidikan Islam, diterjemahkan oleh Hasan Langgulung dari Falsafah at-Tarbiyah al-Islâmiyyah, Jakarta: Bulan Bintang, 1979.

Quraish Shihab, Wawasan Al-Quran: Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat, Bandung: Mizan, 1996.

Tim Penerjemah Depag RI, Al-Quran dan Terjemahnya, (Saudi Arabia: Mujamma’ al-Malik Fahd li Thibâ’ah al-Mushhaf asy-Syarîf, 1420 H.

Widodo Supriyono, “Filsafat Manusia dalam Islam”, dalam M. Chabib Thoha et. al (ed), Reformulasi Filsafat Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996.

Wan Mohd Nor Wan Daud, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed M. Naquib Al-Attas, Diterjemahkan dari The Educational philosophy and Practice of Syed M. Naquib Al-Attas oleh Hamid Fahmi et. al., (Bandung: Mizan, 2003.



[1] Jalaluddin, Teologi Pendidikan, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003), h. 17.

[2] Abdurahhman Saleh Abdullah, Teori-teori Pendidikan Berdasarkan Al-Qur’an, (Jakarta: Rineka Cipta, 2005), h. 61.

[3] Ibid.

[4] M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Quran: Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat, (Bandung: Mizan, 1996), h. 278.

[5] Baharuddin, Paradigma Psikologi Islami: Studi tentang Elemen Psikologi dari Alquran, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), h. 69.

[6] Ibid., h. 74.

[7] Ibid., 76

[8] Ibid., 82.

[9] M. Quraish Shihab, Op. Cit., h. 280.

[10] Baharuddin, Op. Cit., 88

[11] Ibid., h. 90.

[12] ‘Abd ar-Rahmân an-Nahlâwî, Ushûl al-Tarbiyah al-Islâmiyyah wa Asâlîbuhâ fî al-Bayt, wa al-Madrasah wa al-Mujtama`, (Beirut: Dâr al-Fikr, 1979), h. 30.

[13] Ibid.,h, 30-31.

[14] Omar Muhammad al-Toumy al-Syaibany, Falsafah Pendidikan Islam, diterjemahkan oleh Hasan Langgulung dari Falsafah at-Tarbiyah al-Islâmiyyah, Jakarta: Bulan Bintang, 1979, h. 130.

[15] ‘Abd al-Fattâh al-Jalâl, Min al-Ushûl at-Tarbiyah fî al-Islâm, 1977, h. 33. Lihat penjelasan lebih luas masing-masing unsur itu pada halaman 34-42.

[16] Lihat Baharuddin, Op. Cit., h. 159-172.

[17] Ibid., h. 160-161.

[18] Ibid., 163.

[19] Ibid., h. 164.

[20] Ibid., h. 166-167.

[21] Ibid., h. 166-167.

[22] Ibid., h. 168-169.

[23] Ibid., h. 169-170.

[24] Ibid., h. 170.

[25] Ibid., h. 170-172.

[26] Dikutip dan diberi sedikit tambahan dari Baharuddin, Ibid.,h. 242.

[27] An-Nahlâwî, Op. Cit., h. 32.

[28] Widodo Supriyono, “Filsafat Manusia dalam Islam”, dalam M. Chabib Thoha et. al (ed), Reformulasi Filsafat Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), h. 179-181.

[29] Muhaimin et. al., Paradigma Pendidikan Islam:Upaya Mengefektifkan PAI di Sekolah, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2004), h. 14.

[30] An-Nahlâwî, Op. Cit., h. 32-33.

[31] Ibid., h. 33-34

[32] Ibid., h. 35.

[33] Abd al-Fattâh Jalâl, Op. Cit., h. 26-27.

[34] Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), h. 36-37.

[35] Muhaimin dan Abdul Mujib, Pemikiran Pendidikan Islam (Kajian Filosofis dan Kerangka Dasar Operasionalisasinya), (Bandung: Trigenda Karya, 1993), h. 59-60.

[36] An-Nahlâwî, Op. Cit., h. 35-36.

[37] Ibid.,, 36.

[38] Ibid.,, 36.

[39] Ibid., h. 37.

[40] Ibid., h. 37-38.

[41] Wan Mohd Nor Wan Daud, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed M. Naquib Al-Attas, Diterjemahkan dari The Educational philosophy and Practice of Syed M. Naquib Al-Attas oleh Hamid Fahmi et. al., (Bandung: Mizan, 2003), h. 105.

[42] Ibid., h. 108-109.

[43] Ibid., 106.

[44] An-Nahlâwî, Op. Cit., h. 38-39.

[45] Ibid., h. 39-40.

[46] Ibid., h. 40-41.

[47] Ibid., h. 42-43.

[48] Ibid., h. 43.

[49] Ibid., h. 43.

[50] Al-Rasyidin dan Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Ciputat Press, 2005), h. 18-19.

[51] Nurcholish Madjid, Islam: Doktrin dan Peradaban, (Jakarta: Paramadina, 1995), h. 19-22.

[52] Ibid., h. 23-25.

[53] Ibid., h. 26-29.

[54] Tim Penerjemah Depag RI, Al-Quran dan Terjemahnya, (Saudi Arabia: Mujamma’ al-Malik Fahd li Thibâ’ah al-Mushhaf asy-Syarîf, 1420 H), h. 955.

[55] Ibid., h. 327. Tim Penerjemah Depag memberikan catatan tentang maksud ayat ini yaitu: Maksudnya: Allah menjadikan langit dan bumi untuk tempat berdiam makhluk-Nya serta tempat berusaha dan beramal, agar nyata di antara mereka siapa yang taat dan patuh kepada Allah (lihat catatan kaki no. 711).

[56] An-Nahlawî, Op. Cit., h. 47-49.

[57] Ibid., h. 49.

DASAR-DASAR FILOSOFIS PENDIDIKAN ISLAM:

HAKIKAT MANUSIA, ALAM DAN KEHIDUPAN

Oleh: Rahmadi

A. PENDAHULUAN

Selain masalah tentang Tuhan, ada tiga persoalan mendasar dan krusial yang selalu mengusik pikiran manusia ketika ia menjalani kehidupan di dunia ini. Pertama, adalah siapakah dirinya sebenarnya? dengan kata lain apa hakikat dirinya? Kedua, adalah alam di mana tinggal; apa hakikatnya? dan ketiga adalah tentang kehidupan; untuk apa manusia hidup? dan untuk apa kehidupan ini diadakan? Pertanyaan-pertanyaan mendasar ini selalu mengusik pikiran manusia dan mereka berusaha menemukan jawabannya.

Tentang hakikat manusia misalnya muncul bermacam-macam pendapat tentang itu. Misalnya, sebagaimana yang dikemukakan oleh Jalaluddin, menurut paham materialisme, manusia adalah unsur-unsur materialisme-mekanistik yang kompleksitasnya terdiri atas aspek-aspek fisiologis, neurologis, fisika dan biokimia. Semua unsur itu bekerja di bawah satu sistem “organisasi” yang berpusat pada central nervous system (sistem syarat pusat) yakni mind. Namun mind di sini lebih mendekati syaraf yang bersifat neurologis dan bukan psikis.[1] Sementara itu, beberapa kalangan ahli biologi dan psikologi mempertahankan pandangan tentang adanya elemen “jahat” dalam diri manusia yang terwariskan secara turun temurun. Lorenz, misalnya, menganggap manusia sebagai bagian dari gerak evolusi dari hewan lain yang berarti manusia memiliki sifat agresif. Menurutnya, pertempuran dan kejahatan yang mengarah pada kekejaman dan kebiadaban merupakan instink yang telah ada dalam diri manusia.[2] Kalangan Kristen memandang negatif manusia karena telah membawa dosa asal (dosa warisan); sementara kalangan empirisme dengan teori tabularasanya memandang manusia seperti kertas putih yang tidak memiliki potensi apa-apa.[3]

Pandangan manusia tentang alam juga bervariasi. Kaum sekuleristik-ateistik berpendapat bahwa alam ini hanyalah materi mekanistik yang bergerak dengan sendirinya dan tercipta dengan sendirinya; sementara kaum primitif melihat alam sebagai kekuatan dahsyat yang harus disembah. Begitu pula pandangan manusia tentang hakikat kehidupan. Ada yang berpandangan bahwa hidup ini hanyalah di sini, tidak ada lagi kehidupan setelah ini karena itu hidup harus dinikmati sebebas-bebasnya sebelum kehidupan berakhir dengan kematian; sementara yang lain berpandangan bahwa kehidupan ini pada hakikatnya adalah kesengsaraan, tanpa makna dan tujuan . Kematian adalah akhir dari kesengsaraan untuk menuju kehidupan yang lebih abadi dan menyenangkan, dan sebagainya.

Pandangan tentang hakikat alam, manusia dan kehidupan sangat penting dan sangat berpengaruh dalam pelbagai bidang kehidupan terutama pada bidang pendidikan. Karena pandangan tentang hal itu akan mempengaruhi tujuan hidup dan pandangan hidup manusia yang pada gilirannya akan diwariskan dan diwujudkan melalui pendidikan. Orang yang memiliki pandangan hidup materialistik terhadap hakikat manusia alam dan kehidupan akan mengimplementasikan pendidikan yang materialistik pula, demikian juga dengan orang yang berpandangan spiritualistik akan mengimplementasikan pendidikan yang spiritualistik pula dan seterusnya. Karena itu, sebelum mengimplementasikan sebuah paradigma pendidikan, ketiga pertanyaan mendasar ini harus dijawab terlebih dahulu agar menjadi basis utama pendidikan. Sekarang pertanyaannya adalah bagaimanakah pandangan Islam tentang ketiga pertanyaan filosofis ini? Dan apa implikasinya bagi pendidikan Islam? Pertanyaan inilah yang akan kita jawab dalam uraian-uraian selanjutnya dari makalah ini.

B. DASAR FILOSOFIS PENDIDIKAN ISLAM TENTANG HAKIKAT MANUSIA

1. Term manusia dalam Alquran

Menurut M. Quraish Shihab ada tiga kelompok kata yang digunakan Alquran untuk menunjuk kepada manusia. Pertama, menggunakan kata insân, ins, nâs, atau unâs; kedua, menggunakan kata basyar; dan ketiga menggunakan kata banî Âdam dan zuriyat Âdam.[4]

Penggunaan kata basyar dalam Alquran digunakan sebanyak 36 kali dalam bentuk tunggal dan satu kali dalam bentuk mutsanna. Dari penggunaan istilah itu Baharuddin menyimpulkan bahwa penggunaan kata basyar dalam Alquran menggambarkan manusia dari sisi fisik biologisnya seperti kulit manusia, kebutuhan biologisnya seperti makan, minum, berhubungan seks dan lain-lain. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa manusia yang dijelaskan dengan istilah basyar menekankan gejala umum yang melekat pada gejala fisik manusia, yang secara umum relatif sama antar sesama manusia. Pengertian basyar tidak lain adalah pengertian manusia pada umumnya, yaitu manusia dalam kehidupannya sehari-hari yang sangat bergantung pada kodrat alamiahnya seperti makan, minum, berhubungan seks, tumbuh berkembang dan akhirnya mati, hilang dari peredaran dunia.[5] Ringkasnya, kata basyar merujuk pada manusia sebagai makhluk biologis.

Penggunaan kata al-ins (18 kali), al-unâs (5 kali), al-insân (65 kali), dan an-nâs (243 kali). Kata al-ins dipakai Alquran dalam kaitannya dengan berbagai potensi jiwa manusia, antara lain sebagai hamba Allah yang selalu berbuat baik, tetapi juga potensial menjadi pembangkang Allah. Selain itu, al-ins juga diberi peluang untuk mengembangkan potensinya untuk dapat menguasai alam.[6] Berdasarkan penggunaan kata unâs dalam berbagai konteks, ia selalu dihubungkan dengan kelompok manusia, baik sebagai suku bangsa, kelompok pelaku kriminal, maupun kelompok orang yang baik dan buruk nanti di akhirat. Dalam konteks ini manusia dipahami sebagai makhluk berkelompok, dan ia selalu membentuk kelompoknya sesuai dengan ciri-ciri persamaannya.[7] Penggunaan Kata al-insân menggambarkan bahwa manusia telah diberikan Allah ilmu pengetahuan, memiliki potensi dan sarana-sarana dalam dirinya untuk menemukan, mengembangkan dan menciptakan ilmu pengetahuan.[8] Menurut M. Quraish Shihab penggunaan kata al-insân menunjukkan tentang seluruh totalitas manusia, jiwa dan raganya; manusia yang berbeda antara satu sama lain, akibat perbedaan fisik, mental dan kecerdasan.[9] Kata an-nâs dalam pelbagai konteks penggunaannya menunjukkan bahwa kata an-nâs mengandung makna sifat-sifat dan nilai-nilai universal manusia. Bisa juga bermakna bahwa manusia adalah salah satu spesies (makhluk) Tuhan di alam ini.[10] Sedang penggunaan kata Banî Âdam secara umum memberikan gambaran bahwa manusia adalah makhluk yang memiliki kelebihan dan keistimewaan dari makhluk lainnya. Keistimewaan itu meliputi fitrah keagamaan, peradaban, dan kemampuan memanfaatkan alam. Dengan kata lain bahwa manusia adalah makhluk yang berada dalam relasi dengan Allah (habl min Allâh), relasi dengan sesama (habl min an-nâs) dan relasi dengan alam (hablun min al-‘âlam).[11]

Apa yang digambarkan oleh Baharuddin ini sebenarnya masih sangat general, masih banyak lagi makna yang bisa digali lebih dalam dari penggunaaan term-term yang merujuk pada manusia dalam Alquran baik dalam kelompok basyar, insân (ins, unâs dan an-nâs) mapun banî Âdam. Apalagi kalau kita merujuk pada masing-masing ayat berdasarkan konteks dan kasusnya masing-masing maka kita akan menemukan makna yang jauh lebih kaya lagi dimana setiap orang dapat memberi penafsiran yang lebih luas.

Implikasi dari pemaknaan penggunaan term-term itu terhadap pendidikan Islam adalah bahwa pendidikan Islam harus mengupayakan pendidikan yang mampu mengembangkan manusia sebagai makhluk biologis; mampu mengembangkan manusia pada seluruh aspek totalitas potensinya baik potensi ruhaninya maupun jasmaninya serta posisinya sebagai pribadi dan makhluk sosial; mampu mengembangkan kelebihan dan keistimewaan manusia sebagai makhluk utama dan berperadaban dalam relasinya dengan Tuhan, relasinya dengan sesama manusia, dan relasinya dengan alam semesta.

2. Asal Penciptaan dan Unsur Manusia

Menurut an-Nahlâwî, sejak manusia berada di permukaan bumi, selalu terdapat dua pandangan ekstrem tentang manusia. Satu pihak cenderung melihat manusia sebagai makhluk yang terbesar dan teragung posisinya di alam sehingga melahirkan sifat individualistis dan kesombongan, sementara pada pihak lain berpandangan bahwa manusia adalah makhluk yang hina dan rendah posisinya di alam sehingga melahirkan ketundukkan kepada pohon, batu, sungai, gunung dan binatang; mereka menilai tidak ada keselamatan selain sujud kepada matahari, bulan, bintang dan api serta benda apa saja yang dapat memberi mudarat dan manfaat kepada mereka.[12]

Dalam Islam, menurut an-Nahlâwî, asal manusia ada dua yaitu asal yang jauh dan asal yang dekat. Asal yang jauh adalah tahap penciptaan awal, pada tahap ini manusia berasal dari tanah (thîn, turâb, shalshâl) kemudian disempurnakan oleh Allah dengan tiupan roh (al-Sajadah: 8-9) sementara asal yang dekat adalah manusia berasal dari air mani yang hina (mâ` mahîn, mâ` dâfiq, nuthfah) yang kemudian berproses menjadi manusia yang utuh (Lihat: al-Mu’minûn: 13-14).[13] Di sini Alquran mengajarkan manusia untuk bersikap tawadhu berdasarkan kesadaran bahwa dirinya berasal dari sesuatu yang hina. Karena itu manusia tidak pantas bersikap sombong, bahkan seharusnya manusia mensyukuri nikmat penciptaan dirinya yang asalnya hina kemudian menjadi makhluk mulia.

Dalam diskursus tentang hakikat manusia, terdapat perbedaan yang bersifat komplementer di antara kalangan muslim tentang rincian unsur manusia. Ada yang membagi unsur manusia itu secara garis besar menjadi dua yaitu jasmani dan ruh; Omar Muhammad al-Toumy al-Syaibaniy membaginya menjadi tiga dimensi yaitu badan, akal dan ruh;[14] ‘Abd al-Fattâh Jalâl membagi susunan bentuk manusia menjadi empat yaitu al-jism, al-‘aql, al-qalb dan ar-rûh;[15] sementara Baharuddin membagi menjadi tiga aspek dengan enam dimensi yaitu jismiyah (dimensi fisik), nafsiyah (dimensi psikis yang terdiri dari dimensi nafsu, akal dan hati) dan ruhaniah (aspek spiritual-transendental yang terdiri dari dimensi ruh dan fitrah).[16] Untuk penjelasan lebih lanjut akan digunakan pembagian unsur manusia menurut temuan Baharuddin karena menyajikan rincian yang lebih detil, yaitu:

a. Aspek Jismyiah

Aspek jismiyah adalah organ fisik dan biologis manusia dengan segala perangkat-perangkatnya. Organ fisik-biologis manusia adalah organ fisik yang paling sempurna di antara semua makhluk (ahsan taqwîm). Proses penciptaan manusia memiliki persamaan dengan hewan dan tumbuh-tumbuhan, karena semuanya bagian dari alam. Aspek jismiyah ini memiliki dua sifat dasar. Pertama dalam bentuk konkret, berupa tubuh kasar yang tampak. Kedua, berupa bentuk abstrak berupa nyawa halus (daya hidup) yang menjadi sarana kehidupan tubuh. Aspek abstrak jismiyah inilah yang akan mampu berinteraksi dengan aspek nafsiyah dan ruhaniah manusia.[17]

b. Aspek Nafsiyah

Aspek nafsiyah adalah keseluruhan kualitas khas kemanusiaan berupa pikiran, perasaan, kemauan dan kebebasan. Aspek ini merupakan persentuhan antara aspek jismiyah dengan aspek ruhaniyah. Aspek ini mewadahi kedua aspek yang saling berbeda,—dan mungkin berlawanan—itu. Aspek jismiyah dengan karakteristik utamanya yang bersifat empiris, konkret, indrawi, mekanistik dan determenistik, sementara aspek ruhaniyah bersifat spiritual, transendental, suci, bebas dari terikat pada hukum dan prinsip alam, dan cenderung pada kebaikan. Keduanya saling berbeda dan berlawanan tetapi keduanya juga saling membutuhkan.[18] Aspek nafsiyah ini terdiri dari tiga dimensi yaitu:

1) Dimensi an-Nafs (nafsu)

Dimensi ini adalah dimensi yang memiliki sifat-sifat kebinatangan dalam sistem psikis manusia. Nafsu adalah daya-daya psikis yang memiliki dua kekuatan ganda yaitu daya ghadhabiyah dan daya syahwatiyah. Al-ghadhab adalah daya yang bertujuan untuk menghindarkan diri manusia dari segala yang membahayakan dan mencelakakan sementara asy-syahwatiyah adalah daya yang berpotensi mengejar segala yang menyenangkan. Prinsip kerjanya berusaha untuk mengejar kenikmatan dan berusaha mengumbar dorongan-dorongan agresif dan seksual. Prinsip kerja nafsu ini sama dengan prinsip kerja binatang karenanya disebut dengan an-nafs al-hayawâniyah. Namun dimensi ini dapat diarahkan pada kemanusiaan bila mendapat pengaruh yang besar dari dimensi lainnya seperti akal, hati, ruh dan fitrah.[19] Bila nafsu ini terpengaruh secara positif dengan dimensi lainnya maka ia bisa menjadi nafs al-lawwâmah dan nafs al-muthmainnah.

2) Dimensi al-‘aql (akal)

Dimensi akal adalah adalah dimensi psikis manusia yang berada di antara dua dimensi lainnya yang saling berlawanan, yaitu antara dimensi nafsu dan qalb (hati). Ia menjadi pewadah dan penengah kepentingan kedua dimensi itu. Dimensi nafsu memiliki sifat kebinatangan sementara dimensi hati memiliki sifat dasar kemanusiaan dan berdaya citarasa. Dimensi ini memiliki peranan penting berupa fungsi pikiran yang merupakan kualitas insâniyah pada psikis manusia. Sifat dasar akal adalah rasional yang merupakan sifat khas kemanusiaan sehingga ia disebut juga an-nafs al-insâniyah.[20]

Akal memiliki dua makna, pertama, akal jasmani, yaitu salah satu organ tubuh yang terletak di kepala. Akal ini menggunakan daya kognisi (al-mudrikah) dalam otak (al-dimâgh) untuk berpikir. Objek pemikirannya adalah hal-hal yang bersifat sensoris dan empiris. Kedua akal ruhani, yaitu akal abstrak yang mampu memperoleh pengetahuan abstrak, metafisika seperti memahami proses penciptaan langit dan bumi. Akal abstrak adalah akal yang selalu berhubungan dengan qalb sehingga aktivitasnya berkombinasi menjadi bertpikir dan berzikir (ûlû al-albâb). Tapi jika akal beraktivitas sebagaimana adanya tanpa melibatkan daya qalb maka ia hanya akan berpikir secara rasional saja tanpa disertai dengan zikir dan perbuatan spiritual lainnya. Kalau dilihat dari aktivitasnya, Alquran banyak menggambarkan aktivitas akal di antaranya adalah an-nazhar (melihat dengan memperhatikan), at-tadabbur (memperhatikan secara seksama), at-ta`ammul (merenungkan), al-istibshâr (melihat dengan mata batin), al-i’tibâr (menginterpretasikan), at-tafkîr (memikirkan) dan at-tafakkur (mengingat).[21]

3) Dimensi al-qalb (hati)

Dimensi hati adalah dimensi yang memiliki peranan penting dalam memberi sifat insâniyah (kemanusiaan) bagi psikis manusia. Ini dapat dipahami dengan banyaknya istilah lain yang identik dengannya, di antaranya adalah: (1) ash-shadr (tempat perasaan was-was); (2) al-qalb (tempat iman); (3) asy-syagaf (tempat cinta); (4) al-fu`âd (yang dapat memelihara kebenaran); (5) habat al-qalb (tempat cinta dan kebenaran); (6) as-suwida (tempat ilmu dan agama); (7) mahâjah al-qalb (merupakan manifestasi sifat-sifat Allah); (8) ad-damir (tempat merasa dan daya rekoleksi); dan (9) as-sirr (bagian qalb yang paling halus dan rahasia). Mengingat perannya yang demikian besar, hati menjadi penentu bagi kebaikan dan keburukan seseorang, sebab sebagaimana sabda Nabi bahwa dalam tubuh itu ada segumpal daging yang menentukan baik buruknya seseorang secara keseluruhan, yaitu hati (H. R. Bukhârî).[22]

Dari hasil telaah Baharuddin terhadap 132 kali penggunaan istilah “qalb” dalam Alquran, ia menyimpulkan bahwa fungsi hati itu sedikitnya ada tiga yaitu:

(1) Fungsi kognisi yang menimbulkan daya cipta; seperti berpikir (‘aql), memahami (fiqh), mengetahui (‘ilm), memperhatikan (dabbr), mengingat (dzikr), dan melupakan (ghulf).

(2) Fungsi emosi yang menimbulkan daya rasa seperti tenang (thuma`nînah), jinak atau sayang (ulfah), senang (ya’aba), santun dan penuh kasih sayang (ra’fah wa rahmah), tunduk dan bergetar (wajilat), mengikat (ribâth), kasar (ghalîzh), takut (ru’b), dengki (ghill), berpaling (dzayq), panas (ghalîth), sombong (hamiyah), kesal (isyma`azza) dan sebagainya.

(3) Fungsi konasi yang menimbulkan daya karsa; seperti berusaha (kasb).[23]

Selanjutnya jika dilihat dari kondisinya hati itu ada yang baik atau hidup (al-hayyah) seperti sehat (sâlim), bening (mahs), bersih (thuhûr), baik (khayr). Hati seperti ini akan menghasilkan iman dan takwa. Ada pula kondisi hati yang tidak baik dan dianggap mati (maytah) seperti berpaling (ash-sharf), sesat (ghamrah), buta (ta’mâ), dan kasar (qasat). Hati seperti ini adalah hati yang gelap (qalb saudâ’) yang bersifat ingkar dan kafir. Selain itu adapula kategori kondisi hati yang hidup tapi menderita penyakit hati (maradh) karena kemunafikan (nifâq) dan keraguan (irtibat).[24]

c. Aspek Ruhaniah

Aspek ruhaniah adalah aspek psikis manusia yang bersifat spiritual-transendental. Aspek ini memiliki dua dimensi psikis yaitu ruh dan fitrah. Keduanya adalah milik dan berasal dari Allah. Dimensi ruh diberikan kepada manusia melalui proses an-nafkh (peniupan ruh) sedang pemberian fitrah kepada manusia melalui proses al-fithr (penciptaan). Dimensi ruh dan fitrah sebagai sisi spiritual-transendental mengandung sifat-sifat Allah yang tercakup dalam al-asmâ` al-husnâ (yang berjumlah 99 nama) yang menjadi potensi luhur batin manusia.[25]

Berdasarkan konsep di atas Baharuddin kemudian membuat gambaran tentang susunan sifat dan kebutuhan dasar dimensi-dimensi manusia sebagaimana terlihat pada tabel berikut:[26]

Aspek

Dimensi

Sifat-sifat dasar

Kebutuhan dasar

Ruhaniah

Al-fithrah

Suci/quds

Keyakinan/agama

Ar-rûh

Spiritual

Aktualisasi potensi/perwujudan diri

Nafsiyah

Al-qalb

Emosional

Cinta dan kasih sayang

Al-‘aql

Rasional

Penghargaan/ ingin tahu

An-nafs

Kehidupan, biologis

Keamanan, ketentraman, seksual

Jismiyah

Al-jism

Keragaan, fisik-biologis

Kebutuhan biologis dan material

Pandangan tentang asal-usul manusia dan unsur-unsurnya berimplikasi pada pendidikan Islam, yakni pendidikan Islam harus mengimplementasikan bentuk pendidikan yang berusaha menyentuh dan mengembangkan semua aspek (jismiyah, nafsiyah dan ruhaniah) dan semua dimensi manusia (fisik, nafsu, akal, hati, ruh dan fitrah) secara seimbang. Pendidikan Islam harus melaksanakan pendidikan yang konprehensif yaitu pendidikan yang dapat mengembangkan semua sifat-sifat dasar manusia dan dapat menyentuh semua kebutuhan manusia secara totalitas; pendidikan yang menyentuh dimensi fisik-material sampai dimensi spiritual; pendidikan yang mampu membentuk fisik-biologis yang sehat (al-jism as-salim), nafsu yang tenang (muthma`innah), rasio yang cerdas, emosi yang stabil atau hati yang sehat (qalb salim), kedalaman spiritual, kesadaran ketuhanan dan kehanifan. Inilah barangkali tugas terberat dari pendidikan Islam.

Selain itu, pendidikan Islam haruslah pendidikan yang memberikan kesadaran kepada manusia bahwa ia adalah makhluk yang diciptakan, makhluk bertuhan, dan ia berasal dari sesuatu yang hina yang kemudian disempurnakan oleh Allah dengan tiupan ruh dari-Nya. Kesadaran ini akan melahirkan rasa spiritual ketuhanan, sikap ketawadhuan manusia, rasa syukur dan ketundukan kepada Allah.

3. Manusia Makhluk yang Mulia: kelebihan dan kelemahannya

Menurut an-Nahlâwî, Islam menjelaskan bahwa manusia bukanlah makhluk yang rendah dan hina karena itu derajatnya tidak sama dengan hewan, benda mati maupun seluruh makhluk lainnya (al-Isrâ`: 70 dan al-Hâj: 65). Allah memberi anugerah kepada manusia berupa rizki dan menundukan alam bagi manusia, karena itu Allah melarang manusia merendahkan dirinya pada alam. Selain itu Allah juga memberinya rasa aman dari ketakutan menghadapi alam dan memberinya kesadaran bahwa alam tunduk di tangannya sehingga ia dapat menundukkan alam bagi kemaslahatannya. Ini, menurut an-Nahlawî adalah langkah pendidikan Rabbâniyyah di mana Alquran menumbuhkan rasa terhormat dan mulia pada diri manusia serta secara bersamaan merasakan keutamaan karunia Allah[27]

Sebagai makhluk yang mulia, manusia memiliki banyak kelebihan seperti bentuknya yang lebih sempurna dari makhluk lainnya (ahsan al-taqwîm, at-Tîn: 4). Namun dalam kapasitasnya sebagai makhluk yang terbaik ia juga memiliki banyak kekurangan yang dapat menjerumuskannya kederajat terendah (asfal sâfilîn, at-Tîn: 5) atau bahkan lebih sesat dari binatang bila ia melalaikan semua potensinya (al-A’râf:179). Bahasan berikut ini akan mencoba merinci secara ringkas tentang kelebihan dan kekurangan manusia.

Dalam telaah ayat-ayat Alquran, Widodo Supriyono mengindentifikasi beberapa kelebihan manusia di antaranya adalah:[28]

a. manusia mempunyai bentuk fisik yang sebaik-baiknya, ahsan al-taqwîm (as-Sajadah: 9; at-Tîn; 4)

b. Manusia mempunyai potensi keruhanian yang tidak terhingga banyaknya karena adanya ruh yang ditiupkan Allah padanya (as-Sajadah: 9) yang dapat dirinci sebagai berikut: (1) dapat memahami sesuatu, ûlû al-albâb (az-Zumar: 21); (2) manusia dapat berpikir dan merenung, yakni berpikir dan merenungkan peristiwa-peristiwa alam (al-Jâtsiyah: 13); (3) manusia dapat mempergunakan akalnya (al-Baqarah: 164) terutama dalam hal kemampuan memperoleh berbagai kemahiran (az-dzakâ’), pengertian inderawi (idrâk), kemampuan mengingat yang telah dipelajari (at-tadzakkur), visi angan-angan yang melambung (takhayyal) dan kemampuan pemaknaan dan pemahaman serta kemampuan penemuan keterkaitan antar sesuatu; (4) manusia dapat percaya, beriman (an-Nahl: 86); (5) Manusia dapat bertakwa (al-Baqarah: 2); (6) Manusia dapat mengingat dan mengambil pelajaran (an-Nahl: 13); (7) manusia dapat mendengarkan kebenaran firman Tuhan (ar-Rahmân: 22); (8) manusia dapat berilmu/’âlim (ar-Rahmân: 22); (9) manusia dapat berkesenian (an-Nahl: 6); (10) manusia dapat menguasai teknologi tepat guna (Hûd: 38; al-Anbiyâ`: 80-81); (11) manusia lahir kedunia telah membawa fitrah.

Kelebihan manusia yang lain adalah ia diberi hidayah yang lengkap oleh Allah sebagai bekal kehidupannya di dunia; hidayah yang tidak hanya datang dari dalam dirinya tetapi juga datang dari luar dirinya. Macam-macam hidayah itu adalah (1) hidâyah ilhâmî (instinct), seperti denyut hati (gerak hati, impuls) yang terdapat dalam bakat manusia maupun binatang termasuk di dalamnya nafsu, dorongan untuk melakukan sesuatu yang tidak berdasarkan suatu pikiran. Atau dengan kata lain dorongan yang bersifat animal, tidak berdasarkan pikir panjang. (2) hidâyah hawâsî (indera), yaitu alat badani yang peka terhadap rangsangan dari luar yang meliputi: al-bashîrah (indera penglihatan), as-samî’ah (indera pendengaran), hâssah ath-tha’am (indera pengecap), hassah asy-syûm (indera penciuman) dan hassah al-lams (indera perabaan); (3) hidâyah al-‘aql (hidayah akal budi); (4) hidâyah al-adyânî (hidayah agama); dan (5) hidâyah tawfîqî atau hidâyah ma’ûnah. Hidayah pertama dan kedua dianugerahkan kepada manusia dan hewan; hidayah yang ketiga sampai yang kelima hanya diberikan kepada manusia. Dan hidayah yang kelima (yang tertinggi) hanya dimonopoli oleh Allah, nabi sekalipun tidak berkompeten untuk memberi hidayah tingkat tertinggi tersebut.[29]

Kelebihan manusia lainnya yang dianugerahkan Allah kepada manusia, menurut an-Nahlâwî, adalah manusia diberi kemampuan untuk membedakan mana yang baik dan mana yang buruk; diberi ilham kepada nafs kemanusiaannya tentang kedurhakaan dan ketaqwaan; pada wataknya diberi kemampuan melakukan kebaikan dan kejahatan; dan manusia diberi irâdah (kehendak) dalam dirinya sehingga manusia mampu memilih antara jalan yang membawa kebaikan dan kebahagiaan dengan jalan yang membawanya mencapai kesengsaraan. Tidak cukup itu saja, Allah juga menjelaskan bahwa tujuan hidup manusia adalah mensucikan jiwa dan menghindarikan diri dari jalan yang jahat (al-Syams: 7-10). Allah melaknat kaum yang mengingkari hakikat kemanusiaan yang menyangka bahwa dalam diri manusia tidak ada unsur kedurhakaan (al-syams:7-10 ).[30]

Di antara kemuliaan yang diberikan Allah kepada manusia adalah potensi untuk belajar (at-ta’allum) dan mengenal (al-ma’rifah) (al-`Alaq: dan al-Baqarah: 31) dan memberinya seperangkat instrumen untuk potensi belajar itu di antaranya adalah pendengaran (as-sama`), penglihatan (al-bashar) dan hati/emosi (al-fu`âd) (al-Nahl: 78). Allah mencela orang-orang yang tidak mau menggunakan instrumen ini untuk belajar dan memperoleh pengetahuan dan menggolongkannya sebagai orang yang lebih sesat dari binatang ternak (al-A’râf: 179). Instrumen lainnya yang menjadi bekal manusia untuk belajar dan memperoleh pengetahuan adalah lisan yang dibarengi dengan potensi al-bayân (mampu memberi penjelasan) (al-Balad: 8-9; ar-Rahmân 1-3) dan al-qalam yang dibarengi dengan kemampuan al-kitâbah (menulis) (al-Qalam: 1-3). Tujuan terpenting dari kemampuan berpikir dan belajar pada manusia adalah agar manusia dapat mempelajari syariat Allah (al-Baqarah: 129), merenungi penciptaan langit dan bumi serta diri manusia sendiri (adz-Dzâriyât: 21, ath-Thâriq: 5, al-Ghâsyiyah: 18).[31] Semua instrumen itu (penglihatan, pendengaran dan hati) diberikan kepada manusia agar ia dapat berpikir dan berpandangan jernih; memperhatikan sekelilingnya dan kemudian menelitinya dengan menggunakan akal dan hati agar manusia dapat mempergunakan apa yang telah ditundukkan Allah bagi manusia. Ini berarti bahwa manusia harus mengupayakan pendidikan ilmiyah yang didasarkan pada perhatian, pembahasan, pengambilan kesimpulan dan pemikiran.[32]

Namun dibalik keunggulannya itu manusia juga memiliki banyak kelemahan diantaranya adalah: bersifat tergesa-gesa (al-Isrâ`: 11), suka membantah (al-Kahfi: 54), melampaui batas (Yûnus: 12), kikir (al-A’râf: 19), keluh kesah (al-A’râf: 20), ingkar, tidak mau bersyukur (al-‘Âdiyât: 6), pembangkang bila merasa dirinya serba cukup (al-‘Alaq:7), ditakdirkan menderita dan bersusah payah (al-Insyiqâq: 6 dan al-Balad: 4), bersifat lemah (an-Nisâ`: 28), cenderung zhalim dan kafir (Ibrâhîm: 34), bodoh (al-Ahzab: 71), gelisah, resah dan segan membantu (al-Ma’ârij: 19-21) dan sebagainya.

Pandangan ini berimplikasi bahwa pendidikan Islam adalah pendidikan yang tidak hanya mampu mempertahankan eksistensi manusia sebagai makhluk yang mulia tetapi meningkatkan lebih jauh martabat manusia hingga melampaui martabat malaikat. Karena itu pendidikan Islam harus mampu mengembangkan semua potensi positif manusia secara maksimal dan menekan semua potensi negatif manusia sampai ke titik nol.

4. Fungsi Manusia: Menjadi Khalifah dan Abdullah

Pembicaraan manusia sebagai khalifah banyak berkaitan dengan kedudukan atau fungsi manusia di alam semesta. ‘Abd al-Fattâh Jalâl menjelaskan bahwa Allah sebagai pencipta alam berkehendak untuk menciptakan manusia sebagai khalifah di bumi yang bertugas memakmurkan alam dan memikul amanah risalah. Manusia juga ditugaskan untuk melaksanakan kemaslahatan, kebaikan dan kebenaran pada setiap elemen alam. Ini hanya bisa dilakukan jika manusia selalu taat pada syariat Allah dan melaksanakan tugas (taklif) yang telah dibebankan Allah. Jika tidak, maka manusia bukannya menjadi khalifah tetapi menjadi pengikut syahwat dan menjadi perusak bumi (al-Baqarah: 30; Fâthir: 39). Sebagai khalifah, menurut Jalâl, manusia diberi tanggung jawab untuk mengurus dan memanfaatkan apa yang terdapat di bumi dan menjadi khalifah bagi sebagian manusia lainnya dalam memakmurkan bumi. Karena fungsi kekhalifahannya itu, kata Jalâl, jika sebagian manusia ada yang meningkat derajatnya menyamai sifat-sifat malaikat maka ada lagi manusia yang malah mampu melebihi malaikat, yaitu orang melaksanakan taklif Allah; setia pada syariat Allah, berusaha di jalan yang benar; menghabiskan hidupnya untuk keridhaan Allah; memperbaiki urusan umat; dan memberikan manfaat umum kepada manusia. Contoh orang seperti ini adalah para rasul. Namun manusia bisa juga jatuh martabatnya ke tingkat yang paling rendah jika ia ingkar dengan nikmat Allah dan melakukan tindakan kerusakan di bumi. Jika ia melakukan itu maka lenyaplah anugerah kekhalifahan itu darinya.[33]

Dalam bahasannya tentang makna khalifah, Abuddin Nata lebih cenderung untuk menggunakan istilah “khalâ`if dibanding “khalîfah” dalam konteks ini. Menurutnya, kalau diamati secara seksama, istilah khalîfah dalam bentuk mufrad (tunggal) yang berarti penguasa politik hanya digunakan untuk nabi-nabi, yang dalam hal ini adalah nabi Âdam as. dan tidak digunakan untuk manusia secara umum. Sedangkan untuk manusia biasa digunakan istilah khalâ`if (al-An’âm: 165) daripada kata khalîfah. Bedanya, menurut Abuddin Nata, ayat-ayat yang menggunakan khulafâ` (jamak dari khalîfah) berkaitan dengan wilayah politik sedang kata khalâ`if tidak mengesankan adanya kekuasaan politis, karena itu orang yang tidak memiliki kekuatan politik disebut khalâ`if yang pengertiannya lebih luas, yakni bukan hanya dalam arti penguasan politik tetapi juga penguasa dalam pelbagai bidang kehidupan lainnya.[34]

Selain sebagai khalifah di bumi, manusia diciptakan Allah untuk menjalankan fungsinya sebagai hamba Allah (adz-Dzariyat: 56). Sebagai hamba Allah, manusia diwajibkan beribadah kepada penciptanya dalam arti selalu tunduk dan taat pada perintah-Nya sesuai dengan petunjuk yang telah diberikannya.

Menurut Muhamiin dan Abdul Mujib, ibadah yang dilaksanakan manusia memiliki pengertian khusus dan pengertian umum. Dalam pengertian khusus, ibadah adalah melaksanakan peraturan-peraturan yang mengatur hubungan antara hamba dengan Tuhannya yang tatacaranya telah diatur secara rinci di dalam Alquran dan assunnah, sedangkan ibadah dalam arti luas adalah aktivitas yang titik tolaknya adalah ikhlas dan ditujukan untuk mencapai ridha Allah berupa amal saleh. Selanjutnya Muhaimin dan Abdul Mujib membagi ibadah dalam tiga kategori, yaitu ibadah person, ibadah antarperson dan ibadah sosial.[35]

Konsep tentang manusia sebagai khalîfah dan ‘abd Allâh ini berimplikasi bahwa pendidikan Islam harus mampu melahirkan output pendidikan yang memiliki kualifikasi sebagai khalifah yang profesional dalam mengelola alam dalam pelbagai bidang kehidupan sesuai dengan keahlian dan skillnya masing-masing, tidak hanya terbatas pada bidang politik, tetapi juga bidang-bidang kehidupan lainnya seperti ekonomi, militer, teknologi, sains, spiritual dan sebagainya. Selain memproduk “calon khalifah”, pendidikan Islam juga harus mampu memproduk para ‘abd Allâh, yang memiliki dimensi ibadah yang luas, tidak saja ibadah dalam arti khusus (mahdhah) tetapi juga dalam arti umum (ghayr mahdhah); tidak hanya dalam ibadah personal dan interpersonal, tetapi juga ibadah sosial.

5. Tanggung Jawab Manusia

Seiring dengan anugerah potensi manusia yang demikian besar, maka manusia pun memiliki tanggung jawab (mas`uliyyah) dan beban (taklif) yang besar pula berupa tanggung jawab melaksanakan syariat Allah dan ibadah. Ini adalah satu amanah yang enggan dipikul oleh seluruh makhluk lainnya (al-Ahzâb: 72-73). Sebagai makhluk yang diberi kebebasan memilih, manusia bertanggung jawab atas perbuatan baik dan jahat yang telah dipilihnya dan mendapat balasan sesuai dengan pilihannya itu di hari kiamat (al-zalzalah: 8-9). Manusia bertanggung jawab dan mendapat balasan yang sesuai terhadap penggunaan pendengaran, penglihatan dan hati (al-Isrâ`: 36); manusia juga bertanggung jawab terhadap usia, masa muda, harta, ilmu dan fisiknya sebagaimana yang disebut dalam hadis Nabi.[36] Semua tanggung jawab ini untuk mendidik manusia agar ia selalu waspada, menjaga diri dan menjauhi hal-hal yang menjerumuskan; tidak tunduk pada hawa nafsu; menjauhi perbuatan zalim dan tirani; dan istiqâmah dalam setiap perilakunya dan urusannya.[37] Tanggung jawab tertinggi manusia dari semua tanggung jawab itu adalah beribadah kepada Allah dan mentauhidkan-Nya yakni dengan cara ikhlas beribadah semata hanya kepada-Nya (adz-Dzâriyât: 56 dan al-Jin: 18).[38]

Konsep ini berimplikasi bahwa pendidikan Islam harus mampu menanamkan semangat responsibilitas (tanggung jawab) dan sikap amanah terhadap tanggung jawab apapun yang dipikulkan dipundak manusia. Kesadaran bertanggung jawab itu, tidak hanya terbatas pada kesadaran akan tanggung jawab pada diri sendiri dan manusia, tetapi lebih tinggi lagi kesadaran bertanggung jawab kepada Allah yang pada hakikatnya Dia-lah pemberi amanah yang sesungguhnya kepada manusia.

C. DASAR FILOSOFIS PENDIDIKAN ISLAM TENTANG ALAM

1. Alam adalah Ciptaan Allah dan kitab Allah dalam bentuk lain

Menurut an-Nahlawî, keistimewaan pandangan Islam tentang alam adalah ia tidak melihat alam semata-mata hanya menggunakan akal, tetapi juga melibatkan perasaan manusia, yakni menggerakkan perasaan manusia untuk merasakan keagungan Allah; kekerdilan manusia dihadapan-Nya dan keniscayaan untuk tunduk kepada-Nya. Semua yang ada di alam menjadi argumen rasional-faktual yang tegas mengindikasikan keesaan ketuhanan Allah di seluruh alam. Alam ini diciptakan dengan tujuan-tujuan tertentu, bukan karena faktor untuk bermain-bermain atau melakukan kesia-siaan yang tak berguna (ad-Dukhân: 38-39; al-Ahqâf: 3). Perenungan terhadap ciptaan Allah akan menggerakkan perasaan (lembut) manusia, memberi pemahaman dan mendorong manusia untuk beribadah dan mentauhidkan Allah.[39]

Implikasi pendidikan yang ingin ditanamkan pada perspektif Islam tentang alam, menurut an-Nahlawî di antaranya adalah (1) menciptakan hubungan yang erat seorang Muslim dengan Tuhannya dan mengingatkan bahwa tujuan tertinggi dari kehidupan ini adalah beribadah kepada Allah, dan (2) mendidik manusia untuk bersungguh-sungguh, karena alam ini seluruhnya ditegakkan berdasarkan atas kebenaran (al-haqq) dan diwujudkan untuk tujuan yang jelas serta memiliki batas tertentu di sisi Allah. Alam tidak diciptakan untuk bersenda gurau dan berlaku sia-sia (al-Anbiyâ`: 16-17). Ini mengajarkan manusia untuk meneliti tentang tujuan dari realitas alam ini dan menjauhkan dari berpikir tentang hal-hal yang melalaikan, main-main dan sia-sia; dan juga mengajarkan untuk merenungi alam ini dengan renungan yang logis dan ilmiah.[40]

Menurut al-Attas, alam ini adalah bentuk lain dari wahyu Tuhan, sama halnya dengan Alquran. Perbedaannya terletak pada keadaan bahwa alam yang terkembang merupakan sesuatu yang diciptakan; ia tampil dalam pelbagai bentuk yang berbeda-beda, yang berfungsi sebagai simbol wujud yang secara kontinu diartikulasikan melalui Kalam yang kreatif. Jika ayat Alquran terdiri dari ayat-ayat yang berarti tanda-tanda maka alam juga merupakan “buku” yang berisi tanda-tanda.[41]

Namun, menurut al-Attas, memahami fenomena alam lebih sulit karena tanda-tandanya sangat kabur dan tidak mudah dicerna. Al-Attas membuat perbandingan antara memahami kitab yang tertulis (Alquran) dan kitab Tuhan yang terbuka (alam); ia menggaris bawahi bahwa tujuan sebenarnya dari membaca kedua kitab itu adalah untuk memahami tanda-tandanya, yang pada satu pihak (Alquran) dalam bentuk perkataan dan alam pada pihak lain dalam bentuk fenomena alam. Jika pada pembacaan Alquran hanya terfokus pada aspek-aspek fisikal dari Kitab, seperti tinta, huruf, kata dan kertas, tetapi melupakan maksud dari kata, kalimat dan kandungannya sesungguhnya seseorang telah kehilangan tujuan dari membaca Kitab (Alquran) itu, karena tak satupun ilmu yang dapat diperoleh dengan cara tersebut. Alam ini juga ibarat kitab yang maknanya hanya bisa dipahami oleh mereka yang dibekali ilmu pengetahuan yang sesuai, yakni hikmah dan intuisi spiritual. Al-Attas sering mangatakan bahwa di antara objek-objek alam, ada yang memiliki makna yang bisa ditangkap dengan jelas, sama halnya dengan ayat-ayat muhkamât yang terdapat dalam Alquran dan ada yang memiliki makna yang ambigu (mutasyâbihât). Pemahaman dan penerjemahan yang dilakukan terhadap tanda-tanda di alam ini haruslah berdasarkan metode yang valid sebagaimana orang dalam menerjemahkan dan menafsirkan Alquran. Kesimpulannya, menurut Al-Attas, sains adalah sejenis takwil atau terjemahan alegoris terhadap segala sesuatu yang empiris pada alam natural.[42] Orang-orang yang mampu memahami tanda-tanda itu menurut Al-Attas hanyalah orang-orang beradab yakni orang yang memiliki intelektualitas, etika, dan disiplin spiritualitas.[43]

2. Ketundukkan Alam terhadap Sunnatullah

Alam ini ditundukkan oleh Allah dengan sunnah (hukum alam) yang telah ditetapkan-Nya dengan qadar-qadar yang telah ditetapkan-Nya (Yâsîn: 37-40; al-Hijr: 19-21). Perputaran matahari dan bulan tidak menyimpang dan pergantian muslim tidak berbenturan, tetapi semuanya berjalan sesuai dengan sunnah dan ukuran-ukuran yang telah ditetapkan Allah bagi alam. Demikian pula Allah telah menjadikan kehidupan di bumi sesuai dengan qadar yang ditentukan-Nya. Allah telah mengajarkan manusia tentang perhitungan waktu dengan pergantian siang dan malam dan menetapkan pembagian musim, dan hitungan bulan qamariyah.[44]

Ini juga mengajarkan dua hal kepada manusia: (1) perulangan peristiwa-peristiwa alam merupakan sunnah yang telah ditetapkan Allah (sunnatullah), Allah-lah yang memiliki kekuasaan untuk merubahnya jika Ia mau. Sunnatullah inilah yang menjadi dasar seluruh bangunan undang-undang ilmiah; menjadi dasar berpikir ilmiah yang dengan berpikir ilmiah itu telah membuka dan menciptakan setiap peradaban yang tak pernah ada sebelumnya. (2) Bahwa sunnah alam ini dan semua peristiwa, realitas dan kondisinya dari atom yang kecil hingga benda yang terbesar adalah diciptakan dan dijalankan Allah atau diturunkan dengan ketetapan yang diketahui, tidak lebih dan tidak kurang. Tidak sesuatupun yang melampaui batas-batas yang telah ditetapkan-Nya.[45]

3. Seluruh alam berjalan berdasarkan kudrat Allah dan tunduk kepada Allah

Allah mengatur sunnah alam dan senantiasa mengurus dan menjalankan urusan-Nya di alam (al-Hâjj: 65; Fâthir: 41; ar-Rûm: 25; al-Sajadah: 5). Manusia hanyalah bagian kecil dari alam, karena itu manusia wajib untuk tunduk dalam segala keadaannya, hidupnya dan matinya terhadap ketetapan Allah yang Maha Agung dan Maha Mengetahui (al-`An’âm: 61). Sebab alam ini tunduk kepada Allah, yakni tunduk kepada sistem-Nya, perintah-Nya, keinginan dan kehendak-Nya, sebagaimana telah dijelaskan Allah di beberapa tempat dalam Alquran (al-Baqarah: 116-117; al-Isrâ`: 33). Aspek pendidikan yang dapat diambil dalam hal ini adalah jika setiap makhluk dan benda mati di alam ini tunduk kepada pencipta-Nya; bersaksi atas keagungan dan kesucian Allah dari segala kekurangan, maka sepantasnyalah manusia yang memiliki akal—yang mampu berpikir untuk mengenal Tuhannya melalui nikmat dan karunia-Nya—untuk lebih tunduk kepada Allah; merasakan keagungan-Nya; bertasbih dan bertahmid dan bertaqdis kepada Allah. Inilah, menurut an-Nahlâwî, kesimpulan pendidikan terpenting yang lahir dari konsep alam dan keistimewaannya yang dikemukakan oleh Islam.[46]

4. Alam ditundukkan Allah bagi manusia

Keistimewaan agama Islam tentang manusia dan hubungannya dengan alam adalah Islam menjadikan manusia sebagai pengelola alam sekitarnya dan memberi kekuasaan kepada manusia atas alam berdasarkan izin Allah karena Allah menundukkan alam bagi manusia mulai dari benda terbesar yang berpengaruh besar bagi kehidupan manusia seperti matahari sampai benda kecil yang bermanfaat bagi manusia seperti lebah dan atom (ibrâhîm: 32-34; al-Baqarah: 29; an-Nahl: 12-14). Ajaran Alquran dengan amtsal-nya tentang masalah ini mengandung aspek pendidikan seperti melembutkan hati manusia; mendidik hati dan perilaku manusia untuk tunduk kepada Allah; merasakan karunia, pertolongan, rahmat dan kelembutan Allah; mendorong manusia untuk memuji, bersyukur, bertasbih dan mentauhidkan-Nya. Juga mendidik akal manusia berdasarkan ilmiah-amaliyah.[47]

Pada aspek ilmiah, sosial dan peradaban, ayat-ayat Alquran (tentang alam) yang diturunkan 14 abad yang lalu menekankan bahwa manusia dapat mengelola panas matahari yang telah ditundukkan Allah; dapat mengelola sinar bulan, angin, bintang, sungai, gunung, laut dan segala sesuatu yang ditundukkan Allah bagi manusia dan menjadikan kunci (menyingkap alam itu) di tangan manusia. Sedang pada aspek pendidikan, Alquran mengajarkan manusia untuk tidak melakukan tirani di alam; tidak melampuai batas dalam mengelola alam; tidak mencemari air sungai; tidak membunuh habitat laut; tidak menggunakan nikmat Allah untuk menumpahkan darah dan menyebar kerusakan; tidak menzalimi sesamanya yang menimbulkan pemberontakan dan permusuhan atau melakukan dosa dan kebohongan.[48]

Manusia dalam pandangan Islam adalah pengelola alam yang ditundukkan Allah berdasarkan nama Allah dan perintah-Nya serta tetap dalam batas-batas syariat Allah. Allah tidak menyukai kerusakan dan tidak membolehkan kezaliman dan permusuhan, tetapi Ia menyeru kepada keadilan di antara sesama manusia, saling berkasih sayang, saling melengkapi dan saling menolong. Jika manusia menyebut nama Allah dalam setiap perilakunya dan pada setiap apa saja yang ia lakukan maka jadilah perilakunya itu sebagai teladan dan jauh dari setiap sikap tirani, permusuhan, kerusakan, dan kebohongan.[49]

Ditundukkannya alam bagi manusia adalah salah satu implikasi dari fungsi kekhalifahan manusia di bumi. Karenanya merupakan tanggung jawab moral manusia untuk mengolah dan memanfaatkan sumber-sumber yang tersedia di alam ini guna memenuhi keperluan hidupnya. Demikian pula perlu disadari bahwa kewenangan manusia untuk memanfaatkan alam semesta harus didasarkan kepada garis yang telah ditetapkan Allah SWT dan tidak boleh menyalahinya. Seperti tidak boleh merusak alam, tidak boleh mengeksploitasinya untuk kepentingan individu atau golongan, tidak boleh memanfaatkannya secara berlebihan dan hal-hal destruktif lainnya.[50]

Implikasi dari pandangan Islam tentang hakikat alam adalah, pendidikan Islam harus menyajikan tiga aspek penting:

Pertama, alam dan fenomenanya harus ditampilkan sebagai “kitab terbuka” atau wahyu Allah yang tak tertulis. Artinya, membaca fenomena alam dengan menggunakan sains sebagai kacamata bacanya pada hakikatnya sama artinya membaca ayat-ayat Allah di alam dan membaca sunnatullah-Nya. Kalau memahami Alquran harus menggunakan tafsir dan takwil, maka membaca fenomena alam harus menggunakan sains sebagai tafsirnya. Cara membaca fenomena alam, baik dalam bentuk perenungan, pengamatan mauupun penelitian dalam pendidikan Islam harus berbeda dengan cara baca orang-orang yang sekuler yang tidak melibatkan aspek spiritual dan tidak melibatkan Tuhan dalam meneliti alam semesta, karena dalam pendidikan Islam membaca fenomena alam harus melibatkan intelektualitas, etika, dan disiplin spiritualitas yang berlandaskan semangat ilmiah dan kesadaran ketuhanan.

Kedua, Pendidikan Islam harus mampu melahirkan output pendidikan yang profesional dalam mengelola alam; memiliki tanggung jawab spiritual kepada Tuhan sang Pencipta alam; anti melakukan perusakan, tirani dan eksploitasi berlebihan terhadap alam; memandang alam sebagai karunia yang harus disyukuri dan diperlakukan dengan baik; dan menyadari bahwa hubungan alam dengan dirinya bukan hubungan antara penakluk dan yang ditaklukkan tetapi antara hubungan segi tiga antara orang yang menanggung amanah (manusia), yang diamanahi (alam) dan pemberi amanah (Allah). Semua tindakan di alam harus berjalan di atas garis-garis yang telah ditetapkan sang Pencipta.

Ketiga, dalam pendidikan Islam, perbincangan tentang alam tidak saja menghasilkan sains atau semata-mata sains, tetapi juga melahirkan ketawadhuan, kesyukuran, ketundukkan, ketauhidan dan nilai-nilai spiritual lainnya yang mampu menembus realitas dibalik fenomena alam yang nampak. Yakni sains yang tidak lepas dari nilai-nilai ilahiyah dan nilai-nilai kemanusiaan.

D. DASAR FILOSOFIS PENDIDIKAN ISLAM TENTANG KEHIDUPAN

1. Pandangan optimistik dan pesimistik tentang kehidupan

Menurut Nurcholish Madjid, tidak sedikit kalangan pemikir yang berpandangan bahwa hidup ini tidak bermakna dan tidak pula bertujuan. Bahkan kaum pesimistik berpandangan bahwa hidup ini tidak saja tidak bermakna dan tidak bertujuan tetapi juga penuh kesengsaraan, sehingga mati menurut mereka lebih baik daripada hidup. Menurut mereka hidup ini hanyalah proses pasti menuju tragedi (kematian). Jadi hidup adalah kesengsaraan. Sehingga Darrow mengatakan bahwa hidup adalah “guyon yang mengerikan” (awful joke) dan Tolstoy melihat hidup sebagai “tipuan dungu” (stupid fraud). Implikasi dari pandangan ini kaum pesimistik berpandangan bahwa tidak ada makna dan tujuan hidup serta tidak ada kebahagiaan yang sejati. Setiap gambaran tentang kebahagiaan adalah palsu, sebab kebahagiaan itu sendiri adalah palsu. Karena kebahagiaan adalah semu dan palsu maka manusia adalah makhluk sengsara. Kalaupun ada orang yang bahagia jumlahnya pasti sedikit dan tidak langgeng. Malah kebahagiaan yang tidak langgeng itu sebenarnya adalah sumber kesengsaraan orang banyak karena bisa jadi dicapai dengan cara “memeras” orang banyak. Semboyan kaum pesimistik ini adalah “ segala yang lalu telah tiada, segala yang akan datang belum terjadi dan segala yang sedang terjadi tidak memadai, artinya merindukan masa lampau adalah sia-sia, memimpikan masa depan adalah impian belaka dan menjalani kehidupan sekarang tidak cukup menarik karena keberadaan kita di dunia ini hanyalah kebetulan belaka, tanpa makna dan tujuan hidup, bahkan tanpa hal-hal yang benar-benar menyenangkan.[51]

Berbeda dengan kaum pesimisme, kaum positivisme memandang hidup ini cukup berharga (worthwhile) dan memandang tidak masuk akal kalau kematian itu lebih berharga daripada kehidupan. Mereka membalikkan argumen kaum pesimisme. Jika benar kematian itu lebih tragis dan menakutkan, maka memandang mati lebih baik daripada hidup adalah suatu kontradiksi. Jika mati lebih baik daripada hidup maka premisya seharusnya berbunyi bahwa mati lebih menyenangkan atau kurang menakutkan daripada hidup. Kalau mati disebut kesengsaraan dan pembunuhan adalah suatu kejahatan maka logisnya adalah hidup bagaimanapun lebih baik daripada kematian. Karena itu, menurut kaum positivisme tidak ada seorang pun yang tidak mempunyai makna dan tujuan hidup. Sebab setiap orang mempunyai tujuan berharga yang diperjuangkan untuk diwujudkan. Maka hidup ini cukup berharga, dan kenyataannya adalah bahwa hampir setiap orang berjuang untuk mempertahankan dan meningkatkan taraf hidupnya, biar pun ia mungkin merasa sengsara hidup di dunia. Namun adanya harapan di hati menjadi penyangga kekuatan jiwanya untuk tetap hidup, kalau dapat selama mungkin, di dunia ini.[52]

Menurut Nurcholish Madjid, hidup ini adalah berharga secara instrinsik, artinya ia berharga karena dirinya sendiri. Karena itu sesungguhnya tidak relevan untuk menanyakan apakah hidup itu lebih berharga daripada mati, sebab pertanyaan itu mengisyaratkan komparasi antara kehidupan dan kematian sementara tak seorang pun yang pernah mengalami kematian secara sadar dapat membandingkan dengan kehidupannya sendiri. Hidup ini bukanlah suatu lingkaran tertutup yang tanpa ujung dan pangkal. Kehidupan berpangkal dari sesuatu dan berujung kepada sesuatu, yaitu berpangkal dari Tuhan dan berujung kepada Tuhan sebagai pencipta dan pemberi kehidupan. Karena itu tujuan hidup manusia adalah Tuhan. Arti dan makna hidup ditemukan dalam usaha kita “bertemu” dan “mencari wajah” Tuhan, dengan harapan memperoleh ridha Tuhan sedang tujuan hidup kosmis ia memperoleh kebahagiaan sejati dalam hidup sesudah mati. Kematian bukanlah akhir segala-galanya; khususnya bukan akhir dari pengalaman manusia tentang kebahagiaan dan kesengsaraan karena kematian adalah suatu peristiwa peralihan (transitory), yang mengawali pengalaman kebahagiaan dan kesengsaraan yang hakiki.[53]

2. Kehidupan dan kematian diciptakan sebagai periode kompetisi manusia untuk menjadi yang terbaik

Dalam pandangan Islam, terciptanya kehidupan dan kematian di dunia memiliki tujuan-tujuan tertentu. Kehidupan dan kematian diciptakan oleh Allah misalnya dapat ditemukan jawabannya pada pernyataan Allah dalam al-Mulk: 2 (artinya): Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa diantara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.[54] Ayat ini jelas menunjukkan bahwa terciptanya kehidupan dan kematian adalah untuk melihat dan menguji siapa di antara manusia yang terbaik amalnya. Artinya kehidupan dan kematian diciptakan oleh Allah sebagai periode kompetisi manusia mencapai prestasi hidup untuk menjadi yang terbaik di antara manusia lainnya. Bahkan di tempat lain, pada QS. Hûd: 7, Allah menyatakan bahwa diciptakannya langit dan bumi bertujuan untuk menguji manusia siapakah di antara mereka yang terbaik amalnya: (artinya): Dan Dia-lah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam hari, dan adalah ‘Arsy-Nya di atas air, agar Dia menguji siapakah diantara kamu yang lebih baik amalnya.[55] Dari dua ayat ini menunjukkan dengan tegas bahwa hakikat kehidupan ini adalah periode dan tempat ujian untuk berkompetisi menggapai prestasi (amal) kehidupan yang terbaik atau menggapai kualitas hidup yang terbaik. Karena itu, hidup ini adalah dinamis dan positif, tiada henti untuk berprestasi untuk menjadi yang terbaik sampai batas kehidupan berakhir pada kematian. Tiada kata malas, mundur, menyerah dan frustasi, dalam kondisi apapun manusia harus tetap menampilkan amal terbaiknya walaupun hanya pada gerak hatinya. sebab keputusan final prestasi kehidupan ini ada ditangan Allah yang akan diumumkan di akhirat. Karena itu semua aktivitas kehidupan manusia hanyalah diabdikan kepada Allah sebagaimana di antara doa yang sering dibaca dalam salat: sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah.

3. Sifat-sifat kehidupan dunia

Setelah mengemukakan beberapa ayat Alquran An-Nahlawî menyimpulkan sifat-sifat kehidupan ini sebagai berikut:

  1. kehidupan dunia hanyalah kesenangan sementara, tempat perlintasan dan instrumen untuk menuju kehidupan akhirat; karena itu tidak boleh dijadikan sebagai tujuan kehidupan. Menjadikan dunia sebagai puncak kehidupan dan tujuan akhir akan melalaikan dan membuat manusia lupa terhadap tujuan penciptaan dunia, yang sebenarnya hanyalah tempat ujian manusia. Tempat kehidupan yang sejati (dâr al-baqâ`) adalah akhirat, sedang dunia hanyalah wadah kehidupan yang akan lenyap (dâr al-fanâ`)
  2. Kehidupan dunia penuh dengan hiasan indah (az-zînah) dan perhiasan (az-zukhruf), syahwat serta pelbagai kelezatan (al-muladzdzât) yang pada hakikatnya menjadi bagian instrumen dunia yang menambah sempurnanya (dan beratnya) ujian dan cobaan kepada manusia (Hûd: 15-16; Âli ‘Imrân: 14).
  3. Seorang muslim tidak saja boleh menikmati dunia bahkan memiliki hak penuh untuk menikmati kehidupan dunia asal sesuai dengan ketentuan syariah (al-Qashash: 77dan al-A’râf: 32). Dalam hal ini Muslim dapat menikmati dunia sebagaimana orang-orang kafir dan mulhid, tetapi dengan syarat bahwa hal itu tidak melalaikannya dari ketaatan kepada Allah. Yakni seorang muslim harus menggunakan dunia untuk kepentingan kehidupan akhirat dan menundukkan dunia untuk kepentingan melaksanakan ketaatan kepada Allah; seorang muslim boleh menikmati harta sembari digunakannya untuk membayar zakat; dapat menikmati memperoleh anak guna dididiknya menjadi hamba yang taat kepada Allah dan syariat-Nya; demikianlah seterusnya seorang muslim boleh menikmati apa saja yang dibolehkan oleh syara’ dan dengan tujuan yang dibenarkan oleh syara pula.
  4. Dunia ini memiliki tatanan sosial dan tatanan kemanusiaan yang telah ditradisikan oleh Allah (sunnatullah) di antara pelbagai bangsa dan umat. Siapapun yang berusaha di dunia maka hasil usahanya akan diperoleh secara penuh di dunia; dan siapapun yang menundukkan dunia karena mencari ridha Allah maka ia akan beruntung di dunia dan akhirat.
  5. Masa kehidupan dunia ini sangat singkat; tidak dapat dibandingkan dengan masa kehidupan akhirat bahkan tidak sebanding dengan satu jam atau satu hari waktu akhirat (Thâhâ: 102-104).
  6. Kehidupan dunia ini adalah tempat berusaha dengan segala keletihan, kepayahan dan kesungguhannya (al-Insyiqâq: 6).
  7. Allah akan menolong orang-orang beriman baik pada kehidupan dunia maupunb kehidupan akhirat. Karena itu kehidupan dunia tidaklah semata-mata tempat penampakan kekafiran dan kerusakan tetapi juga tempat penampakan keimanan dan kebaikan dengan pertolongan Allah (Ghâfir: 51).
  8. Kehidupan dunia adalah tempat permainan (la’ib), kelalaian (lahw), perhiasan (zînah), saling membanggakan (tafâkhur) dan perlombaan untuk menjadi yang “terbanyak” (takâtsur) dari segi harta dan anak-anak (al-Hadîd: 20 dan at-Takâtsur: 1-2).[56]

Aspek pendidikan yang bisa dipetik dari sifat-sifat dunia itu, menurut an-Nahlâwî, adalah: pertama, seorang muslim jangan sampai tertipu oleh kehidupan dunia atau lalai dengan tujuan kehidupan sesungguhnya untuk beramal di dalamnya. Karena kehidupan ini adalah ujian dan bersifat sementara maka seharusnya yang ada pada diri seorang muslim hanyalah kesungguhan, kewaspadaan dan kesabaran terhadap kesulitan hidup. Seorang muslim adalah seorang petualang pemberani yang ambisinya tidak terhenti pada batas tertentu, tetapi tujuan hidupnya jauh melampaui tujuan kehidupan dunia yang dekat ini yakni kehidupan akhirat. Kedua, seorang muslim jangan mengharamkan atas dirinya kekayaan dunia yang baik-baik; bahkan seorang muslim seharusnya menikmati harta benda duniawi dimana dengan harta benda itu pula ia melaksanakan ibadah kepada Allah. Dibalik kenikmatan duniawi itu ia mengarahkan tujuan penggunaannya untuk mencari ridha Allah. Ketiga, bersabar terhadap cobaan dan kesempitan kehidupan dunia, karena seorang muslim telah terlebih mengenali bahwa kehidupan ini adalah tempat bekerja keras dan tempat cobaan. Karena itu ia tidak boleh putus asa, tetapi tetap bersabar dan menyiapkan dirinya untuk berjihad. Keempat, Setiap pribadi muslim dan masyarakat harus mengerahkan kemampuannya untuk memerangi setiap musuh-musuhnya yakni mengalahkan musuh-musuh kebajikan dan kebaikan baik dari golongan jin maupun manusia. Karena ia tahu bahwa Allah akan menolong orang-orang beriman, jika mereka mewujudkan iman mereka dalam perilaku mereka; mengikuti Kitab-Nya dan Rasul-Nya, serta menjadikannya sebagai basis kekuatan, keperkasaan dan pertahanan sebagaimana yang telah diperintahkan Allah.[57]

Implikasi dari pandangan di atas adalah bahwa pendidikan Islam harus menanamkan sikap positif terhadap hidup yakni: memandang hidup punya makna dan tujuan, memandang hidup sebagai kesempatan menjadi yang terbaik dengan mengutamakan kualitas; memiliki tujuan hidup untuk mencari ridha Allah; memandang hidup sebagai perjalanan menuju Allah; memandang bahwa kehidupan dan masa depan sejati adalah akhirat; memandang bahwa kebahagiaan tidak hanya diraih akhirat tetapi juga harus diraih di dunia; memandang kenikmatan dunia dengan positif, bahwa sebagai muslim ia halal dan berhak untuk menikmati serta hidup bahagia dunia ini; bersikap mawas diri terhadap jerat dunia agar tidak terjebak dalam pesona dunia yang penuh permainan, kelalaian, perhiasan, kebanggaan dan perlombaan duniawi; memandang kebenaran sebagai pilihan hidup dan kejahatan adalah musuh kehidupan; dan sebagainya.

E. PENUTUP

Menurut perspektif Islam, manusia adalah makhluk yang mulia dan memiliki bentuk yang terbaik di alam. Manusia memiliki dimensi yang sempurna dari dimensi fisik-biologis sampai dimensi spiritual-transendentalnya. Manusia memiliki enam dimensi utama yaitu: fisik-indrawi, nafsu, akal, hati, ruh dan fithrah yang kemudian dibekali dengan sejumlah kelebihan berupa sejumlah potensi psikis yang tiada terhingga dan pemberian hidayah (terutama hidayah agama dan hidayah tawfîqî/ ma’ûnah). Manusia memiliki kedudukan yang terhormat di alam yaitu sebagai khalifah fî al-ardh (pengelola alam dalam pelbagai aspek kehidupan) dan sebagai ‘abd al-Allâh yang memiliki dimensi ibadah yang luas. Namun dibalik segudang kelebihan itu, manusia juga memiliki sejumlah kelemahan yang bisa saja menjatuhkan martabatnya ketitik terendah bahkan lebih sesat dari binatang. Pandangan ini berimplikasi bahwa pendidikan Islam memiliki tugas berat untuk mengembangkan semua potensi dan dimensi positif manusia secara konprehensif dan menekan seminimal mungkin potensi negatif manusia. Pendidikan Islam juga harus mampu menumbuhkan kecerdasan intelektual, kecerdasan emosional, kecerdasan spiritual dan keterampilan fisikal dalam diri setiap insan secara seimbang dan komprehensif.

Menurut perspektif Islam, alam adalah “kitab terbuka” yang berisi tanda-tanda (âyât) yang pada hakikatnya adalah “wahyu” Tuhan dalam bentuk lain yang diciptakan dalam bentuk yang sangat beragam. Alam tunduk kepada aturan yang telah ditetapkan oleh Allah (sunnatullah) dan juga ditundukkan untuk kepentingan manusia yang diberi amanah untuk mengelolanya. Pandangan ini berimplikasi bahwa pendidikan Islam harus melahirkan output yang memiliki profesionalisme dalam mengelola alam dan memiliki kcerdasan dalam membaca fenomena alam (sunnatullah) sebagai âyât Allah yang terbentang luas tak terhingga di mana diri manusia juga menjadi bagiannya.

Dalam perspektif Islam, walaupun kehidupan duniawi bersifat sementara namun kehidupan ini memiliki makna dan tujuan positif. Kehidupan adalah ujian untuk menjadi yang terbaik, yaitu menjadi manusia yang paling baik mutu amalnya dalam pelbagai bidang kehidupan dengan menggunakan dunia sebagai instrumennya. Selain itu, visi kehidupan tidak hanya terhenti pada kebahagiaan dunia, tetapi visi kehidupan merambah jauh ke depan yaitu meraih kebahagiaan yang sejati di akhirat tanpa mengabaikan kebahagiaan dunia walaupun nilainya jauh lebih kecil dibanding kebahagiaan akhirat. Agar tidak gagal dalam meraih visi kehidupan sejati itu, manusia harus waspada terhadap jerat-jerat kehidupan dunia berupa la’ib, lahw, zînah, tafâkhur dan takâtsur yang dapat melalaikan manusia dari tujuan hidup sebenarnya. Implikasinya bagi pendidikan Islam adalah bahwa pendidikan Islam harus dapat menanamkan sikap positif terhadap makna dan tujuan hidup; menanamkan visi kehidupan yang jauh ke depan; menanamkan sikap waspada terhadap jerat-jerat kehidupan dunia dan menanamkan sikap dan semangat berkompetisi secara positif untuk menjadi manusia yang terbaik dalam semua aspek kehidupan.

DAFTAR PUSTAKA

‘Abd al-Fattâh al-Jalâl, Min al-Ushûl at-Tarbiyah fî al-Islâm, 1977

Abdurahhman Saleh Abdullah, Teori-teori Pendidikan Berdasarkan Al-Qur’an, (Jakarta: Rineka Cipta, 2005

‘Abd ar-Rahmân an-Nahlâwî, Ushûl al-Tarbiyah al-Islâmiyyah wa Asâlîbuhâ fî al-Bayt, wa al-Madrasah wa al-Mujtama`, Beirut: Dâr al-Fikr, 1979M.

Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997.

Al-Rasyidin dan Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Ciputat Press, 2005.

Baharuddin, Paradigma Psikologi Islami: Studi tentang Elemen Psikologi dari Alquran, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004

Choiruddin Hadhiri, Klasifikasi Kandungan Al-Qur`an, Jakarta, Gema Insani Press, 1995.

Jalaluddin, Teologi Pendidikan, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003.

Muhaimin et. al., Paradigma Pendidikan Islam:Upaya Mengefektifkan PAI di Sekolah, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2004.

Muhaimin dan Abdul Mujib, Pemikiran Pendidikan Islam (Kajian Filosofis dan Kerangka Dasar Operasionalisasinya), (Bandung: Trigenda Karya, 1993.

Nurcholish Madjid, Islam: Doktrin dan Peradaban, (Jakarta: Paramadina, 1995.

Omar Muhammad al-Toumy al-Syaibany, Falsafah Pendidikan Islam, diterjemahkan oleh Hasan Langgulung dari Falsafah at-Tarbiyah al-Islâmiyyah, Jakarta: Bulan Bintang, 1979.

Quraish Shihab, Wawasan Al-Quran: Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat, Bandung: Mizan, 1996.

Tim Penerjemah Depag RI, Al-Quran dan Terjemahnya, (Saudi Arabia: Mujamma’ al-Malik Fahd li Thibâ’ah al-Mushhaf asy-Syarîf, 1420 H.

Widodo Supriyono, “Filsafat Manusia dalam Islam”, dalam M. Chabib Thoha et. al (ed), Reformulasi Filsafat Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996.

Wan Mohd Nor Wan Daud, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed M. Naquib Al-Attas, Diterjemahkan dari The Educational philosophy and Practice of Syed M. Naquib Al-Attas oleh Hamid Fahmi et. al., (Bandung: Mizan, 2003.



[1] Jalaluddin, Teologi Pendidikan, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003), h. 17.

[2] Abdurahhman Saleh Abdullah, Teori-teori Pendidikan Berdasarkan Al-Qur’an, (Jakarta: Rineka Cipta, 2005), h. 61.

[3] Ibid.

[4] M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Quran: Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat, (Bandung: Mizan, 1996), h. 278.

[5] Baharuddin, Paradigma Psikologi Islami: Studi tentang Elemen Psikologi dari Alquran, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), h. 69.

[6] Ibid., h. 74.

[7] Ibid., 76

[8] Ibid., 82.

[9] M. Quraish Shihab, Op. Cit., h. 280.

[10] Baharuddin, Op. Cit., 88

[11] Ibid., h. 90.

[12] ‘Abd ar-Rahmân an-Nahlâwî, Ushûl al-Tarbiyah al-Islâmiyyah wa Asâlîbuhâ fî al-Bayt, wa al-Madrasah wa al-Mujtama`, (Beirut: Dâr al-Fikr, 1979), h. 30.

[13] Ibid.,h, 30-31.

[14] Omar Muhammad al-Toumy al-Syaibany, Falsafah Pendidikan Islam, diterjemahkan oleh Hasan Langgulung dari Falsafah at-Tarbiyah al-Islâmiyyah, Jakarta: Bulan Bintang, 1979, h. 130.

[15] ‘Abd al-Fattâh al-Jalâl, Min al-Ushûl at-Tarbiyah fî al-Islâm, 1977, h. 33. Lihat penjelasan lebih luas masing-masing unsur itu pada halaman 34-42.

[16] Lihat Baharuddin, Op. Cit., h. 159-172.

[17] Ibid., h. 160-161.

[18] Ibid., 163.

[19] Ibid., h. 164.

[20] Ibid., h. 166-167.

[21] Ibid., h. 166-167.

[22] Ibid., h. 168-169.

[23] Ibid., h. 169-170.

[24] Ibid., h. 170.

[25] Ibid., h. 170-172.

[26] Dikutip dan diberi sedikit tambahan dari Baharuddin, Ibid.,h. 242.

[27] An-Nahlâwî, Op. Cit., h. 32.

[28] Widodo Supriyono, “Filsafat Manusia dalam Islam”, dalam M. Chabib Thoha et. al (ed), Reformulasi Filsafat Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), h. 179-181.

[29] Muhaimin et. al., Paradigma Pendidikan Islam:Upaya Mengefektifkan PAI di Sekolah, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2004), h. 14.

[30] An-Nahlâwî, Op. Cit., h. 32-33.

[31] Ibid., h. 33-34

[32] Ibid., h. 35.

[33] Abd al-Fattâh Jalâl, Op. Cit., h. 26-27.

[34] Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), h. 36-37.

[35] Muhaimin dan Abdul Mujib, Pemikiran Pendidikan Islam (Kajian Filosofis dan Kerangka Dasar Operasionalisasinya), (Bandung: Trigenda Karya, 1993), h. 59-60.

[36] An-Nahlâwî, Op. Cit., h. 35-36.

[37] Ibid.,, 36.

[38] Ibid.,, 36.

[39] Ibid., h. 37.

[40] Ibid., h. 37-38.

[41] Wan Mohd Nor Wan Daud, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed M. Naquib Al-Attas, Diterjemahkan dari The Educational philosophy and Practice of Syed M. Naquib Al-Attas oleh Hamid Fahmi et. al., (Bandung: Mizan, 2003), h. 105.

[42] Ibid., h. 108-109.

[43] Ibid., 106.

[44] An-Nahlâwî, Op. Cit., h. 38-39.

[45] Ibid., h. 39-40.

[46] Ibid., h. 40-41.

[47] Ibid., h. 42-43.

[48] Ibid., h. 43.

[49] Ibid., h. 43.

[50] Al-Rasyidin dan Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Ciputat Press, 2005), h. 18-19.

[51] Nurcholish Madjid, Islam: Doktrin dan Peradaban, (Jakarta: Paramadina, 1995), h. 19-22.

[52] Ibid., h. 23-25.

[53] Ibid., h. 26-29.

[54] Tim Penerjemah Depag RI, Al-Quran dan Terjemahnya, (Saudi Arabia: Mujamma’ al-Malik Fahd li Thibâ’ah al-Mushhaf asy-Syarîf, 1420 H), h. 955.

[55] Ibid., h. 327. Tim Penerjemah Depag memberikan catatan tentang maksud ayat ini yaitu: Maksudnya: Allah menjadikan langit dan bumi untuk tempat berdiam makhluk-Nya serta tempat berusaha dan beramal, agar nyata di antara mereka siapa yang taat dan patuh kepada Allah (lihat catatan kaki no. 711).

[56] An-Nahlawî, Op. Cit., h. 47-49.

[57] Ibid., h. 49.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar