Rabu, 07 Januari 2009

Al-Farabi

TEORI EMANASI AL-FÂRÂBÎ

A. Pendahuluan

Konsekuensi dari ekspansi Islam yang luar biasa pada masa al-Khulafâ` al-Râsyidûn, Dinasti Umayyah dan Dinasti ‘Abbâsiyyah adalah bertemunya umat Islam dengan tradisi atau peradaban lain yang asing bagi mereka. Salah satunya yang terpenting adalah tradisi dan peradaban Yunani terutama filsafat. Ketika terjadi gerakan penerjemahan secara besar-besaran buku-buku filsafat di zaman ‘Abbâsiyyah, banyak sekali gagasan-gagasan filosofis dan dasar-dasar sains yang diserap oleh umat Islam, salah satu di antaranya adalah teori emanasi.

Teori emanasi ini kemudian diadopsi, diadaptasi dan dielaborasi oleh sejumlah filosof muslim seperti al-Fârâbî (870-950 M), Ibnu Sînâ (980-1037 M), Ibnu Miskawayh (941-1030 M) dan kelompok Ikhwân al-Shafâ`(abad ke-10), serta mendapat pembelaan yang gigih dari Ibnu Rusyd (1126-1198 M). Namun yang terpenting dari sejumlah filosof itu terkait dengan teori emanasi adalah al-Fârâbî, sebab selain meletakkan dasar-dasar teori emanasi dalam perspektif filosof muslim, ia juga adalah peletak dasar sistem emanasi yang didasarkan pada akal sepuluh (versi lain akal sebelas) yang kemudian mempengaruhi filosof muslim sesudahnya seperti Ibnu Sînâ.

Terkait dengan hal itu, makalah ini mencoba untuk membahas bagaimana teori emanasi al-Fârâbî tersebut, darimana ia peroleh dasar-dasarnya dan keberatan apa yang diajukan oleh para pengkaji filsafatnya terhadap teori emanasinya. Uraian tentang hal ini akan dikemukakan setelah uraian biografi singkat al-Fârâbî berikut ini.

B. Biografi Singkat al-Fârâbî

Nama lengkap al-Fârâbî adalah Abû Nashr Muhammad ibn Muhammad ibn Tharkhân ibn Uzlagh al-Fârâbî, dalam sumber-sumber Islam lebih akrab dikenal sebagai Abû Nashr. Ia adalah wakil terkemuka kedua dari mazhab filosof-ilmuwan peripatetik (masysyâ’î) muslim setelah al-Kindî (801-873 M).[1] Ia dikenal dengan laqab (gelar) al-mu’allim al-tsânî (guru kedua) dengan mengalamatkan gelar al-mu’allim al-awwal kepada Aristoteles.[2]

Dalam diri al-Fârâbî terdapat unsur dan kultur Turki. Karena itulah ia dan keluarganya dianggap sebagai orang Turki. Ayahnya adalah seorang panglima Turki menurut satu versi riwayat, walaupun terdapat juga sumber-sumber atau versi lain yang menyebutkan bahwa ayahnya adalah keturunan bangsawan Persia. Ia dilahirkan di kota Wasîj tahun 257/890 salah satu distrik Fârab (diucapkan Bârab dalam dialek asilnya) salah satu wilayah di sekitar Sungai Sîrdâriyâ provinsi Transoxiana. Islam masuk ke daerah ini pada masa Dinasti Samâniyyah setelah Nûh ibn Azâd menyerang kota Isbijab tahun 225 (839 atau 840) sekitar 30 tahun sebelum kelahiran al-Fârâbî.[3] Kemungkinan besar kakek al-Fârâbî baru menjadi mu`allaf pada saat itu.

Pendidikan dasar al-Fârâbî adalah pendidikan keagamaan dan bahasa, ia mempelajari fiqih, hadis dan tafsir Alquran, bahasa Arab, bahasa Turki dan bahasa Persia. Para sejarawan masih meragukan apakah ia juga belajar bahasa-bahasa yang lain selain bahasa itu. Karena ia disebut-sebut banyak menguasai bahasa. Ibnu Khalikân, misalnya, menyatakan bahwa al-Fârâbî menguasai 70 bahasa atau mengenal hampir setiap bahasa. Informasi ini sangat disangsikan kebenarannya oleh sejarawan. Demikian juga kemampuannya dalam bahasa Yunani sebagai bahasa filsafat pada waktu itu juga diragukan.[4] Namun, Osman Bakar melihat kemungkinan bahwa al-Fârâbî memang menguasai banyak bahasa. Menurutnya, bisa dipastikan bahwa al-Fârâbî menguasai bahasa Arab, Turki serta Persia dan kemungkinan besar menguasai sejumlah dialek di Asia Tengah serta bahasa-bahasa Lokal, di samping bahasa Syria dan Yunani.[5] Namun dua bahasa terakhir, diragukan oleh Ahmad Hanafi, bahwa al-Fârâbî menguasai kedua bahasa itu.[6]

Untuk menuntut ilmu, Al-Fârâbî melakukan perjalanan ke pusat-pusat peradaban Islam yang paling populer pada masa itu yaitu Baghdâd dan Harrân. Menurut ‘Abd al-Rahmân Badawî, kemungkinan besar al-Fârâbî terlebih dahulu belajar di berbagai madrasah di Harrân sebelum ke Baghdad. Namun menurut Albîr Nashrî Nâdir, setelah di Fârâb, al-Fârâbî pergi ke Baghdâd dulu baru kemudian pergi ke Harrân lalu kembali lagi ke Baghdad.[7]

Harrân pada saat itu merupakan pewaris peradaban Yunani akibat migrasinya madrasah Iskandariyah ke Harrân setelah madrasah itu berada di Antokia selama kurang lebih 140 tahun. [8] Di Harrân ia belajar dengan Yuhannâ ibn Haylân seorang pakar kristen terkemuka di bidang logika ketika itu. Kemudian al-Fârâbî pindah ke Baghdâd bersama para pimpinan madrasah Harrân dan kemudian belajar di halaqah Abû Bisyr al-Matâ (Mattius) ibn Yûnus yang merupakan sentral studi logika. Abû Bisyr adalah orang yang memiliki kedalaman pemahaman tentang filsafat Aristoteles.[9] Kalau versi Albîr diterima, maka al-Fârâbî terlebih dulu belajar logika kepada Abû Bisyr Mattâ di Baghdâd, baru kemudian ia belajar logika kepada Yuhannâ ibn Haylân.

Ketika Situasi politik Baghdâd memburuk, di mana terjadi pertikaian politik dan konflik-konflik sektarian, sehingga memaksa Khalifah al-Muttaqî, para wazîr dan pengawalnya pindah ke luar kota pada tahun 330H/942 M. Al-Fârâbî lalu pindah ke kota Damaskus yang lebih tenang pada akhir tahun yang sama.[10] Di sini ia berkenalan dengan Sayf al-Dawlah al-Hamdânî, sultan Dinasti Hamdân di Halab (Aleppo). Sultan nampaknya sangat terkesan dengan kepakaran dan intelektualitas al-Fârâbî, lalu diajaknya ke Aleppo dan diberinya kedudukan yang baik.[11] Menurut Madjid Fakhry, sebelum ke Aleppo al-Fârâbî terlebih dahulu ke Mesir. Tak lama kemudian al-Fârâbî pindah ke Damaskus hingga wafatnya pada tahun 339/950 M dalam usia 80 tahun.[12]

Menurut Abd’ al-Rahmân Badawî, al-Fârâbî memiliki sejumlah besar karya berupa risalah, kitab dan syarh (komentar) di antaranya:

  1. Logika : Kitâb al-Qiyâs, Kitâb al-Alfâzh al-Musta’milat fî al-Mantiq, dan Syarh al-Fârâbî li Kitâb Aristhûthâlîs fî al-‘ibârah.
  2. Pengantar tentang filsafat Aristoteles: Maqâlat fî Aghrâdh Aristhûthâlîs fî Kull Maqâlat fî Kitâbih al-Mawsûm bi al-Hurûf, dan Tamjîd Risâlat al-Da’âwâ al-Qalbiyyah.
  3. Pembelaan terhadap Aristoteles: al-Radd ‘alâ Yahyâ al-Nahwî fîmâ radd bih ‘alâ Aristhûthâlîs, dan Kitâb al-Radd ‘alâ Jâlînûs fîmâ Ta`awwalahu min Kalâm Aristhûthâlîs.
  4. Tentang Plato: Jawâmi’ Kitâb Nawâmîs li Aflâthûn, al-Alfâzh al-Aflâthûniyyat wa Taqwîm al-Siyâsat al-Mulûkiyyat wa al-Akhlâq, dan Kitâb al-Jam’ bayn Ra`yai al-Hakimayn.
  5. Hierarki ilmu: Ihshâ` al-‘Ulûm wa Tartîbuhâ,
  6. Metafisika: ‘Uyûn al-Masâ`il, Kalâm fî al-Millah, dan Nushûsh fî al-Hikmah, Risâlat fî al-Hurûf.
  7. Etika dan politik: al-Madînat al-Fâdhilah (Mabâdî` Ârâ` Ahl al-Madînat al-Fâdhilah), al-Siyâsât al-Madaniyyah, dan al-Fushûl al-Muntazi’ah,
  8. Ilmu Jiwa dan bagian-bagiannya: Risâlat fî Ma’ânî al-‘Aql, Fîmâ Yasihhu wa lâ Yasihhu min Ahkâm al-Nujûm, Syarh Risâlat Zaynûn al-Kabîr, Ta’liqât, Risâlat fi Masâ`il Mutafarriqah, dan Risâlat fî Fadhîlat al-‘Ulûm al-Shanâ’ât.
  9. Musik dan syair : Kitâb al-Mûsîqî al-Kabîr, dan Risâlat Qawânîn Shanâ’at al-Sya’r.

Menurut M.M. Syarif, orang-orang yang telah terbiasa membaca karya-karya al-Fârâbî akan menemukan bahwa bahasa al-Fârâbî dalam karya-karyanya itu bersifat ringkas dan tepat. Ia selalu hati-hati memilih kata-kata dan pernyataan. Ungkapan-ungkapannya memiliki arti yang dalam. Ia menghindari pengulangan dan penambahan yang berlebihan serta lebih senang dengan hal-hal yang ringkas. Tampaknya al-Fârâbî condong pada ajaran esoteris dan berpendapat bahwa filsafat tidak dapat disampaikan pada sembarang orang. Karena itu, menurut al-Fârâbî, para filosof harus menjelaskan gagasan-gagasannya secara simbolik dan bermakna ganda. Selain itu, kesulitan lain dalam memahami karya al-Fârâbî, menurut M.M. Syarif adalah, al-Fârâbî gemar menggunakan bahasa kebalikan-kebalikan. Hampir setiap istilah yang digunakannya mengandung arti kebalikan dari istilah itu, sehingga penolakan bisa berarti pengesahan dan kejadian bisa berarti bukan kejadian. Karena itu, sampai sekarang, menurut M.M. Syarif, bukanlah pekerjaan yang mudah memahami arti dan ungkapan-ungkapan al-Fârâbî.[13]

C. Teori Emanasi (Nazhariyyat al-faydh) Al-Fârâbî

Dalam Ensiklopedi Islam disebutkan bahwa emanasi adalah teori filsafat yang menjelaskan segala yang ada ini memancar dari zat yang satu. Kata emanasi berasal dari bahasa Inggris, emanation, yang berarti “memancar”. Dalam bahasa Arab, istilah ini dikenal dengan sebutan al-faydh.[14] Sementara Ahmad Hanafi mengemukakan bahwa teori emanasi adalah teori tentang keluarnya sesuatu wujud yang mumkin (alam makhluk) dari Zat yang wâjib al-wujûd (Zat yang mesti adanya: Tuhan). Teori ini disebut juga dengan nama “teori urut-urutan kejadian”.[15] Teori ini pertama kali diperkenalkan oleh seorang filosof Yunani zaman skolastik yang bernama Plotinus (205-270 M). Awalnya, Plotinus tidak ingin membentuk aliran filsafat sendiri, melainkan ingin memperdalam filosofi Plato (427-347 SM) yang dipelajarinya. Tetapi kemudian ajaran filsafatnya menarik hati para filosof berikutnya. Karena filsafatnya merupakan pengembangan dari filsafat Plato, maka ajaran filsafatnya dinamai Neoplatonisme.[16] Filsafat Plotinus ini kemudian diambil oleh al-Fârâbî untuk memecahkan persoalan bagaimana wujud yang satu menghasilkan wujud yang banyak. Filsafat emanasi ini kemudian menjadi bahan penting dalam filsafat emanasi al-Fârâbî. Filsafat emanasi Plotinus dapat digambarkan secara ringkas sebagai berikut:

Filsafat emanasi Plotinus menjelaskan asal mula penciptaan alam yang terjadi dengan cara memancar atau melimpah dari Yang Asal atau Yang Esa. Yang Asal itu adalah satu dan tidak ada pertentangan di dalamnya; tidak dapat dikenal sebab tidak ada ukuran untuk membandingkannya; permulaan dan sebab yang pertama dari segala yang ada. Karena memancar dari Yang Asal, alam ini jelas merupakan bagian dari-Nya. Kalau yang Asal itu adalah Tuhan, berarti alam menjadi bagian dari Tuhan atau lebih tepat dikatakan berada dalam Tuhan, namun sama sekali tidak dapat dikatakan bahwa Tuhan berada dalam alam. Makin jauh yang mengalir itu dari Asalnya, makin tak sempurna wujudnya. Demikian pula keadaan alam yang memancar dari Yang Asal. Akan tetapi, menurut Plotinus, emanasi alam dari Yang Asal itu jangan dipahami sebagai suatu kejadian yang berlaku dalam dimensi ruang dan waktu. Sebab ruang dan waktu terletak pada tingkat yang terbawah dari emanasi. Ruang dan waktu itu adalah pengertian dalam keduniaan. Dalam ajaran Plotinus, dari Yang Esa memancar akal. Selanjutnya, dari akal memancar jiwa dunia dan dari jiwa dunia memancar materi dunia.[17]

Teori emanasi yang berasal dari Plotinus ini digunakan oleh al-Fârâbî untuk mengisi kekosongan yang terjadi akibat kegagalan Aristoteles menuntaskan catatan tentang bagian metafisika yang berisi teologi atau ilmu tentang Tuhan, yang di dalamnya dinyatakan hubungan sebab akibat antara wujud ilahi dan alam.[18] Selain filsafat emanasi Plotinus, sifat-sifat teori emanasi al-Fârabî juga dipengaruhi oleh Aristoteles sendiri yakni tentang Tuhan adalah Esa, immateri, kekal, dan bertindak niscaya. Namun yang paling penting Tuhan dicirikan oleh al-Fârabî sebagai intelek yang aktivitas utamanya adalah “merenungkan dirinya sendiri”, ini menggemakan konsep Aristoteles mengenai aktivitas Tuhan sebagai “berpikir tentang berpikir” (noesis noeseos).[19] Beberapa unsur dari teori sepuluh dalam teori emanasi al-Fârabî salah satunya juga diambilnya dari Aristoteles yaitu aspek astronominya yang identik sekali dengan penafsiran Aristoteles tentang gerak lingkungan.[20] Selain Plotinus dan Aristoteles, kerangka emanasi al-Fârabî juga berhutang dengan kosmologi geometrik Ptolemaik (berhubungan dengan Ptolemaus). Kerangka acuan emanasi diberikan oleh kosmologi alam semesta yang dipandang sebagai serangkaian bola-bola langit (sphere) konsentris: yang paling luar disebut langit pertama; bola langit bintang tetap; dan bola langit, Saturnus, Yupiter, Mars, Matahari, Venus, Merkurius, dan akhirnya bulan.[21]

Al-Fârâbî menemui kesulitan dalam menjelaskan bagaimana terjadinya yang banyak (alam) yang bersifat materi dari Yang Esa (Allah) yang immateri dan Mahasempurna. Dalam filsafat Yunani, Tuhan bukanlah pencipta alam tetapi Penggerak Pertama (prima cause) seperti yang dikemukakan Aristoteles. Sementara dalam doktrin ortodoks Islam (mutakallimûn) Allah adalah Pencipta (Shâni’, Agent), yang menciptakan dari tiada menjadi ada (creito ex nihilo, wujûd min ‘adam). Untuk mengislamkan doktrin ini, al-Fârâbî,—juga filosof muslim lainnya—mencari bantuan pada doktrin Neoplatonisme monistik tentang emanasi. Dengan demikian, Tuhan Penggerak Aristoteles bergeser menjadi Allah Pencipta, yang menciptakan sesuatu dari bahan yang sudah ada secara pancaran. Dengan arti, Allah menciptakan alam semenjak azali, materi alam berasal dari sumber yang qadim, sedang materi yang menjadi susunan alam adalah baharu. Sebab itu, menurut filosof muslim, kun Allah yang terdapat dalam Alquran ditujukan kepada sesuatu (شيئ) bukan kepada sesuatu yang nihil ( لا شيئ).[22]

Allah bagi al-Fârâbî adalah akal murni. Ia ada Esa adanya dan yang menjadi objek pemikiran-Nya hanyalah substansi-Nya. Ia tidak memerlukan yang lain untuk memikirkan substansi-Nya, tetapi cukup substansi-Nya sendiri. Jadi ia adalah ‘Aql, Âqil dan sekaligus Ma’qûl.[23] Al-Fârâbî menyebut Allah sebagai akal karena menurutnya, Allah adalah Pencipta dan Pengatur alam, yang beredar menurut aturan yang luar biasa rapi dan teratur tanpa cacat sedikitpun. Karena itu, mestilah Allah suatu substansi yang memiliki daya berpikir yang luar biasa. Cara Allah menciptakan alam ialah dengan ber-ta’aqqul terhadap zat-Nya sendiri.[24]

Persoalan pelik yang ingin diselesaikan teori emanasi al-Fârâbî adalah tentang wujud alam. Sebab pernyataan bahwa penciptaan alam dari tiada (‘adam) adalah pernyataan yang sulit diterima oleh akal (bagi filosof): Bagaimana sesuatu itu menjadi ada dari sesuatu yang tidak ada? masalah penciptaan dari tiada tidak memiliki kesan dalam Filsafat Yunani karena mereka tidak menerima pandangan adanya sesuatu yang ada dapat tercipta dari sesuatu yang tidak ada. Mereka tidak akan diakui kecuali ide yang menyatakan bahwa sesuatu yang ada berasal dari yang ada pula. Persoalan ini telah membawa filosof Yunani menyatakan qadim-nya alam, atau qadim-nya materi alam, sedang yang baharu (hudûts) hanyalah sistemnya saja. Sehingga pernyataan bahwa yang ada atau alam (al-kâ`in) merupakan pancaran dari ada yang lain, menurut filosof Yunani, adalah pendapat yang dapat diterima logika.[25] Namun filsafat emanasi ini mendapat persoalan yang rumit, yaitu bagaimana Yang Satu dapat memancarkan sesuatu yang berbilang dan banyak?

Al-Fârâbî mencoba menjawab kesulitan ini melalui teori emanasinya. Dari al-Awwal memancar wujud kedua. Wujud kedua ini juga adalah substansi dan immateri. Kemudian wujud kedua yang immateri (akal pertama) memikirkan zatnya dan berpikir tentang al-Awwal (Tuhan). Namun bukan berarti ketika wujud kedua berpikir tentang zatnya (dirinya) berarti ia adalah sesuatu selain dirinya (zatnya). Ketika wujud kedua berpikir tentang Tuhan muncullah darinya wujud yang ketiga yang immateri, dan ketika berfikir tentang dirinya muncullah darinya wujud langit pertama (al-samâ` al-ûlâ). Wujud ketiga (akal kedua) ketika berpikir tentang Tuhan (al-Awwal) muncullah wujud keempat yang immateri dan ketika berpikir tentang dirinya muncullah bintang-bintang (kurrat al-kawâkib al-tsâbitah). Ketika wujud keempat (akal ketiga) berpikir tentang dirinya muncullah darinya planet Saturnus (kurrat zuhal), dan ketika berpikir tentang Tuhan muncullah wujud kelima yang immateri. Ketika wujud kelima (akal keempat) memikirkan dirinya muncullah darinya Planet Jupiter (kurrat al-musytarî) dan ketika berpikir tentang Tuhan muncullah wujud keenam yang immateri. Kemudian wujud keenam (akal kelima) berpikir tentang dirinya, muncullah darinya Planet Mars (kurrat al-marîkh) dan ketika berpikir tentang Tuhan muncullah wujud ketujuh yang immateri. Wujud ketujuh (akal keenam) juga berpikir tentang dirinya muncullah matahari (kurrat al-syams) dan ketika memikirkan Tuhan muncullah wujud kedelapan yang immateri. Ketika wujud kedelapan (akal ketujuh) memikirkan dirinya muncullah planet Venus (kurrat al-zuhrah) dan ketika memikirkan Tuhan muncullah wujud kesembilan yang immateri. Ketika wujud kesembilan (akal kedelapan) memikirkan dirinya muncullah planet Merkuri (kurrat al-‘uthârid), ketika memikirkan Tuhan muncullah wujud kesepuluh yang immateri. Ketika wujud kesepuluh (akal kesembilan) memikirkan dirinya muncullah bulan (kurrat al-qamar) dan ketika memikirkan Tuhan muncullah wujud kesebelas yang immateri (akal kesepuluh). Ketika wujud kesebelas memikirkan dirinya dan Tuhannya, pada tahap ini tidak ada lagi wujud yang muncul, tetapi yang timbul (dari akal kesepuluh) adalah materi dasar yaitu segala sesuatu yang berbeda-beda (di alam). Terbentuknya bulan menjadi akhir dari proses wujud fisik langit yang tabiatnya bergerak dan beredar.[26]

Untuk memudahkan memahami filsafat al-Fârâbî ini dapat dilihat pada tabel emanasi berikut ini:


Wujud / akal

Objek yang dipikirkan

Keterangan

Memikirkan tentang dirinya

Memikirkan

Al-Awwal (Tuhan)

Wujud I/akal murni

Wujud II


Wajîb al-wujûd

Wujud II/akal I

Langit pertama

Wujud III/akal II

Masing-

masing akal mengurus satu planet

Wujud III/akal II

Bintang-bintang

Wujud IV/akal III

Wujud IV/akal III

Saturnus

Wujud V/akal IV

Wujud V/akal IV

Jupiter

Wujud VI/akal V

Wujud VI/akal V

Mars

Wujud VII/akal VI

Wujud VII/akal VI

Matahari

Wujud VIII/akal VII

Wujud VIII/akal VII

Venus

Wujud IX/akal VIII

Wujud IX/ akal VIII

Merkurius

Wujud X/ akal IX

Wujud X/akal IX

Bulan

Wujud XI/akal X

Wujud XI/akal X

Buni, roh, empat unsur: air, udara, api dan tanah (muncul benda-benda materi)

-

tidak ada lagi akal-akal berikutnya karena kekuatannya sudah melemah

Tabel emanasi di atas menjelaskan bahwa Tuhan sebagai wujud pertama atau akal murni adalah Esa adanya dan yang menjadi objek pemikiran-Nya hanyalah substansi-Nya (zat-Nya, dirinya). Ia tidak memerlukan yang lain untuk memikirkan substansi-Nya, tetapi cukup substansi-Nya sendiri. Dari diri-Nya Yang Esa memancarlah satu wujud yang disebut wujud kedua. Artinya, Dari wujud yang tunggal keluar wujud yang tunggal pula. Di sini al-Fârâbî berhasil membuktikan bahwa wujud yang tunggal menghasilkan wujud yang tunggal pula (tidak berbilang dan plural). Namun dari wujud tunggal ini memiliki dua objek pemikiran, yaitu memikirkan dirinya sebagai wujud yang berasal dari wujud yang lain dan memikirkan Tuhan (wujud pertama, wujûd al-awwal) yang wâjib al-wujûd dengan diri-Nya sendiri. Ketika wujud kedua (akal pertama) dan seterusnya memikirkan tentang dirinya maka memancarlah langit dan bola-bola langit (bintang-bintang dan planet-planet, Saturnus, Jufiter, Mars, Matahari, Venus, Merkurius dan bulan). Sementara ketika ketika wujud kedua (akal pertama) dan seterusnya memikirkan tentang al-awwal (Tuhan sebagai wujud pertama) memancarlah akal-akal yang mengurus langit dan benda-benda langit seperti akal pertama mengurus langit pertama, akal kedua mengurus bintang-bintang, akal ketiga mengurus Planet Saturnus dan seterusnya.

Menurut ‘Abd al-Rahmân Badawî, sistem akal-akal yang sebelas ini (ia menyatakan tidak menemukan ungkapan “akal sepuluh” dalam teori al-Fârâbî), tidak terdapat dalam Filsafat Yunani sebelumnya. Plotinus, hanya berbicara tentang tiga dasar yaitu: Yang Esa, akal (Nous) dan jiwa universal (al-nafs al-kulliyyah). Karena itu dapat ditegaskan bahwa sistem ini ditemukan sendiri oleh al-Fârâbî, tidak seorangpun yang mendahuluinya tentang hal ini.[27]

Proses emanasi ini terus berlanjut. Dari langit sekitar bulan (falak al-qamar) memancar unsur-unsur alam yang diurus oleh wujud kesebelas (akal kesepuluh) yang disebut oleh al-Fârâbî sebagai al-‘aql al-fa’al (akal aktif). Akal inilah yang memberi unsur-unsur alam berbagai bentuk yang nampak baik memberi bentuk benda-benda padat, tumbuhan, hewan maupun manusia. Karena itu, akal ini disebut juga dengan “wâhib al-shuwar” (pemberi bentuk). Ia adalah pemelihara alam. Dari sini kemudian terbit jiwa-jiwa manusia yang membentuk tubuh jasmani. Kekekalan jiwa-jiwa ini sangat tergantung sejauhmana kemampuannya mencapai hakikat-hakikat wujud pada al-‘aql al-fa’âl. Adapun wujud pertama (Tuhan) sangat jauh untuk dapat dicapai lewat media akal manusia, karena itu harus melalui al-‘aql al-fa’âl yang menjadi sumber jiwa manusia. Jiwa manusia yang tidak mampu mencapai hakikat azali, maka posisinya seperti posisi tumbuhan dan hewan yakni akan lenyap. Kekekalan jiwa hanya dapat diperoleh lewat pencapaian hakikat itu. Kekalan jiwa tidak memerlukan jasmani. Karena jasmani adalah bagian dari unsur alam sementara kekekalan hanya ada pada alam akal. Karena itulah, menurut al-Fârâbî, tidak ada kebangkitan jasmani (di akhirat nanti).[28]

Menurut Sirajuddin Zar, Teori atau filsafat emanasi al-Fârânî ini melahirkan konsep bahwa alam adalah qadim dari segi zaman (taqaddum zamânî), bukan dari segi zatnya (taqaddum dzâtî). Karena dalam teori ini alam dijadikan oleh Allah secara emanasi sejak azali tanpa diselangi oleh waktu, namun alam sebagai ciptaan, berarti baharu.[29]

Di sini yang perlu dipertanyakan adalah faktor apa yang menyebabkan al-Fârâbî mengemukakan teori emanasi ini? Menurut Sirajuddin Zar, nampaknya al-Fârâbî ingin menegaskan keesaan Allah. Allah adalah Esa sehingga tidak mungkin Ia berhubungan dengan yang tidak esa atau yang banyak. Andaikan alam diciptakan secara langsung oleh Allah, maka mengakibatkan ia berhubungan dengan yang tidak sempurna dan ini akan menodai kesempurnaan-Nya. Oleh sebab itu, dari Allah hanya timbul yang satu, yakni akal pertama. Akal pertama ini mengandung arti banyak, bukan banyak jumlahnya tetapi merupakan sebab dari pluralitas. Di sini akal pertama berfungsi sebagai mediator antara Yang Esa dan yang banyak sehingga dapat dihindarkan hubungan langsung antara Yang Esa dan yang banyak.[30]

Atas dasar ini kemudian, Albîr Nashrî Nâdir, setelah mengupas filsafat emanasi al-Fârâbî, berkesimpulan bahwa filsafat emanasi ini menghasilkan kesimpulan yang tidak sesuai dengan syara’ terutama pada tiga pokok masalah yaitu: pertama, filsafat ini tidak mengakui bahwa alam diciptakan pada suatu zaman dan diciptakan dari tiada. Kedua, filsafat emanasi ini mengungkapkan bahwa akal aktiflah (al-‘aql al-fa’âl) yang mengurus unsur-unsur alam (‘âlam al-‘anâshir) ini, dan mengungkapkan bahwa al-awwal (Allah) jauh dari alam, walaupun al-‘aql al-fa’âl berhubungan dengan wujud awal (Allah), namun secara hakiki al-‘aql al-fa’âl-lah yang mengatur alam kita ini, dan padanya terletak kebahagiaan kita. Ketiga, filsafat emanasi ini tidak mengakui kesenangan jasmaniah di akhirat, tetapi hanya kesenangan ruhaniyah.[31] Bahkan dengan keras Albîr Nashrî Nâdir, sebagaimana al-Ghazâlî (1058-1111 M), mengkafirkan tiga kesimpulan ini yaitu qadim-nya alam, tidak adanya perhatian Allah (al-kâ`in al-awwal) dengan alam, dan tidak adanya kebangkitan jasmani.[32]

Selain kritik keras Albîr Nashrî Nâdir, Ahmad Hanafi memiliki sejumlah ketidakpuasan terhadap teori emanasi ini. Dua diantaranya identik dengan keberatan Albîr Nashrî Nâdir, yaitu: pertama bahwa Tuhan yang digambarkan oleh al-Fârâbî adalah Tuhan yang jauh dari makhluk-Nya, padahal Tuhan yang digambarkan Alquran sebenarnya dekat sekali dengan makhluk-Nya dan mengetahui semua perbuatan hamba-Nya. Kedua, soal qadim-nya alam, di mana al-Fârâbî berusaha mempertemukan Aristoteles dengan ajaran Islam tentang penciptaan (al-khalq) dengan mengatakan bahwa akal benda-benda langit diciptakan oleh Tuhan, ini menurut Ahmad Hanafi belum memuaskan. Ketiga, al-Fârâbî berusaha mensucikan Tuhan dari bilangan dan materi dengan mengemukakan teori akal, tetapi ia tidak bisa menjelaskan mengapa alam kebendaan keluar dari akal-akal yang immateri itu. Al-Fârâbî, nampaknya ingin menghindari dari soal materi, berputar-putar lama, tetapi akhirnya kembali ke materi juga. Keempat, meskipun akal-akal benda langit oleh kelompok ikhwân al-Shafâ` (sekitar abad ke-10 M) dan Ibnu Sînâ (980-1037 M) yang datang sesudahnya menyebutnya sebagai malaikat-malaikat, namun malaikat-malaikat yang disebutkan dalam Alquran tidak memiliki kekuatan menciptakan.[33]

D. Penutup

Teori emanasi al-Fârâbî sebenarnya adalah sebuah upaya rekonsiliasi antara filsafat dengan agama di satu sisi dan antara filsafat Aristoteles dengan filsafat Plato melalui Plotinus di sisi yang lain. Di sini ia mengupayakan bagaimana konsep ketauhidan dalam Islam tentang keesaan Allah memperoleh pembenarannya dalam nalar filosofis Yunani. Di sinilah ia berusaha untuk menjawab persoalan rumit, bagaimana wujud yang plural keluar dari wujud tunggal dan bagaimana alam diciptakan dari sesuatu yang ada. Namun upaya rekonsiliasi melalui teori emanasinya tentu tidak biasa memuaskan semua pihak, bahkan akibat gagasan ini ia dituding oleh sejumlah kalangan terutama kaum teolog bahwa ia telah keluar dari keyakinan Islam.

Namun sebagai sebuah gagasan, interpretasi emanatif al-Fârâbî dalam upayanya untuk mengesakan Tuhan semurni-murninya patut diapresiasi sebagai bagian dari khazanah intelektual Islam yang berharga walaupun kita mungkin tidak sepakat dengan kesimpulan-kesimpulannya.

Daftar Pustaka

Badawî, ‘Abd Rahmân, al-Mawsû’at al-Hadharat al-‘Arabiyyat al-Islâmiyyah (1), (Beyrût: al-Mu`assasat al-‘Arabiyyat al-Dirâsat al-Nasyr, 1995

Bakar, Osman, Hierarki Ilmu Membangun Rangka-Pikir Islamisasi Ilmu Menurut al-Farabi, al-Ghazali, dan Quthb al-Din al-Syirazi, diterjemahkan oleh Purwanto dari Classifikation of Knpwledge In Islam: A Study in Islamic Philosophies of Science, (Bandung: Mizan, 1998

Fakhry, Madjid, Sejarah Filsafat Islam Sebuah Peta Kronologis, (Bandung: Mizan, 2002.

Fârâbî, Abû Nashr al-, Kitâb Ârâ Ahl al-Madînat al-Fâdhilah, (Beyrût: Dâr al-Masyriq MM., 2002.

Hanafi, Ahmad, Pengantar Filsafat Islam, (Jakrata: Bulan Bintang, 1990.

Nasr, Seyyed Hoesein dan Oliver Leaman (ed), Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam (buku Pertama), diterjemahkan oleh Tim penerjemah Mizan dari History of Islamic Philoshophy, (Bandung: Mizan, 2003.

Syarif, M.M., Para Filosof Muslim, diterjemahkan dari History of Muslim Philosophy, (Bandung: Mizan, 1996.

Tim Penyusun Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam Edisi Suplemen Jilid 1, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 2001.

Zar, Sirajuddin, Filsafat Islam: filosof dan Filsafatnya, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004.



[1] Osman Bakar, Hierarki Ilmu Membangun Rangka-Pikir Islamisasi Ilmu Menurut al-Farabi, al-Ghazali, dan Quthb al-Din al-Syirazi, diterjemahkan oleh Purwanto dari Classifikation of Knpwledge In Islam: A Study in Islamic Philosophies of Science, (Bandung: Mizan, 1998), h. 26.

[2] ‘Abd Rahmân Badawî, al-Mawsû’at al-Hadharat al-‘Arabiyyat al-Islâmiyyah (1), (Beyrût: al-Mu`assasat al-‘Arabiyyat al-Dirâsat al-Nasyr, 1995), h. 195.

[3] Ibid, lihat juga Osman Bakar, loc. cit.

[4] Lihat M.M. Syarif, Para Filosof Muslim, diterjemahkan dari History of Muslim Philosophy, (Bandung: Mizan, 1996), h. 56-57.

[5] Osman Bakar, Op. Cit., h. 29.

[6] Ahmad Hanafi, Pengantar Filsafat Islam, (Jakrata: Bulan Bintang, 1990. h.81.

[7] Albîr Nashrî Nâdir, “Muqaddimah: al-Fârâbî al-Mu’allim al-Tsânî” (259/870-339 H/950 M), dalam Abû Nashr al-Fârâbî, Kitâb Ârâ Ahl al-Madînat al-Fâdhilah, (Beyrût: Dâr al-Masyriq MM., 2002), h. 13.

[8] Ahmad Badawi, Op. Cit., h. 196.

[9] Ibid.

[10] Osman Bakar, Op. Cit., h. 35. Menurut beberapa laporan, pada masa awal tinggalnya di Damaskus al-Fârâbî bekerja sebagai tukang kebun pada siang hari, lalu mencurahkan waktu untuk membaca dan menulis buku-buku filosofis pada malam hari. Kemudian ia biasa memanfaatkam sebagian besar waktunya di pinggiran sungai atau di kebun rindang dimana dia menyusun karya-karyanya dan menerima murid-muridnya. lihat h. 36.

[11] Sirajuddin Zar, Filsafat Islam: filosof dan Filsafatnya, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004), h. 66.

[12] Madjid Fakhry, Sejarah Filsafat Islam Sebuah Peta Kronologis, (Bandung: Mizan, 2002), h. 45.

[13] M.M. Syarif, Op. Cit., h. 59-60.

[14] Tim Penyusun Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam Edisi Suplemen Jilid 1, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 2001), h. 98.

[15] Ahmad Hanafi, Op. Cit., , h. 92.

[16] Tim Penyusun ensiklopedi Islam, Loc. Cit.

[17] Ibid.

[18] Deborah L. Black, “Al-Fârâbî”, dalam Seyyed Hoesein Nasr dan Oliver Leaman (ed), Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam (buku Pertama), diterjemahkan oleh Tim penerjemah Mizan dari History of Islamic Philoshophy, (Bandung: Mizan, 2003), h. 235.

[19] Ibid. h. 237.

[20] M. M. Syarif, Op. cit., h. 69.

[21] Deborah L. Black, Op. cit., h. 236.

[22] Sirajuddin Zar, Op. Cit., h. 74.

[23] Ibid., h. 73.

[24] Ibid., h. 74-75.

[25] Albîr Nashrî Nâdir, Op. Cit., h. 18.

[26] Abû Nashr al-Fârâbî, Kitâb Ârâ Ahl al-Madînat al-Fâdhilah, Ibid., h. 61-62. Struktur emanasi al-Fârâbî nampaknya dipengaruhi oleh temuan saintis pada saat itu, yakni sembilan planet dan satu bumi, karenanya ia membutuhkan sepuluh akal, setiap satu akal mengurusi satu planet termasuk bumi. Sekiranya al-Fârâbî hidup saat ini, tentu saja ia memerlukan banyak sekali akal sebanayk planet yang ditemukan saintis sekarang. Sirajuddin Zar, Op. Cit., h. 78.

[27] ‘Abd al-Rahmân Badawî, Op. Cit., h. 227.

[28] Albîr Nashrî Nâdir, Op. Cit., h. 20

[29] Sirajuddin Zar, Op. Cit., h. 77.

[30] Ibid., h. 76.

[31] Albîr Nashrî Nâdir, Op. Cit., h. 22.

[32] Ibid.

[33] Ahmad Hanafi, Op. Cit., h. 92, 93 dan 95.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar