Rabu, 07 Januari 2009

Ziya Gokalp

NASIONALISME TURKI: TELAAH ATAS

PEMIKIRAN PEMBARUAN

ZIYA GOKALP

A. PENDAHULUAN

Pada periode keempat pemerintahan Usmani (1703-1839), kerajaan besar Islam ini telah mengalami kemunduran.[1] Rentetan kekalahan Usmani dalam perang melawan Eropa. menimbulkan kesadaran akan kemunduran mereka. Menyadari kemunduran itu kerajaan Usmani kemudian melakukan upaya pembaruan. Usaha pembaruan ini dimulai sejak abad ke 17 yang diteruskan sampai pada seperempat awal abad ke 20. Gerakan pembaruan yang cukup penting dalam rangkaian pembaruan itu adalah pembaruan Sultan Mahmud II (1785-1839),[2] gerakan Tanzimat,[3] Usmani Muda[4] dan Turki Muda[5] yang kemudian mencapai bentuk finalnya pada masa Mustafa Kamal Attaturk (1881-1938).

Proses gerakan pembaruan Turki itu berujung pada perubahan radikal bentuk pemerintahan Turki dari sistem khilafah Islam berubah menjadi sistem pemerintahan nasional-sekuler; dari masyarakat yang menganut ikatan persaudaraan religuis internasional (ummat) menjadi masyarakat yang menganut nasionalisme Turki. Perubahan radikal ini tidak lepas dari sejumlah orang yang terlibat dalam menanamkan semangat nasionalisme di kalangan masyarakat Turki ketika mereka melihat bahwa sistem khalifah yang bersifat multinasional tidak bisa dipertahankan lagi oleh Turki. Orang yang paling berjasa dalam merumuskan ide nasionalisme Turki atau Turkisme pada masa krisis ini adalah Ziya Gokalp (1875-1924). Untuk mewujudkan ide itu, Gokalp dan rekan-rekannya membentuk gerakan yang disebut dengan pan-Turkisme.[6]

Sebagai pemikir, sosiolog, penyair dan politisi, Ziya Gokalp adalah seorang tokoh berpengaruh dalam sejarah politik dan intelektual Turki abad kedua puluh. Dia adalah teoritikus terkemuka yang mendudukkan nasionalisme Turki sebagai landasan bagi sintesis antara westernisasi sekuler dan gerakan pembaruan Islam. Ide-ide nasionalisme Turki yang ia gulirkan menjadi inspirasi lahirnya sistem pemerintahan nasional di Turki yang secara operasional diwujudkan oleh Mustafa Kamal. Karena itu tidak mengherankan bila kemudian ia disebut sebagai bapak nasionalisme Turki.

Mengingat perannya yang sangat penting dalam memberikan inspirasi pembentukan negara sekuler Turki, maka sangat penting diketahui bagaimana ide-ide Gokalp tentang nasionalisme yang menjadi ide pokok dalam pemikiran pembaruannya. Untuk mengungkap ide nasionalismenya itu, makalah ini berusaha mengungkap pemikiran Gokalp sekitar nasionalisme terutama kaitannya dengan westernisasi, sekulerisasi, dan kulturisasi budaya Turki sebagai basis nasionalisme Turki serta posisi Islam di dalamnya. Ide nasionalisme Gokalp sebenarnya berimplikasi pada bidang-bidang lain seperti pendidikan[7] dan keluarga[8] namun karena keterbatasan sumber dan untuk membatasi fokus bahasan masalah-masalah selain ide pokoknya tentang nasionalisme Turki tidak dibahas dalam makalah ini.

B. LATAR BELAKANG KEHIDUPAN ZIYA GOKALP

1. Riwayat hidup Ziya Gokalp

Mehmed Ziya Gokalp (selanjutnya disingkat Gokalp) lahir dengan nama Mehmed Diya (Ziya) di Diyarbakr dari keluarga campuran Turki-Kurdi sekitar tahun 1875 atau 1876. Ia mulai dikenal dengan nama Ziya Gokalp pada tahun 1911, yaitu ketika ia menulis di jurnal sastra nasionalis Genc Kalemler dengan menggunakan nama samaran Gok Alp.[9] Gokalp mulai tersosialisasi dengan gagasan Turki Muda mengenai patriotisme dan konstitusionalisme melalui ayahnya yang meninggal tak lama setelah mengirimnya ke sekolah lanjutan modern untuk belajar ilmu-ilmu modern dan bahasa Perancis. Ia juga belajar bahasa Arab, Parsi, dan ilmu-ilmu tradisional Islam dari pamannya dan di sini pula ia berkenalan dengan karya-karya teolog dan filosof muslim serta para sufi.[10]

Dia masuk Sekolah Dokter Hewan Kerajaan pada tahun 1986 di Istanbul. Di sini ia memasuki Komite Persatuan dan Kemajuan (Society of Union and Progress, C.U.P) yang revolusioner. Namun ia dikeluarkan dari sekolah, ditahan dan dipenjarakan, ketika afiliasinya dengan C.U.P diketahui oleh polisi rahasia pada tahun 1897. Setelah bebas ia kembali ke kota asalnya, Diyarbakr, dan menikahi sepupunya, Cevriye, pada tahun 1898. Mereka di karuniai tiga orang putri dan seorang putra yang meninggal pada usia muda. Sebagian besar waktu Gokalp di Diyarbakr dihabiskan untuk melakukan penelitian etnografis di kalangan suku Kurdi dan Turkoman, serta mempelajari sosiologi Durkheim.[11]

Setelah pecah revolusi 1908, dimana gerakan Turki Muda berhasil menghidupkan kembali konstitusi 1876,[12] selain diangkat sebagai dosen di Diyarbakr, Gokalp juga muncul sebagai penulis liberal ‘Utsmaniyah dan menjadi dosen terkemuka di Diyarbakr. Pada tahun 1909 ia pergi Salonika sebagai anggota delegasi ke konvensi Komite untuk Persatuan dan Kemajuan (Committee of Union and Progress), di mana ia terus aktif hingga terpilih salah satu seorang anggota pusat. Selama di Salonika ia menjalin hubungan yang erat dengan kalangan penulis Turki Muda yang ingin memodernisasi sastra dan bahasa Turki.[13]

Sejak tahun 1912 hingga 1919 Gokalp tinggal di Istambul, dan di sinilah ia mengalami fase paling menentukan dalam perjalanan karirnya. Di sini ia menulis diberbagai jurnal khususnya Turk Yurdu (1912-1914), Halka Dogru (1913-1914), Islam Mecmuasi (1914-1915) dan Yeni Mecmua (1917-1918).[14] Pada 1915 (1912?), ia menjadi guru besar sosiologi di Universitas Istanbul. Setelah perang dunia I, sebagai anggota komite pusat C.U.P, ia ditahan dan diadili sebagai penjahat perang dan dideportasi ke Malta oleh Inggris pada tahun 1919. Setelah bebas, ia tinggal sebentar di Diyarbakr dan menerbitkan jurnal Kucuk Mecmua (1922-1923). Meskipun terpilih menjadi wakil partai Kemal untuk Diyarbakr pada tahun 1923, di kota itu ia masih sangat terisolasi karena tercatat sebagai anggota C.U.P terkemuka dan pengagum Enver Pasha. Dia segera pindah ke Istanbul, karena kesehatannya menurun, dia meninggal di kota ini pada tanggal 25 Oktober 1924.[15]

2. karya-karya Gokalp

Karya-karya Gokalp terutama berbentuk esai mengenai berbagai masalah. Selain itu ia juga menulis puisi. Menurut Azyumardi Azra, tema-tema terpenting dalam karya-karya Gokalp berhubungan dengan masalah-masalah nasionalisme (Turkisme) dan hubungannya dengan Islam dan Westernisasi. Dengan kata lain, tema yang berulangkali muncul dalam tulisan-tulisan Gokalp adalah tentang bagaimana seharusnya mengadopsi peradaban Barat, dan bagaimana upaya itu diselaraskan dengan latar belakang Turki dan Islam. Dengan memberikan jawaban detail terhadap masalah tersebut, Gokalp membangun sebuah kerangka konseptual di mana ia mengelaborasi formulasi teoritis yang pertama mengenai nasionalisme Turki.[16]

Menurut John L. Esposito, Gokalp tak pernah menerbitkan karya besar untuk mengungkapkan secara metodis gagasannya tentang nasionalisme. Bahkan, Principles of Turki, karyanya (1923), yang dapat dianggap sebagai karya finalnya mengenai subjek ini, merupakan kumpulan esai tentang nasionalisme yang sebelumnya telah dimuat dalam berbagai jurnal dan surat kabar. Meskipun sebagian gagasannya berkarakter tentatif—dan kadang-kadang ia memodifikasinya—pemahaman sangat jelas mengenai nasionalisme tampak dalan banyak esai yang dipublikasikannya selama lima belas tahun.[17]

Dalam E.J. Brill First Encyclopaedia of Islam disebutkan beberapa karya Gokalp yang dicetak kembali berdasarkan urutan kronologi yaitu: (1) ‘Ilm-i Idjtima Dersleri (Konstantinopel 1329 H); (2) Kizil Elma, kumpulan puisi (Konstantinopel, 1330 H); (3) Turkleshmek, Islamlashmak, mu’asirlashmak, delapan bab dalam bentuk prosa (Konstantinopel, 1918); (4) Yeni Hayat, kumpulan puisi (Konstantinopel, 1918); (5) Altin Ishik, perumpamaan-perumpamaan, sebagian dalam bentuk prosa dan sebagian lagi dalam bentuk sajak (Konstantinopel, 1339); (6) Turkdjuluyun Esaslari, dalam bentuk prosa, risalah panjang tentang prinsip-prinsip dan program-program Turkisme (Angora1339); (7) Turk Turesi, dalam bentuk prosa, studi tentang pelbagai kepercayaan dan adat-istiadat Turki klasik (Konstantinopel 1339); (8) Doghru Yol, dalam bentuk prosa, komentar terhadap sembilan poin program partai rakyat, people`s party`s (Angora 1339); Turk Medeniyeti Ta’rikhi (Konstantinopel 1926).[18] Sedangkan terjemahan ke dalam bahasa Inggris karya Gokalp adalah Turkish Nationalisme and Western Civilization yang merupakan esai-esai pilihan Ziya Gokalp yang diterjemahkan dan diedit oleh Niyazi Berkes (New York 1959) dan Principles of Turki diterjemahkan dan diberi catatan oleh RobertDevereux (Leiden 1968).[19]

3. Kondisi sosio-politik masa Ziya Gokalp

Masa kehidupan Gokalp adalah masa-masa puncak krisis pemerintahan Turki Utsmani dan masa transisi yang sangat menentukan kehidupan bangsa Turki modern. Pada masa ini Turki Utsmani yang digelari Barat sebagai The Sick Man di Eropa secara cepat kehilangan banyak wilayahnya. Antara tahun 1878-1914, sebagian besar wilayah Balkan merdeka sementara Rusia, Inggris dan Austria-Hungary semuanya merebut sejumlah wilayah Turki. Bahkan Ira M. Lapidus menyatakan krisis internal imperium Usmani menimbulkan sebuah konser (pertunjukan) kekuatan Eropa untuk turut menangani urusan Usmani. Imperium Usmani menjadi pemerintahan protektorat di Eropa dan menjadi imperium gadaian sejumlah kekuatan adikuasa.[20] Perang dunia pertama menyempurnakan keterisolasian imperium Usmani karena ia terlibat dalam peperangan dan mengalami kekalahan. Antara tahun 1912-1920 Usmani telah kehilangan seluruh wilayah mereka di Balkan sementara di Timur Tengah muncul sejumlah negara-negara baru yang independen dan lepas dari kekuasaan Usmani. Sementara Istanbul sendiri dan sekitarnya jatuh dalam pendudukan bersama sekutu.

Proses keruntuhan Usmani semakin dipercepat dengan semakin kuatnya gerakan nasionalisme di wilayah kekuasaan Usmani seperti wilayah Timur Tengah yang menuntut otonomi dan kemerdekaan. Bahkan di wilayah Turki sendiri gerakan nasionalisme semakin menguat dan terus menggerogoti kekuasaan Usmani. Di tengah tercabik-cabiknya wilayah Turki Usmani dan maraknya trend nasionalisme, muncul pula gagasan untuk memindahkan jabatan khalifah dan institusi khilafah dari tangan bangsa Turki kembali ke tangan bangsa Arab. Gagasan ini mengakibatkan semakin melemahnya dukungan terhadap Turki Usmani.

Pada tahun 1918 imperium Usmani telah hancur, namun elit birokratik dan militer telah siap mengubah komitmen mereka dari sebuah rezim multinasional dan multireligius menjadi sebuah negara nasional Turki dan sekuler. Gerakan ini dipimpin oleh Mustafa Kemal. Ia berhasil memobilisasi massa Turki untuk berjuang melawan pendudukan asing dan mendukung ide kebangsaan.

Masa kehidupan Ziya Gokalp bertepatan dengan berkuasanya Sultan Abdul Hamid II (1876-1909). Dalam versi pro-nasionalisme sekuler Turki juga beberapa tulisan pro pembaruan, sosok sultan Abdul Hamid II adalah seorang penguasa yang absolut dan membentuk rezim keagamaan yang otoriter dan diktator.[21] Gerakan oposisi terhadap Sultan Abdul Hamid II semakin menguat setelah ia membubarkan parlemen dan menghancurkan gerakan Usmani Muda. Tindakan ini memicu munculnya gerakan Turki Muda yang berusaha menggulingkan Sultan Abdul Hamid II. Usaha ini mulai menampakkan hasil yang signifikan ketika terjadi pemberontakan militer dari Batalion III Macedonia dan Batalion II di Edirne pada tahun 1908. Revolusi militer ini berhasil memaksa Sultan untuk memberlakukan kembali konstitusi 1876 dan melaksanakan pemilihan umum. Dari pemilihan umum ini terbentuk kembali parlemen baru di bawah pimpinan Ahmad Reza. Pada tahun 1909 kalangan militer benar-benar berhasil menurunkan Sultan Abdul Hamid II dari tahta dan digantikan dengan saudaranya Sultan Muhammad V Rasyad (1909-1918). Abdul Hamid kemudian diusir dari istana Yaldzar dan pindah ke Salonika.[22] Namun pasca kejatuhan Abdul Hamid terjadi perebutan kekuasaan antara tiga kekuatan yaitu antara kalangan militer, kalangan liberal C.U.P. dan muslim konservatif yang pada tahun 1912 dimenangkan oleh militer, namun setelah itu kalangan C.U.P memegang kekuasaan.[23]

Akibat krisis politik internal ini, sejumlah wilayah Turki Usmani di Eropa melepaskan diri bahkan negara-negara Balkan mulai menyerang pusat kerajaan Usmani. Walaupun posisi sultan telah terjepit namun sebagian besar rakyat Istanbul, ulama dan pengikut tarekat Bektasyi masih setia pada sultan dan mengkritik Turki Muda yang banyak dipengaruhi sistem Barat dan tidak menghiraukan syariat Islam.[24] Namun dukungan ini tidak mampu mempertahankan kekuasaan sultan dan sistem khilafah. Puncak dari krisis politik ini adalah dihapusnya jabatan khalifah pada tanggal 3 Maret 1924. Gokalp sendiri menyaksikan peristiwa ini walaupun tidak lama setelah itu ia meninggal.

Krisis politik dalam kerajaan Usmani ini terlebih dahulu telah diperparah dengan terjadinya krisis ekonomi. Menurut Ira M. Lapidus, keterlibatan usmani di dalam perekonomian dunia juga mengantarkan hutang dan kebergantungan keuangan. Pinjaman hutang pertama kali diberikan kepada Usmani pada tahun 1854, dan sejak saat itu perkembangan perekonomian Usmani bergantung kepada pinjaman Eropa. Selain untuk pembangunan infrasuruktur, pinjaman model asing itu juga dipergunakan untuk mendanai belanja militer dan pendirian bank-bank Usmani. Pada tahun 1882 negara Usmani tidak mampu melunasi bunga dan pinjamannya dan dipaksa menerima campur tangan administrasi asing. Sejak saat itu para bankir asing mengendalikan perekonomian Usmani. Walaupun pada tahun 1880 sampai 1914 terjadi peningkatan kemakmuran akibat dari sentralisasi kekuasaan dan stabilitas disejumlah wilayah, namun semua itu tidak lepas dari bantuan asing.[25] Ini berarti bahwa perekonomian Turki benar-benar ditentukan oleh kekuatan dan bantuan asing. Kerajaan Usmani baik secara militer maupun ekonomi telah berada dalam genggaman kekuatan asing yang selama ini menjadi seterunya.

C. IDE SENTRAL GOKALP: NASIONALISME TURKI

1. Identifikasi Ziya Gokalp terhadap Faktor Kelemahan Umat Islam

Menurut Azumardi Azra, Gokalp mengidentifikasi beberapa faktor penyebab kemunduran Islam yaitu:[26]

Pertama, keruntuhan Turki Usmani disebabkan oleh dikesampingkannya Islam dan kebudayaan Timur Tengah. Ia menolak anggapan bahwa tradisi etnis bertanggung jawab atas hancurnya Islam. Menurut Gokalp, jika tradisi dan upaya penyelamatan etnis adalah sebab hancurnya Islam, maka seharusnya sejak awal dampak itu sudah dirasakan. Sebab kehancuran tersebut harus dicari bukan dalam warisan tradisi yang pengaruh besarnya terdapat di dalam dan ada bersama proses Islamisasi yang dialami bangsa-bangsa tersebut, melainkan dalam peristiwa-peristiwa yang terjadi persis sebelum munculnya tanda-tanda kehancuran itu.

Kedua, Kehancuran Islam disebabkan oleh hilangnya kebudayaan nasional yang disebabkan kecenderungan Islam memaksakan diri sebagai sebuah peradaban dengan mengorbankan budaya nasional. Ia menolak anggapan umum bahwa dampak kekuatan eksternal, terutama dominasi Eropa modern, adalah sebab utama kehancuran Islam.

Ketiga, hilangnya kekuasaan Islam disebabkan karena Islam telah gagal mewujudkan fungsinya secara independen. Kedekatan agama dengan negara tidak memberikan keuntungan apa pun kepada Islam, bahkan hanya menyebabkan kerugian yang sangat besar. Karena negara adalah sebuah mesin hukum, ia cenderung untuk melegalisasi dan dan memformalkan setiap setiap kekuatan sosial di dalamnya. Karena itulah Islam mulai kehilangan vitalitasnya; persis ketika Islam dicampur dengan organisasi politik serta mulai diformalisasi sebagai sebuah sistem hukum yang tertutup, yang bertentangan dengan prinsip ijtihad.

Keempat, kemandekan dalam bidang fiqh sebagai penyebab keruntuhan Islam. Baginya masa kejayaan Islam adalah sebelum terbentuknya fiqh. Dinamika Islam terletak pada apa yang disebutnya sebagai “syariah sosial”, yakni fiqh yang dirumuskan sejalan dengan tahapan perkembangan masyarakat. Ia melihat bahwa muslim yang hidup pada masa tersebut tidak terikat pada satu mazhab fiqh yang mandek. Dalam konteks ini, keruntuhan Islam terletak pada sikap acuh muslim dalam menanggapi perubahan kondisi dalam kehidupan mereka, serta penolakan mereka dalam menerima kenyataan bahwa agama harus selalu ditafsirkan ulang untuk menghadapi kondisi yang terus berubah. Penafsiran ulang itu sangat penting agar signifikansi agama dalam lehidupan dapat terus terjaga.

Sementara Harun Nasution mengemukakan bahwa sebab kemunduran Islam menurut Gokalp ada dua yaitu: (1) keengganan umat Islam mengakui adanya perobahan dalam kondisi kehidupan mereka, di samping itu tidak mau melihat perlunya diadakan interpretasi baru yang sesuai dengan kondisi zaman, terhadap ajaran-ajaran dasar Islam. (2) Hilangnya kebudayaan nasional Turki, karena dikalahkan oleh peradaban Islam.[27]

2. Ide Nasionalisme Turki

Persoalan yang cukup krusial dalam ide nasionalisme Turki yang digagas oleh Gokalp adalah persoalan sensitif mengenai persoalan adopsi peradaban Barat (westernisasi), pemisahan antara agama dan negara (sekulerisasi), masalah budaya nasional Turki (Turkifikasi), serta dimana posisi Islam dalam ide nasionalismenya. Beberapa aspek ini merupakan bagian penting dari ide pembaruan Gokalp. Untuk memperjelas bagaimana konsep nasionalisme Gokalp, berikut ini akan dikemukakan nasionalisme Gokalp dengan tiga landasan utamanya.

Landasan Pertama Ide Nasionalisme Gokalp: Westernisasi-Modernisasi (penerimaan total peradaban Barat)

Nasionalisme-sekuler Gokalp dilandasi semangat westernisasi masyarakat Turki sebagai obat penyembuh keruntuhan Islam Turki. Langkah pertamanya, Gokalp menggagas perlunya mengadopsi peradaban Barat lewat proyek westernisasi. Bagi Gokalp, tidak ada persoalan ketidakcocokan antara peradaban Barat dengan Islam.

Menurut Ayumardi Azra, Gokalp menerima secara total westernisasi sebagai suatu jalan keluar untuk mengatasi keruntuhan yang diderita kaum muslim. Bagi Gokalp, westernisasi tidak hanya cocok dengan kebudayaan nasional Turki, tapi bahkan merupakan sesuatu yang tak terhindarkan untuk mencapai kejayaan bangsa Turki. Sebaliknya, menurut Gokalp, tidak ada masalah ketidakcocokan antara peradaban Barat dan Islam. Gokalp secara tegas membedakan antara peradaban Barat dalam pengertian modernitas dan Kristen. Ia menolak penyamaan sembrono peradaban Barat dengan Kristen. Yang ia maksud dengan peradaban Barat adalah peradaban modern yang tumbuh dari keunggulan nalar rasional dan ilmu pengetahuan positif dengan mengorbankan Kristen. Gokalp menyatakan, bahwa Islam adalah agama yang didasarkan pada keilmuan dan pencerahan. Gokalp menganggap Islam adalah agama yang paling modern dan sama sekali tidak bertentangan dengan pengetahuan ilmu pengetahuan modern.[28] Di sini jelas terlihat bahwa westernisasi yang dimaksud Gokalp adalah westernisasi dalam arti penyerapan secara total peradaban Barat yang berdasarkan keunggulan nalar rasional dan ilmu pengetahuan positif. Di dalamnya tidak termasuk budaya Barat dan kristenisasi. Sebab, sebagaimana akan terlihat pada bahasan berikutnya Gokalp membedakan antara kebudayaan dan peradaban. Gagasan Gokalp untuk mengambil peradaban Barat sebenarnya adalah untuk memperkuat kebudayaan nasional Turki.

Perenungan Gokalp terhadap struktur Eropa menyebabkannya membedakan antara budaya yang berlingkup nasional dan peradaban yang mendunia. Masyarakat Eropa terbagi menjadi beberapa negara-bangsa sekalipun berabad-abad terkait dengan agama yang sama dan beberapa pemerintahan multi-etnis. Karena sejarah tidak bisa menghapuskan perbedaan bahasa dan adat, kebangsaan merupakan sifat paling hakiki masyarakat manusia. Oleh karena itu, Gokalp yakin bahwa peradaban Barat mewakili jumlah total negara-negara bangsa Barat yang memiliki satu material dan politik. Menurut Gokalp, peradaban ini tidak bisa dikaitkan dengan agama Kristen karena dua alasan. Pertama, kendati ada fakta bahwa berbagai agama dipeluk secara mendunia, semuanya menarik individu melalui bahasa nasional dan serangkaian ritual yang berbeda dari satu bangsa ke bangsa yang lainnya dan karena itu mengalami “nasionalisasi”. Peradaban Barat sendiri didasarkan pada organisasi politik supraagama dan memasukkan unsur-unsur non-Kristen, seperti Yahudi dan Jepang. Golalp berpendapat bahwa reorganisasi kebangsaan atas pemerintahan Turki Usmani bukan saja memperkuat dan menghidupkan pemerintahan itu, melainkan juga akan meratakan jalan bagi Turki Usmani untuk untuk bergabung dengan peradaban Barat. Dengan kata lain menggali asal-usul kebangsaan sama artinya dengan westernisasi (pembaratan). Sejalan dengan pemikiran ini, dengan bersemangat ia menandaskan bahwa nasionalisme Turki akan menjadi sumber kekuatan bagi negara Usmani.[29]

Penerimaan peradaban Barat bagi Gokalp tidak boleh setengah-setengah tetapi harus secara keseluruhan. Dalam bukunya, Turkish Natinalism and Western Civilization, Gokalp menyatakan bahwa untuk sejajar dengan Eropa dari segi kekuatan militer, ilmu pengetahuan dan industri, satu-satunya jalan adalah dengan menerima peradaban Barat secara keseluruhan. Menurutnya, peradaban Barat adalah kelanjutan peradaban Mediteranian Kuno, sementara Turki termasuk pendiri peradaban Mediteranian itu. Jadi Turki adalah bagian peradaban Barat dan memiliki bagian yang sama di dalamnya.[30] Gokalp, tidak setuju dengan pengadopsian peradaban Barat secara setengah-setengah sebagaimana yang telah dicoba oleh gerakan Tanzimat. Kekeliruan besar gerakan Tanzimat menurut Gokalp adalah usaha Tanzimat untuk menciptakan mental campuran antara Timur dan Barat. Dasar-dasar kedua budaya yang bertentangan itu akhirnya melahirkan dikotomi; dikotomi dalam politik, pemerintahan, persekolahan, sistem perekonomian dan hukum yang tak satupun berhasil. Menurut Gokalp, Kalau metode Janissary dengan metode militer modern tidak bisa diselaraskan; kalau sistem pengobatan kuno dengan modern tidak bisa dipertemukan, berarti sia-sia pula meneruskan sistem hukum lama dengan yang baru, demikian juga antara standar etika modern dengan etika tradisional. Menurut Gokalp, peradaban yang berbeda tidak bisa dicampur begitu saja satu sama lain. Karena itu, jika suatu masyarakat tidak mengambil suatu peradaban secara keseluruhan sebagai satu sistem, maka upaya itu akan gagal jika hanya mengambil setengahnya saja. Demikian juga jika mengambil beberapa bagiannya saja juga akan gagal dalam mencerna dan mengasimilasikannya.[31]

Pikiran penting Gokalp selanjutnya adalah ia berkeyakinan bahwa peradaban adalah sesuatu yang terpisah dari agama, sebab lembaga-lembaga non-sakral, semisal konsep-konsep ilmiah, implementasi-implimentasi teknik, aturan-aturan estetika dan seterusnya adalah sesuatu yang terpisah di luar agama. Sains-sains positif semisal matematika, fisika, biologi, psikologi, sosiologi dan teknik industri tidak mempunyai hubungan dengan agama. Oleh karenanya tidak akan ada yang namanya peradaban Kristen atau peradaban Islam, karena itu keliru menganggap peradaban Barat sebagai peradaban Kristen dan peradaban muslim sebagai peradaban Islam.[32] Dengan demikian, dalam pandangannya peradaban berarti sekuler (terpisah dari agama), sehingga sekulerisasi berarti proses penerimaan peradaban universal yang tidak memihak pada agama tertentu. Ini juga mengisyaratkan dengan kuat bahwa Gokalp menolak pandangan bahwa Islam adalah juga peradaban. Dengan menolak Islam sebagai peradaban, ia mencoba melebarkan jalan kepada bangsa Turki untuk menerima peradaban Barat tanpa dibebani “rasa bersalah” dengan Islam yang selama ini telah membesarkan Turki dan menyatu dalam diri bangsa Turki. Sebab, menerima peradaban Barat bukan berarti menolak Islam karena Islam sudah menjadi bagian integral dari budaya nasional Turki. Menerima peradaban Barat bukan berarti menerima Kristen, atau mengganti Islam dengan Kristen. Tetapi yang dimaksud Gokalp adalah menerima peradaban Barat untuk disandingkan dengan Islam (sebagai agama) dan budaya Turki.

Sebagaimana telah disinggung sebelumnya, Gokalp berusaha meyakinkan kaum muslimin bahwa antara peradaban Barat dengan Islam tidak ada pertentangan. Gokalp berusaha meyakinkan bahwa adopsi peradaban Barat merupakan keharusan. Ia beranggapan bahwa karena kebesaran peradabannya Eropa dapat mengalahkan bangsa muslim dan menjadi pemimpin dunia. Karena itu, menurut Gokalp, tidak seharusnya kaum muslimin ragu untuk mengambil alih peradaban Barat karena peradaban ini telah terbukti demikian sukses. Ini didasarkan pada perintah agama bahwa kaum muslimin diwajibkan untuk mengambil semua bentuk ilmu pengetahuan dan mempelajarinya sebagaimana disabdakan Nabi: “carilah ilmu meskipun di negeri Cina” dan “ilmu pengetahuan itu merupakan harta yang hilang bagi muslim; ia akan mengambilnya dimana pun ia menemukannya”.[33]

Landasan Kedua Ide Nasionalisme Gokalp: Turkifikasi (Turkisme Kultural)

PM. Holt et. al., menyatakan bahwa Gokalp berusaha dengan tekun untuk menyatukan konsep umum tentang nasionalisme dari seluruh kelompok nasionalis yang saling bertentangan di masanya yaitu kalangan islamis, westernis dan turkisis. Bahkan ia berusaha menyatukan ide-ide mereka menjadi sebuah konsep baru, yakni dengan mengambil bagian-bagian tertentu: Islam menjadi esensi bangsa, westernisme adalah penampilan luarnya sementara Turkisme menjadi nama dan idealnya.[34]

Senada dengan pernyataan di atas, Azyumardi Azra menegaskan bahwa gagasan Gokalp mengenai Turkisme (nasionalisme Turki) sebenarnya dipicu oleh pertimbangan praktis dalam mengombinasikan tiga kekuatan yang ada: Islamisme, westernisme, dan nasionalisme. Ia mengamati kalangan westernis berusaha keras meniru masyarakat Barat, kalangan Islamis ingin menghidupkan kembali Islam klasik, sementara pan-Turkis berusaha keras menghidupkan kembali adat etnis yang dikenal Turki pada masa pra-Islam. Baginya, yang disebut bangsa bukan kelompok individu yang dipersatukan oleh ikatan perekonomian modern dan maupun teknologi. Bangsa juga tidak bisa disamakan dengan ummet, yakni suatu komunitas religius oleh iman Islam, bukan oleh ras atau kekeluargaan etnis yang dipersatukan oleh kebiasaan kesukuan lama. Ia menolak ketiga pemahaman tentang kebangsaan tersebut: Pan-Islam, Pan-Usmani, dan Pan-Turki. Yang pertama, menurutnya mencampuradukkan antara kebangsaan dengan ummet, atau komunitas religius internasional. Yang kedua mencampuradukkan kebangsaan dengan asosiasi beberapa bangsa, religius atau non-religius, dalam sebuah kesatuan politik. Yang ketiga secara keliru mendasarkan paham kebangsaan di atas ras atau kesatuan etnis.[35] Gokalp mendefinisikan istilah bangsa secara sosiologis berdasarkan pada kriteria keunggulan pendidikan, budaya, dan emosi bersama, dengan bahasa sebagai medium terpenting. Dengan demikian sebuah bangsa adalah sebuah kelompok atau kolektivitas sosial yang terdiri dari para individu yang menerima pendidikan yang sama, memiliki bahasa, emosi, ideal-ideal, agama, moralitas, dan rasa estetika yang sama. Jelas meskipun menolak konsep Pan-Islam, Pan-Usmani dan Pan-Turki, Gokalp mengambil elemen-elemen penting dari ketiga konsep tersebut dalam membentuk pemahaman baru mengenai kebangsaan. Bagi Gokalp, kebangsaan Turki adalah sebuah produk modern yang disebabkan oleh disintegrasi ummet Islam dan kekhalifahan Usmani, sebagaimana semua bangsa Barat dilahirkan dari perpecahan antara gereja universal dan kerajaan.[36]

Dengan demikian konsep nasionalisme Gokalp jelas tidak didasarkan pada ras, tetapi pada kebudayaan yang membedakan antara bangsa yang satu dengan bangsa yang lain. Apa yang dimaksud dengan kebudayaan akan terlihat dari pembedaan Gokalp antara kebudayaan dan peradaban secara lebih detil. Menurutnya, Kebudayaan bersifat subjektif, nasional, sederhana dan tumbuh dengan sendirinya sedang peradaban bersifat universal, internasional, objektif dan diciptakan.[37] Kebudayaan menurut Gokalp terdiri dari tradisi-tradisi, adat kebiasaan, mores, sastra lisan maupun tulisan, bahasa, musik, agama, etika dan produk-produk estetika serta ekonomi masyarakat sedang peradaban adalah jumlah total dari keseluruhan dari fenomena sosial yang meliputi konsep-konsep, ilmu pengetahuan dan sains, termasuk di dalamnya etika, hukum, seni, ekonomi, filsafat bahasa, teknologi dan sebagainya. Demikian juga peradaban diartikannya sebagai jumlah keseluruhan lembaga-lembaga, artinya keseluruhan metode berpikir dan bertindak.[38]

Untuk melakukan upaya Turkifikasi dan membangun budaya nasional Turki solusi terpenting untuk arah itu menurut Gokalp adalah Turkisme secara kultural. Bagi Gokalp, suatu perubahan politik tidak akan berarti apa-apa kalau tidak diikuti revolusi sosio-kultural. Tujuan akhir dari Gokalp adalah menumbuhkan suatu kebudayaan nasional yang bukan bertitik tolak dari syariah, bukan kebudayaan pra-Islam, dan bukan pula kebudayaan Barat. Tanpa menumbuhkan kebudayaan Turki sendiri tidak akan terjadi reformasi dan modernisasi sejati. Dengan demikian, nasionalisme Gokalp bisa disebut sebagai ‘Turkisme Kultural”, yang bukan merupakan sebuah partai politik, melainkan sebuah gerakan ilmiah, filosofis, estetis dan juga literer.[39]

Menurutnya, walaupun tiap bangsa memiliki kebudayaan sendiri-sendiri, namun tiap bangsa dapat memiliki peradaban yang sama. Bangsa-bangsa Barat memiliki kebudayaan yang berlainan, tetapi memiliki peradaban yang sama, yakni peradaban Barat. Demikian pula bangsa-bangsa Timur memiliki bermacam-macam kebudayaan, tetapi berperadaban satu yaitu peradaban Timur yang berbeda dari peradaban Barat. Ada perbedaan kebudayaan antara orang-orang Turki yang berdiam di Rusia dan mereka yang ada di kerajaan Utsmani. Perbedaan kebudayaan itulah yang menyebabkan perbedaan antara nasionalitas Kerajaan Usmani dengan nasionalitas Turki Rusia.[40]

Bagi Gokalp kebudayaan menuntun peradaban; setiap kelompok etnis pada mulanya hanya mempunyai kebudayaannya sendiri. Selagi kelompok tersebut tumbuh secara kultural dan politik, maka muncullah sebuah negara yang kuat, dan ketika kebudayaan tumbuh, maka peradaban mulai muncul. Tetapi meskipun peradaban mulai lahir dari kebudayaan nasional, ia selanjutnya meminjam banyak lembaga dari peradaban negara-negara tetangganya.[41]

Dalam pandangan Gokalp, Turkisme mewakili suatu ideal kultural dan filsafat kehidupan yang menjadi basis bagi solidaritas nasional. Sampai 1913 ia mempertahankan gagasan negara multi-nasional (yakni kekhalifahan Usmani) tetapi sesudah itu—dengan menerima bahwa perpecahan dalam kekhalifahan Usmani adalah kenyataan yang tak bisa dihindari—ia mulai mengadvokasikan gagasan-gagasan negara tunggal. Gokalp kemudian menawarkan beberapa bentuk reformasi kultural termasuk pengembangan bahasa Turki, perpaduan musik rakyat Turki dengan musik Barat; peningkatan moral individu dan sosial dalam hal patriotisme, demokrasi dan kesetaraan; serta penetapan hukum dan lembaga-lembaga modern bagi keluarga modern. Ia juga mengembangkan populisme dalam politik Turki dan pengembangan indsutri berskala besar dalam ekonomi modern.[42]

Sejauh berkaitan dengan Turkisme Gokalp, jelas bahwa yang dimaksudnya adalah nasionalisme yang non-rasis, non-ekspansionis, dan pluralistik. Karena itu ia menentang ekstremisme dalam gerakan “pemurnian” bahasa Turki dan mengusulkan perubahan dari Aksara Arab ke Latin dengan alasan itu akan memutuskan kontiunitas kebudayaan nasional. Bagi Gokalp, tidak terdapat kontradiksi inheren antara satu bangsa dengan bangsa lain, antara Turkisme, komunitas religius (Islam), dan komunitas internasional (modernisme atau westernisme). Ketegangan yang muncul antara kebudayaan nasional dengan peradaban bangsa lain atau dunia internasional pada dasarnya tidak perlu terjadi, karena masing-masing kebudayaan memberikan jawaban yang berbeda terhadap kebutuhan yang berbeda pada level yang berbeda pula. Sehingga, bagi Gokalp, mungkin bagi Turki untuk secara simultan merujuk kepada kebudayaan Turki-Islam, sambil melengkapi diri dengan piranti nalar, ilmu pengetahuan dan teknologi peradaban modern. Bagi Gokalp, Islam tetap bagian penting dari bangsa Turki. Walaupun kebudayaan Turki tertutup oleh peradaban Islam yang telah melemah dan harus diganti dengan peradaban Barat, namun kebudayaan Turki harus tetap berdasarkan Islam. Islam yang hidup di Turki harus dibersihkan dari anasir peradaban Islam lama yang tidak sesuai lagi dengan perkembangan modern.

Nasionalisme Turki yang digagas oleh Gokalp kemudian merambah kepada nasionalisasi bahasa Turki dengan mengorbankan bahasa Arab dan Persi yang selama ini banyak terserap dalam bahasa Turki, bahkan mengorbankan bahasa yang digunakan dalam ibadah. Maryam Jameelah menyatakan bahwa tidak seorang nasionalis pun yang sepanatik Gokalp dalam mempertahankan “keaslian” bahasa Turki dalam mengganti semua kata yang berasal dari bahasa Arab dan Turki.[43] Mengenai nasionalisasi bahasa ini Gokalp dalam puisinya menyatakan:

“Sebuah negeri dimana azan dari menara mesjid diserukan dalam bahasa Turki// dimana para petani memahami sepenuhnya arti bacaannya dalam peribadatannya//sebuah negeri dimana pada sekolah-sekolahnya al-Qur`an dibaca dalam bahasa Turki//dimana tua dan muda, setiap orang memahami perintah Tuhan//inilah, anak bangsa Turki, tanah airmu”.[44]

Menurut Azyumardi Azra, nasionalisme Turki memang unik dalam sikap radikalnya terhadap bahasa. Gokalp adalah salah satu tokoh yang paling bertanggung jawab dalam masalah ini. Sebelum kelahiran Gokalp gagasan Turkifikasi bahasa sebenarnya telah dilakukan. Termasuk dalam Turkifikasi adalah pembaruan alfabetik Arab yang pada puncaknya penghapusan penggunaan aksara Arab untuk digantikan dengan huruf latin; dan penggantian istilah-istilah Arab dan Persia dengan istilah-istilah Turki kuno dan sistematisasi tata bahasa Turki telah dilakukan sejak 1855.[45]

Hasil dari gagasan Gokalp ini terlihat setelah ia meninggal, pada tanggal 30 Januari 1932, ucapan Allahu Akbar mulai dilagukan dalam bahasa Turki dari menara Mesjid Sulaymaniyah, berbarengan dengan penggunaan bahasa Turki dalam shalat. Dan pada awal 1933 rejim Attaturk mengeluarkan ketetapan pengharaman penggunaan bahasa Arab dalam azan dan shalat; ibadah harus menggunakan bahasa Turki. Semua langkah ini tidak jarang dilaksanakan oleh rejim Attaturk dengan cara-cara seperti operasi militer.[46]

Landasan Ketiga Ide Nasionalisme Gokalp: Sekulerisasi (Pemisahan Agama dan Negara)

Selain mengadopsi peradaban peradaban Barat secara total, ia juga mengemukakan gagasan pemisahan antara agama dan negara. Sebagaimana disebutkan sebelumnya bahwa salah satu argumen Gokalp tentang pemisahan agama dan negara berkaitan dengan pandangannya tentang peradaban. Dalam pandangan Gokalp, peradaban tidak memiliki kaitan dengan agama karena lembaga-lembaga non-skaral dan sains-sains positif adalah sesutu yang terpisah dengan agama. Argumen Gokalp lainnya adalah, menurut Gokalp, komunitas religius tidak lagi menjadi kriteria nasionalisme dan agama hanya menjadi sebuah tipe moralitas dan solidaritas sosial. Ia merasa bahwa kecuali hubungan personal dengan Tuhan, sebenarnya semua kewajiban agama menggantungkan sanksinya kepada sanksi sosial. Karena itu Gokalp kemudian menandaskan bahwa semua serpihan “theokrasi” dan “klerikalisme” harus dibersihkan dari lingkup politik. Sejalan dengan pluralisme korporatisme solidaristik, otoritas politik dan religius sebagai unit sosial yang berbeda akan menjadi lembaga-lembaga otonom. Konsepsi demikian mendorong Gokalp merekomendasikan penghapusan jabatan Seyhulislam (mufti tertinggi) dari struktur negara Turki modern.

Menurut Azyumardi Azra, tujuan Gokalp ada dua. Pertama, memisahkan agama dari negara yang dimaksudkan untuk mengakhiri dominasi Islam atas kehidupan sosial-politik bangsa Turki. Kedua, untuk memisahkan agama dari peradaban Timur dan, dengan peluang itu, membuka peluang bagi nilai-nilai dasar Islam bersanding dengan peradaban Barat serta kebudayaan nasional Turki.[47]

Menurut Syafiq A. Mughni, Gokalp menginginkan adanya pemisahan antara diyanet dan muamalat. Ia mengatakan bahwa hukum yang terdapat dalam muamalat berasal dari adat dan kemudian dikuatkan oleh wahyu Alquran. Dan karena adat itu bersifat dinamis, maka hukum muamalat juga harus dinamis. Dinamika adat inilah yang harus diantisipasi oleh pemerintah dan menjadi tugas pemerintah untuk tetap menjaga dinamika muamalat. Sedangkan diyanet adalah menjadi otoritas ulama untuk senantiasa menjaganya agar tidak berubah. Oleh karenanya kodifikasi karya-karya hukum Islam harus segera dirombak dari bahasan hukum Islam.[48] Senada dengan Syafiq, Harun Nasution menyatakan bahwa menurut Gokalp, hukum yang terdapat dalam muamalat berasal dari adat yang kemudian diperkuat oleh wahyu dalam Alquran. Tetapi adat berubah menurut zaman dan pada akhirnya lenyap. Dengan lenyapnya adat, wahyu yang bersangkutan tidak berlaku lagi. Syariat harus berubah menurut perubahan yang dialami adat Adat bersifat dinamis, dan dengan demikian syariat juga harus bersifat dinamis. Namun sayangnya, menurut Gokalp antara ibadah dan muamalat telah menjadi satu dalam kitab fiqh. Seharusnya, menurut Gokalp, keduanya harus dipisah, hukum ibadah menjadi urusan ulama dan hukum muamalat menjadi urusan negara.[49]

Gokalp dan kalangan nasionalis lainnya berkeinginan untuk mengurangi wilayah otoritas syekh al-Islam yang luas sejak dikeluarkannya konstitusi 1876 karena wilayah otoritasnya tidak hanya pada wilayah eksekutip tetapi juga mengontrol wilayah yudikatif dan legislatif. Otoritas besar ini disebabkan oleh kedudukan Syekh al-Islam sebagai pemberi fatwa dalam masalah hukum berdasarkan empat madzhab yang dipilihnya. Jika fatwa hukum itu disetujui sultan, maka fatwa itu memiliki kekuatan hukum di kerajaan Usmani. Selain itu Syekh Islam memiliki otoritas untuk menetapkan sah tidaknya menurut syariah produk undang-undang yang dibuat lembaga legislatif tanpa harus berunding kepada kabinet maupun parlemen.[50]

Gokalp dan kawan-kawan ingin melucuti wilayah otoritas Syekh Islam yang demikian besar itu. Kekuasaan legislatif Syekh Islam harus dihapuskan dan dikembalikan kepada parlemen. Mahkamah syariah dari Yurisdiksi Syekh Islam dipindahkan ke kementerian kehakiman. Demikian dalam masalah lain, seperti madrasah yang berada dalam wilayah Syekh Islam dipindah kepada Kementerian Pendidikan dan masalah wakaf harus dipindah dari Syekh Islam kepada Kementerian baru yaitu Kementerian Ewkaf.[51]

Atas dasar alasan ini, Harun Nasution menolak tuduhan bahwa Gokalp dan kalangan nasionalis Turki lainnya berusaha membentuk negara sekuler. Ide pemisahan antara agama dan negara yang digulirkan Gokalp dan kalangan nasionalis lainnya bukan untuk menciptakan negara sekuler. Yang terjadi menurut Harun bukanlah pemisahan agama dengan negara, tetapi yang terjadi sebenarnya adalah pemisahan kekuasaan ulama atau pelucutan otoritas ulama dalam biro Syeikh al-Islam dalam urusan negara yang demikian luas. Negara masih tetap mengurus madrasah; mengurus mahkamah syariah (namun di bawah kementerian kehakiman) dan mengurus bidang muamalat yang asalnya berada di bawah otoritas ulama.[52] Namun menurut Cyril Glasse, tujuan utama dari seluruh pemikiran Gokalp mengarah pada sekulerisasi masyarakat Turki. Lantaran keinginannya untuk membawa Islam sebagai ajaran yang rasionalis dan menuju peradaban yang etis dan ilmiah, Gokalp tanpa sedikit keraguanpun menyalin model-model Barat bersamaan dengan pengkultusan kebesaran ke-Turki-an.[53] Sementara itu, dalam analisisnya tentang Gokalp, Fazlur Rahman berkesimpulan bahwa pernyataan Gokalp tentang pemisahan agama dan negara menunjukkan bahwa Gokalp bukanlah penganjur sekulerisme. Menurut Rahman, Gokalp dengan tegas menolak tradisionalisme dan sekulerisme Barat murni dan bahkan mengeritik sifat dualisme yang menuntut pemisahan agama dan negara. Yang ditolak Gokalp sebenarnya adalah teokrasi dan partai agama yang mewakili rakyat. Karena itu, pernyataan bahwa sekulerisme Turki adalah ciptaan Gokalp tidak bisa dipertahankan.[54]

D. PENUTUP

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pemikiran Naionalisme Gokalp sebenarnya dilandasi oleh upaya sintesis untuk menjembatani antara kalangan islamis, westernis murni dan nasionalis. Islam baginya tetap merupakan bagian tak terpisahkan dan merupakan kekuatan inti dari bangsa dan budaya Turki; sedang westernisasi berarti terbatas hanya menerima secara total peradaban Barat yang berdasarkan nalar rasional dan ilmu pengetahuan positif tanpa melibatkan Kristen dan budaya Barat di dalamnya, selain itu westernisasi hanya merupakan bentuk luar dari bangsa Turki; sementara Turkifikasi yang digagasnya bukanlah turkifikasi atas dasar rasial tetapi Turkifikasi berdasarkan keunggulan pendidikan, budaya, dan emosi bersama, dengan bahasa sebagai medium terpenting. Turkifikasi Gokalp itu disebut sebagai ‘Turkisme Kultural”, yang bukan merupakan sebuah partai politik, melainkan sebuah gerakan ilmiah, filosofis, estetis dan juga literer. Dengan demikian, nasionalisme sekuler Gokalp merupakan persyewaan antara Islam, peradaban Barat dan budaya nasional Turki.

Westernisasi bagi Gokalp berarti adalah penerimaan secara total peradaban Barat, tidak setengah-setengah, karena adopsi sebuah peradaban tidak akan pernah berhasil jika tidak melakukan penerimaan secara total. Peradaban baginya adalah sesuatu yang terpisah dari agama, sebab lembaga-lembaga non-sakral, semisal konsep-konsep ilmiah, implementasi-implementasi teknik, aturan-aturan estetika dan seterusnya adalah sesuatu yang terpisah dan di luar agama. Sains-sains positif semisal matematika, fisika, biologi, psikologi, sosiologi dan teknik industri tidak mempunyai hubungan dengan agama.

Turkifikasi Gokalp adalah membangkitkan kebudayaan nasional Turki yang tidak didasarkan pada ras tetapi didasarkan pada prinsip non-rasis, non-ekspansionis, dan pluralistik. Upaya membangkitkan kembali budaya nasional Turki itu penting karena selama ini budaya Turki terpendam oleh “peradaban” Islam.

Sekulerisasi menurut Gokalp ada dua. Pertama, memisahkan agama dari negara yang dimaksudkan untuk mengakhiri dominasi Islam atas kehidupan sosial-politik bangsa Turki (depolitisasi Islam) dan hanya menjadikan Islam sebagai inti (esensi) bangsa Turki. Kedua, untuk memisahkan agama (Islam) dari peradaban Timur dan, dengan peluang itu, membuka peluang bagi nilai-nilai dasar Islam bersanding dengan peradaban Barat serta kebudayaan nasional Turki. Sekulerisasi Gokalp bukanlah sebuah upaya membentuk negara sekuler murni, tetapi ia hanya ingin pemisahan kekuasaan ulama atau pelucutan otoritas ulama dalam biro Syeikh al-Islam dalam urusan negara yang demikian luas, yakni pemisahan urusan diyanet dengan muamalat; ia juga menolak teokrasi dan klerikalisme (partai agama yang mewakili rakyat) dalam politik. Selain itu, sekulerisasi Gokalp juga berkaitan dengan pemisahan antara agama dan peradaban. Baginya, peradaban tidak terkait dengan agama tertentu. Karena itu ia menolak adanya bentuk peradaban yang didasarkan pada agama. Atas dasar ini Gokalp menolak Islam sebagai peradaban.

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Taufik, et. al. (ed), Ensiklopedi Dunia Islam 2: Khilafah, Jakarta, PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 2002.

Ash-Shalabi, Ali Muhammad, Bangkit dan Runtuhnya Khilafah Utsmaniyah, diterjemahkan dari Ad-Dawlah al-‘Utsmâniyyah ‘Awâmil an-Nuhûdh wa Asbâb as-Suqûth oleh Samson Rahman, Jakartah, Pustaka al-Kautsar, 2003.

Azra, Azyumardi, et. al., Ensiklopedi Islam Jilid 7, Jakarta, PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 2005.

Azra, Azyumardi, Pergolakan Politik Islam dari Fundamentalisme, Modernisme hingga Postmodernisme, Jakarta, Paramadina, 1996.

Esposito, John L. (ed), Eksiklopedi Oxford Dunia Islam Modern Jilid 2, diterjemahkan dari The Oxford Encyclopedia of the Modern Islamic World oleh Eva Y.N. et. al., Bandung, Mizan, 2001.

Glasse, Cyril, Ensiklopedi Islam Ringkas, diterjemahkan dari The Concise Encyclopedia of Islam oleh Ghufron A. Mas’udi, Jakarta, PT Raja Grafindo Persada, 2002.

Harahap, Syahrin, Al-Qur`an dan Sekulerisasi: Kajian Kritis terhadap Pemikiran Thaha Husein, Yogyakarta, PT. Tiara Wacana Yogya, 1994.

Holt, P.M., et. al., (ed)., The Cambridge History of Islam (Volume 1): The Central Islamic Lands, London, Cambridge of the University Press, 1970.

Houtsma, M. Th., et. al., (ed), E.J. Brill’s First Encyclopaedia of Islam 1913-1936, Leiden, E.J. Brill’s, 1987.

Jameelah, Maryam, Islam dan Modernisme, diterjemahkan dari Islam and Modernism oleh A. Jainuri dan Syafiq A. Mughni, Surabaya, Usaha Nasional, tt.

Lapidus, Ira M., Sejarah Sosial Umat Islam Bagian Ketiga, diterjemahkan dari A. History of Islamic Societies oleh Ghufron A. Mas’adi, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 2000.

Mughni, Syafiq A., Sejarah Kebudayaan Islam di Turki, Jakarta, Logos, 1997.

Nasution, Harun, Pembaharuan dalam Islam Sejarah Pemikiran dan Gerakan, Jakarta, Bulan Bintang, 1992.

Rahman, Fazlur, Islam, diterjemahkan dari Islam oleh Senoaji Saleh, Jakarta, Bumi Aksara, 1992.



[1] Masa pemerintahan Usmani yang berlangsung selama 625 tahun (1299-1924) terbagi menjadi lima periode yaitu periode pertama dari tahun 1299-1402, periode kedua dari tahun 1403-1566), periode ketiga (1566-1703), periode keempat (1703-1839) dan periode kelima (1839-1924). Ali Mufrodi, “Kerajaan Usmani” dalam Taufik Abdullah, et. al. (ed), Ensiklopedi Dunia Islam 2: Khilafah, (Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 2002), h. 246.

[2] Pembaruan yang dilakukannya diantaranya dibidang militer membentuk korp tentara baru dengan membubarkan Jenisari; dibidang politik ia menghapus kedudkan sadrazam dan menggantinya dengan jeabatan perdana menteri; dibidang hukum ia mengadakan pula hukum sekuler di samping hukum syariat; dibidang pendidikan ia mengubah kurikulum madrasah dengan memasukkan pengetahuan umum, mendirikan sekolah militer, sekolah teknik dan sekolah kedokteran. Lihat Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam Sejarah Pemikiran dan Gerakan, (Jakarta: Bulan Bintang, 1992), h. 90-94.

[3] Tanzimat berarti mengatur, menyusun dan memperbaiki. Istilah ini menjadi nama suatu gerakan pembaruan di Turki pada abad ke-19. Gerakan Tanzimat ditandai dengan munculnya sejumlah pembaru di bidang pemerintahan, hukum, administrasi, pendidikan, keuangan, perdagangan dan sebagainya. Gerakan ini dimulai ketika sultan Mahmud II berhasil menghancurkan Janissary pada tahun 1826. Gerakan ini dipelopori oleh Mustafa Rasyid Pasya (1800-1858) dkk. Gerakan ini adalah gerakan yang terpengaruh dengan Eropa bersifat sekuler di segala bidang dan mengikut Barat. Lihat: Azyumardi Azra, et. al., Ensiklopedi Islam Jilid 7 (Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 2005) dan Ali Mufrodi, op. cit., h. 249.

[4] Kelompok ini adalah kelompok pembaruan yang berasal dari perkumpulan rahasia yang berdiri pada tahun 1865 dan bertujuan untuk mengubah pemerintahan yang absolut dengan pemerintahan yang konstitusional. Gerakan ini berlawanan dengan kelompok Tanzimat, karena mereka anti pemikiran bebas. Tokoh gerakan ini diantaranya adalah Ziya Pasya (1825-1880) dan Namik Kemal (1840-1888).Ali Murodi, Ibid., h. 251.

[5] Turki Muda adalah gabungan dari berbagai kelompok yang menentang pemerintahan absolut sultan. Para tokoh gerakan ini diantaranya adalah Ahmad Riza (1859-1931), Pangeran Sabahuddin (1877-1948) dan Muhammad Murad (1853-1912). Ibid, h. 253.

[6]Pan-Turkisme adalah suatu gerakan orang terpelajar yang memunculkan ide persatuan bangsa Turki asli dalam rangka membangun Turki dalam kerajaan Usmani Turki yang berdasar atas berbagai bangsa dan suku. Gerakan Pan-Turkisme bergerak maju dengan pesat, karena adanya pemujaan bnagsa Turki terhadap dinasti mereka dan rasa harga diri sebagai ras yang menguasai rakyat banyak. Azyumardi Azra, et. al., Ensiklopedi Islam jilid 5, op. cit.,h. 268.

[7] Dalam bidang pendidikan misalnya gagasannya tentang perbaikan sistem pendidikan nasional Turki agar sejalan dengan dengan pendidikan modern. Dalam bidang pendidikan Gokalp melihat adanya krisis moral dalam masyarakat Turki. Namun solusinya bukan pada pendidikan agama, karena agama tidak lagi menjadi sumber nilai-nilai. Masyarakat Turki sedang berada pada masa transisi dari masyarakat ummat menjadi masyarakat nasional. Ke dalam tiga bentuk sekolah yang ada, sekolah modern, sekolah asing dan madrasah telah masuk peradaban Barat dan peradaban Islam. Kedua peradaban ini bersikap menentang terhadap kebudayaan Turki yang terdapat di kalangan masyarakat Turki yang tidak berpendidikan. Ketiga bentuk sekolah tersebut hanya merupakan tiruan apa yang datang dari luar dan tidak memiliki daya kreatif. Oleh karena itu pembaruan dalam bidang pendidikan harus didasarkan pada nilai-nilai sekuler baru yang bersumber pada kebudayaan nasional. Harun, op. cit., h. 139

[8]Gagasan Gokalp mengenai keluarga terkait dengan kedudukan wanita dalam keluarga dan negara. Wanita menurut Gokalp, harus diikutsertakan dalam pergaulan sosial dan kehidupan ekonomi. Juga harus diberi hak yang sama dalam soal pendidikan, perceraian dan warisan. Poligami juga harus dihapuskan. Ia menuntut persamaan hak dan kesetaraan dalam masalah perkawinan, perceraian dan bagian yang sama dalam masalah warisan. Gokalp juga menolak interpretasi keagamaan yang melecehkan wanita. Beberapa gagasan ini dikritik oleh Iqbal, ia khawatir Gokalp tidak tahu banyak tentang hukum keluarga dalam Islam. Lihat Harun Nasution, ibid., h. 138. dan lihat pula Muhammad Iqbal, Rekontruksi Pemikiran Agama, diterjemahkan dari The Reconstruction of Religion Thought in Islam oleh Didik Komaidi, (Yogyakarta: Lazuardi, 2002), h. 228.

[9]Azyumardi Azra, Pergolakan Politik Islam dari Fundamentalisme, Modernisme hingga Postmodernisme, (Jakarta: Paramadina, 1996), h. 31-32. dan John L. Esposito (ed), Eksiklopedi Oxford Dunia Islam Modern Jilid 2, diterjemahkan dari The Oxford Encyclopedia of the Modern Islamic World oleh Eva Y.N. et. al., (Bandung: Mizan, 2001), h. 117-118.

[10] Azyumardi Azra, Pergolakan, Ibid.

[11] John L. Esposito, loc. cit.

[12] Konstitusi 1876 adalah undang-undang dasar kerajaan Usmani yang ditandatangani pada tanggal 23 Desember 1876 oleh Sultan Abdul Hamid II dengan kesepakatan bersama dengan kalangan Usmani Muda. Konstitusi ini mengatur hak dan kekuasaan sultan, hak dan kekuasaan pemerintah serta hak dan kekuasaan parlemen. Konstitusi ini mengacu pada konstitusi Perancis, namun masih menunjukkan sifat semi teokratis, belum demokratis karena kedaulatan masih di tangan sultan. Walaupun disepakati bersama antara Sultan Abdul Hamid II dengan Usmani Muda, namun terjadi perbedaan interpretasi dalam memahami beberapa istilah dalam konstitusi itu; satu pihak memahaminya berdasarkan perspektif Islam sementara pihak yang lain memahaminya berdasarkan perspektif Barat. Puncak perselisihan antara keduanya pada saat terjadinya pembubaran parlemen yang kemudian mendapat tantangan keras dari kalangan Turki muda yang memicu terjadinya revolusi 1908. Lihat Ali Mufrodi, Op. Cit., h. 252-253.

[13] Azyumardi Azra, op. cit., h. 32 dan Harun Nasution, op. cit., h. 128-129.

[14] John L. Esposito, loc. cit.

[15] Ibid., h. 118.

[16] Azymardi Azra, op. cit., 32.

[17] John L. Esposito, loc. cit.

[18] M. Th. Houtsma, et. al., (ed), E.J. Brill’s First Encyclopaedia of Islam 1913-1936, (Leiden: E.J. Brill’s, 1987), h. 1232.

[19] Lihat John L. Esposito, op. cit., h. 119.

[20] Lihat lebih jauh Ira M. Lapidus, Sejarah Sosial Umat Islam Bagian Ketiga, diterjemahkan dari A. History of Islamic Societies oleh Ghufron A. Mas’adi, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2000), h. 66-70.

[21] Ali Mufrodi, op. cit., h. 253 dan Ira M. Lapidus, Ibid., h. 79. dalam versi kalangan konservatif dan anti-kemalisme Sultan Abdul Hamid II adalah sultan yang sengaja diturunkan melalui konspirasi Gerakan Persatuan dan Pembangunan (C.U.P) yang didukung kalangan Yahudi Internasional dan negara-negara Barat terutama lewat Freemasonry. Bagi mereka, sultan sengaja difitnah bahkan dituduh zalim, bukan seorang sultan atau khalifah yang sah dengan menggunakan dalil agama oleh kalangan Persatuan dan Pembangunan. Lihat ulasan lebih luas tentang konspirasi yang melibatkan Yahudi dengan Freemasonry Zionisnya untuk menjatuhkan sultan dan khilfah pada: Ali Muhammad Ash-Shalabi, Bangkit dan Runtuhnya Khilafah Utsmaniyah, diterjemahkan dari Ad-Dawlah al-‘Utsmâniyyah ‘Awâmil an-Nuhûdh wa Asbâb as-Suqûth oleh Samson Rahman, (Jakartah: Pustaka al-Kautsar, 2003), . 606-615.

[22] Ali Mufrodi, op. cit., h. 253-255.

[23] Ira M. Lapidus, h. op. cit., 80.

[24] Ali Mufrodi, op. cit., h. 254.

[25] Ira M. Lapidus, op. cit., h. 87.

[26] Azyumardi Azra, op. cit., h. 34-35.

[27] Harun Nasution, Op. Cit , h. 132.

[28] Azyumardi Azra, Op. Cit., 37.

[29] John L. Esposito, op. cit., h. 118.

[30] Dikutip dari Maryam Jameelah, Islam dan Modernisme, diterjemahkan dari Islam and Modernism oleh A. Jainuri dan Syafiq A. Mughni, (Surabaya: Usaha Nasional, tt.)h. 152-153.

[31] Lihat kutipan langsung Maryam Jameelah yang ia kutip dari karya Gokalp: Turkish Nationalism and Western Civilization, Maryam Jameelah, Ibid., h. 154-155.

[32] Syahrin Harahap, Al-Qur`an dan Sekulerisasi: Kajian Kritis terhadap Pemikiran Thaha Husein, (Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya, 1994), h. 63.

[33] Maryam Jameelah, Op. Cit., h. 156-157.

[34] P.M. Holt, et. al., (ed)., The Cambridge History of Islam (Volume 1): The Central Islamic Lands, (London: Cambridge of the University Press, 1970), h. 560.

[35] Ibid., h. 41-42.

[36] Ibid., h. 42.

[37] Ali Mufrodi, op. cit., h. 258.

[38] Syahrin Harahap, loc. cit.

[39] Azyumardi Azra, Op. Cit., h. 41.

[40] Ali Mufrodi, Loc. Cit.

[41] Syahrin Harahap, Loc. Cit.

[42] Azyumardi Azra, Op. Cit., 42.

[43] Maryam Jameelah, Op. Cit., h. 157.

[44] Dikutip dari Ayumardi Azra, Op. Cit.,h. 235.

[45] Ibid., h. 234-235.

[46] Ibid., h. 234-235.

[47] Ibid., h. 43.

[48] Syafiq A. Mughni, Sejarah Kebudayaan Islam di Turki, (Jakarta: Logos, 1997), h. 145.

[49] Harun Nasution, op. cit., h. 135.

[50] Ibid., h. 135-136.

[51] Ibid., h. 136.

[52] Ibid.

[53] Cyril Glasse, Ensiklopedi Islam Ringkas, diterjemahkan dari The Concise Encyclopedia of Islam oleh Ghufron A. Mas’udi (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002), h. 108.

[54] Fazlur Rahman, Islam, diterjemahkan dari Islam oleh Senoaji Saleh, (Jakarta: Bumi Aksara, 1992), h. 363.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar