Rabu, 07 Januari 2009

NU Studies

NU STUDIES ATAU BASO STUDIES?

(Telaah Kritis atas Buku NU Studies: Pergolakan Pemikiran Fundamentalisme

dan Fundamentalisme Neo-Liberal)

Latar Belakang NU Studies

Menurut Baso, kemunculan NU Studies adalah dalam rangka menjadikan NU menjadi Fâ`il (subjek) bukan sebagai maf’ûl (objek); menjadikan NU menulis, mengkaji ulang bahkan mengkritik bukan lagi sebagai NU yang ditulis, dikaji, dikritik. NU Studies hadir untuk mendorong NU menjadi master bukan murid; menjadi tuan bukan menjadi budak; menjadi peneliti bukan menjadi informan. NU perlu menulis dirinya sendiri untuk memperdengarkan suara aslinya yang selama ini disuarakan oleh orang luar. Selain itu pemahaman atau interpretasi terhadap NU yang seringkali tidak sesuai dengan apa yang diyakini NU mendorong perlunya NU menulis sendiri tradisinya. Dalam upaya melakukan perubahan posisi dari “yang ditulis” menjadi “yang menulis” ini, Kritik Edward W. Said terhadap tradisi Orientalisme menjadi inspirasi dan senjata metodologis Baso untuk mengajak NU untuk bicara dengan suaranya sendiri yang khas, tidak lagi bisu seperti makam atau prasasti. Selain sebagai bentuk perubahan posisi, bagi Baso, kemunculan NU studies merupakan penemuan kembali gerakan kultural NU yang mulai ditinggalkan dengan format dan serial baru dalam bingkai post-tradisionalisme.

Perubahan posisi dari ditulis menjadi menulis adalah positif. Namun persoalannya adalah, apakah NU menulis sebagai insider selalu dapat lebih baik dalam mendeskripsikan dirinya sendiri dibanding outsider? Bukankah insider tidak selalu dapat melihat dirinya secara keseluruhan bahkan pada suatu ketika insider dapat begitu subjektif? Bukankah apa yang ditulis orang luar dapat menjadi cermin bagi insider dimana antara outsider dan insider dapat saling belajar? Apalagi tidak semua insider dapat menulis dirinya sendiri dengan tepat, sebaliknya tidak semua outsider itu “sembrono” menulis. Pertanyaan kemudian dapat kita arahkan pada Baso sendiri sebagai insider. Apakah yang ia tulis lewat NU Studies-nya ini merupakan suara asli NU ataukah NU Studiesnya itu sebenarnya adalah suara Baso sendiri sehingga buku ini lebih tepat disebut Baso Studies? Apakah tawaran-tawaran Baso dalam NU-Studies berakar dalam tradisi NU sendiri atau malah berasal dari tradisi luar dan asing yang ingin diselundupkan” Baso ke dalam tubuh NU? Ataukah Baso hanya menggunakan nama besar NU sebagai “tameng besar” jika suatu saat terjadi “serangan balik” dari orang-orang yang merasa terganggu akibat kritik kerasnya pada sosok Nurcholish Madjid, Ibnu Taimiyah, Fazlur Rahman, Wahabisme, neo-modernisme, kalangan akademisi Islamic studies dan kelompok-kelompok puritan? Apakah kata-kata yang sering mengawali judul-judul bab buku ini seperti “NU menulis”, “NU menulis-Balik”, NU menulis-ulang” merupakan simbol upaya Baso menjadikan NU sebagai body guard terhadap proyek NU Studies-nya sehingga ia tidak berani menulis: “Baso menulis”, “Baso menulis-ulang” atau “Baso menulis-balik”?

Sebagai pemanasan, kita akan lihat geneologi NU Studies yang menunjukkan siapa yang menjadi inspirator Baso. Menurut Baso, NU Studies bukanlah kajian yang muncul secara tiba-tiba atau sikap reaksioner sebagai respon terhadap suatu problem yang muncul pada saat terbatas. Tetapi NU Studies muncul dari rangkaian gerakan sebelumnya. Geneologi NU Studies bermula dari gerakan NU kultural, berlanjut pada Abdurrahman Wahid Kultural kemudian menjadi post-tradisionalisme. Inilah posisi terkini NU Studies dimana Baso berada. NU Studies sebagai pelanjut Abdurrahman Wahid kultural merupakan warisan pikiran-pikiran Gusdur pra-istana yang kemudian dikembangkan secara terus-menerus, dikritisi, didekontruksi dan dielaborasi sehingga menyerupai teks tanpa akhir (unfinished text). Kata pikiran Gusdur pra-istana menunjukkan bahwa tidak semua pikiran Gusdur diterima Baso. Ini menunjukkan independensi Baso bahwa NU Studies-nya tetap merupakan suara aslinya. Suara (baca: pikiran) Gusdur telah dielaborasi secara terus-menerus oleh Baso sehingga menjadi suara Baso sendiri yang sudah mengalami penambahan unsur-unsur lain di luar Gusdur.

Dari sini kita bisa menilai bahwa NU-Studies Baso adalah Gusdurisme baru yang menjelma menjadi salah satu varian pola berpikir liberal dalam tubuh NU yang belum tentu mewakili sebagian besar cara berpikir warga NU, bahkan boleh jadi berlawanan dengan suara NU lainnya. Buktinya adalah, suara Masdar F. Mas’udi yang note bene adalah orang NU tidak sejalan dengan ideologi sekuler Baso. Bahkan akibat Masdar memiliki suara lain, Baso dengan kejam “membantai” Masdar dalam satu bab penuh dalam bukunya hanya karena Masdar berpandangan perlunya penyatuan agama dan negara, satu pandangan yang ditentang habis-habisan oleh Baso. Lingkaran pengetahuan Masdar yang hanya terbatas pada kalam Asy’ariy, fiqih Syafi’i dan tasawuf al-Ghazali dianggap sebagai akar kejumudan Masdar, karena menurut Baso, Masdar tidak memiliki latar belakang filsafat, tidak berkenalan dengan intens dengan tradisi fiqih yang berinteraksi dengan tradisi filsafat rasional yang tidak mengenal dominasi qiyas seperti yang diangkat oleh Ibnu Hazm, Ibnu Rusyd dan Asy-Syathibi. Pertanyaannya adalah, kalau Masdar setia dengan landasan mazhab Aswaja NU, apakah dengan NU Studies-nya Baso berusaha mengganti landasan doktrin Aswaja yang selama ini dipegang teguh oleh NU yakni menggantikan imam Asy-Syafi’i dengan Asy-Syathibi atau menggantikan al-Ghazali dengan Ibnu Rusyd? Jawabannya ada pada Baso, namun yang jelas dengan memasukkan “orang luar” yang tidak akrab dalam pikiran NU merupakan tambahan baru dalam Gusdurisme-nya Baso yang sangat mempengaruhi metodologi NU Studies-nya.

Metodologi: dari qauli ke manhaji

Baso mengklaim bahwa NU Studies melampaui Islamic Studies yang berkembang di perguruan tinggi Islam. Bagi Baso, Islamic studies telah gagal memahami faktor-faktor lokal dan kearifan lokal. Wacana Islamic Studies tidak memiliki arti dalam konteks kehidupan masyarakat. Ia terbatas dalam ruang kelas dan teks-teks akademik; bersifat klasik dan bertahan pada modernitas, merujuk kepada Alquran dan hadis dengan menjinakkan maknanya dan anti kembali ke kitab kuning. Dengan demikian, Baso menilai bahwa Islamic Studies adalah wacana elitis, tidak fungsional dan tidak membumi dalam kehidupan masyarakat Islam di Indonesia karena berbicara di luar realitas, di luar sejarah dan hanya menjadi “santapan” para akademisi. Namun dalam level wacana, bukankah NU Studies juga merupakan wacana elitis yang hanya berkembang di kalangan elitis muda progresif NU sementara di kalangan warga NU wacana NU Studies adalah “barang lux” yang tidak mampu mereka beli (baca:pahami)? Kalaupun warga NU dapat “menyingkap tabir” NU Studies siapa yang menjamin bahwa mereka pasti menerimanya, malah jangan-jangan mereka ramai-ramai menolaknya.

Upaya konstruksi untuk menjadikan NU sebagai peneliti dan subjek pengetahuan baik tentang dirinya atau tentang yang lain maka NU harus membangun perangkat metodologinya sendiri. Ini tidak sulit bagi NU, karena NU memiliki warisan khazanah ilmu-ilmu keislaman yang kaya. Tokoh besar Islam seperti Asy’ari, al-Ghazali dan Asy-Syafii menjadi jaminan penting bagi tradisi keilmuan NU dan berdiri di belakang mereka. Namun apakah NU Studies-Baso menggunakan perangkat-perangkat Aswaja sebagai perangkat metodologinya selain menggunakan perangkat kontemporer? Baso mengakui bahwa NU Studies-nya mewarisi strategi translasi (penerjemahan) dua-arah yang mengakar pada pandangan dunia Aswaja yang melihat segala sesuatu secara seimbang, dua-arah (tidak monolitik), harmonis dan melihat dari berbagai tepian. Translasi dua-arah dapat diartikan melucuti pengertian yang dipakemkan orang lain (abrogasi) lalu mengisinya dengan pemahaman sendiri (apropriasi). Ini merupakan kata lain dari dekonstruksi dan rekontruksi. Namun posisi perangkat metodologi Aswaja klasik ini di tangan kaum post-tradisionalisme, seperti Baso, sangat rawan, karena dapat diperlakukan sebagai perangkat komplementer, sekunder, bahkan digantikan karena adanya perangkat metodologi baru yang datang dari luar yang lebih sesuai dengan selera para post-tradisionalis seperti Baso.

Fiqih NU-Studies

Fiqih NU Studies tidak sekedar pendekatan fiqih formalis maupun pendekatan historis tapi ia juga menonjolkan pendekatan sosiologis-historis. Di sini fiqih dijadikan sebagai instrumen pembebasan atau emansipasi sosial yang dapat berubah menjadi fiqih “perlawanan” bukan instrumen rekayasa sosial yang berorientasi formalisasi syariat dalam hukum negara. Pola berfiqih dalam NU Studies adalah berfiqih manhaji yang relevan dengan konteks sosial politik sehingga membentuk fiqih sosial.

Baso mengemukakan lima tipe fiqih NU Studies-nya yaitu: pertama, interpretasi teks-teks fiqih secara kontekstual. Kedua, perubahan pola bermazhab, dari bermazhab secara tekstual (qauli) ke arah bermazhab secara metodologis (manhaji). Ketiga, verifikasi mendasar mana ajaran yang pokok (ushul) dan mana yang cabang (furu’), keempat, fiqih dihadirkan sebagai etika sosial, dan bukan sebagai hukum positif negara. Kelima, pengenalan pendekatan dan metodologi pemikiran filosofis, terutama dalam masalah-masalah sosial dan budaya (Ahmad Baso, h. 42).

Inilah fiqih yang memberi ruang yang sangat lebar pada pikiran rasional di luar teks dan sangat alergi dengan tekstualitas (qauli). Inilah fiqih yang sangat rawan memaksa teks untuk tunduk pada realitas. Sebab, kelima tipe fiqih ini semuanya menekankan aspek di luar teks, kita bisa melihat pada kata “kontekstual” sebagai lawan dari teks; “manhaji” (dalam versi Baso) yang lebih menekankan metodologi daripada teks; “ushul” yang berarti persoalan ubudiyyah yang terbatas jumlahnya dan “furu’” yang berarti persoalan muamalah duniawi yang sangat luas dan sepenuhnya urusan ijtihadi (baca: rasio); “etika sosial” yakni fiqih yang hidup menjadi etika masyarakat dan berkembang sesuai dinamika masyarakat bukan menjadi teks yang tercantum dalam hukum positif negara; dan “filosofis” sebagai pendekatan rasional yang sangat kental terhadap persoalan sosial budaya yang tentu saja berada di luar teks. Dalam hal ini, kita tidak melihat perbedaan tipe fiqih Baso dengan Islam liberal, namun jelas berbeda dengan fiqih tradisional NU. Artinya inilah fiqih Baso yang ia tuangkan dalam NU Studies-nya dan inilah pula fiqih tajdid yang ia inginkan.

Pola fiqih ini tidak saja alergi dengan slogan “kembali pada Alquran dan hadis”, tetapi juga sedikit banyaknya pasti anti kembali ke kitab kuning seperti tradisi NU selama ini karena sifat anti tekstualitasnya. Kalaupun ia merujuk kitab kuning, itu hanyalah upaya comot sana sini untuk mendukung fiqih rasional dan kontekstualnya. Kitab kuning bukan lagi rujukan fiqih yang sudah jadi tetapi alat legitimasi “ijtihad-ijtihad” fiqih di luar teks. Ijtihad di luar teks berarti ijtihad yang bebas, liberal, yang bahkan bisa bertentang dengan makna lahir teks walaupun itu teks kitab suci sekalipun.

Sistem Teologi NU Studies

Sistem teologi NU Studies berakar pada sejarah Aswaja yang muncul dari komunitas ahli “ilmu dan ibadah” yang netral (bukan oposisi atau pendukung pemerintah) yang basis pertamanya diteguhkan oleh Ahmad ibn Hanbal dengan kekuatan hadis dan fiqih yang literalis-skriptualis. Selanjutnya oleh al-Asy’ariy Aswaja merambah pada pendekatan rasional gaya muktazilah yang melampaui garis-garis nalar Hanbalian. Asy’ari juga memasukkan ijma’ dan qiyas dalam sistem teologi Aswaja. Masuknya qiyas memberi ruang kepada nalar untuk melakukan pendekatan rasional tanpa harus keluar dari teks, sedang masuknya ijma’ dalam sistem teologi Aswaja menjadikan otoritas “jamaah salaf” menjadi rujukan penting. Di sini Asy’ari memadukan pola Hanbalian yang literalis dan kaku dengan pola Muktazilah yang rasional. Ini artinya, Aswaja tidak lagi berpola literalis dan rigid seperti gaya Hanbalian sementara kelompok Hanbalian sampai sekarang terutama dalam bentuk gerakan puritanisme Wahabi tetap seperti itu, bahkan fanatik, fundamentalis dan intoleran dalam pandangan Baso.

Walaupun pada awal sejarahnya Aswaja bersikap netral dan tidak memihak pada sistem teologi oposisi (khawarij, syiah) maupun teologi negara (Mu’awiyah) dan berada diluar keduanya. Namun pada perkembangan selanjutnya terutama di tangan al-Ghazali sunnisme dimapankan sebagai satu kesatuan integral yang tak terpisahkan antara agama, dunia dan negara. Namun teologi yang menyetujui konsep integrasi agama, dunia dan negara seperti yang dimapan al-Ghazali dalam tradisi sunnisme ini jelas tidak disukai Baso, karena bertentangan dengan ideologi sekulernya. Maka siapapun yang menganut pandangan ini baik itu al-Ghazali, al-Mawardi, Ibnu Taimiyah, Nurcholish Madjid bahkan orang-orang NU sendiri seperti Masdar F. Mas’udi akan mendapat “perlawanan” dan kritik dari Baso lewat NU Studiesnya.

Nalar Politik NU-Studies

Nalar politik NU Studies sepenuhnya mengikuti metodologi Foucaultian yang berpengaruh pada Edward W. Said lewat kritik orientalismenya dan Muhammad Abed al-Jabiri lewat kritik nalar Arabnya. Baso mengadopsi analisis wacana Michel Foucault terutama tentang analisis relasi kuasa (kritik nalar politik) juga termasuk analisis geneologis dan arkeologis Foucault. Baso ingin menggunakannya sebagai perlawanan terhadap rezim-rezim produksi “kebenaran” dan militerisme serta “perselingkuhan” antara agama dan negara. Inilah unsur asing dalam metodologi NU Studies yang tidak dikenal dalam tradisi NU maupun Aswaja. Walaupun Baso mengklaim bahwa NU Studiesnya bertitik tolak dari tradisi Islam namun unsur pengaruh Barat dalam pendekatan dan metodologinya sulit disembunyikan. Bukankah ideologi sekuler Baso tidak memiliki fakta dalam sejarah Islam tetapi memiliki fakta dalam dinamika politik Barat?

Ushul Fiqh NU Studies

Ushul fiqih Aswaja berakar pada Asyafi’iy yang tidak hanya manyatukan ahl al-hadis dan ahl ar-ra`y tetapi juga mengarahkan untuk mengabsahkan cara berpikir yang senantiasa merujuk pada masa lalu dan teks sebagai otoritas tertinggi. Walaupun dalam tradisi Syafi’iyyah muncul konsep maslahah ‘ammah, kulliyatul Khams dan qawa`idul fiqhiyyah terutama di tangan al-Ghazali namun geraknya tetap harus berada dalam lingkaran teks.

Baso tidak merasa “enjoy” dengan basis ushul fiqh ini. Karena Usul fiqh Syafi’iyyah walaupun mengakomodasi rasionalitas namun masih berkutat dalam lingkaran teks. Baso ingin ingin menemukan ushul fiqih rasional yang dapat berada di luar teks. Baso kemudian melirik ushul fiqih Andalusia (Ibnu Hazm, Ibnu Rusyd dan asy-Syathibi) untuk melengkapi ushul fiqih NU Studiesnya. Prinsip yang ingin diadopsi Baso dari Ibnu Hazm bukan pada sikap harfiahnya dalam teks, tetapi pola Ibnu Hazm dalam menghadapi persoalan duniawi yang tidak memiliki teks dalam kacamata syariah. Di sini Ibnu Hazm mengangkat tema rasionalisme syariat sekaligus menjadikannya sebagai rujukan untuk mengukuhkan argumen-argumen akal (hujaj al-‘uqul) dengan menggunakan logika Aristotelian. Sementara yang ingin diadopsi Baso dari Ibnu Rusyd adalah penekanan Ibnu Rusyd akan perlunya memahami teks-teks agama pada makna literalnya dalam konteks memahami maqashid-nya. Sedang pada Asy-Syathibi Baso ingin mengadopsi 4 prinsip maqashid-nya yaitu: pertama, bahwa syariat agama diturunkan untuk kepentingan dan kemaslahatan umat manusia. Kedua, bahwa syariat agama diturunkan agar dipahami oleh umat manusia. Prinsip ini menekankan semangat kontekstualitas dan historisitas dari maqashid, sehingga tetap aktual dan relevan sepanjang masa dan di setiap tempat. Syariat agama diturunkan untuk kepentingan kemaslahatan umat manusia secara mutlak dan menyeluruh. Kelima, melepaskan umat manusia dari kungkungan hawa nafsunya, sehingga menjadi hamba Allah secara merdeka, setelah menjadi hamba Allah secara terpaksa.

Ketertarikan Baso pada pola ushul fiqh Andalusia di atas karena memungkinkan adanya rasionalitas di luar teks. Maqashidus syar’iyyah dapat diaplikasikan sebagai pengganti penerapan syariah dan menghindari tekstualitas dan sakralisasi. Di sini sangat jelas bahwa Baso menghendaki perubahan metodologi (manhaji) dari pola Imam Syafi’i ke pola Ibnu Hazm, Ibnu Rusyd dan Asy-Syatihibi. Inilah yang disebut dengan tajdid metodologi dalam perspektif Baso. Orang dapat menginterpretasikan bahwa peralihan ini, menunjukkan dengan jelas bahwa Baso telah mengimpor (“menyeludupkan”?) barang baru ke dalam ushul fiqih NU yang sama sekali tidak berakar dalam tradisi NU. Apakah Baso bermaksud melengkapi ushul fiqih Syafi’i atau malah ingin menggantikannya? Kecenderungan yang kuat yang dapat kita rasakan dari NU Studies adalah Baso cenderung menggantikan ushul fiqh Syafiiyyah dengan ushul fiqih Andalusia atau mengganti ar-Risalah dan al-Mustashfa dengan al-Muwafaqat. Atau dapat kita kata nyatakan bahwa ada sesuatu yang tidak terkatakan (no said, maskut ‘anhu) dalam paparan Baso yaitu bahwa ushul fiqih syafi’iyyah tidak relevan lagi dalam konteks sekarang, atau paling tidak ushul fiqih syafi’iyyah tidak pas dengan NU Studies Baso. Ini terbukti dari lima tipe fiqih NU Studies-Baso yang telah disebutkan sebelumnya yang semuanya menekankan unsur luar teks sementara ushul fiqih Syafi’iyyah menekankan unsur dalam teks. Jika interpretasi spekulatif ini benar berarti pandangan Baso terhadap Imam Syafi’i tidak berbeda dengan Nasr Hamid Abu Zayd dan Islam liberal.

Geneologi Post-Tradisionalisme NU Studies

NU Studies Baso memiliki hubungan geneologis pada Post-tradisionalisme. Post tradisionalisme tidak hanya mengapreasisi dan mengakomodasi pemikiran-pemikiran liberal dan radikal semacam Hasan Hanafi, Abdullah Ahmed an-Na’im, Muhammad Arkoun, Nasr Hamid Abu Zayd, Muhammad Shahrour dan lainnya tetapi juga tradisi pemikiran sosialis-Marxis, Post-strukturalis-post-modernis, gerakan feminisme, gerakan multikultural dan civil society. Namun pengisian landasan pemikiran post tradisionalisme Baso yang utama adalah menggunakan pemikiran-pemikiran Gusdur sebagaimana telah kita sebutkan sebelumnya sedang pengisian metodologinya lebih banyak dipengaruhi oleh Muhammad Abed al-Jabiri. Terlepas posisi penting Gusdur dan Al-Jabiri dalam post-tradisionalismenya, kita dapat melihat deretan nama dan aliran ideologis di atas yang tentu saja juga menjadi inspirator Baso dalam pemikirannya. Bukankah deretan nama dan aliran itu juga adalah nama dan aliran yang dipuja oleh Islam liberal? Dalam hal ini apa beda Baso dengan JIL?

Mengapa Baso nampak tidak setia pada landasan tradisional Aswaja NU? Ini dapat kita pahami dari semangat post-tradisionalismenya. Label post pada post-tradisionalisme menunjukkan akan kritik terhadap tradisionalisme. Yakni kritiknya terhadap proses pemiskinan intelektual dari warisan Aswaja yang melimpah dalam tradisi NU. Menurutnya telah terjadinya penyempitan “kebenaran” Aswaja dalam tubuh NU karena ‘kebenaran” NU hanya terbatas pada asy-Syafi’i, al-Ghazali, Junaid dan Asy’ari sementara di luar itu ghair mu’tabarah (heterodok, tidak diakui). Kritik Baso terhadap tradisi Aswaja NU ini adalah dalam rangka memasukkan atau lebih tepatnya menyelundupkan “tokoh luar” ke dalam tradisi keilmuan NU yaitu Ibnu Rusyd, Ibnu Hazm dan Asy-Syathibi dari kalangan ulama klasik dan Al-Jabiri, Arkoun, Nasr Hamid Abu Zaid, Fatima Mernissi dan tokoh-tokoh lainnya dari kalangan intelektual kontemporer agar diterima di kalangan NU. Masuknya nama-nama ini dalam NU Studies Baso sekali lagi menunjukkan bahwa NU Studies benar-benar telah menjadi Baso Studies.

Walaupun kritis terhadap tradisionalisme NU, pola kritik post-tradisionalisme NU Studies Baso tidak sama dengan kritik neo-modernisme yang hampir-hampir membantai semua tradisi atas nama “kembali kepada Alquran dan hadis” dan atas nama pemberantasan TBC (takhayyul, bid’ah dan churafat), kritik Post tradisionalisme terhadap tradisi (NU) adalah kritik dekontruksi dan rekontruksi sekaligus sebagaimana yang ditawarkan al-Jabiri. Ini artinya, kritik post-tradisionalisme terhadap tradisionalisme lebih bersifat kritik metodologis (kritik manhaji).

Post tradisionalisme NU Studies Anti Purifikasi, Islamisasi,

dan Penyatuan Agama dan Negara

Post-tardisionalisme Baso tidak hanya kritis pada tradisionalisme tetapi juga merupakan “lawan” dari neo-modernisme baik gerakan purifikasi fundamentalisme (seperti Wahabi) maupun fundamentalisme neo-liberal (seperti Nurcholish dan Fazlur Rahman). Baso kemudian menarik garis demarkasi yang tebal untuk membedakan post-tradisionalisme dengan neo-modernisme. Kalau Neo modernisme Islam lewat gerakan purifikasi menggunakan semboyan kembali pada Alquran dan sunnah, maka post-tradisionalisme mencari sintesa-sintesa baru dalam dialog kritisnya antara tradisi Islam, tradisi Barat dan budaya lokal. Kalau Neo-modernis membaca tradisi lewat optik Alquran yang dianggap transenden, lengkap dan mencakup segala hal maka post-tradisionalisme justru membaca suatu konstruksi bahwa Alquran dan hadis-lah yang dibentuk oleh tradisi; bahwa Alquran tidak mencakup semua hal (syari’at ummiy); bahwa agama hanya mencakup ‘ubudiyah, sementara mu’amalah yang bersifat duniawi sepenuhnya urusan ijtihad manusia; dan bahwa agama tidak bisa mengatur kehidupan dunia secara konprehensif karena agama hanya memberi dasar-dasar untuk mengarungi lautan kehidupan. Kalau neo-modernisme masih menaruh harapan pada militerisme sebaliknya post-tradisionalisme anti militerisme dan produk pemikirannya. Kalau neo-modernisme puritan setuju dengan penyatuan antara agama dan negara, sebaliknya geneologi politik post-tradisonalisme yang berakar pada falasifah tepatnya dari tradisi Avorreisme justru mengkritik doktrin penyatuan agama dan negara dan kedaulatan penguasa. Inilah garis demarkasi yang dibentangkan oleh Baso dimana ia menempatkan kedua kubu ini dalam posisi yang saling bertolak belakang.

Tokoh yang paling banyak dikritik dalam NU Studies adalah Nurcholish Madjid. Baso “membantai” Nurcholish dalam dua bab khusus dibanding Masdar F. Mas’udi dalam satu bab khusus. Walaupun Baso melakukan kritik terhadap Wahabi, Ibnu Taymiah dan Fazlur Rahman ternyata sebenarnya kritik itu tidak langsung ia hadapkan pada ketiganya tetapi jsutru ia gunakan untuk mengkritik Nurcholish Madjid karena ketiganya dianggap sebagai inspirator Islam otentik Nurcholish. Ini sekaligus merupakan bukti konkret betapa Baso anti gerakan Islamisasi dan purifikasi, anti Wahabisme dan neo-modernisme. Ada dua hal yang berkali-kali Baso kritik dari Nurcholish Madjid yaitu konsep Islam otentik, Islam murni, Islamisasi dan konsep penyatuan agama dan negara (Islam adalah agama penguasa dan Islam harus berkuasa). Baso sangat gencar menolak ide-ide ini karena ia adalah pendukung berat pribumisasi Islam Gusdur. Bagi Baso ide “nalar politik” Nurcholish tidak lagi relevan untuk sekarang ini karena berorientasi ke masa lalu (salaf) sementara ideologi Gusdur adalah ide yang relevan dikembangkan karena berorientasi ke masa depan.

Kritik Baso terhadap Masdar berhubungan dengan pandangan Masdar tentang kesatuan agama dan negara. Bagi Masdar, agama dan negara seperti ruh dan jasad yang tidak bisa dipisahkan, agama adalah ruhnya dan negara adalah jasadnya. Pandangan ini kemudian melahirkan konsep lain yaitu tentang ide Masdar mengenai persamaan zakat dan pajak yang kontroversial itu, zakat adalah ruhnya dan pajak adalah jasadnya.

Berbeda dengan nasib Murcholish dan Masdar, orang yang menjadi ideolog NU Studies dan yang paling banyak dibela—walaupun juga sedikit “dicubit”—oleh Baso adalah Gusdur dan ideologi sekulernya mengenai pemisahan agama dan negara, Islam sebagai etika sosial dan pribumisasi Islamnya. Ide-ide inilah yang membuat Baso sangat anti formalisme syariah, anti piagam Jakarta, anti persandingan agama dan negara; tidak senang dengan ICMI dan MUI karena merupakan bentuk perselingkuhan agama dan negara; anti Arabisasi dan Islamisasi budaya.

Namun pertanyaannya adalah, begitu burukkah ide dan praktik persandingan antara agama dan negara? Apakah persandingan antara agama dan negara selalu identik dengan merebut kuasa dan menindas yang lain yang berarti tidak ada lagi sebuah ketulusan dalam relasi itu? Dalam konteks ke-Indonesiaan, dapatkah bangsa Indonesia saat ini yang sedang mengalami krisis multidimensi mengurus semua masalah keagamaannya sendiri secara mandiri tanpa intervensi negara? Kalau masyarakat beragama di Indonesia belum dewasa untuk itu maka berarti gagasan Baso terlalu idealis dan tidak realistik untuk saat ini dan harus menunggu wujudnya suatu saat nanti, entah kapan. Kalau Baso mati-matian mengkritik konsep penyatuan agama dan negara maka Baso pun harus mati-matian untuk menciptakan masyarakat beragama yang mandiri, dewasa dan tidak lagi bergantung pada negara. Bisakah Baso dengan NU Studies-nya melakukan ini?

Ideologi NU Studies: Sekularisasi dan Pribumisasi Islam

Ideologi pribumisasi Islam yang diusung Gusdur adalah ide yang menekankan diferensiasi wewenang antara agama dan negara dimana Islam hanya menjadi faktor komplementer dari kebangsaan. Dalam konsep ini segenap ajaran agama yang telah diserap dalam kultur lokal tetap dipertahankan dalam bingkai lokalitasnya tersebut. Pirbumisasi Islam tetap mengokohkan akar budaya dengan tetap berusaha menciptakan masyarakat yang taat beragama. Ide ini menolak Arabisasi budaya tetapi melakukan keterbukaan antar budaya yang memungkinkan saling mengambil dan saling belajar. Ide ini juga menolak pengaruh dominan apalagi penguasan agama pada negara demikian pula sebaliknya menolak intervensi negara yang terlalu jauh dalam urusan agama karena dalam konsep ini negara hanyalah pengurus dan fasilitator. Namun gagasan ini sebagaimana diakui oleh Baso sendiri tidak memiliki “sejarah emas” dimasa lalu berbeda dengan konsep Caknur yang terbukti memiliki “sejarah emas” di masa lalu. Di sinilah problemnya. Karena ini sama saja mengatakan bahwa Pribumisasi Islam tidak memiliki akar dalam sejarah Islam. Namun Baso berkilah bahwa ideologi ini adalah ideologi masa depan, tidak berorientasi ke masa lalu. Ia perlu dikembangkan. Untuk mengembangkannya, menurut Baso, titik tolaknya harus dimulai dari tradisi umat Islam sendiri bukan Barat. Ini berarti jalurnya harus melalui ulama klasik seperti Ibnu Rusyd (dengan pemisahan agama dan filsafat: pemisahan agama dan negara), dan juga melalui Muhammad Abed al-Jabiri (pemisahan agama dan politik), Muhammad Arkoun (sekulerisme) dan Nasr Hamid Abu Zayd (kritik wacana agama). Mengapa Baso mengembangkan pribumisasi Islam lewat tradisi Islam yang lain—lihatlah nama-nama yang disebut Baso—bukan tradisi yang selama ini berkembang di kalangan NU? Jawabnya karena ini memang bukan NU Studies tetapi Baso Studies atas nama NU.

Kata akhir

Apapun kritik yang dikemukakan dalam telaah ini, bagaimana pun buku NU Studies adalah buku yang luar biasa, buku yang ditulis dengan cermat, serius, kritis dan berkualitas. Kita pun harus mengkritik diri bahwa kita belum mampu menulis seperti apa yang telah Baso tulis dalam NU Studies-nya. Kalaupun kritik tulisan ini agak “kejam” dengan Baso namun semangatnya sebenarnya adalah dalam rangka belajar menelaah dengan kritis. Karena dalam proses belajar maka kritiknya mungkin masih sangat simplistis, dangkal, awam dan bahkan mungkin apriori. Jadi, Baso tidak usah tersinggung dengan tulisan ini karena kualitas buku Baso tidak akan turun dengan adanya kritik seperti ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar