Minggu, 04 Januari 2009

KHAZANAH KITAB KUNING PONDOK PESANTREN

DI KALIMANTAN SELATAN

Oleh Rahmadi*


A. Pendahuluan

Salah satu elemen penting di antara lima elemen penting pesantren adalah kitab kuning (yellow book).[1] Pada awalnya, istilah kitab kuning mengandung makna pejoratif (rendah)[2] yang diberikan oleh kalangan luar pesantren, namun akhirnya istilah ini diterima secara luas sebagai istilah teknis dalam studi kepesantrenan. Istilah lain yang dikenal adalah “kitab klasik” (al-kutub al-qâdimah) dan ada pula yang menyebutnya “kitab gundul” (karena tidak memiliki syakl). Pada perkembangan selanjutnya, para pemerhati pesantren memaknai kitab kuning sebagai kitab berhuruf Arab dengan makna yang lebih longgar.[3]

Pada umumnya, kitab kuning yang dijadikan rujukan standar dan pegangan pesantren bersifat terbatas pada kitab-kitab mu’tabarah dan terseleksi sesuai dengan tradisi keilmuan dan landasan filosofis-ideologis pesantren. Yang tak kalah pentingnya adalah kitab kuning yang diajarkan tersebut memiliki mata rantai transmisi (sanad) dari penulis kitab sampai pada kyai atau pengajar di pesantren. Karena itu, susunan kitab kuning di pesantren tidak banyak mengalami perubahan berarti bahkan cenderung stagnan dan berputar pada sejumlah kitab tertentu saja. Siklus pemakaian kitab seperti ini sering dituding oleh kalangan tertentu di luar pesantren sebagai tradisi keilmuan yang eksklusif dan kurang dinamis.

Pemakaian kitab kuning di pondok pesantren di kawasan Kalimantan Selatan nampaknya memiliki kecenderungan yang sama dengan kondisi pemakaian kitab seperti yang disebutkan di atas. Ini terlihat dari pemakaian kitab kuning tertentu yang dari awal pertumbuhan pesantren tidak mengalami perubahan berarti di mana kitab kuning yang ditulis di bawah abad ke-19 tetap mendominasi sebagai kitab kajian utama. Walaupun kecenderungan seperti ini masih kuat, namun dinamika pemakaian kitab kuning di pesantren telah merambah pada kitab-kitab ‘ashriyyah yaitu kitab kuning yang ditulis oleh ulama di atas abad ke-19 sampai ulama kontemporer seiring dengan bermunculannya pesantren modern dan dibukanya program ma’had ‘âlî di beberapa pesantren.

Untuk mengetahui khazanah kitab kuning yang berkembang di pesantren yang menjadi referensi intelektual kyai dan santri di Kalimantan Selatan perlu penelusuran lebih jauh untuk meperoleh deretan kitab yang selama ini menjadi rujukan pesantren. Beberapa hasil penelitian pesantren di Kalimantan Selatan nampaknya belum memberikan informasi yang lebih lengkap tentang khazanah kitab kuning pesantren. Demikian pula hasil survei Departemen Agama terhadap 41 pesantren di Kalimantan Selatan dalam buku Direktori Pondok Pesantren 3 yang diterbitkan oleh Dirjen Kelembagaan Agama Islam tahun 2002 juga kurang memberikan informasi yang lengkap. Hasil survei Martin Van Bruinessen terhadap pemakaian kitab kuning pesantren di Indonesia termasuk pesantren di Kalimantan Selatan yang terdapat dalam 100 kitab kuning populernya walaupun cukup memberikan informasi kepada kita namun daftar Martin itu untuk kasus kitab kuning pesantren di Kalimantan Selatan belum representatif bahkan masih jauh dari realitas. Martin hanya memuat kitab kuning yang dikaji pada tiga pesantren di Kalimantan Selatan yang menurut Martin sendiri jumlah itu terlalu sedikit untuk mewakili.[4] Sehubungan dengan itu, tulisan ini mencoba menghadirkan secara rinci deretan kitab yang menjadi khazanah kitab kuning di pesantren Kalimantan Selatan.

Kitab-kitab yang tercantum di sini secara garis besar didasarkan pada pemakaian kitab kuning di pesantren Darussalam Martapura, Ibnul Amin Pamangkih, Pesantren Darul Hijrah, Pesantren Rakha, Pesantren Arraudhah Amuntai, Pesantren Darussalam Muara Tapus dan beberapa sumber laporan hasil penelitian profil pesantren di Kalimantan Selatan serta hasil survei Departemen Agama yang tertuang dalam buku Direktori Pondok Pesantren 3 yang diterbitkan oleh Dirjen Kelembagaan Agama Islam tahun 2002[5] serta beberapa sumber lainnya.[6] Karena tempat yang terbatas, maka tulisan ini lebih menonjolkan deretan kitab kuning daripada komentar atau analisis lebih jauh dari kitab-kitab tersebut.

B. Khazanah Kitab Kuning di Pesantren Kalimantan Selatan

Deretan kitab kuning yang disebutkan di sini dikelompokkan dalam 16 bidang kajian. Sebenarnya masih ada sejumlah bidang kajian lain yang tidak tercantum di sini terutama bidang kajian yang terkait dengan bahasa. Kajian kitab kuning yang terkait dengan bahasa hanya dibatasi pada nahw, sharf, balâghah dan ‘arûdh sedang kajian bahasa lainnya seperti imlâ`, muthâla’ah, insyâ`, mahfuzhât, dan lainnya tidak dicantumkan.

1. Khazanah kitab Fiqih

Ada kesan yang sangat kuat bahwa inti kajian keislaman di pesantren adalah fiqih. Perhatian pada masalah fiqih dan penggunaan kitab fiqih yang relatif luas sampai pada kitab-kitab besar menjadi bukti kesan kuat itu. Menurut Martin Van Bruinessen[7] dan Yasmadi[8], fiqih merupakan cabang keilmuan terpenting di pesantren. Besarnya perhatian terhadap fiqih, menurut mereka, disebabkan karena fiqih mengandung berbagai implikasi konkret terhadap perilaku keseharian individu maupun masyarakat. Fiqihlah yang mengatur tentang hal-hal yang dilarang maupun tindakan yang dianjurkan. Oleh sebab itu, fiqih merupakan inti pendidikan pesantren kendatipun juga mengajarkan gramatika bahasa Arab, ilmu tauhid, akhlak dan lain-lain.

Di Kalimantan Selatan, kajian fiqih (khususnya pada pesantren tradisional) menempati posisi yang sangat penting bila dilihat dari alokasi waktu yang disediakan dibanding mata pelajaran lain, penggunaan kitab-kitab fiqih besar, kesinambungan pelajaran fiqih dari tingkat dasar sampai tingkat tinggi, beberapa bidang kajian lain yang mendukung kajian fiqih seperti hadis (seperti pengkhususan kajian hadis kutub al-sittah pada bagian hadis ibadah), tafsir (tafsir hukum) dan farâ`idh, serta kekayaan khazanah kitab fiqih yang digunakan sebagaimana akan terlihat menunjukkan bahwa inti kajian keislaman pesantren secara formal di Kalimantan Selatan mengarah pada fiqih.

Kitab-kitab fiqih[9] yang banyak digunakan di pesantren tradisional dalam kajian fiqih dasar adalah al-Ghâyah wa al-Taqrîb karya Abî Syujâ, Matn Sittîn karya Abû ‘Abbâs al-Mishrî dan Syarh-nya karya Abû al-‘Abbâs Ahmad al-Anshârî, Mabâdi al-Fiqhiyyah karya ‘Umar ‘Abd al-Jabbâr, Sullam al-Tawfîq karya ‘Abd Allâh ibn Husayn Bâ’alawî, Safînah al-Najâ karya Salim al-Hadhramî dan Risâlah al-Fiqhiyyah karya H. Muhammad Kasyful Anwar (Mu`assis Pesantren Darussalam Martapura). Kitab fiqih dalam ejaan Arab-Melayu karya ulama lokal juga digunakan untuk santri pemula yaitu kitab Pelajaran Tangga Ibadah karya H. Muhammad Zuhdî, Mabâdi Ilmu Fiqih karya H. Muhammad Sarnî, dan Rasm Parukunan karya H. Abdurrahmân ibn H. Muhammad ‘Ali. Dari sejumlah kitab fiqih dasar tersebut yang paling populer dan luas penggunaanya adalah Sittîn mas`alah, Ghâyah wa al-Taqrîb dan Mabâdi al-Fiqhiyyah.

Pada tingkat lanjutan sampai tingkat atas, kitab fiqih yang rata-rata digunakan adalah kitab Fath al-Qarîb al-Mujîb karya Abû ‘Abd Allâh Muhammad ibn Qâsim al-Ghazzî (ada pula yang dicetak bersama hâsyiyah-nya yaitu Hâsyiyah Bîjûrî karya Ibrâhîm al-Bîjûrî) dan Fath al-Mu’în karya Zayn al-Dîn ibn ‘Abd al-‘Azîz al-Malibârî yang dicetak bersama hâsyiyah-nya I’ânah al-Thâlibîn karya Bakrî ibn al-Sayyid Muhammad Syaththâ al-Dimyâthî. Selain kedua kitab ini ada pula yang memakai kitab Bughyah al-Mustarsyidin karya ‘Abd al-Rahmân ibn Muhammad Bâ’alawî. Namun kitab fiqh terakhir ini tidak banyak digunakan di pesantren dibanding kitab Fath al-Qarîb al-Mujîb dan Fath al-Mu’în.

Khusus pada tingkat atas kitab fiqih yang banyak dikaji terutama di pesantren besar seperti Pesantren Darussalam dan Ibnul Amin adalah Fath al-Wahhâb karya Abû Yahyâ Zakariyyâ al-Anshârî, al-Tahrîr juga karya Abû Yahyâ Zakariyyâ al-Anshârî (biasanya dicetak bersama kitab hâsyiyah-nya: al-Syarqâwî ‘alâ Tahrîr karya ‘Abd Allâh ibn Hijâzî al-Syarqâwî), al-Mahallî (Kanz al-Râghibîn) karya Jalâl al-Dîn Muhammad al-Mahallî (dicetak bersama dengan dua hâsyiyah-nya yaitu Hâsyiyatâni Qalyûbî–‘Umayrah karya Syihâb al-Dîn Ahmad al-Qalyûbî dan Syihâb al-Dîn Ahmad al-Barlasiyy ‘Umayrah), dan Al-Iqnâ’ karya al-Khâtib al-Syarbaynî. Penggunaan kitab Al-Iqnâ’ tidak sepopuler kitab-kitab lainnya seperti tersebut di atas. Pesantren Darussalam tidak mencantumkan kitab ini dalam daftar kitabnya sedang di pesantren Ibnul Amin hanya digunakan sebagai Marâji’ (salah satu sumber rujukan santri Ma’had ‘Âli).

Pada tingkat Ma’had ‘Âlî di Pesantren Darussalam Martapura di pakai kitab fiqih Syarh al-Mahallî dalam madzhab al-Syâfi’î dan dua kitab fiqih lintas madzhab yaitu kitab Asbâb Ikhtilâf al-Fuqahâ’ karya Dr. Mushthafâ Ibrâhîm al-Zulamî dan Al-Wâdhih fî al-Fiqh al-Islâmî karya Dr. Yûsuf Mahmûd ‘Abd al-Maqshûd. Pada program Ma’had ‘Âlî di pesantren Ibnul Amin pemakaian kitab fiqih populer dalam lingkar (internal) madzhab Syâfi’î sebagai sumber rujukan (marâji’) banyak digunakan seperti kitab Fath al-Wahhâb karya Syekh Abû Yahyâ Zakariyyâ al-Anshârî, al-Mahallî karya Jalâl al-Dîn al-Mahallî, Mughnî al-Muhtâj ilâ Ma’rifah Ma’ânî Alfâzh al-Minhâj karya Syekh al-Khâtib al-Syarbaynî, Nihâyah al-Muhtâj ilâ Syarh Alfâzh al-Minhâj karya Syams al-Dîn Muhammad ibn Ahmad al-Ramlî, Tuhfah al-Muhtâj bi Syarh al-Minhâj karya Ibnu Hajar al-Haytamî, Manhaj al-Thullâb karya Zakariyyâ ibn Muhammad al-Anshârî, Minhâj al-Thâlibîn karya Abû Zakariyyâ Yahyâ al-Nawawî, al-Iqnâ’ fî Hill Alfâzh Abî Syujâ karya Syekh al-Khâtib al-Syarbaynî, Muhadzdzab karya Abû Ishâq Ibrâhîm al-Fayruzzabâdî al-Syirâzî, dan Hâsyiyah Bujayrimî atas Fath al-Wahhâb karya Sulaymân ibn ‘Umar ibn Muhammad ibn Bujayrimî. Kebanyakan kitab-kitab tersebut (kecuali kitab Fath al-Wahhâb) bukan merupakan kitab primer (kajian utama) tetapi hanya sebagai kitab sekunder (rujukan tambahan). Penggunaan kitab-kitab populer dalam lingkar madzhab Syafi’î tersebut digunakan para santri Ma’had ‘Âli untuk melakukan perbandingan qawl para ulama atau i’tibâr antara satu kitab dengan kitab fiqih lainnya dalam membahas suatu masalah fiqhiyyah.

Sementara itu, Kitab Sabîl al-Muhtadin karya monumental Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari tidak termasuk kitab fiqih yang banyak digunakan. Kemungkinan besar kurang populernya penggunaan kitab ini terkait dengan bahasa kitab yang tidak menggunakan bahasa Arab dan bahasa lokalnya (Melayu, Aceh dan Banjar) yang dinilai agak sulit dipahami. Walaupun begitu, beberapa pesantren masih tetap menggunakannya.

Pada pesantren modern (khalafiyyah) kitab fiqih paling populer dan rata-rata digunakan adalah kitab Fiqh al-Wâdhih karya Mahmud Yunus. Kitab ini juga dipakai oleh beberapa pesantren tradisional karena termasuk dalam tradisi Syâfi’î. Selanjutnya kitab fiqih yang digunakan adalah Mu’în al-Mubîn karya Abdul Hamid Hakim, Kifâyah al-Akhyâr karya Taqiy al-Dîn Abî Bakr ibn Muhammad al-Dimasyqî, Bulûgh al-Marâm karya Ibnu Hajar al-‘Asqalânî, Bidâyah al-Mujtahid karya Ibnu Rusyd, Fiqh al-Sunnah karya Sayyid Sabiq, Kitâb al-Fiqh ‘alâ al-Madzâhib al-Arba’ah karya ‘Abd al-Rahmân al-Jazâ`irî dan Zâd al-Ma’âd karya Ibnu Qayyim al-Jawziyyah. Kitab Bulûgh al-Marâm di pesantren modern terkadang berfungsi ganda, yakni bisa digunakan pada kajian hadis dan bisa juga pada kajian fiqih karena kitab ini merupakan kumpulan hadis yang sistematikanya mengikuti sistematika kitab fiqih. Berbeda dengan pesantren salafiyyah, kitab Bulûgh al-Marâm hanya digunakan khusus pada kajian hadis.

Pada tingkat atas, sebagaimana terlihat, kitab-kitab yang digunakan di pesantren modern pada umumnya adalah kitab fiqih muqârin. Di antara kitab fiqih muqarin tersebut yang paling banyak digunakan adalah kitab Bidâyah al-Mujtahid, terutama di pesantren modern ala Gontor seperti Darul Hijrah Cindai Alus dan Darul Inabah (Hulu Sungai Tengah).

2. Khazanah Kitab Tawhîd

Kitab-kitab tawhîd yang digunakan di pesantren tradisional mengukuhkan pemahaman ahl al-Sunnah wa al-jamâ’ah versi Asy’ariyyah-Sanusiyyah sebagai basis pemahaman akidah pesantren tradisional di Kalimantan Selatan. Karena kitab-kitab yang digunakan, sebagaimana tersebut di bawah ini, semuanya mengarah pada ajaran Asy’ariyyah yang dirumuskan oleh al-Sanûsî dan ulama pengikutnya.

Kitab-kitab tawhîd[10] dasar yang banyak digunakan adalah Risâlah al-Tawhîd karya H. Muhammad Kasyful Anwar, Khamsah al-Mutûn (berisi lima matn tawhîd yang salah satunya adalah matn al-Sanusiyyah yang menjadi teks dasar terpenting dalam kajian tawhîd),[11] Jawâhir al-Kalâmiyyah karya Thâhir ibn Shâlih al-Jazâirî, ‘Aqîdah al-‘Awâm karya Ahmad al-Marzûqî al-Makkî[12], ‘Aqîdah al-Islâmiyyah karya Bashrî ibn H. Marghûbî, ‘Aqâ`id al-Dîniyyah karya ‘Abd al-Rahmân al-Saqqâf, Syarh al-Tîjân al-Darârî karya Muhammad Nawawî al-Bantânî. Selain kitab tawhîd berbahasa Arab, sejumlah pesantren juga menggunakan kitab tawhîd dasar dalam ejaan Arab-Melayu yaitu Kifâyah al-Mubtadi`în karya H. ‘Abdurrahmân ibn H. Muhammad ‘Ali, Sifat Dua Puluh karya ‘Utsmân ibn Abdullâh ibn ‘Aqîl ibn Yahyâ, Tuhfah al-Ikhwân karya H. Muhammad Sarnî, dan Sirâj al-Hudâ karya Muhammad Zaynuddîn al-Sumbawî.

Pada tingkat menengah kitab tawhîd yang banyak digunakan adalah Fath al-Majîd karya Muhammad Nawawî al-Bantânî, Kifâyah al-‘Awâm karya Muhammad ibn Syâfi’î al-Fudhâlî (dicetak bersama hâsyiyah-nya: Tahqîq al-Maqâm ‘alâ Kifâyah al-‘Awâm fî ‘Ilm al-Kalâm karya Syekh Ibrâhîm al-Bîjûrî), Hudhudî karya Muhammad ibn Manshûr al-Hudhudî (dicetak bersama hâsyiyah-nya: al-Syarqâwî ‘alâ al-Hudhudî karya ‘Abd Allâh ibn Hijâzî al-Syarqâwî), Kasyf al-Asrâr karya ‘Abd al-Mu’thî ibn Sâlim al-Syiblî, Tanwîr al-Qulûb (pada bagian tawhîd) karya Muhammad Amîn al-Kurdî, Nûr al-Zhulâm karya Muhammad Nawawî al-Bantânî. Terdapat pula satu kitab karya ulama Banjar yang digunakan pada tingkat menengah yaitu Sirâj al-Mubtadi`în karya H. Asy’ari ibn H. Sulaymân yang digunakan di pesantren Arraudhah Amuntai.

Pada tingkat atas kitab tawhîd yang digunakan adalah Tuhfah al-Murîd karya Ibrâhîm al-Bîjûrî, al-Dasûqî ‘alâ Umm al-Barâhîn karya Muhammad al-Dasûqî, Hushûn al-Hamîdiyyah karya Husayn ibn Muhammad al-Jasr al-Tharâbulisî, dan Syarh ‘Abd al-Salâm karya ‘Abd al-Salâm al-Laqqânî. Di antara keempat kitab tingkat atas ini, yang paling populer dan luas penggunaannya adalah Tuhfah al-Murîd dan al-Dasûqî menyusul Hushûn al-Hamîdiyyah sedang Syarh ‘Abd al-Salâm tidak banyak digunakan.

Pada program Ma’had ‘Âli di pesantren modern Rakha Amuntai selain menggunakan kitab tawhîd berbahasa Arab tulisan ulama Timur Tengah seperti Tuhfah al-Murîd, al-Syarqawî ‘alâ al-Hudhudî, al-Farq bayn al-Firaq karya ‘Abd al-Qâhir ibn Thâhir al-Baghdadî dan al-Madkhal ilâ ‘Ilm al-Kalâm karya Dr. Hasan Mahmûd juga mengkaji kitab-kitab Arab-Melayu karya ulama Banjar seperti Hidâyah al-Mubtadi`în, Kifâyah al-Mubtadi`în, Sirâj al-Mubtadi`în dan Tuhfah al-Râghibîn (karya Syekh Arsyad al-Banjarî).

Pada pesantren Modern kitab tawhîd yang digunakan di antaranya adalah Kitâb al-Sa’âdah karya ‘Abd al-Rahîm Manâf, al-‘Aqîdah al-Wâsithiyyah karya Ibnu Taymiyyah, Kitâb al-Tawhîd dan Ushûl al-Tsalâtsah karya Muhammad ibn ‘Abd al-Wahhâb. Ada kecenderungan pada beberapa pesantren modern menggunakan kitab-kitab tawhîd yang berisi ajaran tawhîd salafisme seperti terlihat pada penggunaan kitab Ibnu Taymiyyah dan Muhammad ibn ‘Abd al-Wahhâb. Pengaruh ajaran tawhîd versi salafisme misalnya dapat dijumpai pada kajian tawhîd di pesantren Darul Hijrah (Cindai Alus), Darul Inabah (Barabai) dan Ibnu Mas’ud (Kandangan). Walaupun pemakaian kitab tawhîd masing-masing pesantren tersebut cenderung variatif namun tetap menggunakan sumber-sumber kitab salafisme.[13] Penggunaan kitab-kitab salafisme ini menunjukkan adanya gejala gerakan puritanisme-rasional di sejumlah pesantren modern tersebut. Namun perlu dicatat pula bahwa pesantren-pesantren ini tetap mengajarkan tawhîd versi Asy’arisme pada tingkat dasar.

3. Khazanah kitab Akhlak-Tashawwuf

Menurut Martin Van Bruinessen garis batas yang memisahkan antara mata pelajaran akhlak (moralitas) dan tashawwuf (mistisisme) sebagaimana yang diajarkan di pesantren sangat kabur. Karya yang sama bisa dipelajari di bawah mata pelajaran tashawwuf di satu pesantren, dan di bawah mata pelajaran akhlak di pesantren yang lain. Mata pelajaran akhlak juga sulit dibedakan dengan tarbiyah dan penanaman kelakuan baik[14] Di kalangan pesantren Kalimantan Selatan sendiri, kajian akhlak atau kajian adab (etiket) dianggap sebagai “tangga” atau “gerbang” menuju tashawwuf. Untuk masuk pada kajian tashawwuf terlebih dahulu harus melewati “tangga” akhlak dan adab. Karena itu bagi kalangan pesantren ajaran akhlak atau adab adalah bagian integral dari tashawwuf..

Kitab akhlak-tashawwuf[15] yang digunakan untuk santri pemula biasanya adalah dua kitab akhlak paling populer yaitu al-Akhlâq li al-Banîn/Banât karya ‘Umar ibn Ahmad Bârajâ`, al-Washâyâ Abâ` li al-Abnâ` karya Muhammad Syâkir. Juga dikaji kitab Arab-Melayu karya ulama Banjar yaitu Bahjah al-Mardhiyyah karya H.Muhammad Sarnî namun penggunaan kitab terakhir ini terbatas pada pesantren tertentu saja.

Pada tingkat lanjutan, kitab akhlak-tashawwuf yang sering digunakan adalah al-Tahliyah wa al-Targhîb karya Sayyid Muhammad, Ta’lîm al-Muta’allim karya al-Zarnûjî, Risâlah al-Mu’âwanah dan Nashâ`ih al-Dîniyyah karya ‘Abd Allâh ibn ‘Alawî al-Haddâd, Murâqî al-‘Ubûdiyyah karya Muhammad Nawawî al-Bantânî, Kifâyah al-Atqiyâ karya Sayyid Bakrî ibn Sayyid Muhammad Syaththâ al-Dimyâthî, Tanwîr al-Qulûb (bagian tashawwuf) karya Muhammad Amîn al-Kurdî, Nashâ`ih al-‘Ibâd karya Muhammad Nawawî al-Bantânî, Mabadi ilmu Tasawuf karya H. Muhammad Sarnî, Hidâyah al-Sâlikîn karya ‘Abdushshamad al-Falimbanî dan Irsyâd al-Ibâd karya Zayn al-Dîn al-Malibârî.

Pada tingkat yang lebih tinggi, kitab yang digunakan adalah Minhâj al-‘Âbidîn dan Ihyâ’ ‘Ulûm al-Dîn karya Imam al-Ghazâlî (adapula yang menggunakan ringkasannya yaitu kitab al-Mursyid al-Amîn ilâ Maw’izhah al-Mu`minîn min Ih ‘Ulûm al-Dîn). Selain karya al-Ghazâlî ada pula sejumlah kitab tashawwuf yang digunakan namun kurang populer seperti Tanbîh al-Ghâfilîn karya Nashr ibn Muhammad al-Samarqandî, kitab Hikam karya Muhammad ibn ‘Abd al-Karîm ibn Athâ`illâh, dan Sayr al-Sâlikîn karya ‘Abd al-Shamad al-Falimbanî.

Kitab tashawwuf yang paling populer penggunaannya adalah kitab-kitab al-Ghazâlî (Ihyâ`, Minhâj dan Bidâyah [dalam kitab Murâqî al-‘Ubûdiyyah]) dan kitab-kitab yang sealur dan di bawah pengaruh al-Ghazâli seperti Risâlah al-Mu’âwanah, Kifâyah al-Atqiyâ` dan al-Akhlâq li al-Banîn. Sementara kitab Hikam karya Ibnu ‘Athâ`illâh walaupun namanya sangat populer namun penggunaan kitab ini masih terbatas karena lebih ditujukan pada santri yang telah memiliki kemampuan dan kematangan dalam ilmu tashawwuf.

Dominasi tashawwuf sunnî atau tashawwuf akhlâqî dalam dunia pesantren di Kalimantan Selatan sangat besar sebagaimana terlihat dari kitab yang digunakannya. Kita tidak menemukan kitab-kitab tashawwuf spekulatif (falsafî) dalam daftar kitab pesantren. Apalagi ajaran tashawwuf seperti ini oleh kalangan pesantren dianggap ‘berbahaya” diajarkan secara umum pada santri yang belum mampu menerimanya. Namun bukan berarti kitab tashawwuf spekulatif sama sekali tidak ada di pesantren. Pada kelompok khusus atau kalangan elite pesantren kemungkinan besar ada yang mengkaji tashawwuf yang lebih “berat” secara eksklusif bahkan mungkin ada yang mengkaji kitab sekelas Futûhat al-Makiyyah atau Fushush al-Hikam untuk konsumsi pribadi.

Di beberapa kurikulum pesantren modern tertentu tidak ditemui adanya kajian dan penggunaan kitab tashawwuf secara formal, namun dalam kajian ekstra secara terbatas masih bisa ditemukan (biasanya kitab yang dikaji adalah karya al-Ghazâlî). Kondisi Ini terkait dengan penilaian beberapa kalangan pesantren modern bahwa sebagian ajaran-ajaran tashawwuf telah menyimpang dan tidak sejalan dengan ajaran Alquran dan sunnah.

4. khazanah kitab Tafsir

Pelajaran tafsir di pesantren pada umumnya diberikan pada tingkat menengah (wusthâ). Ini berbeda dengan kajian hadis yang sejak tingkat awal (awwaliyyah) sudah diberikan. Karena itu, khazanah kitab hadis lebih kaya dibanding kitab-kitab tafsir.

Kitab tafsir[16] paling populer dan luas digunakan di kalangan pesantren adalah Tafsir Jalâlayn karya Jalâl al-Dîn al-Shuyûthî dan Jalâl al-Dîn al-Mahallî (beserta hâsyiyah-nya yaitu Hâsyiyah al-Shâwî karya Ahmad al-Shâwî al-Makkî) dan kitab tafsir Marâh Labîd karya Muhammad Nawawî al-Bantânî. Sementara beberapa kitab tafsir lainnya tidak banyak digunakan di pesantren seperti Tafsîr Tanwîr al-Miqbâs min Tafsîr Ibn ‘Abbâs karya Abû Thâhir ibn Ya’qûb al-Fayrûzâbâdî, Tafsîr Surah Yâsîn karya Hamâmî Zâdah, dan Hâsyiyah Jamal karya Sulaymân Jamal. Pada tingkat Ma’had Âli digunakan kitab tafsir yang lebih luas seperti kitab Tafsîr Ibnu Katsîr karya Abû al-Fida` Ismâ’îl Ibn Katsîr dan kitab tafsir kajian spesifik hukum seperti Tafsîr Rawâ`i’ al-Bayân karya Muhammad ‘Ali al-Shâbûnî.

Di pesantren modern, pada kajian tafsir, kitab yang digunakan adalah Tafsir Madrasî karya ‘Umar Bakrî, Tafsîr al-Wâdhih karya Dr. Muhammad Mahmûd al-Hijâzî, Tafsîr al-Marâghî karya Ahmad Mushthafa al-Marâghî, Tafsîr Fî Zhilâl al-Qur`ân karya Sayyid Quthb, Muzakkirat al-Tafsîr karya Muhammad Rahmat, dan al-Tafsîr karya ‘Abd al-Wahhâb Khayr al-Dîn dan Mushthafa ‘Annânî.

5. Khazanah kitab Hadis

Kajian hadis di kalangan pesantren tradisional di Kalimantan Selatan sekarang ini semakin ditingkatkan. Peningkatan kajian hadis ini bertujuan untuk meningkatkan penguasaan hadis sebagai sumber kedua ajaran Islam terutama dalam hal penguasaan dalil-dalil hukum. Lebih spesifik lagi, pada sejumlah pesantren kajian hadis difokuskan pada hadis-hadis ibadah dari kutub al-sittah dan al-Muwaththâ`.

Kitab hadis[17] yang populer dan paling luas digunakan pada pesantren tradisional adalah al-Arba’în al-Nawawiyyah dan Riyâdh al-Shâlihîn keduanya adalah karya Imam al-Nawawî, Bulûgh al-Marâm karya Ibnu Hajar al-Asqalânî dan Tajrîd al-Sharîh karya Zayn al-Dîn al-Syarjî al-Zabîdî. Kitab hadis lain yang juga banyak digunakan adalah Al-Targhîb wa al-Tarhîb karya Hasan Mathar, Mukhtashar Abî Jamrah karya Muhammad ‘Alî, Tanqîh al-Qawl karya Muhammad Nawawî al-Bantânî dan al-Tarbiyah (anonim dan kurang populer). Pada tingkat yang lebih tinggi (‘ulyâ dan Ma’had ‘Âlî), digunakan kitab-kitab hadis besar terutama kitab Shahîh Muslim karya Muslim ibn Hajjâj al-Qusyayrî dan Shahih al-Bukhârî karya Muhammad ibn Ismâ’îl al-Bukhârî. Kitab hadis lain yang merupakan bagian dari kutub al-sittah juga digunakan terutama pada daftar kitab al-muqarrarah pesantren Ibnul Amin pada tingkat muwâsalah[18] seperti kitab Sunan Abî Dâwûd karya Abû Dâwûd Sulaymân al-Sijistânî, Sunan al-Tirmidzî karya Muhammad ibn Îsâ al-Tirmidzî, Sunan al-Nasâ`î karya Abû ‘Abd al-Rahmân Ahmad al-Nasâ`î dan ditambah al-Muwaththâ’ karya Imam Mâlik. Namun pada umumnya, kitab-kitab hadis ini tidak dipelajari secara keseluruhan, hanya bagian-bagian tertentu yang dikaji. Sebagaimana di pesantren Ibnul Amin kajian kitab hadis kutub al-sittah dikhususkan pada bagian hadis ibadah. Ini menunjukkan bahwa kajian hadis di pesantren digunakan untuk memperkuat kajian fiqih terutama dalam hal penguasaan dalil-dalil hukum dari sumber utamanya.

Selain kitab-kitab tersebut ada pula yang menggunakan kitab Durrah al-Nâshihin karya ‘Utsmân ibn Hasan al-Khubuwî dan kitab syarh hadis tebal Dalîl al-Fâlihîn (Syarh kitab Riyâdh al-Shâlihîn) karya Muhammad ibn ‘Allân al-Shiddîqî. Namun kedua kitab ini kurang populer penggunaannya dalam kajian hadis pesantren di Kalimantan Selatan.

Pada pesantren modern kitab hadis yang paling populer digunakan sebagaimana juga di pesantren tradisional adalah Bulûgh al-Marâm karya Ibnu Hajar al-Asqalânî, sementara kitab-kitab lain seperti Subul al-Salâm karya Muhammad ibn Ismâ’îl al-Kahlânî al-Shanhâjî, Jawâhir al-Bukhârî karya Mushtafâ Muhammad ‘Imârah, al-Lu`lu` wa al-Marjân karya Muhammad Fu`ad ‘Abd al-Bâqî, dan al-Mukhtâr al-Ahâdîts karya Sayyid Ahmad al-Hâsyimî Bek masing-masing hanya digunakan oleh pesantren-pesantren modern tertentu.

6. Khazanah kitab Ushûl al-Fiqh

Walaupun tidak signifikan, ada peningkatan intensitas kajian yang terkait dengan ilmu ushûl (kaidah-kaidah fiqh, tafsir dan hadis) terutama ushûl al-fiqh. Ini terkait dengan munculnya kesadaran di kalangan pesantren tradisional di Kalimantan Selatan akan perlunya santri menguasai kaidah-kaidah hukum Islam di samping penguasaan sumber utama hukum Islam (Alquran dan hadis) sehingga santri dapat beradaptasi dengan munculnya berbagai problem fiqhiyyah aktual yang terjadi di masyarakat dan mampu menggunakan kaidah ushûl fiqh yang dikuasainya secara mandiri bila ia tidak menemukan ketetapan hukum pada kitab fiqih yang dipelajarinya di pesantren.

Kitab ushûl al-fiqh[19] yang banyak digunakan adalah Lathâ’if al-Isyârât karya ‘Abd al-Hâmid al-Quddusî, al-Luma’ karya Abû Ishâq al-Syayrâzî, Qurrah al –‘Ayn Syarh al-Waraqât Imâm al-Haramayn karya Abû ‘Abd Allâh Muhammad al-Ra’aynî[20], Risâlah Ushûl Fiqh karya Abû Ya’qûb ibn Yûsuf bin Abî Bakr, Madkhal Wushûl karya Sayyid Muhsin ibn ‘Alî al-Musâwa, Lubâb al-Ushûl karya Zakariyyâ al-Anshârî, Jam’ al-Jawâmi’ karya Tâj al-Dîn ‘Abd al-Wahhâb, dan al-Asybah wa al-Nazhâ`ir karya Jalâl al-Dîn al-Suyûthî (pada bagian kitab ini terdapat kitab Hâsyiyah al-Mawâhib al-Saniyyah karya ‘Abd Allâh ibn Sulaymân yang merupakan hâsyiyah atas kitab Syarh Farâ`id al-Bahiyyah nazhm al-Qawâ’id al-Fiqhiyyah karya Sayyid Abî Bakr al-Ahdâl yang menjadi kajian penting dalam bidang qawâ`id al-fiqhiyyah di pesantren). Sementara pada program Ma’had ‘Âlî di pesantren Darussalam Martapura digunakan kitab Ushûl al-fiqh karya ulama modern yaitu ‘Ilm Ushûl al-Fiqh karya ‘Abd al-Wahhâb Khalâf.

Pada pesantren modern kitab ushûl al-fiqh yang populer dan rata-rata digunakan adalah Al-Mabâdi al-Awwaliyyah, al-Bayân dan al-Sullam, ketiganya adalah karya Abdul Hamid Hakim. Kitab Mabâdi Awwaliyyah juga digunakan pada beberapa pesantren tradisional di Kalimantan Selatan.

7. Khazanah kitab Ushûl al-Tafsîr

Kitab ushûl al-tafsir[21] yang populer digunakan di pesantren adalah karya- karya Jalâl al-Dîn al-Suyûthî seperti ‘Ilm Ushûl Tafsîr, ‘Ilm al-Tafsîr, al-Itqân fî ‘Ulûm al-Qur`ân, al-Nuqâyah (Itmâm al-Dirâyah), dan juga karya beberapa ulama lainnya seperti Qawl al-Munîr dan Durûs al-Tafsîr keduanya karya Ismâ’îl ‘Utsmân al-Yamânî, Faydh al-Khabîr wa Khulâshah al-Taqrîr karya Sayyid ‘Alwî ibn al-Sayyid ‘Abbâs al-Mâlikî, Kitâb Tashîl li ‘Ulûm al-Tanzîl Muhammad ibn Ahmad al-Kilbî, dan Nahj al-Taysîr : Syarh Manzhûmah al-Tafsîr li ‘Abd Allâh ‘Azîz al-Zamzamî karya Sayyid Muhsin al-Musâwa.[22]

8. Khazanah kitab Ushûl al-Hadîts

Kitab-kitab ushûl al-hadîts[23] yang populer digunakan adalah Matn Bayqûniyah karya Thâhâ ibn Muhammad al-Fattuh al-Bayqûnî, Taqrîrah al-Saniyah karya Hasan ibn Muhammad al-Masysyâth, Tanwîr al-Thullâb karya Muhammad Sya’ranî Ârif, Raf’ al-Astâr karya Hasan ibn Muhammad al-Masysyâth, Manhaj Dzawî al-Nazhar karya Muhammad Mahfuzh ibn ‘Abd Allâh al-Tarmasî, al-Taysîr Mushthalâh al-Hadîts karya Dr. Mahmûd Tahhân (kitab ini juga dikaji pada pesantren modern), Minhat al-Mughits karya Hâfizh Hasan al-Mas’udî, dan Manzhûmah Alfiyah ‘Ilm al-Atsar karya Jalâl al-Dîn al-Suyûthî. Pada tingkat Ma’had ‘Âli kitab ushûl al-hadis yang digunakan adalah Ushûl al-Hadîts karya Muhammad ‘Ajjâj al-Khathîb.

9. Khazanah kitab Farâ`idh

Masalah Farâ`idh sebenarnya adalah bagian dari bahasan kitab fiqih, namun dalam tradisi keilmuan pesantren masalah farâ`idh selalu dipisah menjadi bidang kajian tersendiri dengan menggunakan kitab-kitab tersendiri pula. Kondisi ini tidak hanya terjadi pada pesantren tradisional tetapi juga pada pesantren modern.

Kitab farâ`idh yang populer digunakan di pesantren Kalimantan Selatan adalah Tuhfah al-Saniyyah dan Nafhah al-Hasîniyyah keduanya adalah karya Sayyid Muhsin ibn ‘Ali Musâwa, Takmilah Zubdah al-Hadîts karya Sayyid Muhammad ibn Sâlim, Syarh al-Rahbiyyah fî ‘Ilm al-Farâ`idh karya Muhammad ibn Muhammad Sabth al-Mardînî dicetak bersama hâsyiyah-nya yang ditulis oleh Muhammad ibn ‘Umar al-Baqrî, dan al-Fawâ`id al-Syansûrîyyah (Syinsawriyyah) ’alâ Rahbiyyah karya ‘Abd Allâh ibn Syihâb al-Dîn al-Syansûrî. Pada program Ma’had ‘Âlî di pesantren Darussalam Martapura menggunakan kitab al-Mawârits fî al-Syarî’ah karya Muhammad ‘Alî al-Shâbûnî, sementara pesantren modern menggunakan kitab al-Warîts fî al-syarî’ah al-Islâmiyyah karya Abû Bakar al-Jazâ`irî. Adapula kitab Farâ`idh praktis yang merupakan karya ulama Banjar dalam bahasa Melayu yaitu Is’âf al-Khâ’idh karya H. M. Syukeri ibn Unus juga digunakan di sejumlah pesantren.

10. Khazanah Kitab Mantiq

Kajian mantiq di pesantren tradisional sampai sekarang tetap dipertahankan sebagai bagian integral kajian kepesantrenan sementara di sejumlah pesantren modern kajian ini sudah mulai ditinggalkan bahkan ada yang tidak mencantumkan kajian ini pada mata pelajaran kepesantrenannya sama sekali.

Kitab mantiq[24] yang populer digunakan adalah Fî ‘Ilm al-Manthiq karya Muhammad Yâsîn al-Fadânî, Qawl al-Mu’allaq karya H. Sâlim ibn Ma’rûf, Îdhah al-Mubham karya Ahmad al-Damanhûrî (pada kitab ini terdapat pula syarh kedua al-Sullam al-Munawraq karya ‘Abd Rahmân al-Akhdharî), Quwaysinî Manthiq karya Hasan Darwîs al-Quwaysinî, al-Mathla’ Syarh Îsâghûzî karya Zakariyyâ al-Anshârî yang dicetak bersama dengan Hâsyiyah al-Hifnî ‘alâ Syarh Îsâghûzî karya Yûsuf al-Hifnâwî, dan Sullam fî al-Mantiq karya ‘Abd Rahmân al-Akhdhârî yang syarh-nya telah tersebut di atas.

11. Khazanah Kitab Sirah / Târîkh dan Qishah

Kitab târîkh atau sîrah (tidak termasuk târîkh tasyrî’) yang paling populer dan luas digunakan adalah kitab Khulâshah Nûr al-Yaqîn karya ‘Umar ‘Abd al-Jabbâr, Nûr al-Yaqîn karya Muhammad Khudharî Bek, Muhammad Rasûl Allâh Muhammad Ridhâ, Târîkh al-Khulafâ’ karya Jalâl al-Dîn al-Suyûthî, Anwâr al-Muhammadiyyah karya Yûsuf ibn Ismâ’îl al-Nabhânî, Itmâm al-Wafâ` karya Muhammad Khudharî Bek. Kitab lainnya adalah kitab tipis untuk santri pemula yaitu Sîrah Sayyid al-Mursalîn karya H. Muhammad Kasyful Anwar, Hâsyiyah Ahmad Dardîr ‘alâ Qishah al-Mi’râj li Najm al-Dîn al-Ghaythî karya Ahmad Dardîr, Qishash al-Anbiyâ` karya Abû Ishâq Ahmad al-Naysâbûrî (ada pula karya Abû al-Fida` Ismâ’îl Ibn Katsîr dengan judul yang sama), di Pesantren modern kitab târîkh yang banyak dipelajari adalah al-Târîkh al-Islâmî karya ‘Umar al-Iskandarî dan Târîkh al-Hadhârah al-Islâmiyyah.

12. Khazanah kitab ‘Ad’iyyah dan Adzkâr

Walaupun banyak kitab yang dapat dikelompokkan sebagai kitab ‘ad’iyyah/adzkâr terutama tulisan ulama lokal, namun tidak banyak kitab yang masuk dalam kajian pesantren. Kitab ad’iyyah/adzkâr yang populer dan banyak digunakan adalah al-Ad’iyyah wa al-Adzkâr karya ‘Abd Allâh Jamâl al-Dîn biasanya dipakai untuk santri pemula dan kitab al-Adzkâr al-Nawawiyyah karya Imâm Abû Zakariyyâ Yahyâ ibn Syaraf al-Nawawî untuk santri tingkat menengah sampai tingkat atas. Kedua kitab ini yang pada umumnya menjadi referensi wajib bagi para santri sementara yang lain hanyalah kitab-kitab ekstra.

13. Khazanah Kitab Nahw

Penekanan pada kemampuan menelaah kitab kuning berbahasa Arab di pesantren menyebabkan kajian terhadap ilmu alat terutama nahw menjadi kajian yang sangat penting dan menjadi ciri khas pesantren tradisional. Bahkan ada pesantren yang mewajibkan santri belajar ilmu alat setahun penuh sebelum mengkaji kitab kuning dalam bidang lain. Karena itu, selain fiqih, kajian ilmu alat juga merupakan kajian yang sangat menonjol dan menjadi ciri khas beberapa pesantren.

Kitab nahw[25] yang populer dan banyak dikaji terutama di pesantren salafiyyah adalah al-Ajurrûmiyyah karya Muhammad ibn Dâwûd al-Shanhâjî, ‘Ilm Nahw karya Ismâ’îl Abî Bakr, Mukhtashar Jiddan karya Ahmad Zaynî Dahlân, Syarh al-Ajurrûmiyyah li Khalîd al-Azhârî karya Khâlid ibn ‘Abd Allâh al-Azhârî, Kawâkib al-Durriyyah karya Muhammad ibn Ahmad al-Ahdâl, Hâsyiyah Yâsîn ‘alâ Mujîb al-Nidâ karya Yâsîn ibn al-Zayn al-Dîn al-Fâkihî, Syarh Ibnu ‘Aqîl karya Muhammad ‘Abd Allâh ibn ‘Abd Rahmân ‘Aqîl (terdapat pula syarh yang ditulis oleh Jalâl al-Dîn al-Suyuthî yaitu Bahjah al-Mardhiyyah fî Syarh Alfiyyah), Mutammimah al-Fawâkih al-Janiyyah ‘alâ Mutammimah al-Ajurrûmiyyah karya Jamâl al-Dîn ‘Abd Allâh al-Nâkihî, Qathr al-Nadâ karya Ibnu Hisyâm, Alfiyyah Ibnu al-Mâlik karya Abû ‘Abd Allâh Muhammad ‘Abd Allâh ibn Mâlik, al-‘Awâmil al-Nahwiyyah karya ‘Abd al-Qâhir al-Jurjânî beserta syarh-nya yaitu Tashîl Nayl al-Amânî fî Syarh ‘Awâmil al-Jurjânî karya Ahmad ibn Muhammad Zayn al-Fathânî, dan Hâsyiyah al-‘Asymâwî ‘alâ Matn al-Ajurrûmiyyah fî Qawâ’id al-‘Arabiyyah karya ‘Abd Allâh ibn al-Fâdhil al-‘Asymâwî. Sebuah kitab Nahw dalam bahasa Melayu yang juga sangat populer di Pesantren Salafiyyah yang merupakan karya ulama Banjar adalah kitab Is’âf al-Thâlibîn karya H. M. Syukeri Unus. Kitab ini banyak digunakan bagi santri pemula di sejumlah pesantren yang memiliki pola penyajian kitab kuning tingkat awal menggunakan kitab Arab-Melayu. Sementara di Pesantren modern kitab nahw yang paling populer dan rata-rata digunakan adalah Nahw al-Wâdhih karya ‘Alî Jârim dan Mushtafâ Amîn.

14. Khazanah kitab Sharf

Sebagaimana ilmu nahw, kajian terhadap ilmu sharf juga sangat penting di pesantren. Karena itu, banyak pula beredar kitab-kitab sharf yang tercatat secara formal sebagai kitab wajib bagi santri.

Kitab sharf[26] yang populer dan banyak digunakan adalah Durûs al-Tashrîf karya H. Muhammad Kasyful Anwar yang diperuntukkan untuk santri pemula, Kemudian untuk tingkat menengah (lanjutan) adalah kitab Salsal Madkhal karya Abû Hâmid Muhammad ibn al-Qâdhî Ilyâs, Syarh Al-Kaylânî karya Abû al-Hasan ‘Alî ibn Hisyâm al-Kaylânî, Syarh Lâmiyah al-Af’âl karya Jamâl al-Dîn ‘Abd Allâh ibn Mâlik (syarh-nya ditulis oleh Bahraq al-Yamanî dan hâsyiyah-nya ditulis oleh Ahmad Rifâ’î), Fath al-Khabîr al-Lathîf alâ Nazhm al-Tashrîf fî ‘Ilm al-Tashrif li Syaykh ‘Abd Rahmân ibn Îsâ karya Ibrâhim al-Bayjûrî, Marâh al-Arwâh fî ‘Ilm al-Sharf karya Ahmad ibn ‘Alî ibn Mas’ûd (syarh atas kitab ini ditulis oleh Syams al-Dîn Ahmad ibn Sulaymân yang berjudul al-Falâh Syarh Marâh al-Arwâh), al-Mathlûb Syarh al-Maqshûd, Matn Binâ wa al-Asas karya Mulla al-Danqarî, Kitâb al-Tashrîf al-‘Izzî karya ‘Izz al-Dîn Ibrâhîm al-Zanjânî dan al-Maqshûd karya Abû Hanîfah. Terdapat satu kitab Sharf berbahasa Melayu yang digunakan di sejumlah pesantren yaitu Kitâb al-Tashrîf karya Hasan ibn Ahmad. Di Pesantren modern kitab tashrîf yang digunakan adalah Al-Amtsilah al-Tashrîfiyyah karya Muhammad Ma’shum ibn ‘Alî, dan Al-Istishrâf Karya Atim Hasnan.

15. Khazanah Kitab Balâghah dan ‘Arûdh

Berbeda dengan nahw dan sharf, di pesantren yang menggunakan sistem kelas, ilmu Balâghah paling rendah diajarkan pada kelas II tingkat menengah (wusthâ) atau pada tahun ketiga pada sistem non-klasikal seperti di Pesantren Ibnul Amin. Sebagian pesantren adapula yang baru mengajarkan Balâghah pada tingkat ‘âliyah atau ‘ulyâ. Sementara pelajaran ‘arûdh biasanya diajarkan pada tahun terakhir tingkat ‘ulyâ atau ada pula yang berbarengan dengan pelajaran balâghah. Kitab referensi pelajaran ini sedikit sekali yang dapat disebutkan di sini.

Kitab Balâghah yang banyak digunakan adalah kitab Qawâ’id al-Lughah al-‘Arabiyyah (pada bagian Balâghah) karya empat orang penulis (Hifnî Nâshif, Muhammad Dayyâb, Mushtafâ Thamûm, Mahmûd ‘Umar dan Sulthân Muhammad), ‘Ilm al-Ma’ânî karya Jalâl al-Dîn al-Suyûthî, Husn al-Shiyâghah karya Muhammad Yâsîn ibn Îsâ al-Fâdânî, dan yang paling populer adalah Matn Jawhar al-Maknûn karya ‘Abd al-Rahmân al-Akhdharî juga syarh-nya Syarh Jawhar al-Maknûn karya Ahmad al-Damanhûrî. Di pesantren modern kitab Balâghah yang jadi pegangan adalah Fî ‘Ilm al-Bayân, Fî ‘Ilm al-Ma’ânî, Fî ‘Ilm al-Badî’ ketiganya adalah karya M.Ghufran Zainal Alim, al-Balâghah al-Wâdhihah karya ‘Alî Jârim dan Mushtafâ Amîn (kitab ini juga digunakan di pesantren Salafiyyah seperti pesantren Ibnul Amin Pemangkih), dan Jawâhir al-Balâghah karya Ahmad al-Hâsyimî. Sementara untuk Kitab ‘Arûdh yang paling populer digunakan adalah kitab Mukhtashar Syâfî karya Muhammad al-Damanhûrî, ada pula beberapa kitab lain namun tidak sepopuler kitab Mukhtashar Syâfî yaitu ‘Ilm al-‘Arûdh (anonim, kitab ini diterbitkan oleh percetakan pesantren Darussalam tanpa mencantumkan nama penulisnya).

16. Khazanah Kitab Tajwîd

Tidak banyak kitab tajwîd yang beredar di lingkungan pendidikan pesantren karena bidang ini hanya diajarkan pada tingkat awal dan setelah itu tidak ada lagi pelajaran tajwîd pada tingkat yang lebih tinggi. Karena itu, tidak banyak daftar kitab yang dapat dikemukakan di sini.

Kitab tajwîd yang banyak digunakan adalah Tajwîd Melayu, Tajwîd al-Qur’ân (keduanya adalah karya H. Muhammad Kasyful Anwar), Hidâyah al-Shibyân karya Sa’îd ibn Sa’ad dan Hidâyah al-Mustafîd karya Muhammad Mahmûd. Sementara di pesantren modern, khususnya pesantren ala Gontor, menggunakan karya Imam al-Zarkasyi yaitu ‘Ilm al-Tajwîd dalam pelajaran tajwîd.

Semua kitab kuning pada 16 bidang kajian yang disebutkan di atas adalah kitab kuning yang pada umumnya dijadikan sebagai kitab pegangan santri dan tercatat sebagai rujukan utama dalam pelajaran formal kecuali pada program Ma’had ‘Âli dalam bidang fiqih terdapat kitab-kitab yang digunakan sebagai marâjî` (hanya sebagai rujukan).

Bila ditelusuri lebih jauh, kita akan menemukan lebih banyak lagi khazanah kitab kuning yang beredar di pondok pesantren dalam berbagai kajian kalau kita melacak lebih lanjut pada kitab-kitab yang menjadi pegangan guru di luar kitab pegangan santri yang terdaftar secara formal pada setiap bidang kajian. Ini dapat kita lihat di pesantren Darussalam Martapura, di pesantren ini selain terdapat kitab pegangan santri terdapat pula kitab pegangan guru yang disebut dengan Mahall al-Murâja’ah. Di pesantren ini, pada setiap mata pelajaran dari tingkat Awwaliyyah sampai tingkat ‘ulyâ memiliki sejumlah kitab yang masuk dalam daftar al-mahall al-murâja’ah yang menjadi pegangan guru dalam mengajar. Misalnya, mata pelajaran tafsîr pada tingkat ulyâ menggunakan kitab tafsîr al-Jalâlayn sebagai kitab pegangan santri tercatat pula kitab pegangan guru selain kitab tersebut yaitu Tafsîr al-Shâwî, Tafsîr Jamal, Tafsîr Ibnu Katsîr, Tafsîr al-Baydhâwî, Tafsîr al-Khâzin dan Tafsîr Marâh Labîd. Contoh lain adalah mata pelajaran târîkh pada tingkat ‘ulyâ menggunakan kitab Târîkh al-Khulafâ` sebagai kitab wajib (pegangan santri) sementara kitab pegangan guru selain kitab tersebut adalah kitab Itmâm al-Wafâ`, Sîrah al-Halabiyyah, Anwâr al-Muhammadiyyah, Hayâh al-Muhammadiyyah, Muqaddimah Ibnu Khaldûn dan kitab târîkh lainnya. Karena tempat yang terbatas, kitab-kitab yang termasuk dalam daftar Mahall al-Murâja’ah tidak dapat disebutkan di sini lebih lengkap.

Kalau ditelusuri lagi, selain kitab pegangan santri seperti yang telah disebutkan deretan kitabnya pada 16 bidang kajian (ditambah marâji’) dan kitab Mahall al-Murâja’ah yang menjadi pegangan guru, khazanah referensi keilmuan dan intelektual pesantren dapat pula ditemukan pada khazanah kitab kuning yang berkembang di pengajian ekstra atau majelis taklim yang diikuti oleh para santri baik di dalam maupun di luar pesantren. Contohnya adalah para santri pesantren Darussalam (khusus yang telah lulus tingkat ‘ulyâ) yang mengikuti pengajian di Majelis Taklim Sabilal Anwar al-Mubarak yang diasuh oleh KH. Muhammad Syukeri Unus mengkaji kitab-kitab seperti Tanwîr al-Miqbâs min Tafsîr ‘Ibn ‘Abbâs, Tanwîr al-Hawâlik Syarh al-Muwaththâ’, ‘Aqîdah al-‘Awâm wa Qashîdah al-Mubârakah, al-Qawâ’id al-Asasiyyah fî Ushûl al-Fiqh, al-Anwâr al-Qudsiyyah fî Ma’rifah Qawâ’id al-Shûfiyah, al-Maslak al-Qarîb, juga dibaca Risâlah al-Qusyayriyah dan Ihyâ’ ‘Ulûm al-Dîn dan lain-lain. Contoh lain adalah pengajian pasaran di pesantren Salafi Izzul Hasan Tapin yang diikuti oleh santri dan masyarakat mengkaji sejumlah kitab seperti Tafsîr al-Marâghî, Tafsîr al-Baghâwî, al-Muwaththâ’, Sunan Abî Dâwûd, Dirâyat al-Hadîts, al-Hadîts al-Dhu’afâ`, al-Milal, Bidâyah al-Mujtahid, Mîzân al-Kubrâ dan Risâlah al-Qusyayriyyah.

C. Penutup

Pondok Pesantren di Kalimantan Selatan memiliki khazanah kitab kuning yang cukup kaya sebagai referensi intelektual dan keilmuan para kyai dan santri di pesantren. Khazanah kitab kuning itu tidak hanya terbatas pada kitab kuning yang telah populer di pesantren di Indonesia tetapi juga diperkaya dengan karya-karya ulama lokal. Kitab-kitab tersebut walaupun masih didominasi kitab-kitab klasik (karya ulama di bawah abad ke-19) tetapi juga telah diperkaya dengan kitab-kitab karya ulama yang ditulis di atas abad ke19 sampai pada karya ulama kontemporer dengan jumlah yang masih terbatas.

Khazanah kuning pondok pesantren di Kalimantan Selatan dapat ditelusuri pada empat kelompok kitab kuning yaitu: (1) kitab kuning yang secara formal dikaji sebagai kitab wajib pada tiap mata pelajaran dan menjadi kitab pegangan santri, deretan kitab ini telah disebutkan secara rinci dalam tulisan ini, 2) kitab kuning yang menjadi pegangan atau referensi guru (mahall al-murâja’ah), 3) Kitab kuning yang digunakan sebagai marâji’ (referensi tambahan) bagi santri, dan 4) kitab kuning yang digunakan pada kajian ekstra dan pengajian lepas atau pasaran yang diikuti santri baik di dalam maupun di luar pesantren yang diasuh oleh para ustadz pesantren atau mantan pengajar pesantren. Deretan kitab kuning yang termasuk dalam marâji’, mahall al-murâja’ah dan pengajian ekstra dalam tulisan ini hanya disebut beberapa contohnya saja.

Daftar Pustaka

Azra, Azyumardi, Pendidikan Islam (Tradisi dan Modernisasi Menuju Millenium Baru), Jakarta, Logos Wacana Ilmu, 1999.

Bruinessen, Martin Van, Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat, Bandung, Mizan, 1995.

Dahlan, Muhammad Abrar, Biografi Singkat KH. Mahfuz Amin dan Sejarah Pondok Pesantren Ibnul Amin Pamangkih, Pamangkih, Pesantren Ibnul Amin, 2004.

Dirjen Kelembagaan Agama Islam, Direktori Pondok Pesantren 3, Jakarta, Departemen Agama RI, 2002.

Karim, Abdullah dkk., Profil Pondok Pesantren di Kabupaten Tabalong, Banjarmasin, Pusat Penelitian IAIN Antasari, 2005.

Raihanah, Perkembangan Kurikulum Pada Pesantren Rasyidiyah-Khalidiyah Amuntai Kalimantan Selatan, IAIN Antasari, Program Pascasarjana, 2004.

Syahriansyah dkk., Profil Pondok Pesantren di Kabupaten Balangan dan Hulu Sungai Utara, Banjarmasin, Pusat Penelitian IAIN Antasari, 2005.

Tim Peneliti Puslit, Profil Pondok Pesantren di Kabupaten Tapin, Banjarmasin, Pusat Penelitian IAIN Antasari, 2005.

Tim Peneliti Fakultas Ushuluddin, Pemahaman dan Pemakaian Kitab Tauhid, Fiqih dan Tasawuf di Pondok Pesantren Kalimantan Selatan, Banjarmasin, Pusat Penelitian IAIN Antasari, 2005.

Tim Peneliti Fakultas Ushuluddin, Transformasi Pondok Pesantren di Kalimantan Selatan (Studi tentang Pemahaman Teologis terhadap Pembelajaran dan Pemakaian Kitab-kitab Tauhid), Banjarmasin, Puslit IAIN Antasari, 2004.

Tim PPIK, Bibliografi Karya Ulama Banjar, Laporan Hasil Survey, PPIK IAIN Antasari, 2003.

Wahid, Marzuki, et.al (ed), Pesantren Masa Depan : Wacana Pemberdayaan dan Transformasi Pesantren, Bandung, Pustaka Hidayah, 1999.

Yasmadi, Modernisasi Pesantren : Kritik Nurcholish Madjid terhadap Pendidikan Tradisional, Jakarta, Ciputat Press, 2002.



*Penulis adalah alumni Fakultas Tarbiyah IAIN Antasari, sejak tahun 2000 - sekarang menjadi Dosen Tetap Fakultas Ushuluddin IAIN Antasari Banjarmasin.

[1] Elemen penting pondok pesantren lainnya adalah kyai, santri, pondok (asrama) dan masjid.

[2] Istilah kitab kuning pada dasarnya diberikan berdasarkan pada kertas yang digunakan menggunakan kertas kuning khas Timur Tengah, namun oleh kalangan pengkritik pesantren istilah kitab kuning mengandung makna kitab yang memiliki kadar keilmuan yang rendah, ketinggalan zaman, dan salah satu penyebab terjadinya stagnasi berpikir umat. Lihat Affandi Mochtar, “Tradisi Kitab Kuning : Sebuah Observasi Umum”, dalam Marzuki Wahid, et.al (ed), Pesantren Masa Depan : Wacana Pemberdayaan dan Transformasi Pesantren, (Bandung : Pustaka Hidayah, 1999), h. 221-222

[3] Contoh penggunaan istilah kitab kuning yang lebih longgar seperti yang digunakan oleh Azyumardi Azra yang mengartikan istilah kitab kuning sebagai kitab-kitab keagamaan berbahasa Arab, Melayu atau Jawa atau bahasa-bahasa lokal lain di Indonesia dengan menggunakan aksara Arab, yang selain ditulis oleh ulama di Timur Tengah, juga ditulis oleh ulama Indonesia sendiri. Azyumardi Azra, Pendidikan Islam (Tradisi dan Modernisasi Menuju Millenium Baru), (Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 1999), h. 111.

[4] Lihat Martin Van Bruinessen, Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat (Tradisi-tradisi Islam di Indonesia), (Bandung : Mizan, 1999), h. 147. Bahkan Martin menilai bahwa tingkat pelajaran di Pesantren Kalimantan Selatan masih rendah. Lihat catatan kaki nomor 32 pada halaman yang sama.

[5] Survei ini meliputi 41 pesantren di Kalimantan Selatan, 14 pesantren di Kalimantan Barat, 10 pesantren di Kalimantan Tengah dan 11 pesantren di Kalimantan Timur.

[6] Sumber utama tentang pemakaian kitab kuning dari sejumlah pesantren tersebut adalah pesantren Darussalam Martapura dan Ibnul Amin Pemangkih. Kedua pesantren ini selain termasuk pesantren tertua dan memiliki jaringan alumni yang sangat luas, juga menjadi acuan atau model oleh hampir semua pesantren tradisional lainnya khususnya dalam hal penggunaan kitab-kitab kuning. Dapat dikatakan bahwa khazanah kitab kuning yang dipakai di sejumlah pesantren di Kalimantan Selatan tidak jauh berbeda bahkan sebagiannya persis sama dengan kitab-kitab yang digunakan di kedua pesantren tersebut. Dengan demikian dapat dipastikan bahwa kitab-kitab yang digunakan di kedua pesantren tersebut adalah kitab-kitab kuning populer dan dipergunakan secara luas di pesantren Kalimantan Selatan yang sebagian besarnya juga adalah kitab-kitab populer di pesantren di Indonesia.

[7] Martin Van Bruinessen, Op. cit., h. 112.

[8] Yasmadi, Modernisasi Pesantren : Kritik Nurcholish Madjid terhadap Pendidikan Tradisional, (Jakarta : Ciputat Press, 2002), h. 82.

[9] Dalam daftar Martin kitab fiqh di Kalimantan Selatan yang digunakan adalah Fath al-Mu’în, I’ânah al-Thâlibîn, Fath al-Qarîb, al-Iqnâ`, Fath al-Wahhâb, al-Mahallî, Sullam al-Tawfîq, al-Tahrîr, Sittîn/Syarh Sittîn, dan Sabîl al-Muhtadîn. Lihat Tabel II pada Martin, op. cit, h. 154. Bandingkan dengan kitab-kitab fiqh yang disebutkan dalam deretan kitab fiqh dalam tulisan ini.

[10] Kitab tawhîd yang digunakan di pesantren di kalimantan Selatan dalam daftar Martin adalah al-Dasûqî, al-Syarqâwî, Kifâyah al-‘Awâm, Nûr al-Zhulâm, Tuhfah al-Murîd, dan Fath al-Majîd. Lihat Daftar III, Martin, Ibid, h. 155. Bandingkan dengan deretan kitab tawhîd yang disebutkan dalam tulisan ini.

[11] 5 matn dalam ilmu tawhîd yang tedapat dalam kitab tipis ini adalah Matn al-Bâjûrî karya Ibrâhîm al-Bâjûrî, Matn Jawharah al-Tawhîd karya Ibrâhîm al-Laqqânî, Matn al-Sanûsiyyah karya Muhammad ibn Yûsuf al-Sanûsî, Matn al-Kharîdah al-Bahiyyah karya Ahmad al-Dardîr dan Matn al-Syaybaniyyah karya al-Syaybanî. Tiga matn pertama dari kelima matn itu merupakan matn terpenting karena kitab syarh dan hâsyiyah-nya sangat luas dipergunakan.

[12] Kitab kecil ini biasanya hanya dibaca belasan menit sebelum pelajaran pertama dimulai, jadi bukan merupakan kitab yang dikaji secara langsung karena isinya yang sangat singkat.

[13] Di Pesantren Darul Inabah terdapat dua kitab tawhîd yang berisi faham salafisme, namun penulis tidak berhasil memperoleh jawaban pasti tentang judul kedua kitab tersebut. Salah satu kitab itu menurut informasi kalangan pesantren diperkirakan berjudul al-Ma’lûmât lâ Ya’lamûn Katsîr min al-Nâs sedang kitab satunya tidak diketahui karena bagian sampulnya telah hilang. Sementara di pesantren Ibnu Mas’ud kitab tawhîd salafisme hanya menjadi salah satu referensi, bukan kitab utama.

[14] Martin Van Bruinessen, Op. cit., h. 163.

[15] Kitab akhlak-tashawwuf yang digunakan di pesantren Kalimantan Selatan dalam daftar Martin adalah Ta’lîm al-Muta’allim, Irsyâd al-‘Ibâd, Ihyâ` ‘Ulûm al-Dîn, Sayr al-Sâlikîn, Marâqî al-‘Ubûdiyyah, Minhâj al-Thâlibîn, Sirâj al-Thâlibîn, Kifâyah al-Atqiyâ, Risâlah al-Mu’âwanah dan al-Adzkâr. Lihat tabel VI, Martin, Ibid.

[16] Kitab tafsir yang digunakan di pesantren di Kalimantan Selatan dalam daftar Martin adalah Tafsîr al-Jalâlayn dan Tafsîr al-Munîr. Lihat tabel IV, Martin, Ibid., h. 158.

[17] Dalam Daftar Martin (tabel V) kitab hadis yang digunakan di pesantren Kalimantan Selatan adalah Subul al-Salâm, Shahîh al-Bukhârî, Durrah al-Nâshihîn, Tanqîh al-Qawl dan Ushfuriyyah. Lihat Martin, Ibid., h. 160.

[18] Pesantren Ibnul Amin memiliki tiga tingkat kelompok santri yaitu 1) kelompok santri mubtadi (pemula) yaitu santri yang baru menempuh studi di pesantren pada tahun pertama selama satu tahun, 2) kelompok santri mustakmilah yaitu santri yang telah memasuki tahun kedua dan telah lulus ujian kitab sampai berlangsung pada tahun keempat, dan 3) kelompok muwâsalah yaitu kelompok santri yang telah menempuh studi di atas empat tahun. Mata pelajaran dan Kitab kajian untuk masing-masing kelompok itu telah ditetapkan dalam daftar kitab al-Muqarrarah yang terdiri dari kitab kajian utama dan kitab pilihan (cabangan). Kitab-kitab yang termasuk dalam al-muqarrarah tersebut dikaji dalam rentang waktu yang elastis selama 6 tahun, artinya bisa ditempuh kurang dari 6 tahun atau lebih 6 tahun. Batas 6 tahun bukan batas waktu mutlak, santri bahkan dianjurkan terus belajar walaupun telah melewati waktu 6 tahun.

[19] Dalam Daftar Martin (tabel II) kitab ushul al-fiqh yang digunakan di pesantren Kalimantan Selatan adalah Waraqât dan syarh waraqât. Martin, Op. cit., h. 154.

[20] Kitab ini adalah bagian (hamisy) dari kitab Latha`if al-Isyârât yang telah disebutkan.

[21] Dalam Daftar Martin (tabel IV) kitab ushul al-tafsîr yang digunakan di pesantren Kalimantan Selatan tidak disebutkan. Namun ada dua kitab ilmu tafsir yang terdapat dalam tabel tersebut yaitu Itqân dan Itmâm al-Dirâyah yang merupakan kitab ilmu tafsir populer di pesantren di Indonesia. Lihat Martin, Ibid., h. 158. Deretan kitab ushul tafsir dalam tulisan ini menunjukkan bahwa kedua kitab tersebut merupakan kitab penting dalam pelajaran tafsir di pesantren Kalimantan Selatan.

[22] Sebenarnya kitab ini adalah bagian dari kitab Faydh al-Khabîr wa Khulâshah al-Taqrîr karya Sayyid ‘Alawî ibn al-Sayyid ‘Abbâs yang telah disebutkan sebelumnya. Kitab Faydh al-Khabîr sendiri terdiri beberapa bagian yaitu : 1) nazhm yaitu Manzhûmah al-Tafsîr karya ‘Abd al-‘Azîz Ra`îs al-Zamzamî, 2) Nahj al-Taysîr Syarh Manzhûmah al-Tafsîr karya Sayyid Muhsin al-Musâwî, 3) Hâsyiyah Faydh al-Khabîr karya Sayyid ‘Alawî ibn al-Sayyid ‘Abbâs yang sekaligus menjadi nama kitab ini, dan terakhir adalah 4) ta’lîq Hâsyiyah Faydh al-Khabîr karya Muhammad Yâsîn ibn Îsâ al-Fâdânî.

[23] Kitab ushûl al-hadîs (ilmu hadis) yang digunakan di pesantren di Kalimantan selatan sebagaimana ilmu tafsir juga tidak tercantum dalam daftar Martin (skor 0). Lihat tabel V, Martin, Op. cit., h. 160. Dalam daftar Martin terdapat kitab ilmu dirâyah hadis yang merupakan kitab populer yaitu Bayquniyyah dan Minhah al-Mughits. Kedua kitab ini tercantum dalam deretan kitab ushûl hadis yang digunakan di pesantren di Kalimantan Selatan sebagaimana yang tercantum dalam tulisan ini.

[24] Daftar Martin (tabel I) tidak menunjukkan kitab mantiq yang digunakan di pesantren Kalimantan Selatan (skor 0), lihat Martin, Ibid., h. 149. Namun dua judul kitab mantiq yang tecantum dalam daftarnya yaitu Sullam al-Munawraq dan Îdâh al-Mubham merupakan kitab mantiq yang sangat populer dalam pelajaran mantiq di pesantren di Kalimantan Selatan. Masih terdapat kitab mantiq yang lain selain kedua kitab tersebut sebagaimana disebutkan dalam deretan kitab mantiq di atas. Posisi penting kitab Sullam Munawraq dalam pelajaran mantiq membuat KH. M. Syukeri Unus menulis terjemah kitab ini ke dalam bahasa Melayu dengan judul Miftâh ‘Ilm al-Mantiq dan memberikan syarh ringkas atas terjemah tersbut.

[25] Kitab Nahw yang digunakan di pesantren Kalimantan Selatan dalam daftar Martin (tabel I) yaitu al-Ajurrûmiyyah dan syarh-nya, Mutammimah dan Qathr al-Nadâ, Martin, Ibid. h. 149. Bandingkan dengan deretan kitab nahw di atas.

[26] Kitab Sharf di pesantren Kalimantan Selatan dalam daftar Martin (tabel I) ada dua yaitu al-Kaylânî beserta syarh-nya dan al-Maqshûd beserta syarh-nya sedang kitab yang lainnya mendapat skor 0. Martin, Ibid. Kedua kitab sharf tersebut hanyalah dua di antara sejumlah kitab sharf yang banyak dikaji di pesantren di Kalimantan Selatan, deretan kitab sharf di atas menunjukkan sejumlah kitab lain yang juga populer digunakan di pesantren Kalimantan Selatan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar